• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Menginisiasi Pembentukan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Menginisiasi Pembentukan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Konseptual

2.1.1 Konsep Kepentingan Nasional

Konsep kepentingan nasional merupakan dasar yang menentukan pengambilan keputusan dan kebijakan luar negeri setiap negara. Kepentingan nasional umumnya digunakan dalam dua cara, yang pertama untuk menggambarkan, membenarkan atau menentang kebijakan luar negeri dan kedua, sebagai alat analisis untuk menilai dan menjelaskan perilaku eksternal negara-bangsa.

Kepentingan nasional yang mendasari kebijakan luar negeri yang diambil suatu negara akan selalu mengarah pada upaya untuk mengejarpoweratau kekuasaan. Dengan adanyapoweryang dimiliki, suatu negara dapat menggunakannya untuk mengontrol negara-negara lain.

Kepentingan nasional erat kaitannya dengan self-determination atau prinsip penentuan nasib sendiri yang didefinisikan dalam hal hak kelompok nasional untuk diatur bersama dan untuk membentuk komunitas politik yang independen atau kedaulatan akan berada di tangan negara. Hubungan internasional sekarang bukan diatur oleh kepentingan pribadi, ambisi dan emosi raja, tetapi oleh kepentingan kolektif, ambisi dan emosi bangsa (Carr, 1945:8).

Hans J. Morgenthau mendefinisikan kepentingan nasional sebagai kemampuan minimum yang dimiliki suatu negara yang digunakan untuk mempertahankan, menjaga, dan melindungi identitas politik, fisik, dan kultur dari ancaman negara lain. Dengan adanya kepentingan nasional, dalam mengambil kebijakan, negara kemudian akan melakukan berbagai cara baik itu melalui konflik maupun kerjasama. Kepentingan nasional tidak ditentukan oleh keinginan seseorang atau keberpihakan suatu pihak tetapi suatu negara harus menerapkan kemampuan rasional mereka dalam menetapkan kebijakan luar negeri (Morgenthau, 1977:9). Kepentingan nasional biasanya didefinisikan dalam hal kemampuan strategis dan ekonomi terutama karena politik internasional dilihat sebagai perebutan kekuasaan antar negara. Namun, Morgenthau mengakui bahwa definisi kekuasaan akan berubah dari waktu ke waktu. Pada beberapa kesempatan kekuatan ekonomi akan menjadi penting, di lain waktu kekuatan militer atau budaya akan menentukan.

(2)

Menurut Morgenthau, keinginan akan kekuasaan yang ia anggap sebagai kekuatan pendorong utama di balik perilaku negara, merupakan karakteristik internal atau endogen negara.

Negara dipimpin oleh manusia yang memiliki keinginan bawaan untuk berkuasa. Ini berarti negara memiliki apa yang disebut Morgenthau sebagai 'nafsu kekuasaan tanpa batas' dan selalu mencari peluang untuk mendominasi saingan mereka. Meskipun Morgenthau menyadari kendala struktural dari sistem anarkis, kekuatan pendorong dalam politik internasional adalah keinginan untuk supremasi strategis yang pada akhirnya berakar pada sifat manusia.

Sedangkan dari perspektif realis struktural seperti yang dikemukakan oleh Waltz, ia menganggap kepentingan nasional sebagai bentuk anarki. Waltz berpendapat bahwa negara-negara yang ingin mengejar tujuan moral dipaksa oleh anarki untuk menentukan kepentingan nasional mereka jika tidak dalam hal kekuasaan, setidaknya dalam hal kepentingan yang lebih material. Preferensi negara yang dihasilkan secara internal menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh anarki, yang mengarah pada redefinisi kepentingan nasional. (Donnelly, 2000).

Oleh karena itu, bagi Neorealis, kepentingan nasional negara secara luas identik karena corak internal atau domestik negara sebagian besar tidak relevan dengan tugas diplomatik utama mereka yaitu kelangsungan hidup. Dengan kata lain, bagi kelompok Neorealis, kepentingan nasional ditentukan oleh kondisi anarkis sistem internasional.

