• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Menggagas Studi Kontemporer Hukum Adat1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Relevansi Menggagas Studi Kontemporer Hukum Adat1"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

Relevansi Menggagas Studi Kontemporer Hukum Adat

1

Rikardo Simarmata2

Pengantar

Kritik kontemporer terhadap studi hukum adat dan sekaligus kurikulum hukum adat umumnya menyinggung mengenai poin kesenjangan. Dikemukakan bahwa studi atau kurikulum hukum adat masih berkutat pada hukum adat masa lampau sementara dalam kenyataanya hukum adat telah berkembang seturut zaman. Oleh kalangan pegiat Organisasi Non Pemerintah (Ornop), studi hukum adat yang dianggap ketinggalan zaman tersebut merujuk pada seluruh pemikiran dalam studi hukum adat yang dikembangkan di masa kolonialisme. Dalam kaitan dengan ini, studi hukum adat dianggap tidak mengikuti karakter dasar hukum adat yangdinamis dan fleksibel yang membuatnya cepat merespon perubahan.

Tradisi kritik atas studi hukum adat sebenarnya bukan hanya penomena beberapa dekade terakhir. Kritik atas studi hukum adat bahkan sudah tumbuh di masa- masa awal pertumbuhan studi hukum adat di awal abad ke XX. Mirip dengan poin yang disampaikan oleh kritik kontemporer atas studi hukum adat, kritik di awal abad ke XX mengangkat poin keakuratan studi hukum adat untuk menggambarkan realitas sesungguhnya.3Tradisi kritik atas studi adat dan hukum adat kemudian berlanjut di masa setelah kolonialisme berakhir, mulai dekade 50-an. Berbeda dengan tradisi kritik di awal abad XX, kritik di era ini lebih mengangkat aspek idiologis dan politis sebagai motif studi adat dan hukum adat. Kritikus di periode ini melihat studi adat dan hukum

1 Disampaikan pada Lokakarya Reorientasi Pengajaran dan Studi Hukum Adat, kerjasama Epistema Institute dan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 7-8 Maret 2013. Sebagian ide dasar yang dikemukakan dalam tulisan ini merupakan pengembangan lanjut dari makalah penulis berjudul, ‘Menyoal Pendekatan Binar dalam Studi Adat’, LSD Edisi 2013.

2 Penulis menyelesaikan S3 di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda dan anggota Perkumpulan HUMA, Jakarta.

3 Gambaran mengenai kritik ini lihat misalnya Burns (1978) dan Cribb (2010).

(2)

2

adat bermotif idiologis dan politis yaitu sebagai agenda kolonialis untuk mengkonstruksi hukum adat menurut logika-logika pemikiran hukum modern.4

Kritik atas studi hukum adat yang mengangkat poin kesenjangan memiliki sebuah asumsi bahwa, sekalipun melakukan adaptasi dengan sistem-sistem hukum lain, eksistensi hukum adat sebagai sistem tidak berubah. Dengan kata lain, resepsi hukum adat terhadap sebagian elemen-elemen dari sistem hukum lain (asas, lembaga, norma) tidak mengubah hukum adat sebagai sebuah sistem. Menurut penjelasan teoritik, hal demikian dapat terjadi karena resepsi tersebut dilakukan oleh hukum adat dengan menerima elemen sistem hukum lain dengan cara meleburkannya ke dalam sistem hukum adat (Chiba 1986, Harding 2002 dan Hoekema 2005, Hoekema 2008). Elemen- elemen luar tersebut diterima dan dibuat menyesuaikan dengan logika dan atau cara pandang hukum adat.

Pandangan dengan asumsi di atas terlihat lebih kuat pada dua kalangan yaitu: (i) pegiat Ornop yang menggunakan pendekatan romantisme, dan (ii) kelompok yang menggunakan pendekatan doktrinal. Kuatnya pandangan tersebut pada kedua kalangan tersebut terjadi karena hukum adat lebih didekati sebagai sistem bukan sebagai hasil dari proses (Galanter 1981). Pada kalangan yang menggunakan pendekatan doktrinal, hukum adat bahkan, barangkali, dilihat sebagai sistem tertutup yang mampu menyediakan solusi internal untuk menyelesaikan semua masalah yang muncul (self- contained).

