• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONSTRUKSI REGULASI KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYADAPAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERBASIS PADA NILAI KEADILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "REKONSTRUKSI REGULASI KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYADAPAN SEBAGAI UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERBASIS PADA NILAI KEADILAN"

Copied!
297
0
0

Teks penuh

Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi peraturan mengenai kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyadapan dalam upaya pembuktian adanya tindak pidana korupsi berdasarkan nilai keadilan. Penelitian ini membahas tentang rekonstruksi peraturan mengenai kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyadapan dalam upaya pembuktian adanya tindak pidana berdasarkan nilai keadilan. Penelitian ini membahas mengenai rekonstruksi peraturan mengenai kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyadapan dalam upaya pembuktian adanya suatu tindak pidana berdasarkan nilai keadilan 4 Mohammad.

Penelitian ini membahas tentang rekonstruksi peraturan mengenai kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyadapan dalam upaya pembuktian adanya tindak pidana berdasarkan nilai keadilan J.

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang
  • Rumusan Masalah
  • Tujuan Penelitian
  • Manfaat Penelitian
  • Kerangka Konseptual
  • Kerangka Teoritik
  • Kerangka Pemikiran
  • Metode Penelitian
    • Orisinalitas
  • Sistematika penulisan

Upaya Pembuktian Adanya Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Saat ini Bab V Rekonstruksi aturan kewenangan penuntutan untuk melakukan penyadapan dalam upaya pembuktian adanya tindak pidana korupsi berdasarkan nilai keadilan dan Bab VI Kesimpulan.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Tentang Kewenangan

Dengan demikian akan muncul kewibawaan berkaitan dengan kewibawaan yang dimiliki oleh pemimpin, kewenangan tersebut dapat berbentuk lisan maupun tertulis, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan disetujui oleh semua pihak. Sedangkan kewenangan penafsiran konstitusi yang bersifat persuasif ditinjau dari sumber dan kekuatan pengikat yuridis dilaksanakan oleh: Perundang-undangan (disebut penafsiran autentik); Hakim atau kekuasaan. Pemberian mengacu pada pemberian wewenang baru, sedangkan delegasi mengacu pada pendelegasian wewenang yang ada (oleh suatu badan yang telah memperoleh pemberian wewenang kepada badan lain; dengan demikian pendelegasian secara logis selalu didahului dengan atribusi).

Kewenangan pengakuan biasanya dituangkan dalam pembagian kekuasaan negara melalui konstitusi, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat merupakan kewenangan yang timbul dari “devolusi”.59. Dalam hal ini lembaga legislatif menentukan kewenangan pemerintahan yang baru dan memberikannya suatu organ pemerintahan beserta kewenangannya, baik kepada organ yang sudah ada maupun yang dibentuk pada saat itu. Untuk imputasi, hal ini hanya dapat dilakukan oleh badan legislatif asli (sebelum Konstitusi, parlemen yang membuat undang-undang dalam arti formal, mahkota dan organ organisasi peradilan umum), sedangkan badan legislatif diwakili (mahkota, menteri, pemerintah). ) . badan-badan yang berwenang untuk itu dan berkaitan dengan kekuasaan pemerintahan) dilaksanakan secara bersama-sama.

Berdasarkan ketiga sumber kewenangan tersebut, atribusi merupakan sumber yang biasanya digambarkan melalui pemisahan kekuasaan oleh UUD, berbeda dengan delegasi dan mandat, yaitu kewenangan yang berasal dari pendelegasian wewenang. Pengaturan mengenai kewenangan yurisdiksi Kejaksaan Indonesia dapat dilihat pada ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Dalam undang-undang no. 11 Tahun 2021, ditegaskan pasal 30, 30A, 30B, dan 30C merupakan kewenangan Jaksa di bidang penegakan hukum.

