• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Implementasi Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia - Australia sebagai Upaya Mengatasi Kejahatan Penyelundupan Manusia (Studi Kasus: Ektradisi Ahmad Zia Alizadah Tahun 2017)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Implementasi Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia - Australia sebagai Upaya Mengatasi Kejahatan Penyelundupan Manusia (Studi Kasus: Ektradisi Ahmad Zia Alizadah Tahun 2017)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

22

BAB IV

Esktradisi Sebagai Upaya Menanggulangi Kejahatan Penyelundupan Manusia

Semakin berkembangnya modus operandi tindak kejahatan, mendorong negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan kerja sama untuk menanganinya.

Kejahatan di era modern ini tidak terjadi di satu tempat melainkan melibatkan wilayah dua atau lebih negara. Selain pencegahan terjadinya tindak kejahatan, penangkapan dan pemberian hukuman terhadap pelaku menjadi satu keharusan untuk dilakukan. Perkembangan teknologi yang dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk berpindah tempat dan melakukan aksi kejahatan menjadi tantangan baru bagi setiap negara untuk dapat menangkap dan menjatuhkan hukuman. Pada bab ini penulis berusaha memaparkan proses kerja sama antara Indonesia dengan Australia melalui perjanjian ekstradisi untuk menjatuhi hukuman bagi pelaku kejahatan lintas batas di kedua negara.

4.1 Kejahatan Lintas Batas dan Penyelundupan Manusia di Indonesia dan Australia

Dalam dunia internasional, kejahatan lintas batas lebih sering disebut sebagai kejahatan transnasional. Istilah "transnasional" diciptakan oleh sarjana hukum internasional Phillip C. Jessup. Menurut Jessup, selain hukum internasional atau Hukum Internasional, ada juga kata transnasional atau transnasional, yang digambarkan sebagai tatanan hukum yang mengendalikan kegiatan atau kejadian yang melampaui batas fisik suatu negara (Atmasmita, Jurnal LKHI FH UI, Oktober 5, 2007: iii). Definisi Yessup kemudian digunakan dalam keputusan Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa VII tentang Pencegahan Kejahatan dan Penanganan Pelanggar Hukum pada tahun 1990, serta dalam Konvensi Wina tahun 1998 tentang pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Istilah Yessup juga digunakan dalam United Nations Convention on Transnational Crime pada tahun 2000 dan didefinisikan sebagai kejahatan dengan ciri-ciri berikut:

(2)

23 a. Terjadi di dua negara atau lebih

b. Pelaku atau korban adalah warga negara asing

c. Sarana kejahatan melampaui batas teritorial satu atau dua negara.

Berdasarkan karaketiristik diatas Penyelundupan manusia yang dilakukan oleh AZA kemudian digolongkan kedalam kejahatan transnasional dan menjadi perhatian banyak negara di seluruh dunia. Penyelundupan manusia dikenal dunia internasional dengan istilah people smuggling, tindakan ini dikategorikan kedalam tindak kejahatan karena para pelakunya melakukan aksi penyelundupan imigran pencari suaka ke dalam wilayah negara berdaulat lain tanpa melalui prosedur yang resmi. Selain itu praktek penyelundupan manusia sering kali dilakukan dengan cara tidak manusiawi dan membahayakan seperti memasukkan para imigran ke dalam sarana transportasi (umumnya perahu atau kapal kecil) yang melebihi kapasitas dan tidak jarang mengakibatkan kecelakaan dan membahayakan nyawa para imigran itu sendiri (Subagyo dan Wirasuta, 2013:153-154).

4.1.1 Penyelundupan Manusia di Indonesia dan Australia

Australia di sini menjadi negara tujuan (destination country) para pencari suaka karena meratifikasi Konvensi Pengungsi. Adapun Konvensi Pengungsi 1951, merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral dan diprakarsai oleh Persrikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konvensi ini mengatur mengenai pengkategorian pengungsi dan perlindungan HAK bagi para pencari suaka. Konvensi ini dibentuk dan disahkan atas dasar kemanusiaan dan tanggung jawab bersama untuk menangani permasalahan kemanusiaan terkusus pengungsi. Negara yang meratifikasi konvensi ini ke dalam undang- undang nasionalnya memiliki tanggung jawab untuk menyediakan tempat tinggal dan menjamin kehidupan imigran/pengungsi yang memenuhi syarat berdasarkan prosedur dan ketentuan yang disepakati dalam konvensi.

Meskipun demikian, imigran tidak dapat secara sembarangan memasuki wilayah negara Australia karena tetap ada prosedur yang harus dilalui. Akan tetapi, imigran yang dengan sengaja memasuki wilayah negara Australia

(3)

24 dengan tidak mengikuti prosedur dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum termasuk individu atau kelompok yang memfasilitasinya.

Pemerintah Australia dilansir melalui laman website resmi Department Of Foreign Affairs And Trade dengan tegas menyatakan komitmen mereka untuk memerangi penyelundupan manusia, perdagangan manusia dan imigrasi illegal. Hal tersebut dianggap penting karena bertujuan untuk menyelamatkan nyawa korban penyelundupan dan tentu saja untuk menjaga kedaulatan wilayah perbatasan mereka. Pemerintah Australia juga dengan tegas memerangi segala jenis organisasi dan jaringan kriminal yang berkaitan dengan kejahatan penyelundupan manusia khususnya yang berskala internasional.

Pelaku penyelundupan paling sering menggunakan kapal atau perahu untuk menyelundupkan imigran secara ilegal ke dalam wilayah Australia.

Luasnya wilayah laut Australia di satu sisi memerlukan upaya yang besar untuk dapat melakukan pengawasan secara menyeluruh. Hal ini menjadikan jalur laut sebagai rute yang paling sering digunakan para penyelundup untuk menjalankan operasinya. Penulis mencoba memaparkan data imigran gelap yang dibawa penyelundup menggunakan kapal dan perahu melalui melalui jalur laut Australia dalam table sebagai berikut:

Tahun Jumlah Kapal Jumlah Imigran Ilegal

Jumlah Awak Kapal

2009 60 2726 141

2010 134 6555 345

2011 69 4565 168

2012 278 17202 392

2013 301 20647 407 (per 30 Juni

2013)

(4)

25

2014 1 160 -

2015 (per 1 Maret)

1 4 -

Sumber: Statistics relating to Migrant Smuggling in Australia School of Law University of Queesland Australia.

Dapat dilihat dari data tersebut, jumlah pelaku penyelundupan dan imigran yang masuk ke Australia banyak mengalami peningkatan. Menurut David (2015:20) imigran gelap yang masuk ke wilayah Australia banyak bekerja atau dipekerjakan sebagai petugas kebersihan, karyawan took dan lainnya.

Yang menjadi masalah kemudian adalah, para pekerja migran ilegal ini tidak memiliki dokumen yang sah yang menjadikan mereka tidak mendapatkan fasilitas penuh seperti dibayar dibawah standar gaji yang seharusnya. Bahkan beberapa kasus menunjukan imigran gelap ini tidak hanya menjadi korban penyelundupan melainkan juga tindak criminal lain seperti perdagangan orang.Dari sudut pandang Indonesia, sebagai negara dengan kondisi geografis yang strategis menghadapi permasalahan serius terkait penyelundupan manusia. Besarnya arus barang, jasa, perdagangan dan manusia secara internasional karena keuntungan geografis menjadikan Indonesia rawan terhadap kejahatan yang bersifat transnasional. Karena kondisi geografisnya, Indonesia juga menjadi “lading yang menjanjikan” bagi bisnis penyelundupan manusia. Indonesia memang tidak menjadi negara tujuan bari para imigran, melainkan sebagai negara transit. Yang dimaksud dengan negara transit adalah negara yang dijadikan persinggahan oleh organisasi penyelundup untuk dapat menyembunyikan imigran gelap sementara sebelum melanjutkan perjalanan ke negara tujuan. Hal ini umumnya dilakukan untuk dapat menghindari pengawasan dari petugas keamanan (Zulyadi dkk 2015:1).

