NILAI KEADILAN BERMARTABAT
DISERTASI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum
OLEH:
YOGI ARSONO S.H., Kn., M.H.
NIM: 10302000426
PROGRAM DOKTOR (S3) ILMU HUKUM (PDIH) FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas berkat Rahmat Allah S.W.T., Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya kepada:
1. Allah SWT yang telah menganugerahi saya segala kemampuan dan rasa semangat;
2. Rektor UNISSULA, Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E-Akt., M.Hum
3. Dekan Fakultas Hukum UNISSULA, Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H.
4. Prof. Dr. Hj. Anis Mashdurohatun, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung yang telah menjadi inspirasi dan memberikan saya kesempatan untuk menempuh Pendidikan Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNISSULA;
5. Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H., M.Si. dan Prof. Dr. Hj. Anis Mashdurohatun, S.H., M.Hum, selaku Promotor dan Co-Promotor yang telah berkenan memberikan saya kesempatan;
6. Keluarga yang selalu mendukung dan mendoakan saya
Semoga Disertasi yang berjudul REKONSTRUKSI REGULASI KEWENANGAN HAKIM UNTUK MENILAI AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM SENGKETA KEPERDATAAN DI PENGADILAN BERBASIS NILAI KEADILAN BERMARTABAT ini dapat menjadi tambahan ilmu dan semoga Allah S.W.T. selalu melimpahkan Rahmat, Taufiq dan Hidayah- Nya kepada kita semua. Aamiin.
Semarang, 12 Januari 2023 Peneliti,
Yogi Arsono, S.H., Kn., M.H.
NIM: 10302000426
PERNYATAAN ORIGINALITAS PENELITIAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya, disertasi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing/Tim Promotor dan masukkan Tim Penelaah/Tim Penguji.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Semarang, 12 Januari 2023 Yang membuat pernyataan,
Materai Rp 10.000,00
(Yogi Arsono S.H., Kn., M.H) NIM: 10302000426
DAFTAR ISI
Halaman Depan ... i
Lembar Pengesahan ………...;. ... ii
Surat Persetujuan Promotor dan Co promotor ... iii
Kata Pengantar ... iv
Pernyataan Keaslian ... v
Daftar Isi ... vi
Abstrak ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ... 28
C. Tujuan Penelitian ... 28
D. Manfaat Penelitian ... 29
E. Kerangka Konseptual ... 29
1. Rekonstrusi ... 29
2. Regulasi Kewenangan Hakim ... 31
3. Akta otentik ... 33
4. Sengketa keperdataan ... 34
5. Pengadilan ... 35
6. Nilai Keadilan Bermartabat……….., ... 35
F. Kerangka Teoritik ... 36
1. Grand Teori Keadilan Bermartabat ... 36
2. Middle Teori Teori Sistem Hukum ... 38
3. Applied Teori Hukum Progresif ... 43
G. Kerangka Pikir… ... 49
H. Metode Penelitian ... 50
1. Paradigma Penelitian ... 50
2. Pendekatan Penelitian ... 52
3. Orisinalitas Penelitian ... 53
4. Spesifikasi Penelitian ... 56
6. Teknik dan Pengumpulan Data ... 57
7. Teknik Analisis Data ... 57
8. Lokasi Penelitian ... 58
I. Sistematika Penulisan ... 58
BAB II Tinjauan Pustaka ... 60
1. Definisi Hakim ... 60
2. Kewenangan Hakim di Pengadilan ... 61
3. Konstruksi Hukum ... 64
4. Interpretasi Hukum ... 65
5. Akta Otentik dalam Kedudukan dan Fungsinya sebagai Alat Bukti di Persidangan ... 70
6. Alat Bukti Dalam Pembuktian ... 77
7. Kewenangan Hakim Untuk Menilai Akta Otentik ... 85
8. Sengketa Keperdataan ... 87
9. Kewenangan Hakim dalam Perspektif Islam ... 88
BAB III Regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan belum berbasis nilai keadilan bermartabat ... 94
A. Filosofi Regulasi Kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan ... 94
B. Penerapan Regulasi Kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan ... 125
C. Regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan belum berbasis nilai keadilan bermartabat ... 153
otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa di Pengadilan
saat ini ... 162
A. Kelemahan pada substansi Hukum ... 162
B. Kelemahan pada Kultur Hukum ... 163
C. Kelemahan pada struktur Hukum ... 167
BAB V Rekonstruksi regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan berbasis nilai keadilan Bermartabat. ... 186
A. Studi perbandingan di berbagai negara ... 186
B. Rekonstruksi regulasi kewenangan hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan berbasis nilai keadilan bermartabat ... 188
BAB VI PENUTUP... 221
A. KESIMPULAN ... 221
B. SARAN ... 222
C. IMPLIKASI KAJIAN DISERTASI ... 222
SECARA TEORETIS ... 222
SECARA PRAKTIS ...225
DAFTAR PUSTAKA ... 228
ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini adalah tentang Rekonstruksi Regulasi Kewenangan Hakim Untuk Menilai Akta Otentik Sebagai Alat Bukti Dalam Sengketa Keperdataan Di Pengadilan Berbasis Nilai Keadilan Bermartabat. Kajian ini dilakukan dikarenakan sistem hukum pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sistem tertutup dan terbatas, dimana para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau bentuk alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Indonesia sudah tidak cocok menggunakan sistem hukum yang lama. Sudah saatnya Indonesia menerapkan sistem yang berasal dari negara sendiri, yaitu sistem keadilan bermartabat. Hal tersebut dikarenakan pemahaman dan kebebasan hakim dalam menilai alat bukti berbeda-beda. Urgensi diperlukannya rekonstruksi kewenangan hakim dalam menilai alat bukti tersebut dapat dilakukan dikarenakan sifat dasar dari Akta Otentik tersebut memang sempurna dan mengikat, namun bukanlah memaksa dan menentukan. Oleh karena itu, penulis akan mengkaji tentang kewenangan hakim dalam memutus perkara tersebut dan mengkaitkannya dengan teori keadilan bemartabat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan menganalisis secara jelas mengenai: (1) Mengapa regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan belum berbasis nilai keadilan bermartabat (2) Apa saja kelemahan dalam regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa di Pengadilan saat ini (3) Bagaimana rekonstruksi regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan berbasis nilai keadilan Bermartabat.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Paradigma Constructivism. Untuk melaksanakan paradigma penelitian Constructivism, Konstruksi dijalani melalui interaksi antara dan sesama responden dan obyek observasi dengan metode pendekatan hermeneutik. Hermeneutik secara etimologi mempunyai makna penafsiran atau interprestasi.
