• Tidak ada hasil yang ditemukan

Religiusitas Urang Banjar dalam Masyarakat Plural: Perspektif Hadis Nabi Saw

N/A
N/A
Muhammad Irpan

Academic year: 2024

Membagikan " Religiusitas Urang Banjar dalam Masyarakat Plural: Perspektif Hadis Nabi Saw"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Religiuitas Urang Banjar Pada Masyarakat Plural dalam Perspektif Hadis Nabi Saw

Ahmad Khairudin

Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin, Indonesia Jl. A. Yani Km. 4,5 Banjarmasin, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Urang banjar yang memiliki falasafah barelaan merupakan sikap keterbukaan yang secara terun temurun telah ada, hal ini menunjukan salah satu nilai religiuitas urang banjar, sehingga patut dilakukan kajian secara mendalam. Penelitian ini bertujuan menganalisis religiutitas urang banjar pada masyarakat plural dalam perspektif hadis nabi saw. Metode yang digunakan peneliti adalah kualitatif dengan pendekatan sosiologis antropologis. Sumber data diperoleh dari hasil temuan di lapangan serta dokumen-dokumen, artikel jurnal yang terkait dengan tema penelitian itu sendiri, yakni karakter religious islam, urang banjar pada masyarakat plural , karakrer religious masyarakat plural dalam persepktif hadis nabi saw yang dilakukan dalam pengumpulan data, mencakup penyortiran, pengorganisasian dan penyuntingan. Setelah itu semua data terkumpul, kemudian dilakukan analisis data dengan memberikan interpretasi guna mendeskripsikan temuan atau data yang telah diperoleh. Hasil penelitian yang didapat adalah Keberagaman budaya dan adat dari masing-masing suku ini sangat beragam dan memiliki filsafah yang sangat mendalam, terutama dalam filsafah kehidupan, adanya budaya saling menghormati alam dan menjaga kelestarian lingkungan. Sikap kekeluargaan yang kuat untuk saling melindungi dan menjaga anggota keluarga jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari kelompok suku Banjar (barelaan). Kerukunan antar masyarakat dan kelompok suku lain juga tercermin dalam setiap kegiatan yang mampu bersosialisasi dan menerima masyarakat lain untuk berinteraksi dengan sukunya. Perbedaan yang ada di masyarakat selayaknya dicari titik temu untuk dapat saling diharmonikan dan dijadikan sumber kekuatan untuk mencegah terjadinya perpecahan khususnya di tengah masyarakat Muslim itu sendiri dan moral bangsa sedikit banyak dapat diatasi dengan pemberdayaan kebudayaan lokal masyarakat yang telah diintegrasikan dengan Islam yang di dalamnya memuat banyak karakter religius yang berguna untuk menjawab tantangan zaman

Kata kunci: Regiliuitas, Masyarakat Plural, Urang Banjar.

Pendahuluan

Fakta-fakta keagamaan dan pengungkapannya yang meliputi aspek aspek perwujudan agama dalam realitas social dan realitas budaya, dimana agama dalam realitas pengamalan manusia dapat diamati dalam aktifitas keagamaan , baik kepercayaan, ibadah, dan pengempompokan umat (komunitas umat beragama), dan emogi keagamaan. Pengamalan keagamaan itu dapat dilihat melalui bentuk eksperesi, baik eksperesi teorities atau ekspersi pemikiran yang meliputi system kepercayaan,dan dogma-dogma, juga ekspeperesi praktis yang mencakup system peribadatan ritual maupun pelayanan, serta eksperesi persekutuan yang memuat pengelompokan dan intraksi social ummat beragama (Dadang Kahmad, 2000;15-16).

Agama memiliki daya magnitik sangat luar biasa di dalam kehidupan.

Keterlibatan agama pada kehidupan bermasyarakat dapat menyatukan dan mempersatukan, Artinya Agama menjadi suatu alternatif efektif untuk leahirkan perubahan sosial, karena memiliki kekuatan suprasturuktur yang dapat merubah tatanan sosial. Doktrin dikeluarkan setiap ajaran agama mampu menyelami pemikiran setiap manusia yang disertai Batasan-batasan agama, sehingga jika

(2)

dilihat dalam teori strukturaal fungsional, masyarakat dipaami sebagai system sosial yang terdiri dari berbagai elemen atau bagian-bagian yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, yang dituntun dari ajaran agama yang punya dimensi kesakralan.

Rr Suhartini (2021: 15) Setiap agama memiliki dimensi kesakralan, serta mempunyai ritual yang berbeda-beda. Adanya kepercayaan pada yang sacral menimbulkan ritual yang dilakukan sesuai ketentuan, baik cara melakukannya maupun maknanya. Apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan, ritual diyakini akan mendapatkan keberkahan. Sebagai umat beragama dapat jalan buntu menjadi terang benderang, sehingga kehidupan terus berlanjut dengan senantiasa menjalankan kegiatan keagamaannya sesuai keyakinan itu sendiri.

Islam menegaskan prinsip persamaan seluruh manusia. Atas dasar prinsip ini maka setoiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Jadi setip orang mempunyai kedudukan atau kewajiban yang sma atas kesejahteraan anggotanya, sebab Islam menentang setiap bentuk diskriminasi, baik karena keturunan, maupun karena warna kulit, kesukuan, kebangsaaan, dan kekayaan.

(Nasruddin Razak, 1973: 28).

Perhatian terbesar mengenai realitas agama dapat dilihat pada unsur agama, kepercayaan dan tradisi lokal masyarakat banjar. Agama diterima dan diakomudasi oleh tradisi lokal, demikian sebaliknya. Karena agama memiliki andil di dalamnya, baik dalam posisi dominan maupun marginal. Hal tersebut tampak terlihat pada kehidupan sosial keagamaan masyarakat Kalimantan Selatan, dengan adanya berbagai agama yang ada di Kalimantan Selatan.

Masyarakat yang plural menyebabkan setip golongan memiliki cara berpikirn dan bertindak sendiri dalam menwujudkan kepentingan menurut filosofi hidupnya yang dipengaruhi oleh keyakinan, kulturl dan situasi. Menurut para pakar muslim seperti Ibn Abi ‘Rabi, Al Mawardi dan Ibnu Khaldun menyatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat teratur diperlukan terciptanya rasa aman, damai, keadilan yang menyeluruh didasarkan pada undang-undang yang mengatur Kerjasama antar kelompok sosial yang menjamin kepentingan Bersama serta didukung oleh pemimpin yang berwibawa untuk melaksanakannya. (Mamad, 2003; 43).

Masyarakat Banjar yang menerima menjadikan kehidupan masyarakat itu menjadi masyarakat plural, ini ditandai dengan adanya falsafah hidup barelaan urang banjar di daerah ini, sikap terbuka dan mau menerima orang lain dalam kehidupan bermasyarakat serta kehidupan sosial keagamaan diperkuat dengan istilah masyarakat banjar yang religi, tentu saja dapat membuka ruang dan waktu dalam berinteraksi sosialnya. Falsafah hidup barealaan masyarakat banjar itu merupakan manifestasi nilai religi yang dianutnya, sebagai perwujudan ikhlas yang diajarkan dalam agama.

Ketika filosofi urang banjar “Barelaan” sarat dengan nilai religi tersebut selalu diimplementasikan pada kehidupan sosial, maka hal ini memiliki konsekuensi logis, bahwa memang urang banjar dalam kehidupan bermasyarakat selalu menonjolkan persamaan dalam menjalin Kerjasama harmoni dengan orang lain sehingga kehidupan sosial kemasyarakatn selalu menampilan religiuitas masyarakat banjar. Terutama dalam kaitannya pada kehidupan sosial keagamaan.

Realitas sosial Agama dan Budaya Masyarakat Banjar, keagamaan masyarakat Kalimantan Selatan serta dialektika budaya lokal dengan Islam sebagai agama yang mayoritas dianut masyarakat, khususnya masyarakat Banjar. Potret tradisi berbagai etnik yang ada di Kalimantan Selatan (seperti

(3)

etnis Dayak, Jawa, dan Bugis yang hidup di tengah masyarakat Banjar) sehingga keragamaan budaya yang ada di Kalimantan Selatan sedikit banyaknya juga terlukiskan dengan baik.

Tinjauan Teoritis.

Sejarah mengenai awal munculnya pluralisme agama ada beberapa versi.

Versi pertama pluralisme agama berawal dari agama Kristen yang dimulai setelah Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an yang mendeklarasikan

“keselamatan umum” bahkan untuk agama-agama di luar Kristen. Gagasan pluralisme agama ini sebenarnya merupakan upayaupaya peletakan landasan teologis Kristen untuk berinteraksi dan bertoleransi dengan agama-agama lain.