Ketika Morgenthau mengklaim negara mencari kekuasaan absolut, Waltz mengklaim mereka mencari keamanan yang dapat diperoleh dengan kekuatan relatif. Kekuatan relatif bisa dibilang hanya menjadi pertimbangan bagi negara-negara dengan pendekatan kebijakan luar negeri yang kompetitif. Menurut Waltz, negara tidak memiliki kepribadian agresif atau kebutuhan bawaan untuk mendominasi orang lain, seperti yang diklaim Morgenthau, melainkan didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan kekuatan relatif mereka karena itu adalah cara terbaik untuk mengamankan kelangsungan hidup mereka di dunia yang anarkis.

Donald E. Nuechterlein, kepentingan nasional suatu negara terdiri atas empat kepentingan dasar (basic interest) yang memotivasinya dalam mengambil keputusan terkait kebijakan luar negerinya. Kepentingan dasar yang pertama ialah kepentingan pertahanan dan keamanan (defense interest). Kepentingan keamanan berkaitan dengan kepentingan negara dalam melindungi wilayah maupun warga negaranya terhadap ancaman dari negara lain. Kepentingan yang kedua ialah kepentingan ekonomi (economic interest). Kepentingan ini merupakan upaya negara dalam meningkatkan perekonomiannya dengan cara membangun relasi dan kerjasama

(3)

dengan negara-negara lain. Kepentingan yang ketiga ialah kepentingan tatanan dunia (world order interest). Kepentingan tatanan dunia didefinisikan sebagai upaya negara dalam menjamin dan memelihara sistem politik dan ekonomi dimana negara dapat merasakan rasa aman dan baik rakyatnya maupun badan usaha dapat beroperasi di luar negaranya dengan bebas. Kepentingan yang keempat ialah kepentingan ideologi (ideologic interest). Kepentingan ideologi merupakan kepentingan negara untuk mempertahankan dan melindungi nilai-nilai ideologi negaranya dari ancaman ideologi negara lain. (Nuechterlein, 1978).

2.2. Kerangka Teori

2.2.1 Teori Neorealisme

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori neorealisme ofensif. Teori Neorealisme merupakan teori yang muncul sebagai kritik terhadap teori realisme klasik. Neorealisme memberikan kritik terhadap asumsi dasar realisme klasik yang menyatakan bahwahuman nature atau sifat dasar manusialah yang mendasari perilaku negara dalam perpolitikan dunia.

Neorealisme memberikan bantahan bahwa yang mendasari perilaku negara bukanlah sifat dasar individu atau elit negara melainkan karena adanya struktur atau sistem anarki dalam hubungan internasional. Struktur anarki inilah yang memaksa negara dalam mengambil kebijakan yang bersikap agresif (Mearsheimer, 2013:78).

Struktur internasional yang bersifat anarki ini membuat negara merasa pesimis dan merasa insecure terhadap negara lain sehingga menyebabkan setiap negara akan selalu berusaha untuk mengejar kekuatan (power) dan berusaha untuk mencapai kapabilitas keamanan (security) semaksimal mungkin. Kekuatan (power) dalam pandangan neorealisme adalah kemampuan negara dalam mencapai keamanan militer maupun ekonomi yang kuat. John Mearsheimer melihat power atau kekuatan sebagai tujuan utama yang harus dicapai oleh setiap negara (Mearsheimer, 2001). Neorealis melihat kekuasaan (power) sebagai kemampuan gabungan dari sebuah negara. Negara-negara dibedakan dalam sistem berdasarkan kekuatannya dan bukan berdasarkan fungsinya. Kekuasaan memberi negara tempat atau posisi dalam sistem internasional.