Peneliti ingin melakukan penafsiran atau interprestasi terhadap sistem regulasi kewenangan hakim yang berlaku sesuai Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap pembuktian akta otentik dalam hukum perdata tersebut yang kemudian akan dibandingkan dengan rekonstruksi regulasi kewenangan hakim yang berkeadilan bermartabat. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian yuridis sosiologis yang didukung oleh fakta yuridis, yaitu mempelajari dan mengkaji ketentuan hukum positif di Indonesia yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman terutama kewenangan Hakim. Teori hukum yang digunakan sebagai analisis ialah teori hukum progresivisme yang dikaitkan dengan Teori Keadilan Bermartabat.
Temuan dari penelitian ini adalah (1) regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan belum berbasis nilai keadilan bermartabat dikarenakan Indonesia masih menggunakan sistem hukum negara lain pasal KUHPerdata, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (2) kelemahan dalam regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa di Pengadilan saat ini adalah kelemahan pada substansi hukum, kelemahan struktur hukum, dan kelemahan pada kultur hukum kurang sesuai dengan nilai hukum perkembangan masyarakat modern di Indonesia.
Sistem yang digunakan tertutup dan terbatas (3) Rekonstruksi regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat yang memperluas kedudukan dari akta otentik yang bersifat sempurna dan mengikat, namun tidaklah mempunyai sifat memaksa dan menentukan dalam sengketa keperdataan di Pengadilan berbasis nilai keadilan Bermartabat yang disesuaikan dengan perkembangan sistem hukum modern. Rekonstruksi norma hukum Pasal 1870 KUHPerdata.
Kata Kunci: Rekonstruksi, Regulasi, Kewenangan Hakim, Akta Otentik, Keadilan Bermartabat
ABSTRACT
The background of this research is on the Reconstruction of the Regulation of the Authority of Judges to Assess Authentic Deeds as Evidence in Civil Disputes in Courts Based on the Value of Dignified Justice. This study was carried out because the evidentiary legal system adopted in Indonesia is a closed and limited system, where the parties are not free to submit the type or form of evidence in the case settlement process. Indonesia is no longer suitable for using the old legal system. It is time for Indonesia to implement a system that comes from its own country, namely a dignified justice system. This is because the understanding and freedom of judges in assessing evidence vary. The urgency of reconstructing the judge's authority in assessing evidence is possible because the nature of the Authentic Deed is indeed perfect and binding, but it is not coercive and decisive. Therefore, the author will examine the authority of judges in deciding the case and relate it to the theory of dignity justice. This study aims to find out, identify, and analyze clearly regarding:
(1) Why the regulation of the authority of judges in assessing authentic deeds as evidence of letters in civil disputes in courts has not been based on the value of dignified justice (2) What are the weaknesses in the regulation of the authority of judges in assessing authentic deeds as evidence of letters in disputes in the current Court (3) How to reconstruct the regulation of the authority of judges in assessing authentic deeds as evidence of letters in civil disputes in Courts based on the value of Dignified justice.
The research method used in this study uses the Paradigm of Constructivism. To carry out the research paradigm of Constructivism, Construction is carried out through the interaction between fellow respondents and objects of observation with a hermeneutic approach method. Hermeneutics etymologically has the meaning of interpretation or interplay. The researcher wants to interpret or interpret the regulatory system of the authority of judges in force in accordance with Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power to prove authentic deeds in civil law which will then be compared with the reconstruction of the regulation of the authority of judges with dignity. The approach used is sociological juridical research supported by juridical facts, namely studying and reviewing positive legal provisions in Indonesia related to Judicial Power, especially the authority of judges. The legal theory used as an analysis is the legal theory of progressivism which is associated with the Theory of Dignified Justice.
The findings of this study are (1) the regulation of the authority of judges in assessing authentic deeds as evidence of letters in civil disputes in courts has not been based on the value of dignified justice because Indonesia still uses the legal system of other countries article of the Civil Code, the Law on Judicial Power (2) weaknesses in the regulation of the authority of judges in assessing authentic deeds as evidence of letters in disputes in the current Court is a weakness in substance law, weakness in legal structure, and weakness in legal culture are not in accordance with the legal values of the development of modern society in Indonesia. The system used is closed and limited (3) Reconstruction of the regulation of the authority of judges in assessing authentic deeds as evidence of letters that expand the position of authentic deeds that are perfect and binding, but do not have a coercive and decisive nature in civil disputes in Courts based on the value of Dignified justice adapted to the development of the modern legal system. Reconstruction of legal norms of Article 1870 of the Civil Code.
Keywords: Reconstruction, Regulation, Judge's Authority, Authentic Deed, Dignified Justice
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 Ayat (3) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah sebuah negara hukum.1 Hukum menurut pendapat A.S. Hornby didefinisikan di dalam Oxford Advanced Learners Dictionary, yang berbunyi:
“Law is the rule established by authority or custom, regulating the behavior of members of a community or country”.2
Hukum memiliki sifat memaksa, sehingga hukum dapat di artikan sebagai himpunan peraturan atau perintah serta larangan yang mengurus suatu tata tertib di dalam masyarakat.
Untuk mencapai sebuah keadilan, diperlukan proses peradilan. Peradilan adalah suatu proses yang dilakukan oleh suatu lembaga yang diberi kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan mengadili hingga menyelesaikan perkara yang dilakukan dengan tata cara tertentu, dengan menggunakan prosedural hukum formal yang telah diatur di dalam hukum acara demi tegaknya hukum dan keadilan. Lembaga atau badan atau instansi yang melaksanakan sistem peradilan yang dimaksud disini adalah merupakan lembaga Pengadilan.3 Di Indonesia, terdapat 4 (empat) jenis lingkungan badan peradilan yang berada di
1 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Kebebasan Hakim Perdata Dalam Penemuan Hukum Dan Antinomi Dalam Penerapannya, Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 1, Februari 2011, hlm. 61.