Jumlah Imigran Ilegal yang terkait Penyelundupan Manusia di Indonesia 2010- 2013.

(5)

26 Tahun Jumlah Imrigran

2010 1.172

2011 2.309

2012 2.919

2013 3.654

Sumber: UNODC, Migrant Smuggling in Asia:Current Trend and Related Challenges, Bangkok hlm 260.

Statistik yang dikemukakan oleh UNODC menunjukan adanya peningkatan jumlah imigran ilegal setiap tahunnya di Indonesia. Kristin dan Dewi (2017:3) mengatakan bahwa ada andil masyarakat local di beberpa daerah Indonesia yang menyebabkan meningkatnya julah imigran ilegal.

Masyarakat perbatasan ini terlibat dalam penyediaan penampungan sementara dan pemberangkatan imigran secara ilegal karena diberi imbalan berupa uang oleh kelompok penyelundup. Adanya kesulitan ekonomi menjadi alasan warga local terlibat dalam tindak penyelundupan manusia ini.

4.2 Perkembangan Hukum Ekstradisi di Indonesia

Sebelum Indonesia menerapkan undang-undang mengenai ekstradisi modern seperti saat ini, Indonesia menganut Koninklijk Besluit (penyerahan orang asing).

Ketetapan tersebut merupakan peraturan yang dikemukakan pemerintah Hindia Belanda tahunn 1883. Peraturan ini kemudia dianggap tidak relevan lagi dengan keadaan Indonesia pada masa modern. Selain itu peraturan tersebut dipandang sudah tidak dapat menjawab tantangan perubahan zaman dimana arus informasi dan teknologi telah berkembang dengan sangat pesat.

Melalui pertimbangan tersebut, pada 29 Agustus 1978 pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ekstradisi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). RUU ini kemudian disahkan menjadi sebuah Undang-Undang melalui sidang pleno Komisi III DPR yang membidangi permasalahan hukum. RUU ini kemudian disahkam menjadi Undang- Undang Republik Indonesia no 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Undang-Undang

(6)

27 baru ini dipandang mampu untuk menjawab permasalahan mengenai penyerahan buronan demi kepentingan nasional Indonesia.

4.2.1. Daftar Kejahatan yang Diekstradisikan

Sesuai dengan ketentuan Undang-undang RI no 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi, tidak semua jenis kejahatan dapat diproses untuk ekstradisi. Berikut ini daftar kejahatan yang dapat untuk diekstradisi menurut undang-undang Republik Indonesia:

1. Pembunuhan

2. Pembunuhan yang direncanakan

3. Penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka berat atau matinya orang, penganiayaan yang direncankan dan penganiayaan berat.

4. Persetubuhan, perbuatan cabul dengan kekerasan.

5. Persetubuhan dengan seorang wanita di luar perkawinan atau perbuatan- perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui bahwa orang itu pingsan atau tak berdaya atau orang itu belum 15 tahun atau belum mampu dikawin.

6. Perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang yang cukup umur dengan orang lain sama kelamin yang belum cukup umur.

7. Memberikan atau mempergunakan obat-obat dana tau alat-alat dengan maksd menyebabkan gugur atau mati kandungan seorang wanita.

8. Melatikan wanita dengan kekerasan, ancaman kekerasan atau tipu muslihat, dengan sengaja melarikan seseorang yang belum cukup umur.

9. Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur.

10. Penculikan dan penahanan melawan hukum.

11. Perbudakan.

12. Pemerasan dan pengancaman.

13. Meniru atau memalsukan mata uang atau uang kertas negeri atau uang kertas bank atau mengedarkan mata uang kertas negeri atau kertas bank yang ditiru atau dipalsukan.

(7)

28 14. Menyimpan atau memasukan uang ke Indonesia yang telah ditiru atau

dipalsukan.

15. Pemalsuan dan kejahatan yang bersangkutan dengan pemalsuan.

16. Sumpah palsu.

17. Penipuan

18. Tindak pidana-tindak pidana behubungan dengan kebangkrutan.

19. Penggelapan.

20. Pencurian, perampokan 21. Pembakaran dengan sengaja

22. Pengrusakan barang atau bangunan dengan sengaja.

23. Penyelundupan

24. Setiap tindak kesengajaan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan kereta api, kapal laut atau kapal terbang dengan penumpang- penumpangnya.

25. Menenggelamkan atau merusak kapal di tengah laut.

26. Penganiayaan di atas kapal di tengah laut dengan maksud menghilangkan nyawa atau menyebabkan luka-luka berat.

27. Pemberontakan atau permufakatan untuk memberontak oleh 2 (dua) orang atau lebih di atas kapal di tengah laut menentang kuasa nahkoda, penghasutan untuk memberontak.

28. Pembajak laut

29. Pembajakan udara, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.

30. Tindak pidana korupsi.

31. Tindak pidana narkotika dan obat-obat berbahaya lainnya.

32. Perbuatan-perbuatan yang melanggar Undang-Undang senjata api, bahan- bahan peledak dan bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran.

Daftar kejahatan tersebut tidak mutlak menjadi jenis-jenis kejahatan yang bisa diekstradisikan. Menurut Wirasuta (2016.) jenis kejahatan yang dapat dimohonkan ekstradisinya dapat disesuaikan apabila Indonesia membuat perjanjian bilateral dengan negara sahabat. Perjanjian bilateral ini

(8)

29 juga diakui sebagai sebuah aturan sah untuk dapat melakukan ekstradisi.

4.3 Asas Ekstradisi dalam Undang-Undang Ekstradisi

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebagai badan legislatif juga menetapkan ketentuan ekstradisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi. Terdapat XII (dua belas) bab dan 41 pasal yang mengatur tentang tata cara dan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai ekstradisi. Ketentuan-ketentuan dan tata cara ini dibuat agar dalam melaksanakan ekstradisi negara peminta dan negara yang menyerahkan (dalam hal ini Indonesia) dapat bekerja sama dengan baik dan mengurangi kemungkinan terjadi pelanggaran hukum dan kedaulatan nasional. Adapaun ketentuan-ketentuan tersebut dikenal dengan asas-asas hukum yang meliputi sebagai berikut:

A. Asas Kejahatan Ganda

Undang-undang no 1 tahun 1979 menjelaskan secara terperinci mengenai siapa saja (orang) yang bisa diekstradisikan atau diminta ekstradisinya. Asas kejahatan ganda berarti orang atau individu yang diminta untuk diekstradisi oleh negara peminta disangka telah melakukan perbuatan kejahatan di negera peminta atau untuk menjalani penahanan atau untuk perintah penahanan.

Perbuatan kejahatan tersebut juga diakui sebgai perbuatan kriminal yang melanggar hukum di negara yang dimintai. Adapun jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan telah ditentukan pada lampiran Pasal 4 UU no 1 Tahun 1979.

B. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik

Tidak ada konsensus tentang apakah atau bagaimana kejahatan dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan politik. Namun, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 menyatakan bahwa kejahatan biasa dan percobaan pembunuhan presiden tidak termasuk kejahatan politik yang dapat diancam dengan ekstradisi. Negara berhak memberikan suaka politik kepada seseorang jika pelaku kejahatan politik tidak diserahkan. Ekstradisi kepada pelaku kejahatan politik, sebaliknya, dapat dilakukan jika syarat-syarat tertentu

(9)

30 terpenuhi, seperti adanya perjanjian resmi antara negara peminta dan negara yang diminta.

C. Asas untuk Tidak Menyerahkan Warga Negara Sendiri

Negara memiliki tugas dan kewajiban untuk memberi perlindungan kepada warga negaranya. Pun dalam perkara kejahatan internasional, apabila warga negara Indonesia dituduhkan melakukan kejahatan dan mendapat permohonan ekstradisi untuk diadili di negera lain, Indonesia dapat menolak permintaan penyerahan dari negara peminta. Menurut data yang penulis himpun di samping Indonesia memiliki kekuasaan mutlak untuk menerapkan hukum, negara juga wajib memberikan jaminan keselamatan dan perlindungan kepada setiap warga negaranya (BPHN RI, 2020). Apabila warga negara Indonesia diserahkan kepada negara lain untuk diadili, akan terdapat keraguan warga negara yang bersangkutan tersebut mendapat jaminan dan perlindungan yang sama seperti yang di dapat di Indonesia. Selain itu, hukum dan sistem peradilan yang dilaksanakan di negara lain juga akan sangat berbeda dengan yang ada di Indonesia, oleh karena itu tidak ada jaminan apakah warga negara Indonesia yang diadili di negara lain mendapatkan keadilan yang seharusnya sesuai humum yang berlaku di Indonesia.

D. Asas Kewilayahan

Menyatakan bahwa Indonesia berhak untuk menolak permohonan ekstradisi yang diajukan negara peminta apabila kejahatan yang disangkakan oleh pelaku kejahatan dilakukan seluruhnya atau sebagian di wilayah kedaulatan Indonesia.

Secara sederhana, jika suatu kejahatan dilakukan di dalam wilayahnya, Indonesia berhak menolak permintaan ekstradisi dengan pertimbangan.

E. Orang yang Diminta untuk Diekstradisi sedang menjalani Proses Hukum di Indonesia

Berkaitan dengan Pasal 9, 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi menyatakan bahwa seseorang yang dimintai untuk diekstradisi sedang menjalani proses hukum di Indonesia untuk kejahatan yang sama. Yang dimaksud dengan proses adalah termasuk pemeriksaan, penuntutan dan peradilan. Proses tersebut kedepannya akan menentukan bersalah atau

(10)

31 tidaknya pelaku kejahatan yanf bersangkutan.

F. Asas Non bis in idem

Seseorang tidak boleh dituntut dan dihukum untuk pelanggaran yang sama lebih dari satu kali. Karena undang-undang melarang seseorang diadili dan dihukum dua kali untuk pelanggaran yang sama, konsep ini dirancang untuk memberikan kejelasan hukum bagi terdakwa..

G. Asas Kedaluarsa

Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, seseorang tidak dapat diserahkan (untuk ekstradisi) karena hak untuk menuntut atau melaksanakan putusan pidana telah berakhir (lapse of time). Pengertian kadaluwarsa adalah suatu peristiwa hukum telah terjadi dalam waktu yang sangat lama dan tidak pernah ada tindakan untuk memprosesnya, sehingga dianggap tidak pernah terjadi. Karena keterbatasan waktu, kejadiannya tidak bisa lagi apa-apa. Dalam sistem hukum masing-masing negara, batas waktu berakhirnya suatu tindak pidana atau pelanggaran berbeda-beda. Dalam kasus ekstradisi, tanggal kedaluwarsa biasanya ditentukan sebelumnya dalam perjanjian bilateral..

H. Asas Kekhususan

Mengatur bahwa negara peminta harus memberikan jaminan jika orang yang diekstradisikan tidak akan dituntut atau diadili karena kejahatan lain selain untuk kejahatan dia diekstradisikan. Dalam contoh ekstradisi AZA, Australia memohon ekstradisinya dengan tuduhan penyelundupan manusia dan pelanggaran keimigrasian. Oleh sebab itu Australia harus memberikan jaminan bahwa AZA tidak akan diadili atau dituntut karena kejahatan selain terkait pelanggaran keimigrasian dan penyelundupan manusia yang mungkin dilakukannya juga.

(11)

32

4.4 Tahapan dan Prosedur Pelaksanaan Ekstradisi Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia

4.4.1. Tahapan dalam Ekstradisi

Tahapan adalah runtutan yang memiliki awal dan akhir untuk melaksanakan suatu kegiatan. Pun dalam ekstradisi terdapat tahapan yang harus dilaksanakan oleh negara peminta dan negara diminta agar tidak terjadi pelanggaran dan disesuaikan dengan isi perjanjian. Menurut Iskandar dkk (2013:86) ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sesuai dengan undang-undang ektradisi yang berlaku di Indonesia sebagai berikut:

1. Pra Ekstradisi. Adalah langkah awal di mana informasi tentang lokasi buronan dikumpulkan sebelum permintaan ekstradisi dibuat. Jika buronan diketahui keberadaannya, diajukan permohonan penangkapan dan penahanan sementara (penangkapan sementara). Dalam kebanyakan kasus, proses pencarian, penangkapan, dan penahanan buronan memerlukan kerjasama dengan Polisi Internasional ( INTERPOL). Dalam beberapa kasus, ada juga hukum di beberapa negara yang mengharuskan permohonan penangkapan dan penahanan melalui saluran diplomatik negara bersangkutan. Apabila penangkapan dan penahanan buronan sudah dilaksanakan, maka negara peminta mengajukan permohonan ekstradisi sesuai dengan perjanjian kepada negara diminta.

2. Proses Ekstradisi. Setelah permohonan resmi disampakan, negara diminta akan melakukan proses ekstradisi. Negara diminta akan menjalankan prosesnya sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku dalam undang- undang yang berlaku atau sesuai dengan perjanjian yang ada. Melalui proses ini permohonan negara peminta akan ditentukan layak untuk diekstradisi atau justru ditolak karena tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Di beberapa negara, keputusan untuk mengabulkan permohonan ekstradisi ada pada kewenangan badan Yudikatif (Hakim/Pengadilan). Di Indonesia kewenangan untuk memutuskan ekstradisi dapat dilaksanakan ada pada

(12)

33 Presiden selaku badan Eksekutif. Putusan hakim dan pengadilan akan dijadikan bahan pertimbangan oleh Presiden.

3. Pelaksanaan Ekstradisi. Apabila negara diminta mengabulkan permohonan ekstradisi negara pemohon, maka ekstradisi harus segera dilaksanakan. Umumnya akan ada diskusi lebih lanjut antara negara pemohon dan negara diminta mengenai penyerahan buronan. Diskusi tersebut berisi kapan, tempat dan waktu dilaksanakannya penyerahan buronan. Selain itu ada juga ketentuan mengenai siapa saja pejabat yang menyerahkan dari negara diminta dan pejabat penerima dari negara peminta. Serta saksi, pengamanan dan administrasi pelaksanaan merupakah hal yang harus dipersiapkan oleh kedua negara yang melaksanakan ekstradisi.

