• Tidak ada hasil yang ditemukan

Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Repositori Institusi | Universitas Kristen Satya Wacana: Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

47 BAB III

PUTUSAN PENGADILAN NOMOR 342/Pid.B/2010/PN.BKL Juncto 123/Pid.2010/PT.BKL Juncto 421 K/Pid.Sus/2011 DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DAN

PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG

A. HASIL PENELITIAN

Temuan penelitian ini digambarkan melalui suatu putusan dalam perkara pidana NOMOR 342/Pid.B/2010/PN.BKL Juncto 123/Pid.2010/PT.BKL Juncto 421 K/Pid.Sus/2011.

PERKARA PIDANA NOMOR 342/Pid.B/2010/PN.BKL Juncto 123/Pid.2010/PT.BKL Juncto 421 K/Pid.Sus/2011

1. Kasus Posisi

Bahwa ia Terdakwa Susi Binti Sarimun pada hari Kamis, tanggal 27 Mei sekira pukul 18.00 Wib bertempat Di Komplek Lokalisasi Rt.08, Pulau Baai, Kota Bengkulu atau setidak-tidaknya pada suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Bengkulu, telah melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut. Perbuatan tersebut Terdakwa lakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

Awalnya saksi korban R bertemu dengan Purnama Bin Sain dimana Purnama Bin Sain adalah kaki tangan terdakwa untuk merekrut atau mencari PSK (Pekerja Sex Komersial) untuk dipekerjakan di kafe milik terdakwa. Saksi korban bertemu dengan Purnama Bin Sain di Tasikmalaya Jawa Barat pertama saksi korban ditawari untuk bekerja di restoran di Jakarta dengan gaji 1 (satu) bulan sebesar Rp 700.000,- (tujuh ratus ribu

(2)

48 rupiah) namun ternyata saksi korban dibawa ke Bengkulu, dimana Purnama Bin Sain mengaku sebagai karyawan jaga tender kafe di komplek lokalisasi Pulau Baai tempat terdakwa dan menjaga minuman serta para PSK (Pekerja Sex Komersil), yang berada di kafe tersebut. namun sesampainya di Jakarta saksi korban tidak dipekerjakan di restoran di Jakarta, melainkan dibawa ke komplek lokalisasi Pulau Baai di Bengkulu untuk dipekerjakan sebagai PSK (Pekerja Sex Komersil) sesampainya di komplek lokalisasi Pulau Baai Bengkulu, saksi korban di jual kepada Terdakwa Susi Binti Sarimun sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah), selanjutnya saksi korban dipaksa untuk bekerja sebagai PSK (Pekerja Sex Komersial) dan apabila tidak mau melayani laki-laki ditempat saksi bekerja maka saksi akan dipukul oleh Sudirman (DPO). Dalam sekali melayani laki - laki saksi diberi imbalan sebesar Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) dan uang tersebut diminta kembali oleh terdakwa Susi Binti Sarimun sebesar Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) sebagai pengganti ongkos saksi korban ke Bengkulu yang mencapai Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan dibayar dengan cara dicicil dan saksi tidak diperbolehkan pulang sebelum melunasi hutang kepada terdakwa, adapun saksi di tempat bekerja sebagai PSK (Pekerja Sex Komersil ) adalah tinggal di cafe itu sendiri dan telah disiapkan 1 (satu) kamar untuk 1 (satu) orang, dan tidak dikenakan biaya sewa tempat tinggal, namun apabila ada pelanggan yang memakai kamar tersebut dikenakan tarif sewa kamar sebesar Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dalam pekerjaan tersebut saksi tidak diberi gaji perbulan, melainkan penghasilannya didapat dari bayaran para tamu yang menggunakan jasa PSK (Pekerja Sex Komersil) tersebut.