2 Hornby, The Oxford Advanced Learners Dictionary, (New York: Oxford University Press, 1974), hlm. 704.
3 Di akses melalui https://indonesiare.co.id/id/article/jenis-jenis-peradila-di-indonesia
bawah Mahkamah Agung, yaitu4 Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer5, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Yahya Harahap mengatakan bahwa keempat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tersebut merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif. Oleh karena itu, secara konstitusional dapat bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the truth and justice) dalam kedudukannya sebagai pengadilan negara (state court sistem).6 Dalam peradilan umum, Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama berkedudukan di Ibukota Kabupaten/ Kota yang menjadi wilayah kewenangannya. Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat bandingnya7 berkedudukan di Ibukota Provinsi dengan kewenangan meliputi wilayah Provinsi tersebut.8
Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.9 Hakim berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.10 Selain itu, hakim harus mengadili dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.11 Setiap hakim dilarang menolak perkara yang diajukan kepadanya. Apabila
4 Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
5 Di akses melalui
https://www.permadin.or.id/images/pdf/hukumacara/HUKUM%20ACARA%20PERADILAN%2 0MILITER.pdf
6 Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata (hal. 180-181)
7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 jo. Putusan MK Nomor 37/UNDANG- UNDANG-X/2012
8 Di akses melalui https://indonesiare.co.id/id/article/jenis-jenis-peradila-di-indonesia
9 Di akses melalui http://pn-sumbawabesar.go.id/v2/index.php/tentang-pengadilan/tugas-pokok- dan-fungsi
10 Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
11 Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
menolak perkara, maka hakim dapat dituntut karena telah melanggar Kode Etik12 serta tugasnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.13
Landasan utama eksistensi hakim dan adanya kekuasaan kehakiman yang bebas tercantum dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Pasal tersebut pada dasarnya berkaitan dengan kepastian hukum.14
Hakim harus adil. Berlaku adil adalah perintah Allah SWT. Hal tersebut telah disebutkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 58, yang berbunyi:15
“Innallāha ya`murukum an tu`addul-amānāti ilā ahlihā wa iżā ḥakamtum bainan-nāsi an taḥkumụ bil-'adl, innallāha ni'immā ya'iẓukum bih, innallāha kāna samī'am baṣīrā”
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
12 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dapat dilihat pada Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 – 02 SKB/P.KY/IV/2009
13 Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
14 Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
15 Di akses melalui https://tafsirweb.com/1590 -surat- an-nisa- ayat-58.html
Kebebasan hakim merupakan prinsip penting dalam konsep negara hukum16. Keputusan Simposium Universitas Indonesia tentang Konsep Negara Hukum tahun 1966 telah menjelaskan bahwa penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka ialah merupakan ciri khas dari negara hukum.
Menurut Budiardjo, salahsatu ciri negara hukum adalah adanya prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan dijamin secara konstitusional.17 Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan18 dan mengadili perkara tanpa bertindak membeda-bedakan orang.19 Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang ada di dalam kehidupan masyarakat.20
Hukum Perdata menurut Subekti dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan. Perkara perdata ialah mengenai perselisihan hubungan antara perseorangan (subjek hukum) satu dengan yang lain mengenai hak dan kewajiban/perintah dan larangan dalam keperdataan.21 Ciri-ciri perkara perdata yaitu berawal dari adanya perselisihan, terdapat dua belah pihak yang berperkara, petitum gugatan22 dan putusan hakim yang bersifat
16 Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
17 Miriam Budiarjo, 1982, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, hlm. 50.
18 Pasal 3 Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
19 Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
20 Pasal 5 Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman
21 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 9
22 Agar gugatan sah, dengan kata lain tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan, yang berisi pokok tuntutan Penggugat, berupa deskripsi yang jelas yang menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan Penggugat kepada Tergugat. Di akses melalui Hukum Acara Perdata (Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan)”, Yahya Harahap, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal.: 63.
Condemnatoir23, dan putusan hakim mengikat kedua belah pihak dan saksi.24 Perselisihan bisa diselesaikan dengan kekeluargaan atau musyawarah. Jika tidak, maka melalui hakim. Putusan hakim bersifat mengikat seluruh pihak yang berperkara. Pengadilan harus mengedepankan prinsip Peradilan terbuka dan prinsip indepensi peradilan25.26
Jenis perkara perdata yang dapat digugat di Pengadilan ada 2 (dua), yaitu gugatan dan permohonan. Gugatan merupakan suatu surat tuntutan hak yang di dalamnya mengandung suatu sengketa perdata dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lainnya sebagai tergugat. Sedangkan permohonan, menurut Yahya Harahap sebagai suatu surat permohonan permasalahan perdata yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang di dalamnya berisi tuntutan hak oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak
23 Putusan condemnatoir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dengan amar yang bersifat menghukum. Dalam perkara perdata, bentuk hukumannya berupa kewajiban untuk melaksanakan atau memenuhi prestasi yang dibebankan kepada pihak yang terhukum. Prestasi yang dimaksud dapat berupa memberi, berbuat, atau tidak berbuat. Putusan condemnatoir mengakui atau menetapkan adanya hak atas suatu prestasi, sehingga putusan ini memerlukan upaya pemaksa karena pelaksanaannya tergantung pada bantuan dari pihak yang terhukum.Di akses melalui https://berandahukum.com/a/putusan-condemnatoir dalam artikel Putusan Condemnatoir oleh Estomihi FP Simatupang SH MH pada 6 Oktober 2021.
24 Di akses melalui https://www.pn-tanahgrogot.go.id/perkara-perdata/layanan-informasi- publik/perkara-perdata
25 independensi peradilan dapat dimaknai sebagai segenap keadaan atau kondisi yang menopang sikap bathin pengadil (hakim) yang merdeka dan leluasa dalam mengeksplorasi serta kemudian mengejawantahkan nuraninya tentang keadilan dalam sebuah proses mengadili (peradilan).