Tulisan ini bermaksud mengajak para penstudi hukum adat untuk mendalami pemikiran yang melihat hukum adat selalu berubah akibat melakukan adaptasi, akomodasi dan resepsi emelem-elemen sistem hukum lain. Berbeda dengan pemikiran di atas, yang melihat adaptasi, akomodasi dan resepsi yang dilakukan hukum adat tidak mengubah watak hukum adat sebagai sebuah sistem, tulisan ini berpendapat bahwa adaptasi, akomodasi dan resepsi tersebut juga mempengaruhi watak hukum adat sebagai sebuah sistem. Perubahan tersebut akan tampak lebih jelas apabila hukum adat dianggap sebaga inner system sebagaimana pendekatan doktrinal menggambarkan hakekat sistem hukum formal. Dalam rangka menunjukan bahwa adaptasi tersebut

4 Kritik yang dikemukakan untuk konteks customary law di sejumlah negara Afrika lihat misalnya Snyder (1981) dan Merry (1991). Kritik dengan poin yang sama untuk kasus Asia Tenggara Peluso dan Vandergeest (2001) dan untuk kasus Indonesia lihat misalnya Lev (1985).

(3)

3

berdampak pada watak hukum adat sebagai sistem (inner system), tulisan ini akan menggunakan dua ukuran, yaitu: (i) seberapa jauh konsistensi dan kepaduan masih ada;

dan (ii) seberapa jauh otoritas penegakan masih berada pada institusi adat.

Penggunaan indikator pertama dapat juga digunakan untuk keperluan mengkontruksi studi hukum adat sebagai sebuah disiplin ilmu. Panduan pertanyaan untuk melakukan konstruksi tersebut adalah seberapa jauh pendekatan doktrinal dapat digunakan dalam studi hukum adat dan bagaimana pembagian peran antara pendekatan doktrinal dengan pendekatan-pendekatan sosial terhadap studi hukum adat.

Tulisan ini akan dimulai dengan menggambarkan pendekatan-pendekatan ilmu sosial terhadap hukum yang telah melahirkan sejumlah teori dan konsep untuk menjelaskan relasi antar sistem hukum, khususnya relasi antara customary law/hukum adat dengan sistem hukum formal. Bagian selanjutnya berisi gambaran keterbatasan- keterbatasan studi hukum adat yang sekarang, terutama studi yang menggunakan pendekatan doktrinal, untuk menjelaskan penomena-penomena yang ditunjukan oleh studi sosial mengenai hukum adat. Ini sekaligus akan menjadi alasan untuk mengembangkan studi kontemporer hukum adat. Tulisan ini akan diakhiri dengan sejumlah catatan penutup.

Hukum Adat yang Berinteraksi

Perubahan-perubahan pada hukum adat sebagai hasilberinteraksi dengan sistem hukum lain telah dijelaskan oleh berbagai pemikiran. Dalam kesempatan ini penulis akan mengemukakan 3 pemikiran. Pertama, pemikiran-pemikiran yang menggunakan perspektif politik. Pemikiran ini menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada hukum adat akibat politik hukum, baik rejim kolonial maupun post kolonial, yang bermaksud mengontrol hukum adat. Kontrol tersebut dilakukan dengan melakukan pendokumentasian hukum adat lewat berbagai cara. Misalnya kodifikasi dan restatement.5Upaya pengontrolan ini menyebabkan hukum adat dicampuri oleh

5 Restatement adalah sebuah metode mencatat hukum adat dengan cara membentukt sebuah tim yang representatif namun tidak mengikat yang diberi tugas menyusun hukum adat secara

komprehensif menurut kerangka logis tertentu. Selanjutnya lihat Allot (1971) dan Ubink (2011).