Dalam halpower,John Mearsheimer (2001) melihatnya sebagai tujuan yang harus dikejar dan dimiliki oleh setiap negara. Hal ini dikarenakan, menurut Mearsheimer dalam hubungan internasional tujuan setiap negara berinteraksi adalah untuk menjadi hegemon. Setiap kebijakan

(4)

yang dikeluarkan negara harus berupaya untuk mencapai kekuatan yang maksimal. Pandangan yang dikemukakan oleh Mearsheimer ini sering disebut sebagai offensive realism yang memposisikan tujuan Neorealisme sebagai pencapaian supremasi kekuatan sebagai tujuan interaksi setiap negara.

Booth (2011) menjelaskan bahwa neorealisme melihat sistem internasional sebagai kontes antar negara dengan struggle for power yang merupakan hasil dari sistem anarki dan dicirikan oleh pola distribusi kekuasaan (distribution of power). Dengan adanya struggle for power dan rasa tidak aman, negara-negara kemudian berjuang untuk mencari keselamatan masing-masing (survival) dan mekanisme pertahanan diri (self-help) melalui peningkatan kapabilitas. (Grieco, 1988). Peningkatan kapabilitas ini dapat dilakukan salah satunya dengan melalui kerja sama aliansi dengan negara-negara yang memilikipowerbesar.

Dari pemahaman dasar yang dimiliki Neorealisme bahwa manusia memiliki sifat dasar yang konfliktual juga dihadapkan pada kondisi struktur internasional yang anarki sehingga membuat negara-negara saling curiga satu sama lain. Hal ini disebabkan karena sulitnya suatu negara dalam menafsirkan niat atau intensi dari tingkah laku negara lain secara pasti (Mearsheimer, 2013). Intensi atau niatan setiap negara merupakan hal yang sulit untuk diidentifikasi maksud maupun motifnya. Kondisi ketidakpastian ini mendorong asumsi neorealis bahwa setiap negara selalu menaruh curiga dan memiliki kewaspadaan terhadap negara lain sehingga setiap negara akan mengedepankan kemajuan kapabilitas dan kekuatannya.

Kaum neorealis berpendapat bahwa karena politik internasional merupakan struktur yang anarkis dan memaksa setiap negara untuk memperjuangkan survivalitas negaranya, maka dalam politik internasional harus terdapat lebih dari satu aktor superpower (Mearsheimer, 2013). Hal ini bertujuan agar terdapat keseimbangan kekuatan (balance of power) dalam struktur internasional.

Dalam pandangan neorealis,balance of powerdapat terbentuk ketika terjadi kondisi dimana satu aktor superpower menjadi penentu dalam sistem internasional. Sama seperti Mearsheimer, Waltz berpandangan bahwa keseimbangan kekuatan dapat terwujud jika terdapat dua aspek yang terpenuhi yaitu kondisi tatanan yang anarkis dan kondisi dimana tatanan tersebut berisikan aktor yang ingin selamat dari ancaman.

Keseimbangan kekuatan (balance of power) berdasarkan pada gagasan meeting force with force yang berarti balance of power akan dapat tercapai apabila terdapat dua aktor yang memiliki kekuatan seimbang saling bertemu. Hal ini dapat dilogikakan dengan kondisi apabila

(5)

kedua aktor dengan kekuatan besar tersebut saling serang satu sama lain maka kemungkinan untuk menang maupun kalah adalah 50:50 atau dengan kata lain kemungkinan kedua aktor tersebut untuk menang ataupun kalah sama-sama seimbang. Berangkat pada logika tersebut, dengan adanya dua kekuatan pada struktur internasional, maka kedua aktor akan berpikir berkali-kali untuk saling serang satu sama lain.

Dalam realisasinya, neorealis juga melihat bahwa negara akan cenderung memaksimalkan keuntungan dan kepentingan nasionalnya dalam melakukan kerjasama.