Versi kedua menyebutkan bahwa pluralisme agama berasal dari India. Misalnya Rammohan Ray (1773- 1833 M ) pencetus gerakan Brahma Samaj, dia mencetuskan pemikiran Tuhan satu dan persamaan antar agama (ajaran ini penggabungan antara Hindu-Islam). Serta masih banyak lagi pencetus pluralisme dari India, pada intinya teori pluralisme di India didasari pada penggabungan ajaran agama-agama yang berbeda.

Sedangkan dalam dunia Islam sendiri pemikiran pluralisme agama muncul setalah perang dunia kedua. Diantara pencetus pemikiran pluralisme agama dalam Islam yaitu Abdul Wahid Yahya dan Isa Nuruddin Ahmad, karya-karya mereka ini sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana pluralisme agama. Selain kedua orang tersebut juga ada Sayyid Husain Nasr, seorang tokoh muslim Shi‟ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Pemikiran- pemikiran Nasr tentang pluralisme agama tertuang pada tesisnya yang membahas tentang Sophia perennis atau perennial wisdom (al-hikmat al- khalidah atau kebenaran abadi).

Dalam wacana kekinian, paham pluralisme agama memberikan penekanan

“orang yang beriman”, sebagai orang yang percaya dan menaruh percaya (trust) kepada Tuhan, sehingga kata “muslim” dipakai dalam arti generiknya, yakni orang-orang yang memasrahkan hidupnya pada kehendak Tuhan” tidak peduli apa agama formalnya. Oleh karena itu paham eksklusifis yang memaksudkan

“orang yang beriman” sebagai “orang muslim golongan mereka sendiri” harus diakhiri, diganti dengan paham keagamaan yang memberikan ruang pada toleransi. Pluralisme beragama menimbulkan banyak pembahasan dan perdebatan pada masing-masing agama dalam hal inteaksi antar pemeluk umat beragama. Dalam Islam juga terjadi pembahasan yang bermacam-macam, diantaranya terkait hukum mengucapkan selamat natal bagi umat kristiani. Ada yang melarang dengan alasan itu merupakan bagian tasyabuh dan ada juga yang membolehkan karena itu bukan merupakan tasyabuh. Berikut adalah hadist- hadist terkait dengan tasyabuh dan menghormati non muslim.

Pluralitas merupakan realitas yang lekat dalam kehidupan bermasyarakat.

Pluralitas hadir tanpa rekayasa sebagai kehendak dari Tuhan yang tidak bisa ditolak. Dalam keragaman tersebut, terkandung kekayaan yang membuat hidup semakin berarti. Jika pluralisme adalah sebuah realitas, maka membangun kesadaran terhadap pluralitas merupakan dimensi yang sangat penting. Sebab, kesadaran terhadap pluralitas inilah yang seharusnya menjadi landasan dalam bersikap, berinteraksi, dan membangun relasi sosial secara luas.(Ngainun Naim ,2011: 23)

(4)

Dalam konteks relasi masyarakat yang heterogen, pluralisme merupakan kunci penting untuk memahami realitas kehidupan. Realitas kehidupan merupakan hasil konstruksi, karena itu tidak mungkin ada realitas yang tunggul, melainkan plural. Sebab, setiap indvidu memiliki konstruksi sosial sendiri- sendiri. Pluralisme berasal dar bahasa Inggris, yaitu plural yang berarti jamak, dalam artian keanekaragaman dalam suatu masyarakat. Secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak, atau banyak. Pluralisme memiliki arti yang lebih banyak lagi, secara substansial pluralisme terdapat dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, ataupun banyak.

Secara garis besar, konsep pluralisme adalah: Pertama, pluralisme tidak hanya kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud dalam pluralisme adalah keterlibatan aktif dalam kemajemukan yang terjadi didalam masyarakat tersebut. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas dimana aneka ragam suku, rasa, agama, dan bangsa hidup dalam satu wilayah. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seseorang yang menganut relativisme akan beranggapan bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan olehpandangan hidup serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat

M. Tuwah, Subardi et.el (2001) Pluralitas adalah kondisi keberagaman.

Sedangkan pluralisme, akar kata dari plural. Plural berasal dari bahasa Inggris plural bermakana jamak atau lebih dari satu. Jadi pluralisme adalah hal yang mengatakan jamak atau lebih dari satu. Dalam kajian filosofis pluralisme diberi makna sebagai doktrin bahwa subtansi hakiki itu satu (monoisme), tidak dua (dualisme), akan tetapi banyak (jamak). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya. Pluralisme adalah pandangan filosofis yang tidak mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, tetapi menerima adanya keragaman.

Pluralisme dapat dibedakan yaitu, Kata pluralitas jelas maknanya, ada banyak macam, ada perbedaan, ada keanekaan atau keanekaragaman. Pluralitas mengungkapkan fakta bahwa ada banyak. Sedangkan pluralitas keagamaan artinya ada aneka agama dan orientasi keagamaan. Sebaliknya, kata pluralisme (pluralisme sendiri adalah sikap mendukung pluralitas) bisa dipakai dalam beberapa arti (meskipun sebaiknya tidak), terutama dalam arti dogmatis dan dalam arti sosial.

Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme.

Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan- ikatan keadaban. Pluralisme adalah keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman. M. Amin Abdullah (2000) bahwa kekhawatiran umat beragama pada pluralitas adalah pada akibat yang ditimbulkan dan konsekuensi dari wujud praktis dari wujud pengakuan formal tersebut terhadap faham “Relativitas”

keberadaan relativitas adalah salah satu akibat dan bahkan bisa dianggap sebagai saudara kembar pluralitas.

Dalam konsep toleransi, Toleransi berarti endurance atau ketabahan, yang bukan hanya menunjuk pada sikap membiarkan orang lain hidup disekitar kita

(5)

tanpa larangan dan penganiayaan. Toleransi dalam artian seperti ini khususnya dibidang agama menunjuk pada kerelaan dan kesediaan untuk memasuki dan memberlakukan agama lain dengan penuh hormat dalam suatu dialog dengan orang lain secara terus menerus tanpa perlu dipengaruhi oleh pendapat lain dalam dialog tersebut. (Victor I Tanja, 1998; 13).

Aloys Budi Purnomo (2003;3) Dalam perspektif teologis, toleransi memang selalu dikaitkan langsung dengan masalah iman, dan agama, namun makna toleransi tidak harus seperti itu. Dari akar katanya, toleransi dalam bahasa latin berasal dari kata tolerare yang artinya saling menanggung, arti tersebut lebih bersifat sosiologis ketimbang teologis. Namun, selama ini jika toleransi hanya dikaitkan dengan teologis yang menyangkut iman dan agama rasanya hal itu tidak tepat. Dalam konteks ini, toleransi erat terkait dengan makna imperatif agama yang harus mewujudkan diri dalam perbuatan dan tindakan konkrit di tengah masyarakat. Dalam pemaknaan toleransi terdapat dua penafsiran.

Pertama, penafsiaran yang bersifat negatif yaitu, bahwa toleransi cukup mensyaratkan sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau kelompok lain baik yang mempunyai kesamaan keyakinan maupun yang memiliki perbedaan keyakinan. Kedua, bersifat positif yaitu menyatakan bahwa harus adanya bantuan dan dukungan terhadap keberadaan orang lain atau kelompok lain.

Toleransi beragama kita harus memiliki sikap atau prinsip untuk mencapai kebahagiaan dan ketentraman. Prinsip-prinsip tersebut adalah: Pertama, kebebasan beragama. Kebebasan merupakan suatu hak yang paling esensial di dalam hidup, baik itu kebebasan berfikir, berkehendak, maupun kebebasan untuk memiliki agama yang dianggap benar oleh masing-masing individu, dan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya. Kebebasan dalam memeluk agama sering disalah artikan, sehingga terkadang manusia memeluk agama lebih dari satu. Padahal yang dimaksud kebebasan beragama merupakan manusia bebas memilih agama/kepercayaan yang mereka anggap benar dan membawa keselamatan bagi dirinya tanpa ada paksaan dari pihak lain. Kedua, penghormatan dan eksistensi agama lain. Artinya menghormati keragaman dan perbedaan terhadap setiap ajaran-ajaran yang ada, baik yang sudah diakui oleh negara ataupun yang belum diakui. Melihat kemajemukan di Indonesia, setiap pemeluk harus mampu memposisikan diri dalam konteks pluralitas yang didasari dengan saling menghormati dan menghargai keberadaan agama lain. Ketiga, agree and disagreement (setuju di dalam perbedaan), Prof. Dr. H. Mukti Ali (adalah yang selalu mendengungkan prinsip ini. Perbedaan tidak selamanya harus menimbulkan permusuhan karena perbedaan selalu ada di dunia ini serta perbedaan tidak harus menimbulkan pertentangan. (Adon Nasrullah Jamaludin,2015;13).