2. Dakwaan Penuntut Umum

Terdakwa didakwa dengan dakwaan tunggal Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,

(3)

49 penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

3. Tuntutan Penuntut Umum

Setelah mendengar keterangan Saksi-saksi dan Terdakwa serta memperhatikan bukti surat dan barang bukti yang diajukan di persidangan, tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut

1. Menyatakan terdakwa Susi Binti Sarimun terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan Pemberatan sebagaimana dakwaan tunggal kami Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

2. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa Susi Binti Sarimun dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun penjara dan denda Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan;

3. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 3.000.- (tiga ribu rupiah);

4. Putusan Pengadilan Negeri

Membaca Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu, Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL, tanggal 29 September 2010, yang amar lengkapnya sebagai berikut:

(4)

50 - Menyatakan bahwa terdakwa Susi Binti Sarimun, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana :

"Perdagangan Orang";

- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Susi Binti Sarimun oleh karenanya dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, dan denda sebesar Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan bahwa apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;

- Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;

- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;

- Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah);

5. Putusan Pengadilan Tinggi

Membaca Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu, Nomor 123/Pid.2010/PT.BKL, tanggal 15 Desember 2010, yang amar lengkapnya sebagai berikut:

- Menerima permintaan banding Penuntut Umum;

- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor : 342/Pid.B/2010/ PN.BKL., tanggal 29 September 2010 atas nama Terdakwa : SUSI BINTI SARIMUN, sepanjang mengenai lamanya pidana penjara dan istilah mengenai hukum pengganti denda sebagai berikut :

- Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Susi Binti Sarimun, dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.150.000.000.- (seratus Lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;

- Menguatkan putusan untuk selebihnya;

(5)

51 - Membebankan biaya perkara untuk kedua tingkat peradilan pada terdakwa dan untuk tingkat banding sebesar Rp.2.500.- (dua ribu lima ratus rupiah);

6. Permohonan Kasasi

Mengingat akan Akta Permohonan Kasasi Nomor 033/Akta.Pid/2011/

PN.BKL, yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Bengkulu, yang menerangkan, bahwa pada tanggal 06 Januari 2011, Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut; Memperhatikan memori kasasi tanggal 10 Januari 2011, dari Jaksa Penuntut Umum sebagai Pemohon Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bengkulu, pada tanggal 12 Januari 2011;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah diberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 29 Desember 2010, dan Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 06 Januari 2011, serta memori kasasinya telah diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bengkulu, pada tanggal 12 Januari 2011, dengan demikian permohonan kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menurut Undang-Undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;

Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya adalah sebagai berikut :

Adapun alasan-alasan yang kami ajukan untuk menyatakan Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu tersebut adalah tentang Starfmaat yang ringan :

Bahwa Putusan Majelis Hakim yang menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan tersebut belum mencerminkan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang menghendaki agar pelaku tindak pidana tersebut dihukum sesuai

(6)

52 perbuatannya karena telah merusak masa depan saksi korban dan oleh karena ancaman minimal dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang adalah pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) Oleh karenanya tuntutan dari JPU tersebut sudah selayaknya dijatuhkan kepadanya.

7. Pertimbangan Hakim a. Setiap Orang

Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perorangan selaku subyek hukum pendukung hak dan kewajiban, yang didakwa/dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana, yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

b. Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia.

c. Unsur mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.

Bahwa terhadap unsur-unsur tersebut hakim mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Unsur setiap orang

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menegaskan bahwa setiap orang adalah “orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang”. Dalam putusan Nomor

(7)

53 421/Pid.Sus/2011, dimana saksi korban R dan Terdakwa Susi Binti Sarimun yang dihadapkan di persidangan dan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap yang diperoleh dari keterangan-keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Bahwa sewaktu dilakukan identifikasi, dimana Terdakwa Susi Binti Sarimun secara jelas dan tegas dapat memberikan jawaban kepada Majelis Hakim dan karena itu Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa adalah orang yang sehat jasmani dan rohani serta dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka unsur “setiap orang” telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

2. Unsur yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah Negara Republik Indonesia;

Berdasarkan fakta yang diperoleh pada hari Kamis tanggal 27 Mei 2010 Pukul 18.00 WIB bertempat di Komplek Lokalisasi RT. 08, Pulau Baai, Kota Bengkulu terdakwa Susi Binti Sarimun telah melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan cara mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dimana terdakwa melakukan tindak pidana tersebut dengan cara saksi korban R bertemu dengan Purnama Binti Sain ditawari untuk bekerja di restoran Jakarta dengan gaji 1 (satu) bulan sebesar Rp. 700.000.,- (tujuh ratus ribu rupiah) namun ternyata saksi korban dibawa ke Bengkulu dimana Purnama Bin Sain mengaku sebagai karyawan jaga tender kafe di komplek lokalisasi Pulau Baai tempat terdakwa dan menjaga minuman serta para PSK (Pekerja Seks Komersial) yang berada di kafe tersebut, namun sesampainya di Jakarta saksi korban tidak dipekerjakan di Jakarta, melainkan dibawa ke komplek lokalisasi Pulau Baai di Bengkulu untuk