4.4.2. Prosedur Ekstradisi

Setelah sebelumnya penulis menjabarka mengenai tahapan tentang ekstradisi, pada bagian ini penulis akan memaparkan mengenai prosedur yang harus dilaksanakan. Undang-undang no 1 tahun 1979 mengatur tentang prosedur permintaan ekstradisi dari negara peminta kepada pemerintah Indonesia. Adapun prosedur yang harus dijalani oleh negara peminta menurut Iskandar Hasan (2013:86) sesuai ketnetuan Undang- Undang adalah sebagai berikut:

Untuk memohonkan ekstradisi kepada pemerintah Indonesia, negara peminta tidak diperkenankan menyampaikan permohonan secara langsung tetapi harus melalui saluran diplomatik. Hal tersebut bersifat mutlak karena diatur melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1979 Dalam Pasal 22 Ayat 2.

Surat permintaan ekstradisi diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (MENKUMHAM) sebagai otoritas pusat.

MENKUMHAM kemudia akan mempertimbangkan surat permohonan tersebut apakah dianggap memenuhi persyaratan atau tidak sesuai undang-

(13)

34 undang atau perjanjian yang diusung antara kedua negara. Apabila permohonan yang diajukan dianggap belum memenuhi persyaratan, Menteri Hukum dan HAM akan memberikan kesempatan untuk negara peminta memperbaiki permohonannya dengan tenggang waktu tertentu. Apabila permohonan dianggap telah memenuhi persyaratan, maka MENKUMHAM akan meneruskan permohonan tersebut untuk ditindaklanjuti oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dan Jaksa Agung Republik Indonesia. Apabila negara pemohon belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Republik Indonesia, sebelum surat permohonan diserahkan kepada Kapolri dan Jaksa Agung, MENKUMHAM terlebih dahulu akan mengajukan permohonan kepada Presiden untuk ditinjau. Apabila Presiden telah menyetujui, baru permohonan dapat diteruskan kepada Kapolri dan Jaksa Agung.

Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Kapolri dan Kejaksaan Agung, berkas permohonan ekstradisi diajukan kepada Kejaksaan Negeri (Pasal 26). Apabila berkas permohonan dinyatakan sudah lengkap, maka dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari Kejaksaan Negeri harus segera mengajukan kepada Pengadilan Negeri (Pasal 27). Pengadilan negeri bertugas untuk melakukan pemeriksaan kembali terkait berkas permohonan tersebut dan mengeluarkan Penetapan Pengadilan mengenai bisa atau tidaknya orang yang dimohonkan diekstradisikan (Pasal 32-33). Apabila dalam permohonan ekstradisi negara peminta memohon untuk menyita barang bukti kejahatan, maka pengadilan negeri juga harus mengeluarkan keputusan tentang bisa atau tidaknya barang bukti tersebut diserahkan atau tidak (Pasal 43). Semua berkas dan keputusan pengadilan kembali diserahkan kepada Menkumham. Menkumham kemudian membawa semua keputusan dari Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri Luar Negeri untuk dismpaikan kepada Presiden RI sebagai bahan pertimbangan (Pasal 36).

Atas dasar pertimbangan yang diberikan oleh beberapa instansi tersebut, Presiden kemudian membuat keputusan terkait bisa atau tidaknya individu

(14)

35 yang dimohonkan untuk diekstradisi atau tidak (Pasal 35 ayat 2). Keputusan presiden tersebut kemudian disampaikan kepadan negara peminta oleh Menkumham melalui saluran diplomatik (Pasal 36 ayat 4). Keputusan presiden tersebut juga diteruskan kepada Menteri Luar Negeri RI, Jaksa Agung dan Kapolri sebagai arsip informasi (Pasal 38).

Apabila semua proses terlah dilaksanakan dan tidak ada kekurangan atau perbaikan yang diperlukan lagi, maka individu yang diminta dapat segera untuk diekstradisikan. Menteri Hukum dan HAM kemudian menyampaikan kepada pejabat negara peminta terkait tempat, tanggal dan waktu penyerahan (pasal 40) termasuk barang bukti kejahatan jika memang ada. Melalui Kementrian Hukum dan HAM, pejabat yang terlibat dan segala urusan admisitrasi terkait ekstradisi diatur agar tidak terjadi kesalahan dan hal yang tidak diinginkan ketika proses ekstradisi berlangsung.

Selanjutnya, setelah menerima penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Menkumham menyampaikan putusan tersebut kepada Presiden dengan disertai pertimbangan dari Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung, dan Kapolri agar untuk memperoleh keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Presiden kemudian memutuskan dapat atau tidaknya seseorang diekstradisi dalam ayat 2 pasal 36, setelah memperoleh penetapan dan pertimbangan-pertimbangan tersebut dalam ayat 1. Instruksi Presiden ini kemudian disampaikan kepada yang meminta. negara melalui jalur diplomatik oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia..

Jika dua negara atau lebih meminta ekstradisi seseorang untuk kejahatan yang sama atau berbeda pada saat yang sama, keputusan untuk menolak atau menyetujui ekstradisi Presiden akan mempertimbangkan faktor-faktor berikut.:

- Berat ringannya kejahatan;

- Tempat dimana kejahatan dilakukan;

- Waktu mengajukan permintaan ekstradisi;

(15)

36 - Kewarganegaraan orang yang diminta;

- Kemungkinan diekstradisikannya orang yang diminta oleh negara- peminta kepada negara lainnya.

Setelah mempertimbagkan hal tersebut di atas, maka Presiden akan membuat keputusan atas dasar keadilan. Ada dua kesepakatan internasional yang dipandang sebagai landasan bagi evolusi ekstradisi sebagai alat kerja sama penegakan hukum modern. Yang pertama adalah United Nations (UN) Convention on Transnational Organized Crime (UNTOC). Konvensi ini ditandatangani di Palermo, Italia, pada tahun 2000.. Konvensi ini berisi kesepakatan dan komitmen bersama negara- negara anggotanya untuk memerangi kejahatan Transnasional secara terorganisir. Ekstradisi sendiri menjadi bagian dari konvensi ini dan termuat dalam pasa 16. Berikutnya terdapat konnvesi PBB tentang Anti Korupsi atau dikenal dengan United Nations Against Corruption (UNCAC) yang ditandatangani dan disahkan di Meksiko tahun 2003.

Konvensi ini sejatinya merupakan wujud komitmen bersama negara- negara anggotanya untuk memberantas permasalahan korupsi. Ekstradisi juga dimasukan ke dalam konvensi ini pada pasal 44. Kedua konvensi ini menyediakan Ekstradisi sebagai sarana dan alat untuk memerangi tindak kejahatan internasional. Dalam kedua konvensi tersebut, menyatakan bahwa apabila suatu negara dalam sistem hukumnya hanya bisa melaksanakan ekstradisi atas dasar sebuah perjanjian, maka ratifikasi konvensi UNOTC dan UNCAC dapat dianggap sebagai bentuk perjanjian kerja sama antara negara-negara anggota di dalamya sehingga ekstradisi tetap dapat dijalankan. Handoyo (2010:16)

4.5 Perjanjian Esktradisi antara Indonesia dan Australia

Sebelumnya penulis telah memaparkan Hukum ekstradisi sesuai ketentuan Undang-Undang Di Indonesia. Pada sub-bab ini, penulis akan memaparkan perjanjian ekstradisi yang dijalin antara Indonesia dengan Australia sebagai bentuk kerja sama bilateral guna menciptakan keamanan di masing-masing negara.