Mewujudkan kerukunan dan toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama merupakan bagian dari usaha menciptakan kemaslahatan umum serta kelancaran hubungan ekstern agama, sehingga setiap golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan agama masing-masing. Kerukunan yang berpegang pada prinsip masing-masing agama menjadikan setiap golongan umat beragama sebagai golongan terbuka, sehingga memudahkan untuk saling berhubungan dan menjalin kerjasama baik dalam bermasyarakat maupun bernegara.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosiologis-antropilogis di dalam analisis deskriptif untuk mengeksplorasi pola

(6)

prilaku dan intraksi hubungan antar manusia (masyarakat banjar) yang punya filosofi hidup “Barelaan dengan Islam. Fokus yang dikaji pada penelitian ini terkait dengan religiuitas urang banjar dalam masyarakat plural pada perspektif hadis nabi saw. Sumber data diperoleh dari hasil temuan di lapangan serta dokumen-dokumen, artikel jurnal yang terkait dengan tema penelitian itu sendiri, yakni karakter religious islam, urang banjar pada masyarakat plural , karakrer religious masyarakat plural dalam persepktif hadis nabi saw yang dilakukan dalam pengumpulan data, mencakup penyortiran, pengorganisasian dan penyuntingan. Setelah itu semua data terkumpul, kemudian dilakukan analisis data dengan memberikan interpretasi guna mendeskripsikan temuan atau data yang telah diperoleh.

Hasil dan pembahasan Agama dan Keberagamaan

Agama dan keberagamaan adalah dua kata yang mengandung arti yang berbeda. Secara morfologis, masing-masing ungkapan tentu punya artinya sendiri. Dalam kaidah kebahasaan, perubahan bentuk kata dasar agama menjadi keberagamaan menyatakan bahwa keduanya harus dipakai dan diberi makna yang berbeda. Agama merupakan kata benda dan keberagamaan adalah kata sifat atau keadaan(Muhammad Iqbal Noor, 2011).

Munawir Haris, (2016) mengutip pernyataan Mukti Ali tentang definisi agama bahwa tidak ada kata yang paling sulit didefinisikan kecuali kata agama dikarenakan tiga alasan. Pertama, pengalaman agama bersifat subjektif dan sangat individualis. Kedua, pembahasan agama selalu melibatkan emosi yang kuat. Ketiga, konsepsi seseorang tentang agama selalu dipengaruhi oleh tujuan orang itu memberikan arti terhadap agama itu.” Daniel L. Pals, (1996) Adapun dalam Seven Theories of Religion disebutkan, agama adalah the faith in Spritual Beings (kepercayaan terhadap wujud spiritual). Sedangkan, Permata dalam Metodologi Studi Agama menjelaskan bahwa agama ialah sikap yang serius dan sosial dari individu-individu atau komunitas-komunitas kepada satu atau lebih kekuatan yang mereka anggap memiliki kekuasaan tertinggi terhadap kepentingan dan nasib mereka. (Ahmad Norma Permata,2000) Selanjutnya, Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Haris (2016) juga memberikan sejumlah definisi agama, yaitu: (1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi; (2) Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; (3) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu; (4) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib; (5) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. Dari beberapa definisi di atas, paling tidak dapat disimpulkan bahwa agama merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia yang beragama (Siti Faridah,2018).

Agama tidak dipandang sebagai kata benda, melainkan sebagai kata sifat atau bahkan kata kerja karena semua definisi ini menunjuk pada keadaan atau aktivitas yang melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, semua definisi tersebut lebih tepat digunakan untuk menjelaskan arti keberagamaan, bukan arti agama. Faridah mengutip penjelasan Rangkuti, bahwa kata agama berasal

(7)

dari bahasa Sanskerta, a-gama (dengan a panjang). A berarti cara (the way), dan gama berarti to go, yaitu berjalan atau pergi. Bertolak dari pengertian itu, ditegaskan lebih jauh bahwa agama berarti cara-cara berjalan untuk sampai kepada keridhaan Tuhan. Dari sini, dapat dipahami bahwa agama merupakan jalan hidup (the way to go) yang mesti ditempuh atau pedoman yang harus diikuti. Pengertian ini sejalan dengan makna agama dalam Bahasa Arab syari’ah, secara harfiah berarti jalan menuju sumber mata air, sementara air adalah sumber kehidupan manusia. Jadi syariah berarti jalan menuju sumber kehidupan atau jalan hidup (way of life). Berdasar uraian di atas, dapat dipahami bahwa agama merupakan suatu wujud yang berdiri sendiri dan berada di luar diri manusia.

Dari beberapa definisi di atas, paling tidak dapat disimpulkan bahwa agama merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia yang beragama. Agama tidak dipandang sebagai kata benda, melainkan sebagai kata sifat atau bahkan kata kerja karena semua definisi ini menunjuk pada keadaan atau aktivitas yang melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, semua definisi tersebut lebih tepat digunakan untuk menjelaskan arti keberagamaan, bukan arti agama.

Secara definitif, agama adalah ajaran, petunjuk, perintah, larangan, hukum, dan peraturan, yang diyakini oleh penganutnya berasal dari dzat gaib Yang Maha Kuasa, yang dipakai manusia sebagai pedoman tindakan dan tingkah laku dalam menjalani hidup sehari-hari. Dengan kata lain, inti dari suatu agama ialah ajaran yang dipakai manusia sebagai pedoman hidup. Adapun keberagamaan adalah pelaksanaan agama itu sendiri yang sangat mungkin menghasilkan perbedaan antara satu dan yang lainnya disebabkan perbedaan tingkat pengetahuan dan keyakinan, atau bisa jadi dikarenakan perbedaan background geografis dan sosio-kultural pelaku ajaran agama itu sendiri. Walaupun secara teoritis keberagaman harus merepresentasikan agama, namun tidaklah benar menilai suatu agama dengan menjadikan sebagian perilaku umat beragamanya (keberagamaan) sebagai satu-satunya tolak ukur.

Agama Islam bukanlah secara otomatis sama dengan sikap dan amalan orang yang mengaku sebagai penganut Islam. Belum tentu, seorang yang mengaku beragama Islam sudah mencerminkan agama Islam yang sesungguhnya. Begitu pula, agama Kristen boleh jadi tidak seperti yang dipraktikkan oleh mereka yang mengaku sebagai penganut Kristen. Sikap dan amalan setiap penganut agama adalah wujud keberagamaan, yang menggambarkan sifat dan tingkat keyakinan, pemahaman dan kesetiaan mereka terhadap agamanya masing-masing.

Menurut Glock dan Stark, sebagaimana dikutip Roni Ismail (2012), keberagamaan muncul dalam lima dimensi, yakni dimensi ideologis, intelektual eksperiensial, ritualistik, dan konsekuensial. Dimensi ideologis dan intelektual merepresentasikan aspek kognitif keberagamaan, dimensi eskperiensial mewakili aspek afeksi, sementara dimensi ritualistik dan konsekuensial melambangkan aspek behavior dari keberagamaan. Kelima dimensi di atas dapat dibedakan melalui aneka ragam dan unsur yang meliputinya, yakni bentuk keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi yang muncul.

Pertama, dimensi ideologis meliputi seperangkat kepercayaan yang memberikan premis eksistensial untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia dan hubungan antara mereka.18 Dimensi ini merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai dan menjadi system keyakinan dimana menjadi isu paling dasar yang bisa membedakan agama satu dengan yang lainnya (Murniati,2019) .

(8)

Dalam Islam, keyakinan ini tertuang dalam dimensi akidah. Kedua, dimensi intelektual yang mengacu pada pengetahuan tentang ajaran-ajaran agama yang harus diketahui seorang pemeluknya. Dalam Islam misalnya, pengetahuan yang dimaksud bisa tentang al-Qur’an dengan cara baca, isi, dan kandungan maknanya, hadis, berbagai praktek ritual dan muamalah, konsep keimanan, dan lain-lain. Dimensi ini pada dasarnya dapat diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pemahaman agama para pengikut agama atau tingkat ketertarikan mereka dalam mempelajari agamanya.

Seorang pemeluk agama harus melalui dimensi ini sebagai syarat penerimaannya. Namun bukan berarti dengan pengetahuan yang sedikit menjadikan keberagamaannya menjadi tidak baik. Seseorang dapat memiliki keyakinan yang kuat pada agama dengan dasar pengetahuan yang sedikit.

Ketiga, dimensi eksperiensial merupakan bagian keberagamaan yang bersifat afektif, yaitu keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama yang merupakan perasaan keagamaan(religious feeling). (Murniati,2019) dapat bergerak pada beberapa tingkat, yakni 1) konfirmatif, merasakan kehadiran Tuhan menjawab kehendak atau keluhannya, 2) eskatik, merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan, dan 3) partisipatif, merasa menjadi kawan setia atau kekasih Tuhan.