(8)

54 dipekerjakan sebagai PSK (Pekerja Seks Komersil) sesampainya di komplek lokalisasi Pulau Baai Bengkulu, saksi korban di jual kepada terdakwa Susi Binti Sarimun sebesar Rp. 2.000.000.,- (dua juta rupiah)., selanjutnya saksi korban dipaksa untuk bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) dan apabila tidak mau melayani laki-laki ditempat saksi bekerja maka saksi akan dipukul oleh Sudirman (DPO). Dalam sekali melayani laki-laki saksi diberi imbalan sebesar Rp. 150.000.,- (seratus lima puluh ribu rupiah) dan uang tersebut diminta kembali oleh terdakwa Susi Binti Sarimun sebesar Rp. 50.000.,- (lima puluh ribu rupiah) sebagai pengganti ongkos saksi korban ke Bengkulu yang mencapai Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dibayar dengan cara dicicil dan saksi tidak diperbolehkan pulang sebelum melunasi hutang kepada terdakwa, adapun saksi di tempat bekerja sebagai PSK (Pekerja Sex Komersil ) adalah tinggal di cafe itu sendiri dan telah disiapkan 1 (satu) kamar untuk 1 (satu) orang, dan tidak dikenakan biaya sewa tempat tinggal, namun apabila ada pelanggan yang memakai kamar tersebut dikenakan tarif sewa kamar sebesar Rp 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) dalam pekerjaan tersebut saksi tidak diberi gaji perbulan, melainkan penghasilannya didapat dari bayaran para tamu yang menggunakan jasa PSK (Pekerja Sex Komersial) tersebut. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

3. Unsur mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

Bahwa berdasarkan fakta menurut keterangan saksi dan keterangan terdakwa, maka diperoleh fakta yang benar bahwa terdakwa Susi Binti Sarimun sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan tindak pidana menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang.

(9)

55 Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, maka unsur ini telah terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum.

Bahwa terhadap unsur ini Majelis hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut :

Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex facti salah menerapkan hukum karena putusan judex facti yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bengkulu yang menghukum Terdakwa 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan penjara dan denda Rp 150.000.000,- /Subsidair 3 bulan kurungan dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang salah. Judex facti tidak cermat mempertimbangkan alasan-alasan yang memberatkan pada diri dan perbuatan Terdakwa. Pendapat judex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi) bahwa alasan memberatkan pada diri Terdakwa adalah perbuatan Terdakwa dapat merusak masa depan orang lain jelas tidak tepat, karena perbuatan Terdakwa bukan dapat merusak, tapi telah merusak masa depan saksi korban. Alasan memberatkan yang lain adalah korban dari perbuatan Terdakwa adalah 7 orang gadis yang akan kehilangan kehormatannya karena dikondisikan terpaksa bekerja sebagai PSK. Di samping itu, perbuatan Terdakwa bertentangan dengan nilai-nilai moralitas masyarakat;

Alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum bahwa putusan judex facti terlalu ringan, bukan mencerminkan rasa keadilan masyarakat tentu dapat dibenarkan karena penjatuhan berat ringan pidana harus mempertimbangkan alasan-alasan yang memberatkan dan rasa keadilan masyarakat.

8. Keadaan Yang Memberatkan Dan Yang Meringankan Keadaan yang memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa dapat merusak masa depan orang lain;

- Perbuatan Terdakwa mengeksploitasi saksi korban demi mendapatkan keuntungan

Keadaan yang meringankan:

(10)

56 - Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;

- Terdakwa berlaku sopan di persidangan;

- Terdakwa belum pernah dihukum;

9. Putusan Kasasi

Adapun Amar Putusan berdasarkan Kasus Putusan Nomor 421/Pid.Sus/2011 yakni sebagai berikut :

Mengadili

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bengkulu, tersebut;

Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu, Nomor 123/Pid.2010/

PT.BKL, tanggal 15 Desember 2010 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL, tanggal 29 September 2010;

Mengadili Sendiri

- Menyatakan Terdakwa SUSI Binti SARIMUN, tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perdagangan Orang”.