Tinjauan Tentang Kejaksaan

Dalam Pasal 1 ayat 1 KUHAP disebutkan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. Jaksa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang khusus yang mengatur tentang penyadapan dan menyelenggarakan pusat pengawasan di bidang tindak pidana;

Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, namun tidak semua surat dapat dijadikan alat bukti dalam suatu perkara pengadilan. Kekuatan pembuktian dari bukti tidak langsung mempunyai kekuatan yang sama dengan bukti-bukti lainnya yaitu bersifat bukti independen. Keterangan terdakwa merupakan alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia, dasar keterangan terdakwa sebagai alat bukti terdapat dalam Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP.

Hal ini membuat tindak pidana korupsi sangat sulit diungkap, apalagi mencari bukti-bukti agar pelakunya bisa diadili. Hal inilah yang membedakan alat bukti dalam KUHAP dengan undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Hal ini sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyebutkan ada kekhususan mengenai alat bukti. Hasil penyadapan yang dilakukan KPK hingga saat ini merupakan bukti indikatif sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A di atas.

Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

REGULASI KEWENANGAN KEJAKSAAN MELAKUKAN

REGULASI KEWENANGAN KEJAKSAAN MELAKUKAN PENYADAPAN

31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang mulai berlaku pada tanggal 16 Agustus 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor. Ketentuan yang membatasi kewenangan penuntutan dalam menangani tindak pidana korupsi diatur dalam KUHAP, UU-. Kewenangan yang diberikan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi harus tetap berlandaskan pada perlindungan hak asasi manusia.

Tindak pidana korupsi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Korupsi jenis ini dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi jenis ini diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pengaturan terkait intelijen penegakan hukum (judicial intelijen) diselaraskan dengan Undang-Undang yang Mengatur Intelijen Negara. Berdasarkan penjelasan yang tertuang dalam undang-undang nomor 11 tahun 2021 tentang perubahan atas undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada tahun 2021. Jaksa Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan pidana dan melaksanakan putusan hukum.

Kewenangan Jaksa untuk melakukan penyadapan dalam tindak pidana korupsi didasarkan pada Undang-undang Kejaksaan Republik Indonesia (Disertasi Doktor, Universitas Sriwijaya). Penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ketiga, kewenangan penyadapan dan permintaan penyadapan dalam rangka penegakan hukum harus ditetapkan dengan undang-undang.

Kejaksaan berwenang melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang khusus yang mengatur tentang penyadapan dan menyelenggarakan pusat pengendalian di bidang tindak pidana.”

IMPLEMENTASI KEWENANGAN KEJAKSAAN MELAKUKAN

Kewenangan penyadapan dalam rangka penuntutan mempunyai dasar hukum yang kuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 30C huruf i UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang berbunyi: “Kejaksaan, selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, 30a, dan 30b: (i) melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang khusus yang mengatur penyadapan dan menyelenggarakan pusat pengawasan di bidang kejahatan. Kewenangan penyadapan jaksa sebelumnya hanya sebatas fungsi penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Permasalahan di atas timbul akibat adanya perluasan kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyadapan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan Baru) yang tidak dirumuskan secara jelas. diatur, tidak lengkapnya pemenuhan peristiwa-peristiwa hukum yang menimbulkan ketidakjelasan norma atau “norma yang tidak jelas”, yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan norma-norma tersebut kabur atau tidak jelas.

Dan juga aturan undang-undang hanya mengatur kewenangan saja dan tidak mengatur tata cara dan mekanisme mengenai mekanisme penyadapan yang dilakukan oleh jaksa. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; 103. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi; 106.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Mengubah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Ketentuan Peraturan Negara menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; 107. Secara khusus mekanisme penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tidak lepas dari bidang intelijen penegakan hukum, sehingga Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang khusus yang melarang penyadapan mengatur dan menyelenggarakan pusat kendali di bidang penyadapan. tindakan kriminal. Dapat disimpulkan bahwa mekanisme penyadapan hanya dapat dilakukan pada domain tertentu dan tidak pada sektor yang tidak diatur dalam undang-undang.