(4)

4

elemen-elemen (asas, lembaga, norma) sistem hukum formal. Pada situasi tertentu, seperti metode kerja pengadilan Landraad masa lampau, otoritas penegakan beralih ke tangan elemen-elemen sistem hukum formal sekalipun masih memakai norma hukum adat.

Kedua, pemikiran-pemikiran yang melihat adanya berbagai keteraturan berbasis norma (normative order) yang beroperasi dalam unit-unit sosial tertentu. Salah satu konsep yang terkenal dalam kelompok pemikiran ini adalah pluralisme hukum (legal pluralism). Sebagai pisau analisis, beberapa ilmuan menganggap pluralisme hukum sebagai sebuah konsep yang paling tepat menggambarkan relasi hukum dengan masyarakat. Sejak bertumbuh pada dekade 70-an, pluralisme hukum sebagai konsep terus berkembang dari hanya sekedar memetakan berbagai normative order, melihat berbagai normative order dalam relasi yang dinamik, bergeser untuk berfokus mengamati level individu sampai memperkenalkan dampak globalisasi pada aspek hukum yakni memungkinkan interaksi langsung yang intensif antara hukum transnasional dengan hukum nasional dan hukum lokal (Berman 2007; Tamanaha 2008; Michaels 2009). Pada saat konsep pluralisme hukum melihat adanya interaksi dinamik antar sistem hukm, dikemukakan bahwa interaksi tersebut dapat berupa konflik maupun akomodasi.

Ketiga, pemikiran-pemikiran yang menjelaskan mengenai implementasi dan penegakan hukum. Di bawah topik kajian hukum dan pembangunan (law and development) dan kepatuhan hukum (compliance) pemikiran-pemikiran ini menunjukan keterbatasan dan kendala-kendala yang dihadapi oleh institusi administrasif dan peradilan dalam menerapkan dan menegakan hukum formal karena berhadapan dengan otoritas-otoritas non formal yang dalam banyak situasi lebih effektif ketimbang otoritas formal. Inilah situasi yang dimaksudkan oleh Sally Falk More (1978) ketika ia mengatakan bahwa di antara otoritas formal dan individu yang hendak diatur masih terdapat deretan self-regulating institutions yang berkemampuan memproduksi dan memaksakan keberlakukan aturan. Lebih lanjut pemikiran-pemikiran ini menjelaskan bahwa ketika berhadapan dengan situasi-situasi demikian, aparatur pemerintahan dan aparat penegak hukum, karena motif kepentingan pribadi ataupun keperdulian sosial, melahirkan aturan-aturan informal yang dibuat bersama-sama dengan kelompok masyarakat yang diatur yang dalam terminologi antropologi dikenal dengan berbagai

(5)

5

istilah seperti pengaturan sosial (social arrangement) dan praktek sosial (social practices).6Dalam kaitan dengan perilaku aktual pelaksana hukum dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, sosiologi sudah memperkenalkan konsep law in action. Konsep ini menjelaskan bagaimana para pelaksana hukum melakukan respon dan adaptasi ketika menghadapi kesenjangan antara aturan hukum dan realitas.7

Selanjutnya tulisan ini akan berfokus mendalami gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh pemikiran kedua dan ketiga. Dalam konteks menjelaskan relasi hukum adat dengan sistem hukum lain, kedua kelompok pemikiran ini mengalami perkembangan. Pemikiran awal, yang sampai saat ini masih mendominasi, melihat bahwa interaksi tersebut menciptakan situasi dimana sistem hukum adat menerima norma baru serta meminjam otoritas dari sistem hukum lain, dan sebaliknya. Namun proses demikian tidak sampai merubah watak atau kapasitas hukum adat sebagai sistem karena resepasi norma atau otoritas luar dilakukan dengan cara pandang hukum adat. Oleh karena itu yang dianggap terjadi adalah proses peleburan. Metode peleburan tersebut akan sangat kental bila resepsi norma dan otoritas luar dilakukan dalam rangka menguatkan identitas kolektif sekaligus menstabilkan legitimasi otoritas lokal (Hoekema 2008).