- Menghukum Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.

- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

- Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.

- Menghukum Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

(11)

57 B. ANALISIS

1. Pemidanaan Terhadap Pelaku Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang adalah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kejahatan tindak pidana perdagangan orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan Undang-Undang, oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korban serta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhak untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuai dengan asas hukum yang berlaku saat ini. Bantuan dan perlindungan terhadap korban yang di maksud adalah berkaitan dengan hak-hak asasi korban seperti hak mendapatkan bantuan fisik, hak mendapatkan bantuan penyelesaian permasalahan, hak mendapatkan kembali haknya, hak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi, hak memperoleh perlindungan dari ancaman dari manapun dan hak memperoleh ganti kerugian dari pelaku maupun negara.

Perlindungan korban perdagangan orang dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Perlindungan terhadap korban kejahatan khususnya korban tindak pidana perdagangan orang selama ini sering terabaikan, hal ini terjadi karena perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung” yang artinya menurut Barda Nawawi Arief berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada

(12)

58 perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum hak asasi korban. Konsep perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari dua makna yaitu:

1. Perlindungan HAM atau untuk kepentingan hukum seseorang

2. Perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana Salah satu upaya perlindungan korban dalam kasus perdagangan orang adalah melalui putusan pengadilan atas peristiwa tersebut. Asumsinya, semakin tinggi jumlah ancaman pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku perdagangan orang berarti korban telah mendapatkan perlindungan hukum, karena dengan pengenaan pidana yang berat terhadap pelaku diharapkan tidak akan terjadi peristiwa serupa, dengan kata lain para calon pelaku akan berfikir dua kali kalau akan melakukan perdagangan manusia mengingat ancaman yang berat tersebut.

Seperti pada kasus yang penulis angkat sebagai bahan penelitian, yaitu pada kasus perkara tindak pidana perdagangan orang Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL Juncto 123/Pid.2010/PT.BKL Juncto 421 K/Pid.Sus/2011. Dalam hal upaya untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban tindak pidana perdagangan orang melalui putusan hakim, maka ada tiga unsur yang dipertimbangkan dalam memberikan perlindungan hukum kepada korban tindak pidana perdagangan orang.

Pertimbangan yuridis. Negara Republik Indonesia dalam hal ini Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, sehingga dalam penegakkan dan perlindungan hak asasi manusia dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, yang dijamin diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan.

Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang ini mempunyai tujuan mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi. Pertimbangan yuridis dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perdagangan orang yang penulis maksud adalah perlindungan hukum dengan cara memidana pelaku berdasarkan

(13)

59 pemenuhan unsur-unsur tindak pidana terhadap pasal yang dijadikan dakwaan terhadap pelaku.

Dalam upaya perlindungan korban dengan cara memidana pelaku, kepentingan korban diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Terlihat dalam contoh kasus perkara Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL Juncto 123/Pid.2010/PT.BKL Juncto 421 K/Pid.Sus/2011. Bahwa Jaksa Penuntut Umum dalam upaya ini sangat berkeja keras untuk berusaha mewujudkan keadilan bagi korban yang dimana dalam tahap persidangannya Jaksa Penuntut Umum merasa tidak puas dengan bobot pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa sehingga Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum banding sampai pada upaya hukum kasasi.

Dalam kasus tersebut diketahui bahwa pada putusan sebelumnya yaitu Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu, Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, dan denda sebesar Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan pada Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu, Nomor 123/Pid.2010/PT.BKL terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.150.000.000.- (seratus Lima puluh juta rupiah). Merasa kurang puas dengan kedua putusan sebelumnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dengan alasan sanksi pidana yang ringan. Pada akhirnya permohonan kasasi jaksa penuntut umum diterima dan hasilnya dalam putusan Nomor 421/Pid.Sus/2011/PN Bkl. Terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