(16)

37 Menurut Rahmana (2015:8), pasal-pasal perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Australia masih sesuai dengan prinsip-prinsip ekstradisi yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan Hukum Internasional. Akibatnya, ekstradisi dilakukan sesuai dengan hukum masing- masing negara yang menandatangani perjanjian.

Pemerintah Republik Indonesia dan Australia kemudian menandatangani Perjanjian Ekstradisi pada tanggal 22 April 1992 di Jakarta. Kesepakatan ini bertujuan untuk meningkatkan kerjasama penegakan hukum dan pencegahan kejahatan. Perjanjian ini dimaksudkan untuk mencegah orang-orang yang diduga, didakwa, atau bahkan dihukum karena suatu kejahatan untuk melarikan diri dari penuntutan, tuntutan, atau hukuman di daerah di mana kejahatan itu dilakukan.

Pelarian para pelaku kejahatan dipandang negatif oleh pemerintah Indonesia dan Australia, baik secara hukum maupun materil, khususnya bagi pelaku kejahatan ekonomi dan keuangan.

Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia ini akhirnya diadopsi menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994, menjadikan perjanjian ini sebagai aturan hukum di Indonesia, dan berlaku sampai sekarang. Daftar 33 pelanggaran yang dapat diekstradisi diatur dalam perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia. 33 Daftar kejahatan harus mencakup pelanggaran yang dihukum berdasarkan hukum Indonesia dan Australia dengan hukuman penjara minimum satu tahun atau jenis hukuman yang lebih berat. Daftar kejahatan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia dimuat pada pasal yang ke-2 sebagai berikut:

1. Pembunuhan berencana, pembunuhan

2. Kejahatan yang menyebabkan kematian orang

3. Kejahatan terhadap hukum mengenai pengguguran kandungan

4. Membantu atau membujuk atau menasehati atau memberi saran kepada orang lain untuk melakukan Tindakan bunuh diri.

(17)

38 5. Dengan maksud jahat dan berencana melukai atau mengakibatkan luka berat

dan penyerangan yang menyebabkan luka.

6. Penyerangan terhadap Hakim/Magistrat, pejabat polisi atau pejabat umum.

7. Penyerangan di kapal atau di pesawat udara dengan maksud membunuh atau menyebabkan luka berat.

8. Perkosaan atau penyerangan seks.

9. Perbuatan cabul dengan kekerasan.

10. Memberi sarana, atau memperjualbelikan Wanita atau orang muda dengan maksud amoral, hidup dari hasil pelacuran, setiap kejahatan lain terhadap hukum mengenai pelaacuran.

11. Bigamy

12. Penculikan, melarikan Wanita, memenjarakan secara tidak sah, perdagangan budak.

13. Mencuri, menelantarkan, menawarkan atau menahan anak secara melawan hukum.

14. Kejahatan terhadap hukum mengenai penyuapan.

15. Memberikan sumpah palsu, sumpah palsu, menghalangi peradilan; membujuk untuk memberikan atau menanggalkan jalannya.

16. Perbuatan menimbulkan kebakaran.

17. Kejahatan yang berhubungan dengan surat-surat berharga, pemalsuan uang.

18. Kejahatan terhadap hukum mengenai pemalsuan atau terhadap hukum mengenai penggunaan apa yang dipalsukan.

19. Kejahatan terhadap hukum mengenai pajak, bea cukai, pengawasan devisa atau mengenai pendapatan negara lainnya.

20. Pencurian; penggelapan; penukaran secara curang; pembukuan palsu dan curang, mendapatkan barang, uang, surat berharga atau kredit melalui upaya palsu atau cara penipuan lainnya, pendahan, setiap kejahatan lainnya yang berhubungan dengan penipuan;

21. Pencurian dengan pengrusakan rumah, pemberatan, pencurian dengan setiap kejahatan yang sejenis.

22. Perampokan

(18)

39 23. Pemerasan atau pemaksaan dengan ancaman atau dengan penyalahgunaan

wewenang.

24. Kejahatan terhadap hukum mengenai kepailitan keadaan pailit 25. Kejahatan terhadap hukum mengenai perusahaan

26. Pengrusakan barang dengan maksud jahat dan berencana.

27. Perbuatan yang dilakukan dengan maksud membahayakan keselamatan orang- orang yang berpergian denga kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara atau membahayakan atau merusak kereta api, kendaraan darat, kapal laut atau pesawat udara.

28. Pembajakan

29. Perbuatan yang melawan hukum terhadap kekuasaan nakhoda kapal laut atau kapten pilot pesawat udara.

30. Merampas secara melawan hukum, atau menguasai pengendalian atas kapal laut atau pesawat udara, dengan paksaana atau ancaman kekerasan atau dengan setiap bentuk intimidasi lainnya.

31. Perbuatan yang melawan hukum dari salah satu perbuatan yang ditentukan dalam ayat konvensi mengeai Pemberatasan Tindaka-tindakan Melawan Hukum yang Mengancam Keamanan Keamanan Penerbangan Sipil.

32. Kejahatan terhadap hukum mengenai obat-obat atau narkotika berbahaya.

33. Membantu, ikut serta, menasehati atau memberikan sarana, menjadi pembantu laku sebelum atau sesudah sesuatu perbuatan dilakukan, atau mencoba atau berkomplot melakukan suatu kejahatan yang disebutkan diatas.

Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa dasar pembuatan perjanjian ekstradisi antara Republik Indonesia dengan negara lain adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Agar suatu perjanjian ekstradisi dengan negara lain dapat dilaksanakan, perjanjian itu harus berhubungan dan sesuai dengan asas-asas yang ditetapkan dalam Undang-Undang Ekstradisi No. 1 Tahun 1979. Penulis akan merangkum ketentuan-ketentuan Perjanjian Ekstradisi Republik Indonesia dengan Australia sesuai dengan standar hukum ekstradisi.

Pelaksanaan segala perjanjian internasional, termasuk ekstradisi melibatkan

(19)

40 berbagai Lembaga negara dan pemerintahan. Guna tercapai hasil yang optimal dan efektif, perlu adanya koordinasi antar Lembaga sehingga diperlukan peraturan perundangan yang memberikan kejelaan dan jaminan kepastian hukum atas setipa aspek dari perjanjian internasional yang dibuat. Selain itu adanya perundangan yang jelas sebelum dibuat perjanjian internasional penting agar tidak menimbulkan kerancuan dan kesalahan dalam pelaksanaannya. Dari penjabaran yang telah penulis sampaikan, bisa ditelaah bahwa perjanjian ekstradisi yang disepakati oleh Indonesia dan Australia disusun berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan yang tertuang dan sesuai dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi.

Poin-poin dari setiap pasal perjanjian ekstradisi Indonesia dan Australia telah disusun sesuai dengan prinsip dan asas yang berlaku pada UU nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi. Segala tahapan dan prosesnya disesuaikan agar dalam pelaksanaan ekstradisi tidak ada kerancuan serta menunjang efektifitas dalam pelaksanaannya. Selain itu terdapat pertimbangan yang harus dipenuhi oleh negara sahabat dalam ini Australia selaku pemohon ekstradisi.