MERAJUT INDEPENDENSI PERADILAN DALAM SKENARIO PERBAIKAN KESEJAHTERAAN HAKIM Oleh: Mario Parakas, S.H., M.H. di akses melalui https://www.komisiyudisial.go.id/storage/assets/uploads/files/151c9-makalah-tentang-
independensi-peradilan.pdf
26 Di akses melalui https://www.pn-tanahgrogot.go.id/perkara-perdata/layanan-informasi- publik/perkara-perdata
mengandung unsur sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.27
Menurut Yahya Harahap, terdapat 2 (dua) macam jenis gugatan, yaitu wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Terdapat perbedaan prinsip antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum (PMH), yaitu Wanprestasi timbul karena dilanggarnya suatu perjanjian (agreement).28 Hak menuntut ganti kerugian karena wanprestasi membutuhkan penyitaan dengan surat peringatan (somasi)29. Segala ketentuan ganti rugi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Sedangkan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) timbul karena perbuatan yang mengakibatkan kerugian pada orang lain.30 Hak menuntut ganti kerugian karena PMH tidak perlu somasi karena pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi material maupun immaterial.
Di dalam suatu perkara perdata, terdapat Hukum Acara Perdata. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.
Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil, yaitu semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak
27 Yahya Harahap. (2005) “Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”. Sinar Grafika. Jakarta.
28 Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
29 Somasi digunakan untuk menyebut suatu peringatan atau biasa disebut surat teguran. Selain itu, juga disebut pernyataan lalai (in gebreke gesteld). Somasi diatur dalam Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1238. Hal ini hanya dapat dilakukan jika si berhutang telah diberi peringatan karena ia telah lalai dalam menjalankan kewajibannya. Peringatan ini dikeluarkan dalam bentuk tertulis, hal inilah yang disebut dengan somasi. Siapapun bisa mengeluarkan somasi asalkan orang tersebut mempunyai hak untuk melakukan perbuatan hukum. Di akses melalui https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-somasi/.
30 Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.31 Hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta memutuskan dan pelaksanaan dari putusannya.32 Terdapat asas-asas hukum acara perdata di Indonesia, di antaranya yaitu;33
1. Hakim Bersifat Pasif
Dalam asas ini, meliputi beberapa hal, yaitu:
- Hakim bersifat menunggu (Nemo Judex Sine Actore) - Hakim mengadili seluruh gugatan
- Hakim mengejar kebenaran formil
- Para pihak bebas untuk mengajukan atau tidak mengajukan upaya hukum verzet34, banding dan kasasi terhadap putusan pengadilan.
2. Sidang Pengadilan Terbuka Untuk Umum
3. Mendengar Kedua Belah Pihak Para Pihak Yang Berperkara (Audi Et Alteram Partem)
4. Tidak Ada Keharusan Untuk Mewakilkan Para Pihak Yang Berperkara 5. Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan
31 Retno Wulan S dan Iskandar O, Hukum acara perdata dalam teori dan praktek, hal 1 dan 2
32 Sudikno Mertokusumo, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Hal 3.
33 Hukum Acara Perdata: Pengertian, Fungsi, Tujuan Serta Sumbernya. Di akses melalui https://bizlaw.co.id/hukum-acara-perdata/
34 Telah disebutkan sebelumnya dalam HIR Pasal 125 bahwa terhadap putusan tidak hadir (verstek) dapat diajukan perlawanan (verzet), hal inilah yang menjadi dasar hukum adanya upaya hukum verzet. Verzet (perlawanan) adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tergugat ketika dijatuhkan putusan verstek yang tidak didahului oleh upaya hukum banding penggugat, apabila penggugat terlebih dahulu melakukan upaya hukum banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet, namun tergugat diperbolehkan untuk mengajukan banding. Lihat Pasal 8 UU No. 20 Th.
1947. Mukti Arto, Praktek., 251.
Putusan yang kurang atau tidak lengkap memuat alasan-alasan atau pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk memohon banding atau kasasi terhadap putusan itu, supaya dibatalkan.
6. Beracara Perdata Dengan Biaya Pada Asasnya
7. Peradilan Diselenggarakan Dengan Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan.
Salah satu tahapan yang harus dilalui dalam proses litigasi adalah upaya pembuktian. Menjadi kewajiban para pihak berperkara dalam pembuktian adalah meyakinkan mejelis hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau dalam pengertian yang lain yaitu kemampuan para pihak memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan (dibantahkan) dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Oleh karena itulah menjadi suatu asas bahwa barang siapa yang mendalilkan sesuatu maka harus membuktikannya.35
Hukum pembuktian termuat dalam HIR (Herziene Indonesische Reglement) yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177; RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten) berlaku diluar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314; Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan pembuktian akta di bawah tangan; dan BW (Burgerlijk Wetboek) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945.
Hukum acara perdata mengenal beberapa macam alat bukti dan hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, artinya hakim hanya boleh mengambil
35 Pasal 163 HIR
keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Berdasarkan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)/
Pasal 164 HIR, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti tulisan/tertulis/surat, ditempatkan dalam urutan pertama. Hal ini bersesuaian dengan kenyataan bahwa dalam perkara perdata, surat/dokumen/akta memegang peran penting. Alat bukti (bewijsmiddle) adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil atau pendirian yang diatur dalam Pasal 164, 153, 154 HIR dan Pasal 284, 180, 181 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg).
Menurut Pasal 164 HIR/284 RBg, alat bukti yang sah ada 5 (lima) macam36, yaitu:37
1) Surat;
Alat bukti surat terdiri dari 2 (dua), yakni:
a) Akta
Akta adalah alat bukti surat yang diberi tanda tangan, memuat peristiwa dasar suatu hak dan perikatan, yang sengaja dibuat sejak semula untuk pembuktian. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapat disebut sebagai akta diatur dalam Pasal 1886 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.38
Akta terdiri dari:
36 Pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per)
37 Di akses melalui https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lahat/baca-artikel/15189/Mengenal- Jenis-Alat-Bukti-dalam-Hukum-Acara-Perdata.html
38 Pasal 1886 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Akta Otentik;
Pasal 1868 Burgelijk Wetboek (BW) menjelaskan bahwa akta Otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa di tempat dimana akta di buat. Pegawai umum tersebut adalah notaris, polisi, dan hakim.
- Akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat dan disetujui oleh para pihak yang membuatnya serta mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Akta di bawah tangan tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang seperti notaris, namun hanya dibuat oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
b) Surat biasa
Surat biasa merupakan bukti surat yang awalnya tidak untuk dijadikan bukti, namun jika suatu hari alat bukti tersebut bisa membuktikan suatu perkara di pengadilan, maka alat bukti surat tersebut bisa dipergunakan.
2) Saksi-saksi;
Saksi adalah orang yang memberikan keterangan/kesaksian di depan pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar sendiri atau alami sendiri, dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara. Setiap orang boleh menjadi saksi kecuali keluarga sedarah dan
semenda, istri atau suami (meskipun telah bercerai), anak-anak yang umurnya di bawah 15 tahun, dan orang gila,
3) Persangkaan;
Pasal 1916 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) menjelaskan persangkaan adalah Perbuatan yang oleh Undang-Undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan Undang-Undang. Persangkaan diatur dalam Pasal 173 Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”), namun Pasal tersebut hanya menentukan bahwa persangkaan itu dapat digunakan sebagai alat bukti apabila persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan ada persesuaian satu sama lainnya.39
4) Pengakuan
Pengakuan dalam Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) diatur dalam Pasal 174, 175 dan Pasal 176. Apabila melihat ketentuan Pasal 164 Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”), maka jelas pengakuan menurut Undang-Undang merupakan salah satu alat bukti dalam proses penyelesaian perkara perdata. Berdasarkan Pasal 1926 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPer), pengakuan dapat dilakukan langsung oleh orang yang bersangkutan maupun oleh orang lain yang diberi kuasa khusus untuk itu, baik secara lisan maupun tulisan.
5) Sumpah.
39 Pasal 1916 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 155, 156, 157, 158, dan 177 Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”). Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah merupakan suatu pernyataan yang khidmat yang diucapkan pada waktu memberi keterangan dengan mengingat sifat Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa yang memberi keterangan tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Ada 3 (tiga) macam sumpah, yakni:
- Sumpah Pelengkap (Suppletoir)
- Sumpah Penaksiran (Aestimatoir, Schattingseed) - Sumpah Pemutus (Decisoir).
Di dalam perkembangannya seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat, sehingga ketika masyarakat berubah atau berkembang maka hukum harus berubah untuk menata semua perkembangan yang terjadi dengan tertib di tengah pertumbuhan masyarakat modern.40 Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era teknologi informasi,41 dimana hubungan antara masyarakat dalam dimensi global tidak lagi dibatasi oleh batas-batas teritorial negara (borderless). Hadirnya internet dengan segala fasilitas dan program yang menyertainya, seperti e-mail, chating video, video teleconference, situs website, facebook, dan sebagainya, telah memungkinkan dilakukannya komunikasi global tanpa mengenal batas Negara.
Sebagai respon terhadap perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-
40 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime) Urgensi dan Pengaturan Celah Hukumnya, Jakarta, Raja Grafindo, 2012, hlm.ix
41 Ibid, hal. 1
bentuk perbuatan hukum baru, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menegaskan bahwa Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik begitu juga hasil cetak dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik telah diakui menjadi alat bukti hukum yang sah dalam undang-undang tersebut,42 sebagai “perluasan” terhadap alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Akta mempunyai fungsi penting yaitu akta sebagai fungsi formal yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Fungsi alat bukti yaitu akta sebagai alat pembuktian dimana dibuatnya akta tersebut oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian di tujukan untuk pembuktian di kemudian hari.43 Kekuatan pembuktian akta otentik dalam hal ini terdapat 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan ketika akta dibuat yang berkaitan dengan nilai pembuktian, yaitu:44
1. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah
42 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
43 Di akses melalui http://repository.ub.ac.id/id/eprint/9720/7/8.%20BAB%20II.pdf
44 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 72
ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya.
2. Formil (formele bewijskracht)
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak). Pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.45
3. Materiil (materiele bewijskracht)
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan
45 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 73.
yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata demikian. Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk atau di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.
Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.
Melekatnya sifat Otentik yang akan digunakan sebagai bukti yang sempurna sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Pasal 148 Rv46, adalah pilihan yang diharapkan oleh para pihak sebagai pembuat Perjanjian tersebut, akan adanya suatu kepastian hukum dari suatu bukti tertulis yang kuat dalam suatu peristiwa keperdataan apabila timbul dikemudian hari timbul suatu persengketaan di Pengadilan meskipun senyatanya tidak diharapkan akan terjadi persengketaan.
46 Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 148 RV
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 menjelaskan bahwa Notaris adalah pejabat yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya.47 Pasal 1 Ayat 7 menegaskan akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.48 Jasa seorang notaris telah menjadi kebutuhan masyarakat, tidak hanya dalam pembuatan akta, melainkan juga sebagai saksi atau penengah dari transaksi yang dilakukan.49
Akta otentik selalu dianggap benar, kecuali jika dibuktikan sebaliknya dimuka pengadilan. Pembuktian diatur dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Alat bukti tulisan terletak pada urutan pertama karena jenis surat atau akta memiliki peran yang sangat penting dalam perkara perdata. Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan. Dalam kegiatan yang berhubungan dengan bidang hukum perdata, maka sengaja dicatatkan atau dituliskan dalam suatu surat atau akta. Hal ini dilakukan dengan tujuan yaitu surat atau akta tersebut dapat dipergunakan.
Partij acta merupakan akta yang dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, dan pejabat tersebut menerangkan atas apa yang dilihat serta dilakukannya. Partij acta memiliki kekuatan pembuktian alat bukti surat materiil bagi kepentingan dan terhadap pihak ketiga. Kekuatan pembuktian alat bukti surat materiilnya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Apabila hakim menerima akta tersebut, maka tidak perlu alat bukti surat tambahan lagi. Satu akta otentik yang
47 Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
48 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
49 Edmon Makarim, 2014, Notaris dan Transaksi Elektronik Kajian Hukum Tentang Cyber Notary atau Elektronik Notary, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 6.
diajukan pihak sebagai alat bukti surat sudah cukup bagi hakim untuk menyatakan gugatannya teralat bukti surat atau sangkalannya teralat bukti surat dan tidak diperlukan membebankan pihak untuk menambah Alat bukti surat lain untuk mendukung dalil gugatan atau dalil bantahan50nya (vide asas volledig brindinde).