Penulis melihat bahwa ketiga putusan tersebut dalam penjatuhan hukuman kepada terdakwa memiliki bobot pidana yang berbeda-beda. Menurut penulis pada Putusan Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL dan Putusan Nomor 123/Pid.2010/PT.BKL majelis hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa masih belum cermat dan hanya berpatokan pada hal-hal yang meringgankan terdakwa saja sehingga belum mencerminkan rasa keadilan. Bobot pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa pun masih kategori minimum padahal dalam fakta kasusnya perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur-unsur Pasal yang dilanggar oleh terdakwa. Terdakwa didakwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21

(14)

60 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Berdasarkan dakwaan di atas yang dikenakan kepada terdakwa dan berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap dalam proses persidangan perbuatan terdakwa tersebut sudah secara penuh memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu:

a. Setiap Orang

Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perorangan selaku subyek hukum pendukung hak dan kewajiban, yang didakwa/dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana, yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

b. Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia.

(15)

61 c. Unsur mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan

yang turut serta melakukan perbuatan.

Atas pertimbangan hakim dengan memperhatikan fakta-fakta yang terungkap dalam proses persidangan terdakwa dinyatakan bersalah dan perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang kemudian dalam putusan kasasi terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Penulis berpendapat bahwa penjatuhan putusan bagi terdakwa sudah cukup sesuai karena pada putusan-putusan yang sebelumnya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa masih belum mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat dan tidak mewujudkan perlindungan terhadap korban, terdakwa sepatutnya dihukum sesuai dengan perbuatan yang telah terdakwa lakukan. Adanya perbedaan bobot pidana yang majelis hakim jatuhkan kepada terdakwa yang menurut penulis majelis hakim tidak cermat dalam mempertimbangkan alasan yang memberatkan dari perbuatan terdakwa yaitu bahwa perbuatan sudah merusak masa depan korban dan dari perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan 7 orang gadis yang telah kehilangan kehormatannya karena dipekerjakan sebagai PSK dan perbuatan terdakwa bertentang dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini berkaitan dengan teori pemidanaan ialah berkaitan dengan teroi absolut atau teori pembalasan yang menurut Adami Chazawi menyatakan bahwa: pembenaran dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada pelaku tindak pidana. Negara berhak menjatuhkan pidana karena pelaku tindak pidana tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi. Oleh karena itu, pelaku tindak pidana harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Terdakwa dalam kasus TPPO telah melanggar apa yang menjadi hak-hak bagi korban yang sebenarnya hak-hak tersebut patutlah untuk dilindungi dan telah menimbulkan akibat bagi korban mengalami penderitaan akibat dari perbuatan terdakwa yang telah melanggar hak dan merusak masa depan korban.

Berdasarkan teori absolut ini dan kaitannya dengan kasus diatas maka terdakwa sudah sepatutnya mendapat hukuman pidana yang setimpal dengan perbuatan

(16)

62 tersebut yang perbuatan tersebut sudah merusak masa depan korban dan dari perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan 7 orang gadis yang telah kehilangan kehormatannya karena dipekerjakan sebagai PSK dan perbuatan terdakwa bertentang dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

2. Perlindungan Hukum Melalui Pertimbangan Filosofis Hak Korban

Pertimbangan filosofis. Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum dalam konstitusinya menjunjung tinggi dan melindungi hak asasi manusia. Hal tersebut tercantum Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan tujuan negara dengan memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sebagaimana dirumuskan dalam Alinea kesatu yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pertimbangan filosofis yang penulis maksud disini adalah perlindungan hukum kepada korban tindak pidana perdagangan orang dengan mengkaji dari segi pertimbangan filosofis hak-hak korban yang apakah dalam putusan tersebut sudah terpenuhi?

Dalam rangka untuk memberikan perlindungan kepada korban TPPO pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah memberikan bentuk perlindungan bagi korban TPPO yang tercantum dalam Pasal berikut ini:

Pasal 48 ayat (1): Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.

Pasal 48 ayat (2): Restitusi yang dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas;

(17)

63 a. kehilangan kekayaan atau penghasilan

b. penderitaan

c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

Dalam Pasal ini terkait dengan hak restitusi korban, hak restitusi ini diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan, sejak putusan pengadilan tingkat pertama. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari sejak putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila pelaku tidak dapat membayar restitusi bagi korban, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

Restitusi terhadap korban TPPO diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan. Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.

Pasal 51 ayat (1): Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.