Kepentingan nasional seringkali dijadikan sebagai kriteria atau tolak ukur bagi para pengambil kebijakan negara dalam merumuskan dan menetapkan keputusan atau tindakan. Salah satu pemikir neorealisme, Joseph Grieco (1988), berfokus pada konsep keuntungan relatif dan absolut (relative and absolute gains). Grieco memberikan kritik terhadap neoliberalis yang menyatakan bahwa negara hanya tertarik terhadap keuntungan absolut saja. Grieco menyatakan bahwa negara-negara tertarik untuk meningkatkan kekuatan dan pengaruh mereka (keuntungan absolut), dan dengan demikian akan bekerja sama dengan negara lain untuk meningkatkan kapabilitas mereka. Namun, Grieco juga mengatakan bahwa negara juga peduli akan seberapa besar kekuatan dan pengaruh yang mungkin dicapai negara lain (keuntungan relatif) dalam setiap kerjasama yang dilakukan.

Kenneth Waltz mengemukakan sejumlah poin mengenai konsep neorealisme. Yang pertama adalah bahwa negara harus menerima bahwa mereka dapat mempengaruhi tetapi tidak mengendalikan lingkungan anarkis tempat mereka berada. Hal ini mendukung keyakinan Waltz pada kekekalan relatif dari struktur sistem internasional. Kedua, kelangsungan hidup negara harus didahulukan sebelum tujuan kebijakan lainnya, seperti kemakmuran ekonomi atau komitmen etis yang lebih tinggi. Pada dasarnya, kepentingan nasional terdiri dari keamanan negara dalam suatu lingkungan yang tidak dapat diubah sedikit pun. Ini tidak diperdebatkan secara luas, tetapi mengingat keamanan negara tertentu tidak selalu berisiko, mungkin bebas untuk mempertimbangkan prioritas lain – yaitu kewajiban terhadap kemanusiaan – tanpa merasakan kendala prioritas apa pun yang mengharuskannya untuk mengatasi masalah keamanan.

Ketiga, kemampuan suatu negara untuk mencapai keamanannya akan ditentukan oleh kekuatan relatifnya daripada kekuatan absolutnya – yaitu berhadapan dengan negara lain.

Menurut Waltz, mengatakan bahwa suatu negara bertindak sesuai dengan kepentingan

(6)

nasionalnya berarti, setelah memeriksa persyaratan keamanannya, ia mencoba untuk memenuhinya. Itu sederhana; itu juga penting. Tercakup dalam konsep kepentingan nasional adalah gagasan bahwa langkah-langkah diplomatik dan militer kadang-kadang harus direncanakan dengan hati-hati agar kelangsungan hidup negara dalam bahaya. Tindakan negara yang tepat dihitung sesuai dengan situasi di mana negara menemukan dirinya. Kekuatan besar, seperti perusahaan besar, selalu harus memungkinkan reaksi orang lain. Setiap negara bagian memilih kebijakannya sendiri. Untuk memilih secara efektif membutuhkan pertimbangan tujuan negara dalam kaitannya dengan situasinya. (Waltz, 1979).

Teori neorealisme ofensif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan penyebab pergeseran fokus Amerika Serikat ke kawasan Indo-Pasifik dalam dekade terakhir dan terutama melihat apa yang mendasari kepentingan Amerika Serikat dalam menginisiasi pembentukan Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Penelitian ini akan menggunakan asumsi neorealisme ofensif yang memandang bahwa peningkatan power adalah strategi yang tepat dan utama untuk dapat menjadi hegemoni di dunia yang anarkis. Peningkatanpowerdapat dilakukan dengan penambahan persenjataan, diplomasi unilateral, kerjasama ekonomi politik dan juga ekspansi secara agresif ke negara ataupun kawasan lain (Mearsheimer, 2007). Dengan adanya hegemoni, suatu negara dapat memiliki rasa aman dan menjamin survivalitas negaranya.