Menurut Zakiyah Darajat (1996), Psikologi Agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan (religious experience), yaitu unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan. Pengalaman keagamaan ini bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti merasakan kekhusyukan dan ketenangan ketika shalat, kebahagiaan menjalani puasa Ramadhan, hingga pengalaman yang lebih kompleks seperti pengalaman ma’rifah yang dialami para sufi. Dalam Islam, pola keberagamaan yang demikian dapat dibedakan dari tingkat yang paling rendah adalah syari’ah, kemudian thariqah, dan derajat tertinggi adalah haqiqah.

Keempat, dimensi ritualistik merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku atau sering disebut ritual keagamaan, seperti pemujaan dan ritus-ritus lainnya yang diikuti dengan ketaatan untuk menunjukkan komitmennya terhadap agama yang dianut. Dimensi ini sejajar dengan ibadah dalam agama Islam. Kelima, dimensi konsekuensional meliputi segala implikasi sosial dari pelak-sanaan ajaran agama. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat dari keyakinan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari walaupun pada dasarnya, agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam, dimensi ini hadir dalam perilaku yang berkaitan dengan hubungan pada sesama manusia (hablun min al-nas). Ajaran Islam banyak mendorong umatnya untuk menghormati tetangga, memuliakan tamu, toleran, berbuat adil, berbuat baik pada fakir miskin dan anak yatim, dan sebagainya.

Falsafah Barelaan Urang Banjar

Bentuk Kearifan lokal lainnya dalam interaksi sosial masyarakat Banjar adalah dialog antar pihak yang menyertakan ungkapan barelaan atau minta rela.

Biasanya setelah transaksi selesai dilaksanakan baik itu jual beli, sewa-menyewa

(9)

utang-piutang dan lain sebagainya, maka pihak yang bertransaksi mengatakan barelaan atau minta rela dalam mengakhiri atau menutup interaksi yang sebelumnya dilakukan. Barelaan berasal dari kata dasar “rela” yang sama artinya dalam bahasa Indonesia, kemudian ditambahkan imbuhan hingga menjadi barelaan. Ungkapan ini dapat dimaknai sebagai ungkapan memohon kerelaan. Selain redaksi barelaan, juga sering ditemui bentuk lainnya yakni minta rela.

Ungkapan ini memang telah menjadi kearifan lokal masyarakat Banjar dalam berdialog sehari-hari yang sebenarnya sikap santun direpresentasikan dengan pengaplikasian ungkapan barelaan. Dalam konteks ini mereka berharap hubungan dalam interaksi sosial yang dilangsungkan hanya memunculkan kesan yang baik, sehingga masih bisa bertransaksi untuk waktu berikutnya. Ungkapan barelaan ini biasanya juga tidak hanya terjadi dalam dialog interaksi sosial, tetapi juga diterapkan dalam interaksi sosial kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar apabila anggota masyarakat selesai berkumpul atau beraktivitas bersama (Rissari Yayuk, 2012; 80)

Ungkapan barelaan atau minta rela dalam dialog masyarakat Banjar disaat berinteraksi, merupakan cerminan fondasi yang membangun keharmonian dalam kehidupan bermasyarakat. Ridha secara bahasa berasal dari bahasa Arab radhiya yang artinya senang hati (rela). hal ini selaras dengan syariah yakni menerima dengan senang hati atas segala yang diberikan Allah swt. baik berupa hukum (peraturan-peraturan) maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Pengertian ini adalah pengertian dalam perspektif fikih ibadah atau penjabaran atas dasar interaksi manusia kepada Allah SWT (habluminallah). Sedangkan dalam perspektif fikih muamalah atau penjabaran atas dasar interaksi manusia dengan manusia (habluminannas), maka ridha diartikan menerima dan menyetujui dengan suka rela yang dilaksanakan antara seseorang dengan orang lain.

Ini dengan tegas dijelaskan dalam QS. an-Nisa/4: 29:

اَهّي َأَٰٓي

َنيِذّل ٱ

ْاوُنَماَء

ْآوُلُكَت ۡأ َل مُكَلَٰو َأ ۡم

مُكَن َب ۡي

ِلِطَٰب ِب ۡلٱ

ّلِإ

َنوُكَت نَأ

ًةَرَٰجِت اَرَت نَع

ٖ ض

ُ كنّم

َلَو ۚۡم

ْآوُلُتَت ۡق

ُ كَسُفنَأ

ّنِإ ۚۡم

َهّلل ٱ

َناَك

ُ كِب اٗميِحَر ۡم

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka (saling ridha) di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Setiap interaksi yang dilakukan harus didasarkan pada prinsip keridhaan atau kerelaan antara kedua belah pihak. Dilakukan dengan lapang dada atau kerelaan hati masing-masing pihak, tanpa ada paksaan oleh pihak lain yang mendorong terjadinya intraksi tersebut. Asas ar-ridha (asas keridhaan).

Pada tataran praktik, mu’amalah maddiyah dan adabiyah misalnya, tidak dapat dipisahkan, sebab kedua hal tersebut merupakan satu-kesatuan. Maka dari itu pembagian ini hanyalah dalam kepentingan teoritis saja dalam mengenali aspeknya. Dengan begitu dalam perspektif mu’amalah maddiyah dan adabiyah ini sebagaimana dipaparkan oleh Ali Fikri, praktik ungkapan bawa ja dulu yang dikatakan oleh penjual, maka akad jual belinya adalah aspek mu’amalah maddiyah dan mu’amalah adabiyah yang menyertainya adalah kepercayaan, kejujuran dan tanggung jawab, selain daripada unsur keridhaan yang terwujud. Ada baiknya sebelum kita mengharapkan orang lain untuk

(10)

bersikap jujur kepada kita, alangkah baiknya kita terlebih dahulu untuk berlaku jujur kepada sesama. Apalagi dalam ajaran islam, selalu mengajak untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, termasuk bersikap jujur. Berkaitan dengan kejujuran, Rasulullah SAW bersabda, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda:

اَنَثَدَح

ُدْبَع ىِنَثَدَح ِ َا

ىِبَأ اَنَثَدَح

ُنَسَح ىَسوُم ُنْب

اَنَثَدَح

ُنْبا

َةَعيِهَل اَنَثَدَح وُبَأ

ِدَوْسَلا

ِدْبَع ْنَع

ِنْب ِ َا

ٍعِفاَر

ْنَع

ىِبَأ

َةَرْيَرُه

َلوُسَر َنَأ - ِ َا

ىلص ا هيلع ملسو

َلاَق -

َل »

ُعِمَت ْجَي

ُناَميِلا

ُرْفُكْلاَو ىِف

ِبْلَق

ٍئِرْما

َلَو

ُعِمَت ْجَي

ُقْدِصلا

ُبِذَكْلاَو

ًاعيِمَج

َلَو

ُعِمَت ْجَت

ُةَناَيِخْلا

ُةَناَمَلاَو

ًاعيِمَج »

Telah menceritakan kepadaku Abdullah telah menceritakan kepadaku Ayahku telah menceritakan kepadaku Hasan bin Musa telah menceritakan kepadaku Abu Aswad dari Abdullah bin Rafi’dari Abi Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: tidak bisa berkumpul dalam hati seseorang iman dan kufur dan tidak bisa berkumpul bersama-sama sifat jujur dan sifat bohong dan tidak bisa berkumpul bersama-sama safat khianat dan amanah. (HR. Imam Ahmad).

Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

ْمُكْيَلَع

ِقْدِصلاِب

َنِإَف

َقْدِصلا ىِدْهَي

ىَلِإ

ِرِبْلا

َنِإَو

َرِبْلا ىِدْهَي ىَلِإ

ِةَنَجْلا اَمَو

ُلاَزَي

ُلُجَرلا

ُقُد ْصَي ىَرَحَتَيَو

َقْدِصلا ىَتَح

َبَتْكُي

َدْنِع اًقيِدِص ِ َا

ْمُكاَيِإَو

َبِذَكْلاَو

َنِإَف

َبِذَكْلا ىِدْهَي ىَلِإ

ِروُجُفْلا

َنِإَو

ََروُجُفْلا ىِدْهَي

ىَلِإ

ِراَنلا

اَمَو

ُلاَزَي

ُلُجَرلا

ُبِذْكَي ىَرَحَتَيَو

َبِذَكْلا ىَتَح

َبَتْكُي

َدْنِع اًباَذَك ِ َا

Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR. Muslim

)

Dari Hasan bin ‘Ali, Rasulullah SAW bersabda:

اَم ْعَد

َكُبيِرَي ىَلِإ

َل اَم

َكُبيِرَي

َنِإَف

َقْدِصلا

ٌةَنيِنْأَمُط

َنِإَو

َبِذَكْلا

ٌةَبيِر

Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu.

Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa” (HR. Tirmidzi dan Ahmad, hasan shahih)

Dari Rifa’ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!

Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َنِإ

َراَجُتلا

َنوُثَعْبُي

َم ْوَي

ِةَماَيِقْلا

َاًراَجُف

ِنَم َلِإ ىَقَتا

َرَبَو َ َا

َقَدَصَو

(11)

Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih dilihat dari jalur lain)

Dari Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِناَعِيَبْلا

َِراَيِخْلاِب اَم

اَقَرَفَتَي ْمَل

ْوَأ –

َلاَق ىَتَح اَقَرَفَتَي

ْنِإَف – اَقَدَص اَنَيَبَو

َكِروُب اَمُهَل اَمِهِعْيَب ىِف

ْنِإَو ، اَمَتَك اَبَذَكَو

ْتَقِحُم

ُةَكَرَب اَمِهِعْيَب

Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut.

Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (HR. Bukhari Muslim).

Setelah mengetahui petuah Nabi tentang kejujuran, tinggal bagaimana kita sebagai makhluk sosial untuk menerapkan kejujuran itu dalam perilaku kita sehari-hari. Apalagi sekarang manusia sedang berada dalam puncak keberadabannya, jangan sampai semakin mulia tingkatan seseorang, tapi malah kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya, salah satunya adalah perilaku jujur.

Yang perlu kita lakukan adalah memulainya dari sendiri, tidak perlu menunggu orang lain. Ketika mereka tahu buah dari kejujuran yang kita dapat, lambat laun mereka pun akan ikut melakukan jujur itu suatu kebaikan yang sangat ditekankan dalam Islam. Interaksi sosial yang dibangun atas dasar kepercayaan, kejujuran dan tanggung jawab tentu akan membawa kebaikan, tentu berharap kebaikan yang terwujud baik itu kebaikan yang dapat diberikan maupun kebaikan yang dapat diterima. Satu sama lain sama-sama bersinergi dalam kebaikan.

Agama dan Keberagamaan

Agama dan keberagamaan adalah dua kata yang mengandung arti yang berbeda. Secara morfologis, masing-masing ungkapan tentu punya artinya sendiri. Dalam kaidah kebahasaan, perubahan bentuk kata dasar agama menjadi keberagamaan menyatakan bahwa keduanya harus dipakai dan diberi makna yang berbeda. Agama merupakan kata benda dan keberagamaan adalah kata sifat atau keadaan(Muhammad Iqbal Noor, 2011).

Munawir Haris, (2016) mengutip pernyataan Mukti Ali tentang definisi agama bahwa tidak ada kata yang paling sulit didefinisikan kecuali kata agama dikarenakan tiga alasan. Pertama, pengalaman agama bersifat subjektif dan sangat individualis. Kedua, pembahasan agama selalu melibatkan emosi yang kuat. Ketiga, konsepsi seseorang tentang agama selalu dipengaruhi oleh tujuan orang itu memberikan arti terhadap agama itu.” Daniel L. Pals, (1996) Adapun dalam Seven Theories of Religion disebutkan, agama adalah the faith in Spritual Beings (kepercayaan terhadap wujud spiritual). Sedangkan, Permata dalam Metodologi Studi Agama menjelaskan bahwa agama ialah sikap yang serius dan sosial dari individu-individu atau komunitas-komunitas kepada satu atau lebih kekuatan yang mereka anggap memiliki kekuasaan tertinggi terhadap

(12)

kepentingan dan nasib mereka. (Ahmad Norma Permata,2000) Selanjutnya, Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Haris (2016) juga memberikan sejumlah definisi agama, yaitu: (1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi; (2) Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; (3) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu; (4) Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib; (5) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia. Dari beberapa definisi di atas, paling tidak dapat disimpulkan bahwa agama merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia yang beragama (Siti Faridah,2018).

Agama tidak dipandang sebagai kata benda, melainkan sebagai kata sifat atau bahkan kata kerja karena semua definisi ini menunjuk pada keadaan atau aktivitas yang melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, semua definisi tersebut lebih tepat digunakan untuk menjelaskan arti keberagamaan, bukan arti agama. Faridah mengutip penjelasan Rangkuti, bahwa kata agama berasal dari bahasa Sanskerta, a-gama (dengan a panjang). A berarti cara (the way), dan gama berarti to go, yaitu berjalan atau pergi. Bertolak dari pengertian itu, ditegaskan lebih jauh bahwa agama berarti cara-cara berjalan untuk sampai kepada keridhaan Tuhan. Dari sini, dapat dipahami bahwa agama merupakan jalan hidup (the way to go) yang mesti ditempuh atau pedoman yang harus diikuti. Pengertian ini sejalan dengan makna agama dalam Bahasa Arab syari’ah, secara harfiah berarti jalan menuju sumber mata air, sementara air adalah sumber kehidupan manusia. Jadi syariah berarti jalan menuju sumber kehidupan atau jalan hidup (way of life). Berdasar uraian di atas, dapat dipahami bahwa agama merupakan suatu wujud yang berdiri sendiri dan berada di luar diri manusia.

Dari beberapa definisi di atas, paling tidak dapat disimpulkan bahwa agama merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia yang beragama. Agama tidak dipandang sebagai kata benda, melainkan sebagai kata sifat atau bahkan kata kerja karena semua definisi ini menunjuk pada keadaan atau aktivitas yang melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, semua definisi tersebut lebih tepat digunakan untuk menjelaskan arti keberagamaan, bukan arti agama.

Interaksi antar Suku

Kepedulian antar sesama dan saling mendukung dilatarbe lakangi oleh rasa senasib yang kemudian membentuk kelompok yang disebut suku atau masyarakat, yang dikenal dengan community. Beberapa individu membentuk satu kelompok yang disebut suku atau masyarakat dan mendiami suatu wilayah dengan perasaan senasib dan satu tujuan yang sama yang disebut komunitas, kelompok atau suku tersebut memiliki ciri-ciri identitas yaitu secara fisik saling mendekatkan, berjumah anggota sedikit, eratnya hubungan antar anggota, dan membentuk keakraban yang solid dalam hubungan bersosial (Soekanto, 1982:

138).

Toleransi dan kerukunan antar umat beragama dapat tercipta dari berbagai aspek dan faktor, seperti yang terjadi pada suku Dayak Ngaju kerukunan antar umat beragama di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, yaitu filosofis

(13)

rumah Betang atau Huma Betang, adanya sara persaudaraan atau kekerabatan antar suku, dan ikatan darah. Faktor- faktor tersebut merupakan nilai-nilai budaya Kaharingan yang masih tetap dilestarikan sampai saat ini (Normuslim, 2018). Berdasarkan perkembangan suku-suku yang ada di Kalimantan Tengah memiliki kekerabatan bahasa, bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Bahasa tamuan, bahasa Dayak, bahasa Waringin, bahasa Ka dorih, bahasa Maayan, dan bahasa Lawangan memiliki ikatan kekerabatan pada tingkatan rumpun bahasa. Bahasa-bahasa tersebut memiliki hubunngan kekerabatan dalam bahasa keluarga. Mayoritas suku yang ada di Kalimantan yaitu suku Dayak, kemudian disusul dengan suku Banjar, dan suku Jawa. Suku Dayak banyak menempati daerah pedalaman, sednagkan suku Banjar mermukim di perkotaan, sedangkan suku Jawa bermukim di daerah transmigrasi (Elisten, 2015).

Kehidupan manusia setiap hari menghadapi keberagaman, misalnya keberagaman agama, suku, budaya dan ras, konflik antar suku tentunya pernah terjadi, beberapa suku di Kalimantan juga Toleran. Karena di Kalimantan Selatan pada saat ini terdapat 34 suku bangsa dari berbagai daerah di nusantara. Dari suku bangsa yang menetap di Kalimantan Selatan ini mereka membuat suatu komunitas yang ada satu-satunya di Indonesia. Komunitas tersebut dinamakan Ikatan Suku Bangsa (Ikasba) Provinsi Kalimantan Selatan, sebagai wadah silaturrahmi dan pengikat persahabatan, juga persaudaraan antara suku yang ada di Kalimantan Selatan.

Identitas suku banjar merupakan suku Dayak yang terislamkan, suku Banjar terdapat pada Kalimantan Selatan, suku Banjar memiliki tradisi pasar apung di sungai sudah ada sejak zaman kerajaan Banjar, sungai sebagai sumber kehidupan suku Banjar dengan berbagai aktifitas sehari-hari yang sangat tergantung dengan sungai salah satunya sebagai sumber kehidupan ekonomi masyarakat Banjar, yaitu adanya pasar apung. Masyarakat Banjar melakukan transaksi jual beli di atas sungai, bak jual beli hasil pertanian, ternak dan lain- lain. Pasar terapung Lokbaintan berada di sungai Martapura Kabupaten Banjar, para pedagan di pasar Lokbaintan memiliki semangat kerja dan karakter yang tangguh. Karakter pedagang di pasar terapung Lokbaintan dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan faktor dari luar, faktor dari dalam yaitu memiliki sifat jujur, sangat menghargai waktu, pekerja keras, dan sangat mandiri, faktor pendidikan para pedagang, faktor keyakinan yang ada pada masyarkat, dan agama. Faktor dari luar yaitu dipengaruhi oleh kerjasama dari pemerintah melalui berbagai pembinaan terhadap para pedagang dan perbakan fasilitas untuk pasar terapung Lokbantan (Hendraswati, 2016).