Rehabilitasi kesehatan dalam ketentuan ini adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis. Rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Reintegrasi sosial dalam ketentuan ini

(18)

64 adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Hak atas “pemulangan” harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benar-benar menginginkan pulang, dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut. Hak-hak tersebut diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

permohonan rehabilitasi dapat dimintakan oleh korban atau kuasa hukumnya dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian

Jelas dilihat dari kedua Pasal diatas mengenai hak-hak korban tindak pidana perdagangan orang korban TPPO memiliki hak restitusi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah. Namun faktanya hak-hak korban TPPO ini sering diabaikan dan tidak terpenuhi. Dalam putusan Nomor 421/Pid.Sus/2011/PN Bkl Korban pada awalnya ditawari ditawari untuk bekerja di restoran Jakarta dengan gaji 1 (satu) bulan sebesar Rp. 700.000.,- (tujuh ratus ribu rupiah) namun ternyata saksi korban dibawa ke Bengkulu dimana Purnama Bin Sain mengaku sebagai karyawan jaga tender kafe di komplek lokalisasi Pulau Baai tempat terdakwa dan menjaga minuman serta para PSK (Pekerja Seks Komersial) yang berada di kafe tersebut, namun sesampainya di Jakarta saksi korban tidak dipekerjakan di Jakarta, melainkan dibawa ke komplek lokalisasi Pulau Baai di Bengkulu untuk dipekerjakan sebagai PSK (Pekerja Seks Komersil) sesampainya di komplek lokalisasi Pulau Baai Bengkulu, saksi korban di jual kepada terdakwa Susi Binti Sarimun sebesar Rp. 2.000.000.,- (dua juta rupiah)., selanjutnya saksi korban dipaksa untuk bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial). Mengetahui bahwa korban ditawari pekerjaan korban dengan langsung menyetujui hal tersebut namun yang terjadi korban dijual untuk menjadi PSK.

Apabila tidak mau melayani laki-laki ditempat korban bekerja maka korban akan dipukul oleh Sudirman (DPO). Dalam sekali melayani laki-laki korban diberi imbalan sebesar Rp. 150.000.,- (seratus lima puluh ribu rupiah) dan uang tersebut diminta kembali oleh terdakwa sebesar Rp. 50.000.,- (lima puluh ribu rupiah) sebagai pengganti ongkos korban ke Bengkulu yang mencapai Rp. 1.000.000 (satu

(19)

65 juta rupiah) dibayar dengan cara dicicil dan saksi tidak diperbolehkan pulang sebelum melunasi hutang kepada terdakwa. Dari kasus tersebut perbuatan terdakwa telah menimbulkan kerugian bagi korban baik secara materi, spikis dan fisik.

Namun dalam faktanya korban tidak mendapatkan perlindungan dan pemulihan atas hak-haknya yang sudah dilanggar tersebut. Faktanya korban tidak mendapatkan hak restisusi sebagai bentuk ganti rugi atas kerugian yang korban terima. Dalam kasus ini aparat penegak hukum yang menangani kasus perdagangan orang ini kurang maksimal dalam memperjuangkan hak dan perlindungan bagi korban. Meskipun disatu sisi hak korban yaitu hak restitusi tidak terpenuhi karena korban tidak mengajukan hak tersebut disisi lain aparat penegak hukum mempunyai peran yang penting untuk membantu korban dalam memperjuangkan hak restitusinya. Mulai dari proses penyidikan, penyidik memberitahukan korban mengenai hak restitusi berupa ganti kerugian dalam berita acara pemeriksaan saksi korban, selanjutnya pada tahap penuntutan, Penuntut Umum menanyakan kepada korban terkait kerugian yang diderita dan memberitahukan bahwa korban memiliki hak restitusi dan mencantumkannya dalam surat tuntutannya yang kemudian dalam putusan pengadilan memuat restitusi tersebut. Pada kasus tindak pidana perdagangan orang ini korban mengalami kerugian akibat dari perbuatan terdakwa.