Dalam perkembangannya, interaksi antara hukum adat dengan hukum lain sampai pada situasi munculnya norma-norma baru yang tidak lagi dengan mudah bisa diidentikan sebagai bagian dari sistem hukum adat ataupun masih dalam kontrol otoritas hukum adat. Ada sekian nama yang dipakai untuk menyebutkan norma-norma baru tersebut seperti hybrid law dan semi-formal law. Norma hybrid lahir karena penetrasi antar sistem norma hanya berujung pada tumpang tindih dan tidak sampai pada hubungan saling meniadakan atau saling menegasikan (Santos 2006; Michaels 2009).Fitzpatrick (2007) menggunakan istilah semi-formal rule untuk menunjukan rejim pengaturan atas jutaan hektar tanah-tanah di Indonesia yang hanya didukung

6 Uraian mengenai perilaku aparatur pemerintahan dan aparat hukum dalam implementasi dan penegakan hukum yang membuahkan hukum-hukum informal bisa dilihat pada F. Benda-Beckman (1989) dan Lange (1999).

7 Mengenai penjelasan konsep law in action dan perbedaanya dengan istilah the living law lihat Nelken (1984).

(6)

6

oleh bukti-bukti surat keterangan tanah, yang tidak lagi diatur oleh hukum adat dan pada saat yang sama hukum formal belum mengaturnya secara tegas.

Seperti sudah disebutkan di atas, dua ukuran untuk memeriksa apakah norma baru tersebut tidak lagi bisa dikatakan bagian dari hukum adat adalah kosistensi dan koherensinya dengan hukum adat yang lain beserta otoritas untuk menegakannya.

Norma baru tersebut bisa dikatakan tidak lagi konsisten dan koheren dengan sistem hukum adat bila sudah berkontradiksi atau tidak harmonis dengan falsafah, asas maupun norma hukum adat yang sedang berlaku8. Satu contoh yang bisa disebutkan dalam kesempatan ini adalah hukuman terhadap orang luar pelanggar hukum adat yang tidak lagi bernafaskan mengembalikan keseimbangan melainkan mendapatkan materi.

Contoh lainnya adalah perkembangan norma hukum adat dalam memperlakukan orang luar khususnya dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah. Institusi perolehan hak atas tanah lewat penggarapan yang juga membuka diri terhadap orang luar, berubah dengan lahirnya norma baru yang lebih bersemangatkan eksklusi.

Dalam kasus penulisan hukum adat dan kemudian dimintai pengakuan formal dari negara, otoritas penegakannya tidak lagi sepenuhnya berada dalam institusi hukum adat. Produk-produk hukum daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak atas wilayahnya, secara formal, memerlukan pemerintah daerah untuk melaksanakan dan menegakannya. Otoritas tersebut akan semakin melemah apabila pengakuan tersebut dilakukan dengan pandangan bahwa adat baru akan mendapat status sebagai hukum hanya apabila diakui oleh negara.9Dalam keadaan semacam ini, hukum adat berpotensi besar kehilangan status hukumnya (Tamanaha 2008).

Relevansi Studi Kontemporer Hukum Adat

Ada dua hal yang bisa dikatakan atau didiskusikan lebih lanjut sehubungan dengan uraian mengenai interaksi hukum adat dengan sistem hukum lain di atas.

Pertama, uraian di atas sekali lagi menjelaskan bahwa di tangan ilmu sosial, khususnya

8 Koherensi bukan saja menyangkut hubungan antar norma namun juga hubungan antar norma dengan asas hukum. Lihat uraiannya dalam Balkin (1994).