Nilai kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna dan mengikat (vide Pasal 165 HIR/Pasal 285 RBg), artinya memiliki kekuatan pembuktian alat bukti surat lahiriah, formil dan materiil terhadap pihak ketiga, kecuali apabila pihak lawan dapat membuktikan alat bukti surat akta otentik tersebut tidak benar. Jika pihak lawan tidak dapat membuktikan alat bukti surat ketidakbenaran akta tersebut, maka hakim tidak boleh menolak akta tersebut, jika pihak lawan dapat membuktikan alat bukti surat ketidakbenaran akta otentik tersebut, maka nilai otentiknya jatuh menjadi alat bukti surat permulaan. Sehingga apabila akta otentik nilainya jatuh menjadi alat bukti surat permulaan maka akta tersebut harus didukung oleh suatu alat bukti surat lain sehingga nilainya menjadi otentik kembali, hakim dapat menganulir/menganggap akta tersebut sebagai alat bukti surat bebas, yang kekuatan pembuktian alat bukti suratnya terserah kepada penilaian hakim.
Sistem hukum pembuktian yang dianut di Indonesia adalah tertutup dan terbatas. Para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau bentuk alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Sumber hukum yang menjadi acuan dan pertimbangan
50 Bantahan yaitu upaya tangkisan atau pembelaan yang diajukan tergugat terhadap pokok perkara.
Pengertian ini dapat pula diartikan sebagai Jawaban tergugat mengenai pokok perkara dan Bantahan yang langsung ditujukan tergugat terhadap pokok perkara. Intisari (esensi) dari bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik secara lisan maupun secara tulisan dengan maksud untuk menyanggah atau menyangkal kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawabannya. Dengan kata lain, bantahan terhadap pokok perkara disampaikan dalam jawaban tergugat untuk menolak dalil gugatan penggugat. Di akses melalui https://www.hukumacaraperdata.com/gugatan/bantahan-terhadap-pokok-perkara/
bagi penegak hukum terutama hakim dalam menjalankan hukum acara untuk memutuskan suatu perkara perdata berdasarkan pada:
1. Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Darurat 1/1951
Adapun yang dimaksud oleh Undang-Undang Darurat tersebut tidak lain adalah Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau reglemen Indonesia yang diperbarui: S. 1848 Nomor 16, S. 1941 Nomor 44) untuk daerah Jawa dan Madura serta Rechtsglement voor de Buitengewesten (RBg atau reglemen daerah seberang: S. 1927 Nomor 227) untuk daerah luar Jawa dan Madura. Jadi, untuk acara perdata, yang dinyatakan resmi berlaku adalah Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura. Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering (BRv atau reglemen acara perdata, yaitu hukum acara perdata untuk golongan Eropa: S.
1847 Nomor 52, 1849 Nomor 63), merupakan sumber juga dari hukum acara perdata. Supomo berpendapat bahwa dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan hooggerechtshof, Rv sudah tidak berlaku lagi sehingga dengan demikian hanya Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) dan RBg yang berlaku.51 2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang tersebut mengatur susunan Mahkamah Agung, kekuasaan Mahkamah Agung, serta hukum acara Mahkamah Agung yang termasuk
51 Sudikno Mertokoesoemo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 6- 7.
pemeriksaan kasasi, pemeriksaan tentang sengketa kewenangan mengadili, dan peninjauan kembali. Undang-Undang ini memuat ketentuan hukum acara perdata.
4. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum
Mengatur susunan serta kekuasaan pengadilan di lingkungan peradilan umum dan sebagai sumber hukum acara perdata.
5. Yurisprudensi
Yurisprudensi52 merupakan sumber pula dari pada hukum acara perdata, antara lain dapat disebutkan putusan Mahakamah Agung tertanggal 14 April 1971 Nomor 99 K/Sip/197153 yang menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada Burgelijk Wetboek (BW) dengan tidak membedakan antara permohonan untuk mendapatkan izin guna mengajukan gugat perceraian dan gugatan perceraian itu sendiri yang berarti bahwa hakim harus mengusahakan perdamaian di dalam persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 HOCI.
6. Adat Kebiasaan Hakim dalam Memeriksa Perkara
Wirjono berpendapat bahwa adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim sebagai sumber dari hukum acara perdata.54 Adat kebiasaan yang tidak tertulis dari hakim dalam melakukan pemeriksaan itu akan beraneka ragam. Tidak mustahil adat kebiasaan hakim berbeda, bahkan bertentangan dengan adat
52 Yurisprudensi diartikan putusan-putusan pengadilan. Menurut S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti juga peradilan pada umumnya dan ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.
53 J.I. Pen.III/71, hlm. 16
54 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm. 9
kebiasaan hakim yang lain dari pengadilan yang sama dalam melakukan pemeriksaan. Adat kebiasaan hakim yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan tidak akan menjamin kepastian hukum.
7. Perjanjian Internasional
Terdapat kesepakatan mengadakan kerja sama dalam menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan memperoleh alat bukti surat-alat bukti surat dalam hal perkara-perkara hukum perdata dan dagang. Warga negara kedua belah pihak akan mendapat keleluasaan beperkara dan menghadap ke pengadilan di wilayah pihak yang lainnya dengan syarat-syarat yang sama, seperti warga negara pihak itu. Masing-masing pihak akan menunjuk satu instansi yang berkewajiban untuk mengirimkan dan menerima permohonan penyampaian dokumen panggilan. Instansi untuk Republik Indonesia adalah Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman,
8. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Merupakan sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata.
Akan tetapi, doktrin bukanlah hukum. Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu menyebabkan putusan hakim bernilai objektif juga.
9. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Mengatur hukum acara perdata dan hukum perdata materiil tidaklah mengikat hakim sebagaimana halnya Undang-Undang. Akan tetapi, instruksi
dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) merupakan sumber tempat hakim yang dapat menggali hukum acara perdata ataupun hukum perdata materiil.55 Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat penting dan sangat komplek dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontsruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut (ultimate absoluth), tetapi bersifat kebenaran relative atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikian tetap menghadapi kesulitan.56
Putusan yang dijatuhkan hakim harus jelas agar tidak dikategorikan sebagai putusan yang tidak cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd). Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan Putusan pengadilan harus memuat alasan dan dasar putusan, serta memuat Pasal tertentu dari peraturan per Undang-Undangan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar mengadili. Menurut Pasal 178 Ayat (1) Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”), hakim wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara. Untuk memenuhi kewajiban, Pasal 5 Undang-Undang tentang Kekuasan Kehakiman memerintahkan hakim
55 Bandingkan dengan Subekti, Hukum Acara Perdata, hlm. 6
56 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm. 498
untuk menggali nilai, mengikuti, dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.57
Putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis. Akibatnya putusan dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. Begitu pula pertimbangan yang kontradiksi, putusan tidak memenuhi syarat sebagai putusan yang jelas dan rinci, sehingga menyatakan putusan yang dijatuhkan melanggar asas yang digariskan Pasal 178 Ayat (1) Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”)/189 Ayat (1) RBg dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Nilai dasar Pancasila harus dipahami sebagai batas pertanggungjawaban dan ukuran kebebasan hakim yang berguna untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pancasila sebagai nilai fundamental mengandung pengertian abstrak, umum, dan universal.58 Nilai filsafat dalam Pancasila dapat dijadikan alat refleksi makna hakiki kebebasan hakim dalam konteks rule of law di Indonesia.
Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi putusan pengadilan. Tujuan putusan pengadilan menurut Artidjo Alkostar, yaitu:
57 Undang-Undang telah menentukan secara tegas apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti surat. Pembatasan kebebasan juga berlaku bagi hakim dimana hakim tidak bebas dan leluasa Penerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti surat. Apabila pihak yang berperkara mengajukan alat bukti surat diluar ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang yang mengatur, hakim harus menolak dan mengesampingkanya dalam penyelesaian perkara.
58 Soejadi, Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di Indonesia, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,2003.
a. Harus melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak (penggugat vs tergugat; terdakwa vs penuntut umum), dan tidak ada lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat menegaskan suatu putusan pengadilan;
b. Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang tertunda itu merupakan ketidakadilan;
c. Harus sesuai dengan tujuan Undang-Undang yang dijadikan dasar putusan pengadilan tersebut;
d. Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat;
e. Harus ada fairness, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.59
Cara untuk melawan putusan hakim ialah para pihak yang bersangkutan melakukan upaya hukum. Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang- undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim60. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dengan 2 (dua) macam upaya hukum, antara lain upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa adalah perlawanan terhadap putusan verstek, banding, dan kasasi.
Pada asasnya, upaya hukum ini menangguhkan eksekusi. Pengecualian adalah apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad ex. Pasal 180 (1) H.I.R), maka meskipun diajukan upaya biasa, namun eksekusi akan berjalan terus. Upaya hukum luar biasa pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi yang termasuk upaya hukum luar biasa adalah perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial dan peninjauan kembali.
Pihak ketiga adalah orang yang semula bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan, tetapi karena ia merasa pihak yang berkepentingan, misalnya ia
59 Artidjo Alkostar, Dimensi Kebenaran Dalam Putusan Hakim, varia peradilan 281, 2008, h. 37
60 Retno Wulan Sutantio. 2009. Hukum Acara Perdata,cetakan kesebelas, Bandung: CV. Mandar Maju
merasa bahwa barang yang dipersengketakan itu atau sedang disita itu adalah miliknya, bukan milik tergugat.61
Salah satu teori yang harus diterapkan oleh Hakim untuk mengatasi kasus perdata terutama yang terdapat upaya hukum ialah dengan menggunakan Teori Keadilan Bermartabat. Teori Keadilan Bermartabat adalah suatu Grand Teori Hukum. Sebagai teori hukum baru, Keadilan Bermartabat berfungsi menjelaskan dan memberi justifikasi suatu sistem hukum antara lain suatu postulat62 bahwa hukum itu ada, dan tumbuh dalam jiwa bangsa (Volksgeist).
Teori Keadilan Bermartabat tidak anti terhadap teori-teori yang telah ada dan dirujuk dalam menjelaskan hukum di Indonesia. Namun Keadilan Bermartabat berusaha memberi teladan untuk berhukum, termasuk mencari, dan membangun atau melakukan konstruksi maupun rekonstruksi atas hukum serta penjelasan tentang hukum itu dari falsafah atau filosofis yang digali dari Indonesia, tidak harus bergantung pada teori sistem hukum yang lain. Pancasila sebagai jiwa bangsa terdiri dari lima sila, yang menjadi sumber dari segala sumber hukum, atau menjadi Kesepakatan Pertama.63 Keadilan yang memanusiakan manusia disebut sebagai teori keadilan bermartabat. Dalam artian bahwa meskipun seseorang telah bersalah secara hukum namun orang tersebut harus tetap diperlakukan sebagai manusia
61 Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, cetkan pertama, Jakarta: Sinar Grafika
62 Postulat yaitu pernyataan tentang kebenaran yang “sudah pasti jelas dengan sendirinya dan oleh sebab itu tak akan terbantahkan”. Soetandyo Wignjosoebroto, Pergeseran Paradigma dalam Kajian- kajian Sosial dan Hukum, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Setara Press, Malang, 2013, fn. 14, h. 46.
63 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum Pemikiran menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Cetakan ke-1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, h. 367.
sesuai dengan hak-hak yang melekat pada dirinya. Sehingga keadilan bermartabat merupakan keadilan yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban.64
Pentingnya penyelenggaraan peradilan berkenaan dengan kepastian hukum.