Kerugian yang korban alami antara lain: bahwa dari perbuatan terdakwa tersebut telah merusak masa depan korban, korban dieksploitasi demi mendapatkan keuntungan, perbuatan terdakwa telah mengakibatkan 7 orang gadis yang telah kehilangan kehormatannya karena dipekerjakan sebagai PSK dan perbuatan terdakwa bertentang dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Jika dilihat dari akibat yang ditimbulkan terdakwa karena perbuatannya korban banyak sekali mengalami kerugian, dari segi materi, fisik dan psikisnya. Jika dilihat pada putusan pengadilan di atas, bahwa korban tindak pidana perdagangan orang tidak mendapatkan perlindungan hukum berupa hak restitusi sebagai bentuk ganti rugi atas kerugian yang korban alami. Alasan korban tidak mendapatkan hak restitusi dikarenakan korban tidak mengajukan hak restitusi tersebut agar dimuat dalam putusan tersebut. Tentu bukan merupakan kesalahan korban saja karena tidak mengajukan hak restitusi tersebut. Dalam Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor

(20)

66 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa:

“Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang”

Selain perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perdagangan orang melalu hak restitusi, perlindungan korban lainnya melalui putusan pengadilan yaitu melalui penjatuhan hukuman kepada pelaku. Dalam putusan Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL Juncto 123/Pid.2010/PT.BKL Juncto 421 K/Pid.Sus/2011 pada putusan sebelumnya yakni pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi penulis beranggapan bahwa putusannya kurang memberikan perlindungan kepada korban dari segi penjatuhan hukumannya. pada putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL dan putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu Nomor 123/Pid.2010/PT.BKL majelis hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa masih belum cermat dan hanya berpatokan pada hal-hal yang meringgankan terdakwa saja sehingga belum mencerminkan rasa keadilan. Bobot pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa pun masih kategori minimum padahal dalam fakta kasusnya perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur-unsur Pasal yang dilanggar oleh terdakwa. Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, dan denda sebesar Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan pada Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu, Nomor 123/Pid.2010/PT.BKL terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.150.000.000.- (seratus Lima puluh juta rupiah). Merasa kurang puas dengan kedua putusan sebelumnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dengan alasan sanksi pidana yang ringan. Kedua putusan tersebut dianggap ringan dikarenakan hakim dalam memutus perkara pada putusan sebelumnya tidak cermat dalam memperhatikan fakta-fakta yang terungkap dalam proses persidangan dan akibat dari perbuatan terdakwa kepada korban serta keadaan yang memberatkan yang dimana akibat dari perbuatan terdakwa tersebut sudah merusak masa depan korban dan dari perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan 7 orang gadis yang telah kehilangan kehormatannya karena dipekerjakan sebagai PSK dan perbuatan terdakwa bertentang dengan nilai-nilai

(21)

67 yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu diajukan permohonan kasasi karena dari alasan diatas terdakwa seharusnya dapat dikenakan pidana yang lebih agar sesuai dengan teori pemidanaan ialah berkaitan dengan teroi absolut atau teori pembalasan yang menurut Adami Chazawi menyatakan bahwa: pembenaran dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada pelaku tindak pidana. Negara berhak menjatuhkan pidana karena pelaku tindak pidana tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau Negara) yang telah dilindungi. Oleh karena itu, pelaku tindak pidana harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Terdakwa dalam kasus TPPO telah melanggar apa yang menjadi hak-hak bagi korban yang sebenarnya hak-hak tersebut patutlah untuk dilindungi dan telah menimbulkan akibat bagi korban mengalami penderitaan akibat dari perbuatan terdakwa yang telah melanggar hak dan merusak masa depan korban.

Berdasarkan teori absolut ini dan kaitannya dengan kasus diatas maka terdakwa sudah sepatutnya mendapat hukuman pidana yang setimpal dengan perbuatan tersebut yang perbuatan tersebut sudah merusak masa depan korban dan dari perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan 7 orang gadis yang telah kehilangan kehormatannya karena dipekerjakan sebagai PSK dan perbuatan terdakwa bertentang dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diatur dalam Undang- undang No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia berupa perlindungan fisik dan mental terhadap saksi dan korban dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

Berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang, yang paling sering menjadi korban adalah perempuan yang dimana jasa mereka dibutuhkan sebagai pekerja rumah tangga sampai sebagai seorang PSK yang modusnya operandinya diiming- iming perkerjaan dan gaji yang bagus. Perempuan juga merupakan salah satu sosok korban yang harus diperhatikan. Tentunya perempuan juga mendapatkan perhatian dengan diberikan perlindungan melalui Undang-Undang. Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang Perlindungan Korban Kejahatan yaitu melalui Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