4.6 Implementasi Perjanjian dan Proses Ekstradisi Ahmad Zia Alizada

Pertama penulis akam memaparkan latar belakang permohonan ekstradisi yang dimohonkan Australia atas diri Ahmad Zia Alizadah kepada Indonesia. Ahmad Zia Alizadah juga dikenal memiliki nama lain Sikander, Ahmad Zia, Ahmed Zia, Said Sikander, Karbali Nazir, Iskander dan lain sebagainya adalah seorang pria kelahiran Afghanistan 5 Maret 1982 didakwa dengan kejahatan penyelundupan manusia menuju negara Australia. Karena dakwaan tersebut Ahmad Zia Alizadah ditahan di Indonesia kemudian dimintakan ekstradisinya oleh negara Australia. Permohonan ekstradisi Ahmad Zia Alizadah didasari atas tindak kejahatan yang dilakukannya dengan mengatur dan memberikan akomodasi imigran ilegal. Ahmad Zia Alizadah membawa dan memasukkan imigran dengan cara tidak resmi ke dalam wilayah negara Australia dari Kawasan Timur Tengan melalui beberapa negara persinggahan. Tersangka Ahmad Zia Alizadah juga terbukt menerima uang dari

(20)

41 para imigran dengan jumlah antara US$ 3.500 sampai dengan US$ 10.000 sebagai biaya akomodasi perjalanan dan logistic untuk menuju Australia.

Tindakan yang dilakukan Ahmad Zia Alizadah ini adalah bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Migrasi Australia tahun 1958 tentang tindak pidana penyelundupan manusia. Sesuai dengan Pasal 232A UU tersebut, memberikan akomodasi kepada kelompok warga asing untuk masuk ke dalam wilayah Australia.

Kemudia pada bagian 228a dari UU Migrasi tahun 1958 memberi otoritas kepada pihak berwenang Australia untuk mengadili Ahmad Zia Alizadah walaupun tindakannya ini terjadi di luar wilayah Australia dan secara fisik dia tidak berada di Australia selama kejahatan tersebut dilakukan.

Kejahatan yang dituduhkan tersebut dilakukan Ahmad Zia Alizadah beserta kelompoknya terjadi pada 4 periode waktu antara bulan Januari 2009 hingga bulan Mei 2010. Kejahatan dianggap terjadi Ketika Ahmad Zia Alizadah mengumpulkan imigran dari Afghanistan kemudian melakukan perjalanan ke negara transit seperti Republik Indonesia dan berakhir di sekitar wilayah kepulauan Christmas dan Pulau Ashmore di Australia. Peran Ahmad Zia Alizadah dalam tindak kejahatan penyelundupan imigran ini adalah:

- Memberikan saran dan bantuan kepada imigran ilegal untuk perjalanan ke Australia dengan menggunakan kapal melalui telepon atau secara langsung;

- Mengurus penerbangan, akomodasi dan transfer uang untuk para imigran selama di Indonesia;

- Memungut uang dari para imigran dengan nominal antara US$ 3.500 sampai dengan US$ 10.000 yang digunakan untuk biaya perjalanan dan keperluan para imigran selama masa perjalanan.

- Memberi fasilitas dan akomodasi bagi para imigran ilegal selama berada di Indonesia dan mengatur pemberangkatan menggunakan kapal menuju Australia;

(21)

42 - Mengatur tempat untuk kapal melakukan penjemputan dan

memberangkatkan imigran ke Australia.

Kemudian berikut ini adalah rentetan kejahatan yang didakwakan kepada Ahmad Zia Alizadah beserta kelompoknya selama beberapa periode waktu yang terjadi di wilayah Indonesia dan Australia menurut data dari Pengadilan Negeri Jogjakarta. Uraian kejahatan yang dimintakan ekstradisi adalah sebagai berikut:

1. Antara 1 Januari 2009 dan 1 Februari 2010 Ahmad Zia Alizadah beeserta kelompoknya membawa seorang yang diidentifikasi sebagai Abdullah Khan Ehsani untuk masuk ke Australia dengan tidak resmi. Kejadian ini berlangsung di Kawasan lautan antara Indonesia dan wilayah Christmas Island. Tindakan ini melanggar hukum Australia yang termuat dalam UU Migrasi 1958 bagian 233.

2. Perioden 1 Januari 2009 hingga 24 Februari 2010, Ahmad Zia Alizadah memberi fasilitas bagi 5 kelompok orang warga negara asing untuk masuk wilayah Australia tanpa izin. 5 orang asing yang dimaksud diidentifikasi bernama Mohammad Ali Rezwani, Mohammad Hussain Hassani, Yousef Yaqubi, Nawid Darweshi dan Liaqat Ali Bakhtyari Kejadian tersebut terjadi di antara wilayah lautan Indonesia dan Ashmore Island, Australia.

Pihak negara Australia mendakwa ini sebagai pelanggaran UU Migrasi 1958 bagian 233.

3. Antara 1 Januari 2009 dan 24 Februari 2010, Ahmad Zia Alizadah Kembali terlibat dalam membawa dan memfasilitasi kedatangan 2 orang yang diidentifikasi Bernama Mohammad Ali Rezwani dan rombongannya untuk masuk ke dalam wilayah Australia secara ilegal. Tindakan ini didakwa sebagai pelanggaran sebagai pelanggaran UU Migrasi 1958 bagian 233 negara Australia.

4. Antara 1 Januari 2009 dan 24 Februari 2010, Ahmad Zia Alizada terlibat membawa dan memfasilitasi seseorang yang diidentifikasi sebagai Abdullah Khan Ehsani untuk masuk ke wilayah Australia secara ilegal.

Kejadian tersebut terjadi di wilayah antara lautan Indonesia dan Ashmore

(22)

43 Island. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Migrasi Australia 1958 (Migration Actt 1958) melanggar bagian 233 ayat 1a.

5. Antara 1 Januari 2009 dan 24 Februari 2010, Ahmad Zia Alizada terlibat membawa dan memfasilitasi seseorang yang diidentifikasi sebagai Yousef Yaqubi untuk masuk ke wilayah Australia secara ilegal. Kejadian tersebut terjadi di wilayah antara lautan Indonesia dan Ashmore Island. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Migrasi Australia 1958 (Migration Actt 1958) melanggar bagian 233 ayat 1a.

6. Antara 1 Januari 2009 dan 24 Februari 2010, Ahmad Zia Alizada terlibat membawa dan memfasilitasi seseorang yang diidentifikasi sebagai Nawid Darweshi untuk masuk ke wilayah Australia secara ilegal. Kejadian tersebut terjadi di wilayah antara lautan Indonesia dan Ashmore Island. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Migrasi Australia 1958 (Migration Actt 1958) melanggar bagian 233 ayat 1a.

7. Antara 1 Januari 2009 dan 24 Februari 2010, Ahmad Zia Alizada terlibat membawa dan memfasilitasi seseorang yang diidentifikasi sebagai Liaqat Ali Bakhtyar untuk masuk ke wilayah Australia secara ilegal. Kejadian tersebut terjadi di wilayah antara lautan Indonesia dan Ashmore Island. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Migrasi Australia 1958 (Migration Actt 1958) melanggar bagian 233 ayat 1a.