Suku Banjar yang berada di sekitar sungai Jingah kota Banjarmasin masih memegang teguh nilai, norma dan aturan-aturan sosial yang ada di masyarakat.

Sebagai salah satu peninggalan peradaban Islam yang berkembang pesat di Banjarmasin daerah sungai Jingah, yaitu masih berdiri kokoh Kubah Syekh Datu Jamaludin atau yang sering dikenal oleh masyarakat Banjarmasin dengan sebutan Datu Surgi Mufti di kota Banjarmasin. (Roim dkk, 2018). Tepian sungai Kuin terdapat pemukiman tradisional yang dipengaruhi oleh perekonomian dan sosial budaya pada masyarakat. Aktifitas sehari-hari dan kegiatan ekonomi masyarakat erat kaitannya dengan sungai sehingga mempengaruhi berbagai lini kehidupan seperti ekonomi, hunian masyarakat, prasarana lingkungan, kehidupan sosial dan budaya yang ada pada masyarakat. Karakteristik pemukiman di tepian sungai Kuin masih memiliki ciri khas bangunan suku

(14)

Banjar sebagan besar hunian berbentuk rumah panggung dengan bangunan utama menggunakan kayu ulin dan kayu galam. (Rahmitiasari, 2014)

Sungai Kuin yang berada di Kuin Kalimantan selatan adalah kampung tua yang terletak di muara sungai Kuin, tempat untuk berkumpulnya berbagai suku bangsa sejak abat ke 16, deretan rumah di sungai Kuin ini menghadap ke sungai, masyarakat menganut filosofi bahwa sungai sebagai teras dan halaman rumah, dari daerah ini lah nama Banjarmasin muncul. Suku Banjar juga memiliki larangan untuk membuang sampah di sungai karena sungai adalah tempat sakral dan sumber kehidupan suku Banjar.

Sikap saling menghormati alam telah diterapkan oleh suku Dayak dan suku Banjar dengan tujuan menjaga kerukunan antar suku, interaksi yang terjadi di antara mereka cukup terjaga, suku Dayak yang terbuka dengan orang luar dan bias berinteraksi untuk mempelajari budaya dan adat yang ada itu artinya suku Dayak memiliki sikap terbuka namum tidak harus mengubah kebiasaan, adat dan budaya dengan kudaya asing. Tetap mempertahankan kearifan lokal adalah kebanggaan bagi suku Dayak, saling menjaga persatuan untuk menjaga keutuhan Indonesia adalah kewajiban setiap masyarakat Indonesia.

Suku Dayak banyak tinggal di dalam hutan dengan memanfaatkan hasil hutan dan sungai untuk kebutuhan sehari-hari, meski menjauh dari kehidupan kota dan masuk kedalam hutan bukan berarti mereka munutup untuk dunia luar dan tidak mau berinteraksi dengan masyarakat luar, saat ini banyak wisatawan asing maupun domestik berunjung untuk mempelajari kebudayaan dan kearifan lokal. Sedangkan suku Banjar banyak hidup di daerah sungai, Kalimantan adalah pulai yang banyak dialiri sungai, karena itu suku banyak banyak kita temui di daerah pesisir sungai. Mereka saling menghormati dan menjaga adab dan tradisi masing-masing, menjunjung tinggi perbedaan dan mengutamakan persatuan.

Kehidupan manusia setiap hari menghadapi keberagaman, misalnya keberagaman agama, suku, budaya dan ras, konflik antar suku tentunya pernah terjadi, beberapa suku di Kalimantan juga Toleran. Karena itu di Kalimantan Selatan pada saat ini terdapat 34 suku bangsa dari berbagai daerah di nusantara. Dari suku bangsa yang menetap di Kalimantan Selatan ini mereka membuat suatu komunitas yang ada satu-satunya di Indonesia. Komunitas tersebut dinamakan Ikatan Suku Bangsa (Ikasba) Provinsi Kalimantan Selatan, sebagai wadah silaturrahmi dan pengikat persahabatan, juga persaudaraan antara suku yang ada di Kalimantan Selatan, dengan senantiasa melaksanakan berbagai kegiatan yang dapat memberikan kontribusi positif bagi kelansungan kehidupan diantara mereka yang mengedepankan persatuan dan kesatuan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Hasyim, pendiri IKASBA Provinsi Kalimantan Selatan yang berasal dari suku Batak, bahwa berdirinya Ikatan Suku Bangsa (Ikasba) ini, tidak lepas dari partisipasi suku bangasa yang bermukim di Kalimantan Selatan untuk dapat berkontribusi di daerah ini, juga dapat memelihara kerekatan dan kedekatan diantara suku bangs aitu sendiri, terutama dalam menghindari kesenjangan yang dapat menimbulkan marabahaya bagi masyarakat kita diKalimantan Selatan. Artinya kita menegakan dan menjunjung sikap toleransi walaupun kita reagama suku, budaya dan agama. (Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Hasyim, Pendiri IKASBA Kalsel, tanggal 7 Januari 2023, jam 10.00-11.30)

Hal senada juga diungkapkan oleh Ali Musa, Ketua Forum Perbauran Kebangsaan(FPK) Provinsi Kalimantan Selatan, bahwa Interaksi Antar Suku

(15)

ini memang tidak bisa dihindari dalam menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan, karena itu istilah dimana bumi dipijak dan langit dijunjung adalah prinsip suku bangsa yang bermukin di Kalimantan Selatan, artinya kita berkolaborasi dalam menjaga dan memelihara kerukunan antar suku bangsa, dan meredam sedini mungkin akan adanya potensi konflik di daerah ini, dengan saling merekatkan dan mengharmonikan antar suku melalui berbagai kegiatan yang dilakukan, kalua tak kenal maka tak sayang merupakan hal yang patut selalu kami renungkan dan pahami dalam berinteraksi antar suku. (Hasil wawancara peneliti dengan Ali Musa (ketua FKP Prov. Kalsel), tanggal 10 Januari 2023, jam 11.00-12.30 di sekretariat FPK Kalsel)

Berdasarkan pernyataan kedua oranag tokoh tersebut, jelas menegaskan bahwa dalam interaksi antar suku selalu menjaga dan memelihara hubungan harmonis, dengan mengedepankan sikap persatuan dan kesatuan, sehingga dalam kehidupan sosial selalu saling mengeratkan satu sama lainnya.

Hadits pertama

ِنَع

ِنْبا

ٍساَبَع

َلاَق

َليِق

ِلوُسَرِل ىَلَصِ َا

ِهْيَلَعُ َا

َمَلَسَو

ِناَيْدَلْا ُيَأ

ُبَحَأ ىَلِإ

َلاَقِ َا

ُةَيِفيِنَحْلا

ُةَحْمَسلا

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa telah ditanyakan kepada Rasulullah SAW,

“Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?” Maka beliau bersabda, “Al- Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran).” (HR Bukhari).

2. Hadits keduaُهَََََََََل َلاَََََََََق َمَلََََََََسَوَ ِهََََََََْيَلَعُ َاىَلََََََََصَ َيِبَنلا َنَأ :َلاَََََََََق ّرَذيِبَأ ْنَع،ٍرََََََََْكَب ْنَع،ٍل َلِهيِبَأ ْنَع،ٌعََََََََيِكَواَنَثَدَََََََََح

" :

، ْرََََََََُظْنا

َكَنِإَف

َتْسَل

ٍرْيَخِب

َرَََم ْحَأ ْنِم

َلَو

َدَو ََْسَأ

َلِإ

ْنَأ

ُهَل ََُضْفَت ىَوْقَتِب

“Telah menceritakan kepada kami Waki, dari Abu Hilal, dari Bakar, dari Abu Zar [Al-Ghifari] yang mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda kepadanya, “Perhatikanlah, sesungguhnya kebaikanmu bukan karena kamu dari kulit merah dan tidak pula dari kulit hitam, melainkan kamu beroleh keutamaan karena takwa kepada Allah SWT." (H.R. Ahmad).

Kedua hadir tersebut menunjukan bahwa dalam kehidupan ini kita selalu menjaga dan memelihara toleransi kepada sesame, walaupun berbeda ras, suku ataupun agama, sehingga jika melihat religiutas urang banjar dalam masyarakat plural saat ini, sangat sejalan dengan hadis nabi saw tersebut, apakalgi urang banjar memiliki falsafah hidup barelaan yang merupakan suatu sikap keterbukaan.