9 Ulasan mengenai pandangan ini bisa dilihat pada Tamanaha (2001).

(7)

7

antropologi (dulunya etnologi), studi hukum adat mampu memotret perkembangan hukum adat terutama sebagai hasil berinteraksi dengan sistem hukum lain. Ini bisa terjadi karena pendekatan sosial dalam studi hukum adat menggambarkan aspek empirik dari hukum adat. Belajar dari usaha yang dilakukan oleh para pendahulu pemikir hukum adat, yang menggunakan bahan-bahan entografi, saat ini dibutuhkan usaha untuk mensistematisasi temuan-temuan empirik tersebut dengan pendekatan ilmu hukum adat dogmatik.

Tantangan bagi usaha mensistematisasi yang menggunakan pendekatan dogmatik tersebut adalah seberapa jauh norma-norma baru yang lahir dari hasil interaksi tersebut masih berkesesuaian dengan (compatible) sistem hukum adat menurut pengertian ilmiah. Pertanyaan mengenai kesesuaian ini relevan karena studi hukum adat yang menggunakan pendekatan dogmatik memahami hukum adat sebagai sebuah sistem. Sebagai sebuah sistem hukum adat memiliki unsur-unsur dasar yaitu nilai, lembaga dan norma (Koesno 1998). Masing-masing unsur tersebut runtut, konsisten dan saling melengkapi (Soedarso 1998). Pandangan yang terakhir ini mirip dengan pendekatan doktrinal dalam studi hukum formal yang melihat sistem hukum formal sebagai kumpulan dari unsur yang tidak berkontradiksi. Apakah dengan demikian pendekatan dogmatik dalam hukum adat juga memandang hukum adat sebagai sistem yang mampu menyelesaikan sendiri masalah-masalahnya (self- contained)?

Kedua, sekalipun para pendahulu pemikir hukum adat sudah berhasil mengkonstruksi studi hukum adat sebagai ilmu hukum positif namun ini tidak bisa dianalogkan dengan ilmu hukum positif yang menjelaskan hukum formal. Ini tetap demikian sekalipun orang seperti Ter Haar mengusulkan putusan petugas hukum adat sebagai obyek studi hukum positif adat. Salah satu penyebab utamanya adalah karena hukum adat masih berupa aturan yang lahir dari kebiasaan. Karena itu hukum adat lahir melalui proses panjang ketika kebiasaan (perilaku ajeg) disepakati sebagai hukum karenadianggap bermanfaat atau masuk akal. Berbeda dengan hukum formal, hukum adat tidak dibentuk oleh lembaga perwakilan yang lebih banyak menggunakan kontruksi berpikir dalam membuat hukum.Hukum adat, kata Mohammad Koesno, tumbuh dan berkembang seperti hidup rakyat itu sendiri (dalam Soedarso 1998).

(8)

8

Oleh sebab itu hubungan atau pembagian peran antara pendekatan empirik dengan pendekatan normatif dalam studi hukum formal barangkali tidak sama dengan hubungan dan pembagian peran dalam studi hukum adat. Dalam studi hukum formal, pendekatan empirik diperlukan oleh pendekatan normatif untuk mengupayakan agara hukum berjalan effektif.10Dalam studi hukum adat, pendekatan normatif memerlukan pendekatan empirik untuk merekam perkembangan terkini hukum adat. Bahan-bahan studi empirik tersebut akan digunakan untuk memutakhirkan pengetahuan mengenai hukum positif adat. Dalam kadar tertentu dapat dikatakan bahwa, karena sifat hukum adat yang tidak dituliskan dan bertumbuh lewat kebiasaan, informasi mengenai hukum adat yang berkembang hanya bisa didapatkan dari pendekatan empirik. Namun, tentu saja hubungan semacam ini akan mungkin berubah bila hukum adat semakin banyak yang dituliskan.