8. Antara 1 Januari 2009 dan 7 Maret 2010, Ahmad Zia Alizada terlibat membawa dan memfasilitasi seseorang yang diidentifikasi sebagai Safar Ali Ashouri untuk masuk ke wilayah Australia secara ilegal. Kejadian tersebut terjadi di wilayah antara lautan Indonesia dan Ashmore Island. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Migrasi Australia 1958 (Migration Actt 1958) melanggar bagian 233 ayat 1a.

9. Antara 1 Januari 2009 dan 7 Maret 2010, Ahmad Zia Alizada terlibat membawa dan memfasilitasi seseorang yang diidentifikasi sebagai Jalil Ahmad Malikzad Ehsani untuk masuk ke wilayah Australia secara ilegal.

Kejadian tersebut terjadi di wilayah antara lautan Indonesia dan Ashmore

(23)

44 Island. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Migrasi Australia 1958 (Migration Actt 1958) melanggar bagian 233 ayat 1a.

10. Antara 1 Januari 2009 dan 12 Mei 2010, Ahmad Zia Alizada terlibat membawa dan memfasilitasi seseorang yang diidentifikasi sebagai Abdullah Khan Ehsani untuk masuk ke wilayah Australia secara ilegal.

Kejadian tersebut terjadi di wilayah antara lautan Indonesia dan Ashmore Island. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Migrasi Australia 1958 (Migration Actt 1958) melanggar bagian 233 ayat 1a.

Tindakan pidana yang dilakukan Aahmad Zia Alizadah selaku termohon ekstraddisi merupakan pelanggaran Undang-Undang Migrasi Australia 1958 (Migration Actt 1958), juga merupakan tindak pidana di Inonesia. Tindak pidana yang dimaksudkan dalam hukum Indonesia adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian. Hal ini memenuhi ketentuan dalam pasal 1 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Esktradisi antara Republik Indonesia dan Australia yang berbunyi:

Perjanjian ini menegaskan bahwa kejahatan yang dapat diekstradisi adalah kejahatan yang dapat dipidana menurut hukum Indonesia atau Australia dengan hukuman penjara minimal satu tahun atau hukuman yang lebih berat.

Ekstradisi dimungkinkan untuk 33 (tiga puluh tiga) kategori pelanggaran yang berbeda. Konsep kriminalitas ganda diterapkan dengan menganut sistem bahwa kegiatan kriminal yang dapat diekstradisikan harus merupakan tindakan yang ditetapkan sebagai tindak pidana di kedua negara..

Faktor lain yang membuat sahnya permintaan ekstradisi Ahmad Zia Alizada berdasarkan perjanjian adalah bahwa kejahatan yang dilakukan tidak bersifat politik atau militer. Jadi, menurut premis yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Pasal 32b tentang ekstradisi,

tindak pidana yang dipersoalkan adalah pidana yang dapat diekstradisi menurut Pasal 4 dan bukan merupakan tindak pidana politik atau militer

Hukuman yang didakwakan terhadap termohon juga tidak diancam dengan pidana mati baik oleh Indonesia maupun Australia. Ancaman pidana maksimal yang

(24)

45 bisa diterima oleh Ahmad Zia Alizadah dari Australia adalah maksimal 20 tahun hukuman penjara. Sedangkan di Indonesia hukuman untuk tindak pidana yang sama juga tidak diancam dengan hukuman mati tetapi hukuman penjara selama maksimal 15 tahun. Oleh dasar Pasal 13 UU nomor 1 tahun 1979 yang menyatakan bahwa permintaan ekstradisi dapat ditolak apabila kejahatan yang dilakukan termohon diancam hukuman mati menurut aturan yang berlaku di negara pemohon.

Berdasarkan pemaparan yang penulis sampaikan, asas kejatan ganda (double criminality principle), serta beberapa ketentual lainnya dalam Undang-Undang nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Esktradisi antara Republik Indonesia dan Australia dan Undang-Undang nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi telah terpenuhi. Permohonan ekstradisi dapat dilakukan.

4.7 Pelaksanaan Prosedur Ekstradisi dan Keterlibatan ICPO- INTERPOL

International Criminal Police Organization (ICPO) Interpol adalah sebuah organisasi kepolisian internasional dimana anggotanya adalah negara di seluruh dunia. Organisasi ini tebentuk pada tahun 1923 melalui kongres di Wina dengan nama awal International Criminal Police Comission (ICPC) hingga pada tahun 1956 berubah nama menjadi ICPO Interpol hingga sekarang dan bermarkas pusat di Lyon Paris. ICPO Interpol bertujuan menjadi wadah untuk kerja sama kepolisian secara global dengan misi untuk menyediakan fasilitas pertukaran informasi dan koordinasi guna menegakan hukum dan memerangi kejahatan Internasional (Hassan&Naramurti, 2013:3).

Interpol memiliki kantor sekretariat di masing-masing negara anggotanya termasuk Indonesia dan Australia. Secretariat pada masing-masing negara anggota ini dikenal dengan National Central Bureau (NCB) Interpol yang menjadi jalan untuk pertukaran informasi dengan negara anggota lainnya. Dalam kasus ekstradisi Ahmad Zia Alizada, Sekretariat interpol Canbera Australia megirimkan Red Notice no A-2854/5/2013 tanggal 13 Mei 2013 untuk permohonan penangkapan Ahmad

(25)

46 Zia Alizada yang berstatus buronan Internasional. Ahmad Zia Alizadah sebelumnya telah tertangkap di Kawasan Gunung Kidul Yogyakarta terkait kasus pelanggaran imigrasi dan telah selesai menjalani masa tahanan. Setelah menerima pemberitahuan Red Notice yang dilayangkan NCB Interpol Canberra, Polda Yogyakarta selaku pemegang otoritas wilayah menahan Ahmad Zia Alizadah untuk diproses pelaksanaan ektradisinya sesuai permohonan Australia. Pasal 22 ayat 2 Undang-undang no 1 tahun 1979tentang syarat yang harus dipenuhi oleh negara peminta:

Surat permintaan ekstradisi harus diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatic kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia untuk diteruskan kepada Presiden”

Australia melalui Michael Fayat Keenan selaku Minister for Justice of the Commonwealth of Australia (Menterri Kehakiman) melayangkan beberapa dokumen penunjang untuk memohonkan ekstradisi sebagai berikut:

A. Surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang negara peminta (Australia). Surat ini dipenuhi dan tertuang dalam Arrest Warrant (Perintah Penangkapan) dengan nomor W13/0034-85 tanggal 6 Mei 2013 yang dikeluarkan oleh Magister Court of Western Australia (Pengadilan Hakim di western Australia).

B. Uraian dari kejahatan yang dimintakan ekstradisi, dengan menyebutkan waktu dan tempat kejahatan dilakukan oleh termohon. Berkas ini menurut dokumen Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta dilengkapi Australia dengan melampirkan Pernyataan Penuntut (affidavit by Prosecutor) oelh Candice A. Haines, pengacara di Direktur Kejaksaan Persemakmuran Australia.

C. Ketentuan hukum yang dilanggar di negara peminta:

-Bagian 232Aa UU Migrasi (Australian Migration Act) menetapkan

“seseorang yang mengurus atau mempermudah membawa ke Australia dan melakukannya tanpa peduli apakah orang yang dibawa mempunyai hak menurut undang-undang dating ke Australia dinyatakan bersalah atas

(26)

47 tindak pidana yang dapat dihukum dengan pidana penjara selama 20 tahun atau denda sebesar AUD 220,000 atau dua-duanya.”