(22)

68 saksi dan korban. Selain memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perlindungan korban kejahatan, Indonesia juga memiliki beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan. Dalam beberapa undang-undang tertentu dapat ditemukan pengaturan tentang perlindungan korban kejahatan sekalipun sifatnya masih parsial. Perundang-undangan yang di dalamnya memberikan pengaturan tentang perlindungan korban kejahatan. Selain itu ada juga perlindungan secara langsung atau konkret yaitu melalui: Pusat Pelayanan Terpadu, Pelayanan Perempuan dan Anak, Pemulangan Korban Perdagangan Manusia, Women’s Crisis Center, Trauma Center, Shelter atau Drop in Center, Bantuan Hukum.

Selain itu perlindungan untuk korban juga termuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban yang dalam Pasal 7A ayat (1) menyatakan bahwa:

Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa:

a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau

c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Dalam Undang-Undang ini dalam pemberian restitusi kepada korban melalui LPSK dapat diajukan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan dapat diajukan sebelum putusan pengadilan yang diajukan oleh LPSK kepada penuntut umum, namun faktanya dalam kasus tindak pidana perdagangan orang diatas korban tidak mendapatkan perlindungannya melalui LPSK, tidak ada pendampingan yang korban dapat dari awal proses hukum sampai selesai dan otomatis apa yang menjadi hak-hak korban yang sudah termuat di dalam Undang-Undang tersebut tidak terpenuhi.

(23)

69 3. Perlindungan Hukum Melalui Pertimbangan Sosiologis

Pertimbangan sosiologis. Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia dan merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Perdagangan orang disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, yang mencakup korupsi yang dilakukan oleh pemerintah, kemiskinan, instabilitas ekonomi, inefisiensi sistem hukum, kejahatan terorganisir, dan faktor permintaan yang mendorong segala bentuk eksploitasi manusia, terutama perempuan dan anak-anak, yang mengakibatkan terjadinya kejahatan perdagangan orang, yang karenanya harus diatasi secara efektif.

Pertimbangan sosiologis yang penulis maksud disini adalah perlindungan hukum kepada korban dari segi sosiologis melalui penjatuhan hukuman bagi terdakwa dan bentuk perlindungan kepada korban yang nantinya akan berdampak bagi masyarakat. Dalam perkara Nomor 342/Pid.B/2010/PN.BKL Juncto 123/Pid.2010/PT.BKL Juncto 421 K/Pid.Sus/2011 dilihat dari sisi penjatuhan hukuman kepada terdakwa, hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah tepat karena perbuatan terdakwa sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang dan perbuatan terdakwa tersebut telah mengakibatkan 7 orang gadis yang telah kehilangan kehormatannya karena dipekerjakan sebagai PSK dan perbuatan terdakwa bertentang dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Akan tetapi perlindungan terhadap korban yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan terdakwa belum terwujud dan tidak sepenuhnya dipertimbangkan dalam putusan hakim. Tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang meresahkan masyarakat negara hingga internasional, merupakan tanggungjawab bersama dan harus dilakukan oleh semua pihak baik pemerintah dan masyarakat untuk memberatas tindak pidana perdagangan orang. Peranan hakim dalam memberikan putusan yang tepat dan adil dalam mengadili perkara tindak pidana perdagangan orang yang diharapkan mampu menekan dan mencegah terjadinya kembali tindak pidana perdagangan orang. Dalam Putusan Nomor 421/Pid.Sus/2011 perbuatan terdakwa bertentang dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka demi menjaga agar perbuatan terdakwa tidak lagi bertentang dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat maka hakim haruslah memberikan hukuman yang setara dengan perbuatan terdakwa agar mengurangi

(24)

70 dan mencegah terjadinya perdagangan orang yang terjadi dalam masyarakat dan memberikan perlindungan bagi korban perdagangan orang demi terciptanya keadilan dalam masyarakat dan kerugian yang diderita oleh korban dapat terpenuhi.

Referensi

Dokumen terkait

1-5 Instrumen Hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Kitab Undang-Undang Hukum