REGULASI KEWENANGAN KEJAKSAAN MELAKUKAN PENYADAPAN

Sebelumnya, kewenangan jaksa dalam melakukan penyadapan hanya sebatas bertindak sebagai penyidik ​​tindak pidana tertentu. Tanpa adanya legalitas izin tersebut, tidak mungkin dilakukan penyadapan untuk membasmi suatu tindak pidana. Secara khusus, mekanisme penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tidak lepas dari bidang intelijen penegakan hukum sehingga kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyadapan berdasarkan hal tersebut.

Lembaga yang dapat memberantas tindak pidana korupsi seperti diketahui adalah KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Tindakan yang dapat dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh setiap institusi adalah pencegahan dan penindakan. Kejaksaan Tipikor berwenang melakukan penyidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

Kewenangan tersebut sama dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Tipikor, karena dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Padahal para pelaku tindak pidana korupsi di era digital ini menggunakan fasilitas dan teknologi yang canggih. Pengaturan mengenai kewenangan intersepsi Kejaksaan yang diatur dalam pasal 30 C huruf i, yaitu: “melakukan intersepsi berdasarkan undang-undang khusus yang mengatur intersepsi dan penyelenggaraan pusat pengawasan di bidang tindak pidana” belum berdasarkan nilai-nilai. keadilan.

ALAT BUKTI MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM

Dalam buku Ensiklopedia Hukum Islam, kata bayyinah secara etimologis diartikan sebagai informasi, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang benar (benar), sedangkan secara teknis berarti alat bukti di pengadilan.119. Definisi yang dikemukakan Ibnu Qayyim pada prinsipnya tidak menitik beratkan pada alat bukti, melainkan mencakup segala sesuatu dalam bentuk apa pun sehingga dapat dianggap sebagai kategori alat bukti. Sebagaimana diketahui, kesaksian adalah bukti pribadi. Benar atau tidaknya keterangan para saksi, dengan demikian, sepenuhnya diserahkan kepada hakim.

Qarinah merupakan bukti yang diperdebatkan oleh para ulama atas tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Menurut TM Hasbi Ash-Shiddieqy, alat bukti yang diperlukan dalam suatu persidangan ada tiga macam, yaitu: iqrar' (pengakuan), kesaksian dan sumpah.132. Menurut mazhab Hanafi disebutkan bahwa: “Alat pembuktiannya ada lima, yaitu: sumpah, pengakuan, ingkar sumpah, qasamah, bayyinah”133.

Menurut Sejjid Sabik, beliau mengatakan bahawa “alat pembuktian ialah: pengakuan, mati syahid, surat rasmi yang mempunyai kekuatan hukum tetap”.135. Menurut Ibn Rushd dalam kitabnya "Bidayatul Mujtahid" mengatakan bahawa "alat pembuktian ialah: saksi, sumpah, salinan, pengakuan atau sesuatu yang terdiri daripada salah satu keterangan yang lain". Oleh itu para ulama berbeza pendapat dalam ungkapan dalil, tetapi setelah membaca huraian di atas dalam kitab masing-masing, dapatlah disimpulkan bahawa terdapat enam dalil dalam hukum tatacara Islam.

KELEMAHAN-KELEMAHAN REGULASI KEWENANGAN KEJAKSAAN

Kelemahan Dalam Segi Substansi Hukum

Kelemahan Dalam Segi Struktur Hukum

Kelemahan dalam Segi Budaya Hukum

Pengaturan Penyadapan dalam Perbandingan di Berbagai Negara

Rekonstruksi Nilai Keadilan Dalam Regulasi Kewenangan Kejaksaan Melakukan

Rekonstruksi Regulasi Kewenangan Kejaksaan Melakukan Penyadapan Dalam

PENUTUP

Simpulan

Saran

Implikasi

Referensi

Dokumen terkait

Kesulitan pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam tindak pidana korupsi adalah karena unsur tersebut hanya mengandung pengertian sifat melawan

We have computed confidence intervals based on the Wald procedure, profile likelihood and bootstrap methods for the parameters of the model 3.1, based on the week 2 data in Table A3,