Karakter Religius

Karakter merupakan watak yang menjadi jati diri bagi setiap orang.

Karakter sebagai pendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai tuntunan aturan dan norma yang baik dalam kehidupan. Pembentukan karekter idealnya dapat diintegrasikan dalam semua lini kehidupan, tidak hanya dalam dunia pendidikan bahkan juga dalam lingkungan interaksi sosial yang ada di masyarakat (Khotimah 2016, 372). Karakter religius lahir dari ajaran agama, demikian halnya karekter religius Islam adalah karakter yang lahir dan dibawa dari ajaran-ajaran dalam Islam yang merupakan suatu partikel yang sangat penting untuk dapat dimiliki setiap individu sebagai tameng dalam membendung dampak negatif dari maraknya budaya asing yang merusak melalui teknologi

(16)

dan informasi yang berkembang sedemikian pesat tapa ada filter yang membatasinya. Arus globalisasi yang semakin memuncak bukan hanya menimbulkan dampak yang positif namun juga memiliki dampak yang negatif.

Maka dari itu, langkah antisipasi melalui penanaman karakter religius penting untuk digencarkan guna mencegah degradasi moral yang dapat mengancam keutuhan bangsa.

Masyarakat Banjar dikenal sebagai masyarakat yang agamis dan taat dalam menjalankan perintah agama, meski di samping itu dalam hal menjalankan praktik keagamaan masyarakat Banjar seringkali masih terpengaruh oleh ajaran lama peninggalan nenek moyang. Adanya pengaruh paham animisme membuat masyarakat Banjar masih sangat kental dengan pengaruh dari hal-hal yang bersifat gaib. Unsur-unsur budaya lama ini sering kali masih dapat dijumpai di antaranya pada prosesi budaya kelahiran masyarakat Banjar, baik dari segi simbol, aturan adat, bahkan keyakinan lama yang turut mempengaruhi dalam praktik keberagamaan masyarakat Banjar.

Interaksi antara budaya lama dengan Islam ini kemudian melahirkan masyarakat yang tidak hanya agamis, namun juga sangat menghargai dan menghormati keberagaman yang ada di lingkungan masyarakat. Agama sebagai sistem dalam kebudayaan tidak dapat lepas dari kehidupan masyarakat (Syam 2007, 13). Oleh karena itu, Islam bukan sekadar simbol pengetahuan yang memuat aturan-aturan, lebih dari itu Islam juga berperan sebagai sistem nilai yang memberikan makna terhadap kebudayaan yang ada di masyarakat sehingga saling terikat dan turut serta mewarnai kebudayaan yang ada di masyarakat. Aspek religius merupakan sistem yang terdiri dari berbagai dimensi.

Dimensi religius menurut Subandi dalam (Ahsanulkhaq 2019, 25) mencakup 5 aspek, yaitu: 1) religious belief (dimensi keyakinan/keimanan); 2) religious practice (kesadaran menjalankan kewajiban); 3) religious feeling (pengalaman dan penghayatan dalam beragama); 4) religious knowledge (pengetahuan tentang ajaran agama); dan 5) religious effect (perilaku yang dimotivasi oleh ajaran agama). Berdasarkan beberapa dimensi religius yang telah dikemukakan di atas dapat dilihat bahwa untuk dapat menanamkan karakter religius diperlukan usaha pembiasaan sehingga karakter religius itu dapat melahirkan perilaku yang didasarkan pada kesadaran diri dan tertancap kuat dalam diri setiap masyarakat. Karakter sebagai akhlak atau tabiat yang diajarkan dalam pendidikan Islam sudah semestinya terinternalisasi dalam diri setiap Muslim (Badry and Rahman 2021, 574). Karakter religius yang tertancap dalam diri setiap Muslim akan melahirkan pribadi unggul yang menjalankan aktivitas keberagamaan berdasarkan inisiatif dan kepatuhan akan nilai-nilai dan norma yang diajarkan dalam agama itu sendiri.

Karakter religius Islam sangat penting untuk ditanamkan dalam diri setiap Muslim. Karekter ini tumbuh dan berkembang seirama dengan lingkungan dan kebudayaan yang ada di masyarakat. Budaya yang telah berinteraksi dengan Islam melahirkan karakter religius dalam diri setiap Muslim. Tanpa adanya karakter religius tatanan dalam kehidupan sosial masyarakat akan kacau dan berjalan jauh dengan tuntunan yang disyariatkan dalam konteks keagamaan Islam.

(17)

اَنَثَدَح

ُناَمْثُع يِبَأ ُنْب

َةَبْيَش اَنَثَدَح وُبَأ

ِر ْضَنلا اَنَثَدَح

ُدْبَع

ِنَم ْحَرلا

ٍتِباَث ُنْب اَنَثَدَح

ُناَسَح

ُنْب َمَلَسَو ِهْيَلَع ُ َا ىَلَص ِ َا ُلوُسَر َلاَق َلاَق َرَمُع ِنْبا ْنَع ِيِشَرُجْلا ٍبيِنُم يِبَأ ْنَع َةَيِطَع

ْنَم ْمُهْنِم َوُهَف ٍم ْوَقِب َهَبَشَت

Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Abu Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu An Nadhr] berkata, telah menceritakan kepada kami ['Abdurrahman bin Tsabit] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hassan bin Athiyah] dari [Abu Munib Al Jurasyi] dari [Ibnu Umar] ia berkata,

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka." (HR Abu Daud)

Struktur sosial suku Dayak dan Banjar

Nilai budaya setiap suku membentuk dan mempengaruhi cara setiap suku berinteraksi dengan suku lainnya, misalnya suku Dayak dan suku Banjar, dalam sejarah suku Dayak adalah nenek moyang suku Banjar, karena perbedaan agama maka sebagai masyarakat Dayak membentuk suku Banjar. Melalui nilai-nilai budaya yang terdapat di suku Banjar sebagai pedoman bersosial dengan masyarakat lain untung slaing menghormati dan saling tolong menolong dalam setiap kegiatan dan tidak membedakan golongan, ras, ataupun adat. Pentingnya kesadaran budaya untuk memahami kebudayaan, pemahaman terhadap budaya lain, budaya yang berkembang di kelompok suatu suku membentuk perilaku dan sikap masyarakat sehingga mempengaruhi perkembangan sikap manusia (Gumilang, 2015).

Budaya dan etnik yang terdapat dalam suatu masyarakat selalu mempengaruhi interaksi dengan suku lain, interaksi dengan suku lain atau masyarakat lain dibutuhkan interaksi sosial terhadap kelompok atau budaya lainnya (Morris, 2012: 53).

Rumah lamin terdapat 100 anggota keluarga dengan dulunya ada 12-30 keluara yang hidup Bersama dalam rumah ini, rumah lamina atau rumah Betang. Rumah lamin dibagi menjadi tiga ruangan, suku Dayak memiliki tarian atau permainan tambaga yang berfungsi sebagai perangkap untuk menjepit burung pipit yang memakan bulir padi di lading, tarian lading ini menggambarkan kekompakan antar para pemain dalam masyarakat membentuk sikap kerjasama dan gotong royong.

Keberagaman suku Dayak yang terdiri dari banyak sub suku yang dapat hidup saling berdampingan dengan damai suku lainnya terwujud dalam sebuah karya seni tari. Seni ukir tubuh suku Dayak memiliki makna semakin banyak tato maka seseorang itu telah banyak melakukan perjalanan, tato suku Dayak juga memiliki nilai sebagai pengenal untuk anggota suku. Tato tidak hanya untuk laki- laki, tetapi juga untuk perempuan, tato untuk perembuan nenunjukan penghargaan atas prestasi perempuan mislanya menari, menenun dll, tato berada di lengan. Emansipasi wanita pada suku Dayak dapat dilihat pada penerapan tato, tidak hanya untuk laki-laki tetapi perempuan juga memiliki kesamaan untuk mentato dengan nilai-nilai prestasinya.

Kehidupan suku Dayak tidak jauh dari sungai, lading dan hutang sebagai sumber pencaharian hidup masyarakat, turut melestarikan dan menjaga hutan serta lingkungan. Banyak suku Dayak yang masuk Islam dengan menikahi pedagang Melayu mereka disebut Seganan artinya masuk laut. Suku Dayak yang masuk Islam menyebut dirinya sebagai orang Melayu, dalam kehidupan masyarakat suku Dayak yang masuk Islam mengangkat tokoh yang dihormati

(18)

sebagai pemimpin yang seiman dan memiliki kecakapan dalam mempimpin suatu masyarakat. Semakin berkembangnya waktu suku dan berkembang nya kehidupan sosial masyarakat Dayak yang telah beragama Islam menyebut kelompok masyarakatnya sebagai Dayak Islam. Sebutan Dayak Islam sebagai bentuk apresiasi bahwa asal usul mereka berasal dari suku Dayak. (Darmadi, 2016: 327).