Sejumlah pemikir yang membahas studi hukum adat telah menganggap hukum- hukum adat yang dituliskan tersebut sebagai bahan untuk melakukan penelitian kepustakaan. Dokumen-dokumen yang berisi hukum adat yang dituliskan tersebut dianggap sebagai sumber hukum adat (Soedarso 1998). Jika kelak studi hukum adat semakin menganggap dokumen-dokumen tertulis sebagai sumber hukum adat, apakah dengan demikian dokumen-dokumen tersebut kelak akan diberi status sebagai teks otoritatif, sama seperti pendekatan doktrinal dalam studi hukum formal yang memberlakukan peraturan perundangan-undangan dan putusan hakim sebagai teks otoritatif? Apakah ini juga akan berimplikasi akan menurunnya peran penelitian lapangan dalam studi hukum adat? Poin lebih substansial yang perlu dipertanyakan adalah: apakah perubahan metode ini merupakan konsekuensi logis dari perubahan paradigma yang melihat hukum adat tidak lagi apa yang dipahami dan dipraktekan masyarakat melainkan apa yang telah dituliskan?

Penutup

Ilmu hukum adat positif tidak hanya perlu memikirkan untuk memiliki metode yang bisa cepat merekam perkembangan hukum adat. Lebih dari itu, ilmu hukum adat

10 Diskusi mengenai sumbangan pendekatan empirik kepada pendekatan normatif dalam studi hukum formal bisa dilihat pada Schwartz (1992); Cotterrell (2002); Banakar dan Travers (2005), dan Schrama (2011).

(9)

9

positif perlu meninjau ulang konsepsi tentang pengertian hukum adat dan hukum adat sebagai sebuah sistem. Bila peninjauan tersebut tidak dilakukan maka akan lahir dua kemungkinan bila ilmu hukum adat positif menjelaskan perkembangan termutakhir hukum adat. Pertama, ilmu hukum adat positif akan melakukan semacam ‘pemaksaan’

dengan tetap memasukan norma-norma baru tersebut ke dalam kategori hukum adat sekalipun berkontradiksi dengan unsur hukum adat yang lain. Pemaksaan tersebut dapat terjadi bila hukum positif adat menggunakan pendekatan binar, sebuah pandangan yang melihat hukum adat dengan hukum formal selalu dalam situasi berhadap-hadapan dan meyakini bahwa tidak ada normative order yang lain selain hukum adat, hukum negara dan hukum agama (McCarthy 2006, Fitzpatrick 2007, Simarmata 2013).

Kedua, ilmu hukum adat positif akan kehilangan kesempatan untuk mengamati perkembangan transformatif hukum adat sebagai akibat berinteraksi dengan sistem hukum lain. Transformasi tersebut termasuk yang berujung pada pembentukan norma baru yang tidak lagi bisa dengan mudah diidentifikasi sebagai elemen hukum adat aau hukum formal.

Ajakan penulis untuk mendiskusikan relevansi studi kontemporer hukum adat bisa berpotensi melahirkan generasi ketiga dalam perkembangan studi hukum adat.

Generasi pertama adalah studi hukum adat yang dipelopori oleh ilmuan-ilmuan asal Belanda yang dianggap menggunakan pemikiran hukum Barat (western legal thought).

Gelombang kedua adalah gagasan sejumlah ilmuan hukum adat Indonesia pasca kemerdekaan yang berkeinginan mengembangkan pengetahuan hukum adat berdasarkan pemikiran ke-Indonesian.

Ide dasar yang penulis kemukakan dalam tulisan ini masih bersifat abstrak.

Terdapat kemungkinan bahwa asumsi-asumsi yang penulis kemukakan dalam membangun ide dasar tersebut tidak memiliki fakta pendukung. Oleh sebab itu, ide dasar dalam tulisan ini masih perlu diuji dengan menemukan fakta-fakta konkrit yang menjadi pendukungnya. Tulisan ini masih memerlukan jalan panjang untuk bisa meyakinkan pembaca dengan asumsi dan argumentasi yang dibangun.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini terlihat pada kurangnya buku yang dibaca, kurangnya buku bacaan yang dimiliki, jarangnya kunjungan perpusatakaan, dan tidak menyediakan dana khusus untuk membaca 2 Tingkat minat