2.3. Penelitian Terdahulu

No. Penelitian Hasil Penelitian 1. Wei Zongyou dan Zhang

Yunhan (2021),The Biden Administration's

Indo-Pacific Strategy and China-US Strategic Competition

Jurnal ini membahas mengenai strategi Indo-Pasifik pemerintahan Biden secara umum dan kebijakan Cina pada khususnya. Jurnal ini juga lebih menekankan dinamika persaingan Cina dan AS di kawasan Indo-Pasifik. Jurnal ini berpendapat bahwa ketika persaingan kekuatan besar menjadi isu sentral dalam perencanaan kebijakan luar negeri AS, Presiden Biden kemungkinan akan memusatkan strategi Indo-Pasifik yang muncul di sekitar postur strategis Washington terhadap Beijing. Pemerintahan Biden akan

(7)

menggabungkan unsur-unsur pendekatan strategis yang diadopsi oleh pemerintahan Trump dan Obama dan mengutamakan untuk menopang aliansi dan kemitraan regional dan global untuk melawan kekuatan dan kehadiran Cina yang terus bertumbuh.

2. Juan Liu, Min Li, et al (2022), Comparative Analysis of RCEP and IPEF from the China-U.S.

Competition

Penelitian ini membahas mengenai analisis perbandingan antara RCEP dan IPEF dari sisi persaingan Cina dan Amerika Serikat. Penelitian ini menjelaskan latar belakang terbentuknya dua kerjasama regional ini, serta membandingkan dua kerjasama regional tersebut dari sisi substansinya.

Menurut jurnal ini, terdapat konflik kepentingan di antara ekonomi yang terlibat dalam RCEP dan IPEF, dan ada perbedaan dalam tujuan kerjasama, kekuatan pengikat, standar integrasi, serta kekuatan pendorong, yang dapat menyebabkan persaingan sengit di antara mereka dalam proses integrasi ekonomi Indo-Pasifik.

Penelitian yang dilakukan berdasarkan sudut pandang dasar teori stabilitas hegemoni dan teori transisi kekuasaan. Jurnal ini juga menganalisis prospek kedua perjanjian dari krisis rantai pasokan global, kebijakan luar negeri Amerika, kemajuan substansial kedua perjanjian dan keamanan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik. Dan pada bagian terakhir, jurnal ini memberikan beberapa saran untuk diajukan kepada Cina dalam menjawab tantangan IPEF.

3. Matthew P. Goodman dan Aidan Arasasingham, (2022) Regional Perspectives on

Jurnal ini membahas mengenai IPEF dari berbagai pandangan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik.

Penelitian ini ingin membahas bagaimana agar inisiatif

(8)

the Indo-Pacific Economic Framework

IPEF dapat berhasil dengan cara Amerika Serikat harus mengatasi kekhawatiran di antara mitra regional tentang bentuk, fungsi, manfaat, inklusivitas, dan daya tahan kerangka kerja. Penelitian jurnal ini dilakukan berdasarkan percakapan dengan perwakilan dari lebih dari selusin pemerintah daerah serta merangkum perspektif kawasan Indo-Pasifik tentang IPEF. Hasil dari penelitian ini yaitu, Pemerintah AS dapat meningkatkan peluangnya untuk mendapatkan dukungan regional untuk IPEF dengan menawarkan insentif yang lebih berarti bagi negara-negara untuk bergabung dalam inisiatif dan membuat komitmen yang mengikat; Mengarahkan tujuan inklusivitas di luar sekutu mitra terdekat untuk menarik negara-negara dari Asia Selatan dan Tenggara dan di seluruh Pasifik; Mendobrak negosiasi digital sebagai pilar kerja terpisah untuk mengamankan perjanjian ekonomi digital regional berstandar tinggi;

Mendemonstrasikan ketahanan kerangka kerja dengan mencari dukungan kongres yang lebih besar untuk inisiatif tersebut dan menawarkan dukungan pengembangan kapasitas yang berkelanjutan di wilayah tersebut; dan Koordinasi terpusat melalui satu koordinator tingkat tinggi, baik pejabat senior Gedung Putih atau pejabat kabinet yang ditunjuk, dan memperjelas peran badan-badan kunci AS.