Hubungan suku Dayak dengan Islam sangat erak kaitannya, telah mempengaruhi kehidupan masyarakat baik dalam ekonomi, budaya dan sosial sehingga mempengaruhi beberapa kegiatan yang dilaksankan dalam kehidupan sehari-hari seperti adat pernikahan, kehidupan ekonomi dalam perdagangan dan adat istiadat yang masih dijaga dan dilaksanakan sampai sekarang misalnya dalam berpakaian adat Dayak Islam sangat dipengaruhi oleh adat Melayu hal ini dapat dilihat dari pakaian adat yang dimiliki Dayak Islam dikembangan lebih sopan serta mengutamakan syariat-syariat Islam dengan tidak menggunakan kalung ataupun gelang dari tulang hewan sebagai tolak bala ataupun gangguan mahluk halus bagi bayi baru lahir, Dayak Islam juga lebih dikenal dengan suku Banjar.

Identitas suku banjar merupakan suku Dayak yang terislamkan, suku Banjar terdapat pada Kalimantan Selatan, suku Banjar memiliki tradisi pasar apung di sungai sudah ada sejak zaman kerajaan Banjar, sungai sebagai sumber kehidupan suku Banjar dengan berbagai aktifitas sehari-hari yang sangat tergantung dengan sungai salah satunya sebagai sumber kehidupan ekonomi masyarakat Banjar, yaitu adanya pasar apung. Masyarakat Banjar melakukan transaksi jual beli di atas sungai, bak jual beli hasil pertanian, ternak dan lain- lain. Pasar terapung Lokbaintan berada di sungai Martapura Kabupaten Banjar, para pedagan di pasar Lokbaintan memiliki semangat kerja dan karakter yang tangguh. Karakter pedagang di pasar terapung Lokbaintan dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan faktor dari luar, faktor dari dalam yaitu memiliki sifat jujur, sangat menghargai waktu, pekerja keras, dan sangat mandiri, faktor pendidikan para pedagang, faktor keyakinan yang ada pada masyarkat, dan agama. Faktor dari luar yaitu dipengaruhi oleh kerjasama dari pemerintah melalui berbagai pembinaan terhadap para pedagang dan perbakan fasilitas untuk pasar terapung Lokbantan (Hendraswati, 2016).

Suku Banjar yang berada di sekitar sungai Jingah kota Banjarmasin masih memegang teguh nilai, norma dan aturan-aturan sosial yang ada di masyarakat.

Sebagai salah satu peninggalan peradaban Islam yang berkembang pesat di Banjarmasin daerah sungai Jingah, yaitu masih berdiri kokoh Kubah Syekh Datu Jamaludin atau yang sering dikenal oleh masyarakat Banjarmasin dengan sebutan Datu Surgi Mufti di kota Banjarmasin. (Roim dkk, 2018).

Tepian sungai Kuin terdapat pemukiman tradisional yang dipengaruhi oleh perekonomian dan sosial budaya pada masyarakat. Aktifitas sehari-hari dan kegiatan ekonomi masyarakat erat kaitannya dengan sungai sehingga mempengaruhi berbagai lini kehidupan seperti ekonomi, hunian masyarakat, prasarana lingkungan, kehidupan sosial dan budaya yang ada pada masyarakat.

Karakteristik pemukiman di tepian sungai Kuin masih memiliki ciri khas bangunan suku Banjar sebagan besar hunian berbentuk rumah panggung dengan bangunan utama menggunakan kayu ulin dan kayu galam. (Rahmitiasari, 2014)

Sungai Kuin yang berada di Kuin Kalimantan selatan adalah kampung tua yang terletak di muara sungai Kuin, tempat untuk berkumpulnya berbagai suku bangsa sejak abat ke 16, deretan rumah di sungai Kuin ini menghadap ke

(19)

sungai, masyarakat menganut filosofi bahwa sungai sebagai teras dan halaman rumah, dari daerah ini lah nama Banjarmasin muncul. Suku Banjar juga memiliki larangan untuk membuang sampah di sungai karena sungai adalah tempat sakral dan sumber kehidupan suku Banjar.

Sikap saling menghormati alam telah diterapkan oleh suku Dayak dan suku Banjar dengan tujuan menjaga kerukunan antar suku, interaksi yang terjadi di antara mereka cukup terjaga, suku Dayak yang terbuda dengan orang luar dan bias berinteraksi untuk mempelajari budaya dan adat yang ada itu artinya suku Dayak memiliki sikap terbuka namum tidak harus mengubah kebiasaan, adat dan budaya dengan kudaya asing. Tetap mempertahankan kearifan lokal adalah kebanggaan bagi suku Dayak, saling menjaga persatuan untuk menjaga keutuhan Indonesia adalah kewajiban setiap masyarakat Indonesia. Suku Dayak banyak tinggal di dalam hutan dengan memanfaatkan hasil hutan dan sungai untuk kebutuhan sehari-hari, meski menjauh dari kehidupan kota dan masuk kedalam hutan bukan berarti mereka munutup untuk dunia luar dan tidak mau berinteraksi dengan masyarakat luar, saat ini banyak wisatawan asing maupun domestik berunjung untuk mempelajari kebudayaan dan kearifan lokal.

Sedangkan suku Banjar banyak hidup di daerah sungai, Kalimantan adalah pulai yang banyak dialiri sungai, karena itu suku banyak banyak kita temui di daerah pesisir sungai. Mereka saling menghormati dan menjaga adab dan tradisi masing-masing, menjunjung tinggi perbedaan dan mengutamakan persatuan. Kontribusi penelitian ini memberikan sumbangsih tehadap dunia penelitian tekait dengan kebudayaan yang ada di Indonesia, membuka wawasan masyarakat terhadap keberagaman hubungan budaya antara suku Dayak dengan suku Banjar yang ada di Kalimantan sehingga masyarakat dapat melestarikan keberagaman budaya di Indonesia dengan nilai saling menghormati.

Masyarakat Banjar yang Plural dalam pandangan Hadis nabi saw

Ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality). Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendak niscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agama tidak identik dengan model beragama secara eklektik, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dalam suatu agama dan membuang sebagiannya untuk kemudian mengambil bagian yang lain dalam agama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yang lain itu.

Allah menyatakan dalam QS. al-Mumtahanah [60]: Ayat 8

ُمُكٰىَهَي ۡن ّل

ُهّلل ٱ

َنيِذّل ٱ ِنَع

َل

ُ كوُلِتَٰقُي ۡم يِف ۡم

ِنيّدل ٱ

َلَو مُكوُُُجِر ُي ۡخ ۡم

ُ كِرَُُٰيِد نّم

ۡم

ُهوّرَُُبَت نَأ

ْآوُط ُُِسُتَو ۡق ۡم

ِه َلِإ

ۚۡم ۡي

ّنِإ

َهّلل ٱ

ّبِحُي

َنيِطِس ُم ۡق ۡلٱ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Dengan menggunakan dasar pemahaman tentang pluralisme seperti di atas, maka dapat diidentifikasikan sekurang-kurangnya lima ciri utama pluralisme:

1. Selau berkaitan dengan memelihara dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban masing-masing kelompok.

2. Menghargai perbedaan dalam kebersamaan.

3. Pluralime menunjukan kepada wahana untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berkompetisi secara jujur, terbuka, dan adil,

(20)

karakteristik ini berkaitan dengan upaya menghilangkan pendapat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada kelompok ordinate yang mendominasi kelompok subordinate, kelompok mayoritas merasa lebih unggul dari kelompok minoritas.

4. Pluralisme harus didudukan pada posisi yang proporsional. Yang berarti bahwa pluralisme dicirikan oleh pandangan-pandangan yang berbeda yang nampak menjadi daya dorong untuk mendinamisasi kehidupan bermasyarakat, dan bukan mekanisme untuk menghancurkan satu kelompok terhadap kelompok lain.

5. Menunjukkan adanya perasaan kepemilikan bersama, untuk kep

Referensi

Dokumen terkait

Sebagaimana dalam hadis sebelumnya Rasul saw mengatakan bahwa istri itu adalah tawanan, perlakukanlah dengan baik istri tersebut, yaitu dengan mengajarkan akhlak

tanawwu‘al -h}adi>s\ yang dikaji semuanya s{ah{i>h{. Kandungan hadis jihad dalam bentuk ibadah haji merupakan solusi Nabi saw. bagi perempuan yang tidak diizinkan berjihad

saw.(Suatu Kajian Living Sunnah pada Masyarakat Desa Tumpiling Kec. Polewali Mandar). Pokok masalah penelitian ini adalah bagaimana konsep hadis tentang mahar dan doi