D. Keterangan saksi di bawah sumpah mengenai pengetahuannya tentang kejahatan yang dilakukan. Penulis mengutip dari Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia bahwa keterangan saksi ini dismpaikan oleh:

- Zazan Putra Rahardian, Anggota Direskrimum unit Bangtah Subdit II Harda Polda DIY

- Angus Mcgilvray, Agen Federal- Australian Federal Police dari kedutaan Besar Australia di Jakarta.

- Deny Wahyu Ajo, Anggota unit II/PPA Polres Gunung Kidul;

- Joko Purwadi, S.H., Anggota unit II/PPA Polres Gunung Kidul.

Persyaratan dan kelengkapan untuk melaksanakan ekstradisi telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Untuk itu tidak ditemukan alasan untuk dapat menolak permohonan ekstradisi atas Ahmad Zia Alizadah.

Pengadilan Negeri Sleman melalui Ketua Majelis Hakim Widodo, S.H., M.H.

dan Emmy Heraway, S.H. serta Joko Siswanto, S.H., M.H. selaku Hakim Anggota Majelis kemudian mengeluarkan keteteapan dengan nomor 73/PID.SUS/2015/PT YYK tanggal 21 September 2015 sebagai berikut:

1. Menyatakan permohonan Esktradisi yang diajukan oleh Pemerintah Australiatelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi;

2. Menetapkan termohon Ahmad Zia Alizadah yang dikenal juga dengan nama Sikander, Sekander, Ahmed Zia Alizadah sebagaimana tersebut dalam permohonan ini dapat diekstradisi ke Australia memenuhi permintaan dari Pemerintah Australia;

3. Menetapkan agar termohon atas nama Ahmad Zia Alizadah tetap ditahan sampai dengan ditetapkannya Keputusan Presiden terhadap permintaan ekstradisi ini.

(27)

48 Setelah pengadilan secara resmi memutuskan untuk mengabulkan permohonan Australia untuk melakukan ekstradisi, keputusan ini kemudian diserahkan kepada Kementerian Kehakiman untuk kemudian diserahkan kepada Presiden Indonesia sebagai pertimbagan untuk melaksanakan ekstradisi. Joko Widodo selaku Presiden Indonesia yang menjabat pada saat itu kemudian mengeluarkan keputusan Presiden nomor 9 Tahun 2017 pada tanggal 12 April yang menyatakan Ahmad Zia Alizadah dapat diekstradisikan. Proses ekstradisi Ahmad Zia sendiri dijalankan pada tanggal 13 Juli 2017. Proses serah terima tahanan dilakukan di terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang Banten Indonesia. Ahmad Zia dikawal oleh petugas dari Kejaksaan serta utusan dari NCB-Interpol Indonesia untuk kemudia diserahkan kepada utusan terkait dari Australia selaku penerima dan pemohon ekstradisi untuk kemudia menjalankan proses hukum di Australia.

Proses ekstradisi memakan waktu relatif Panjang semenjak penetapan oleh pengadilan. Menurut data yang penulis dapat dari laporan tahunan Kejaksaan Republik Indonesia tahun 2017, proses ekstradisi sempat harus menunggu keputusan yang dibuat oleh Presiden. Selain itu terdapat nota diplomatik yang dating dari Kedutaan Besar Afghanistan yang memohon penundaan warga negaranya Ahmad Zia Alizadah untuk diekstradisi karena memiliki isu Kesehatan jantung sehingga perlu perawatan lebih mendalam.

4.8 Kerja Sama Internasional dan Kejahatan Penyelundupan Manusia

Kerja sama dalam bentuk perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Australia memperlihatkan adanya pertemuan kepentingan antar kedua negara. Permasalahan kedaulatan karena imigran ilegal menjadi pemicu kesadaran perlunya kerja sama antar negara disamping memperkuat pertahanan nasional masing-masing. Pelaku kejahatan dengan berbagai system operasi yang mereka ciptakan menjadi sebuah tantangan dan permasalahan baru bagi penegakan hukum. Ahmad Zia Alizada berhasil memanfaatkan celah dan kelengahan pengawasan perbatasan dengan memasukan imigran secara ilegal menunjukan negara tidak bisa bergerak sendiri yang mendorong kesadaran negara-negara untuk saling bekerja sama dengan tetap

(28)

49 menghormati kepentingan nasional masing-masing (Zulkifli 2012).

Teori kerja sama international yang dikemukakan K.J Holsti mengungkapkan karena ada pertemuan kepentingan dan kesadaran untuk bekerja sama itulah Indonesia dan Australia menggunakan perjanjian yang telah sama-sama disepakati untuk bukan hanya memerangi tetapi juga untuk dapat mencegah kejahatan terus berulang dengan menghukum pelakunya. Dalam proses ekstradisi terdapat pertukaran informasi antara utusan diplomatic Indonesia dan Australia guna menjalankan perjanjian yang telah dibuat. Adanya asas dan ketentuan yang dipatuhi oleh Australia dalam perjanjian ekstradisi dengan Indonesia serta hukum nasional yang berlaku mengindikasikan adanya kepercayaan kedalam kesepakatan bersama kedua negara. Dan juga ada tujuan bersama memerangi dan mencegah tindak kejahatan internasional yang mengancam kedaulatan kedua negara dapat diatasi bersama. Selain itu hadirnya ICPO Interpol sebagai sarana pertukaran informasi menjadi penting untuk mewujudkan pertukaran informasi.

Ekstradisi yang dilakukan Indonesia, khususnya permintaan ekstradisi oleh Pemerintah Australia terhadap Ahmad Zia Alizadah yang dituding sebagai human trafficking merupakan contoh kerjasama internasional dan kejahatan internasional.

Pemerintah Indonesia mengesahkan permintaan ekstradisi ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 yang dirilis pada 12 April 2017. Ahmad ditangkap dan dipenjarakan di Lapas Cebongan Yogyakarta. Ahmad sempat ditahan di Indonesia sebelum diserahkan ke pihak berwenang Australia pada 13 Juli 2017, yang membawanya ke Perth (KOMPAS, 2017)..

Australia menganggap Indonesia sebagai mitra penting dalam menjaga stabilitas keamanan (Kompas, 13 Juni 2011). Hal ini mengingat banyaknya kejahatan transnasional yang dilakukan antara kedua negara, salah satunya adalah korupsi, seperti yang dijelaskan dalam penelitian ini. Melalui NCB-INTERPOL, Indonesia dan Australia juga telah bekerjasama dalam ekstradisi pelaku, salah satunya Ahmad Zia Alizadah. Selain komitmen untuk memerangi kejahatan transnasional, Indonesia dan Australia memiliki Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Persemakmuran Australia tentang

(29)

50 Pemberantasan Kejahatan Lintas Negara dan Pengembangan Kerjasama Kepolisian.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi : (1) apakah perjanjian kawin yang dibuat di bawah tangan sah menurut ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia.. Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor

Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang No 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi pasal 8 Jo Pasal 34 yaitu Pasal 8 : Setiap orang yang dengan sengaja atau atas

Kesimpulan yang dapat ditarik melalui tulisan ini adalah kriteria perjanjian lisensi yang melanggar Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek memuat ketentuan yang

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1.Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Perkawinan di Indonesia Peraturan Perundang – undangan berubah pasca putusan MK Nomor

Ad.3 Unsur yang tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 8 ayat 1 huruf a UU RI Nomor 8 Tahun