Kepastian hukum merupakan upaya mencarikan keseimbangan antara berbagai kehendak bebas yang bertentangan satu sama lain. Berbagai kehendak bebas yang bertentangan satu sama lain dapat memicu terjadinya hukum rimba, dimana yang kuat menjajah yang lemah.65
Untuk mencapai sebuah keputusan, pertimbangan Hakim sangat dibutuhkan dalam menjatuhkan sebuah putusan diharapkan dapat menjadi solusi atas sebuah sengketa antara para pihak yang bersangkutan. Putusan Hakim diyakini mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga harus mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan.66 Dalam keputusannya, hakim harus dapat memberikan keadilan, salah satunya hakim harus dapat menerapkan teori keadilan bermartabat.
Dalam kenyataannya, tidak semua hukum acara yang telah ada dapat menyelesaikan segala permasalahan hukum yang dihadapi oleh para pencari keadilan. Terutama dalam sidang pemeriksaan perkara perdata, maka hakim tetap dituntut untuk menyelesaikan acara persidangan hingga akhir walaupun ditengah acara persidangan menemui kendala kekosongan hukum acara atau sebagainya.67 Oleh karena itu, penulis akan mengkaji beberapa putusan yang telah ditetapkan oleh
64 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum (Nusa Media 2015).
65 Di akses melalui http://repository.unair.ac.id/35910/
66 Ali Ahmad Chomzah. Hukum Pertanahan I, Pemberian Hak atas Tanah Negara (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), h. 15
67 Joedi Prajitno, 2009, Kewenangan Hakim dalam Mengadili Perkara Perdata Pada Pengadilan Negeri.
Hakim di berbagai daerah untuk melihat dan mengkaji kekuasaan kewenangan hakim atas upaya hukum yang ada pada beberapa putusan berikut ini, yaitu:
1) Penetapan Eksekusi Pengadilan Negeri Medan Nomor 08/Eks.Hip/1993/PN.Mdn. jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3030 K/Pdt/1994 jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 486 PK/Pdt/2002.
2) Putusan Nomor 485/Pdt.G/2015/PN.Dps jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 115/PDT/2016/PT.Dps jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1068 K/Pdt/2017 jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 181 PK/Pdt/2019.
3) Putusan Nomor 334/Pdt.G/2013/PN.Smg jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3185 K/Pdt/20l4.
4) Putusan Nomor 263/Pdt.G/2012/PN.Dps jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 2618 K/Pdt/2013 jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 778 PK/Pdt/2016.
Untuk mencapai sebuah keputusan, pertimbangan Hakim sangat dibutuhkan dalam menjatuhkan sebuah putusan diharapkan dapat menjadi solusi atas sebuah sengketa antara para pihak yang bersangkutan. Putusan Hakim diyakini mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga harus mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan.68 Kelemahan regulasi tentang kekuasaan kehakiman dibuktikan dengan adanya
68 Ali Ahmad Chomzah. Hukum Pertanahan I, Pemberian Hak atas Tanah Negara (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), h. 15
keputusan hakim dalam setiap tingkatan peradilan kemungkinan berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan pemahaman dan kebebasan hakim dalam menilai alat bukti berbeda-beda. Selain itu, alat bukti hanya dapat dilawan dengan alat bukti yang kedudukannya lebih kuat dan sah. Sehingga setiap adanya upaya hukum banding atau kasasi, maupun upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali, maka hakim harus menilai ulang terhadap kedudukan alat bukti para pihak dalam pembuktian di persidangan.
Urgensi diperlukannya rekonstruksi kewenangan hakim dalam menilai alat bukti tersebut dapat dilakukan dikarenakan sifat dasar dari Akta Otentik tersebut memang sempurna dan mengikat, namun bukanlah memaksa dan menentukan.69 Sehingga, penulis akan mengkaji tentang kewenangan hakim dalam memutus perkara tersebut dan mengkaitkannya dengan teori keadilan bemartabat. Selain itu, sistem keadilan bermartabat lebih memanusiakan manusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sudah tidak cocok menggunakan sistem hukum yang lama, dimana Indonesia saat ini masih menggunakan sistem peradilan yang diterapkan dari negara lain. Kondisi masyarakat Indonesia serta kesadaran hukum masyarakat Indonesia tentu berbeda dengan kondisi masyarakat di negara lainnya.
Sudah saatnya Indonesia menerapkan sistem yang berasal dari negara sendiri, yaitu sistem keadilan bermartabat.70
69 Yahya Harahap, Loc.Cit, hal 581
70 Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum (Nusa Media 2015).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan belum berbasis nilai keadilan bermartabat?
2. Apa saja kelemahan dalam regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa di Pengadilan saat ini?
3. Bagaimana rekonstruksi regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan berbasis nilai Keadilan Bermartabat?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan oleh peneliti dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan belum berbasis nilai keadilan bermartabat.
2. Untuk memahami kelemahan dalam regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa di Pengadilan saat ini.
3. Untuk merekonstruksi regulasi kewenangan Hakim dalam menilai akta otentik sebagai alat bukti surat dalam sengketa keperdataan di Pengadilan berbasis nilai keadilan Bermartabat.
D. MANFAAT PENELITIAN
Mengungkapkan secara spesifik kegunaan yang hendak dicapai dari:
1. Kegunaan teoretis, yaitu kegunaan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu hukum, penemuan konsep atau teori baru dalam hakim memutuskan suatu perkara atau dalam pelaksanaan hukum pembuktian alat bukti surat terutama mengenai akta otentik.
2. Kegunaan praktis yaitu pertalian dengan masalah- masalah yang diteliti yang bermanfaat bagi pengadilan sebagai informasi-informasi tambahan dalam penyelenggaraan hukum acara agar terlaksana sebagaimana mestinya
E. KERANGKA KONSEPTUAL 1. REKONSTRUKSI
a. Pengertian Rekonstruksi
Menurut B.N Marbun, rekonstruksi ialah pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula atau penggambaran kembali dari bahan- bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian seperti semula.71 Dengan kata lain, rekonstruksi merupakan pengubahan suatu susunan menjadi susunan yang lain namun masih dalam satu subjek yang sama atau lingkup yang sama, guna mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. Dalam Black Law Dictionary, reconstruction is the act or process of rebuilding, recreating, or
71