4. Zheng Xianghong, (2021) From “Asia Pacific” to

“Indo Pacific”: The Adjustment of American

Tulisan ini mencoba menjelaskan dari perspektif geopolitik dengan membandingkan strategi “Asia Pasifik” dengan strategi “Indo-Pasifik” Amerika Serikat dan menyelidiki perubahan dan dinamika

(9)

Asia Pacific Strategy from the Perspective of Critical Geopolitics

imajinasi geopolitik Amerika Serikat di kawasan Asia-Pasifik. Melalui investigasi, dapat ditemukan bahwa transformasi strategis dari “Asia-Pasifik” ke

“Indo-Pasifik” mencerminkan transformasi strategi AS terhadap Cina dari “L-shaped defense” menjadi

half-mouth encirclement”, serta sebagai upaya pemerintah Amerika Serikat dalam membangun kembali hegemoni AS melalui persaingan di berbagai bidang, membentuk kembali identitas dan kepercayaan dirinya sebagai kekuatan besar. Penelitian ini sendiri lebih menekankan bagaimana Cina dapat menjaga kepentingan nasionalnya dan secara efektif menanggapi strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat dengan cara Cina harus meningkatkan pengaruhnya dan mempertahankan mentalitas sebagai kekuatan besar, mengadopsi strategi penciptaan sosial untuk mencari identitas dan pengakuan, dan membuat rencana berdasarkan Belt and Road Initiative, Polar Silk Road, dan inisiatif lainnya.

2.3.1. Signifikansi Penelitian

Penelitian mengenai pembentukan Indo-Pacific Economic Framework telah dilakukan oleh beberapa penulis sebelumnya dengan dilengkapi dengan penjelasan topik dan sudut pandang yang beragam. Beberapa penelitian membandingkan IPEF yang dibentuk oleh Amerika Serikat dengan RCEP yang dibentuk oleh Cina, Indo-Pacific StrategyAmerika Serikat dengan Cina, maupun pandangan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik mengenai pembentukan IPEF.

Oleh karena itu, hal yang menjadi penting sekaligus membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ialah apa yang mendasari Amerika Serikat dalam membentuk IPEF terutama kepentingan nasional apa yang ingin dicapai yang juga ditinjau dari perspektif Neorealisme Ofensif.

(10)

2.4. Kerangka Pikir

Kerangka pikir penelitian di atas dimulai dengan faktor-faktor yang menyebabkan dibentuknya IPEF dengan melihat kondisi geografis kawasan Indo-Pasifik dan potensi-potensi yang dimilikinya dimana kawasan ini merupakan kawasan yang sangat luas dikarenakan kawasan ini terdiri dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik Barat serta pertumbuhan dan kekayaan yang dimiliki Indo-Pasifik itu sendiri. Kondisi geografis dan signifikansi Indo-Pasifik kemudian menjadi daya tarik banyak negara terutama Cina yang telah memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut selama beberapa dekade di bidang ekonomi sehingga membuat Amerika Serikat tidak ingin ketinggalan. Hal ini kemudian akan dianalisis menggunakan konsep kepentingan nasional dan teori neorealisme sesuai dengan beberapa asumsi neorealisme seperti struktur sistem internasional yang anarki, balance of power,peningkatan kapabilitas dan power negara.

Referensi

Dokumen terkait

1) Entrepreneurship education does not significantly influence entrepreneurial intention of business management students at Universitas Ciputra Surabaya. 2)

Sector: Transportation Sub-Sector: Land transportation Industry Classification: CMAP 711201 Construction Materials Transport Services CMAP 711202 Moving Services CMAP 711203 Other