REPRODUKSI KEBUDAYAAN Dosen Pengampu : Dr. Argyo Demartoto, M.Si
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
REPRODUKSI KEBUDAYAAN
Awal mula pemikiran perihal reproduksi budaya ini mengacu pada muncul dan berkembangnya kualitas pengalaman orang dalam kehidupan sehari-hari, meski juga dilihat dari sudut pandang teoritis. Ini dimaksudkan untuk mengartikulasikan proses dinamis yang membuat sifat independensi total yang melekat pada statis dan determinasi struktur-struktur sosial, di satu sisi, mencakup pula inovasi serta agensi yang inheren dalam praktik tindakan sosial, dan di sisi lain pula menjadi sesuatu yang masuk akal dan bisa dipahami. Ini berarti reproduksi budaya membantu untuk mengkaji tentang diperlukannya kesinambungan dan perubahan dalam pengalaman sosial, dan hubungan saling melengkapi di antara keduanya. Karena, reproduksi budaya mempertahankan homeostatis di antara elemen-elemen yang ada dalam sistem semiotika apa pun, seperti kebudayaan, misalnya, dan memberikan kemungkinan dan keniscayaan bagi terus berlangsungnya evolusi pada sistem-sistem semacam itu.
1. Pengertian Reproduksi Kebudayaan
Reproduksi berasal dari bahasa Inggris re yang berarti kembali dan production yang berarti produksi atau yang dihasilkan. Istilah reproduksi digunakan dalam beberapa hal dalam sosiologi. Dalam setiap penggunaan, istilah reproduksi mengandung arti penggantian orang atau struktur dengan satu format baru yang mirip dengan yang asli, sehingga sistem sosial dapat berlangsung terus. Reproduksi juga dapat berarti menyalin apa yang ada di masa lalu, dan ini tidak mungkin terjadi dengan cara yang tepat untuk masyarakat secara keseluruhan. Dan selalu ada kondisi yang berubah baik menyangkut lingkungan, sosial, maupun ekonomi seiring dengan proses perkembangan teknologi. Sedangkan budaya adalah suatu pola dari keseluruhan keyakinan dan harapan yang dipegang teguh secara bersama oleh semua anggota organisasi dalam pelaksanaan pekerjaan yang ada dalam organisasi tersebut.
Dapat disimpulkan reproduksi budaya adalah suatu proses dalam menghasilkan pola keseluruhan keyakinan dan harapan yang baru dalam organisasi masyarakat yang dipegang teguh oleh semua anggota organisasi. Reproduksi budaya ialah bertemunya dua budaya yang berbeda dan satu sama lain saling mempengaruhi sehingga timbul kebudayaan baru yang mengandung unsur dua kebudayaan tersebut. Reproduksi kebudayaan juga merupakan proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya. Dengan kata lain reproduksi budaya merupakan penegasan budaya asli ke tempat tinggal yang baru.
2. Proses Reproduksi Kebudayaan
Proses reproduksi budaya adalah proses aktif yang melatarbelakangi seseorang melakukan adaptasi terhadap budaya yang berbeda. Reproduksi kebudayaan dilatarbelakangi oleh perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, latar belakang kebudayaan, yang pada akhirnya akan memberikan warna bagi identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan (Abdullah, 2001; Anderson, 1991; Barth, 1998). Perubahan tersebut sejalan dengan mobilitas yang dilakukan manusia yang kini kian mencolok sejak abad ke 20.
Mobilitas sosial ini menyebabkan terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, terjadi adaptasi kultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang menyangkut adapatasi nilai dan praktik kehidupan secara umum.kebuadayaan lokal menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang, meskipun tak sepenuhnya memiliki daya paksa. Kedua, proses pembentukan identitas individual yang dapat mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya. Bahkan mampu ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru.
3. Faktor Pendorong dan Penghambat terjadinya Reproduksi Kebudayaan
Suatu kebudayaan tidak akan mengalami suatu perubahan hingga pada tahap
‘mereproduksi’ bila tidak ada perihal yang mendorong terjadinya proses tersebut, baik faktor dari dalam maupun yang berasal dari luar. Faktor internalnya bisa melalui pertambahan dan berkurangnya penduduk, misalnya. Proses reproduksi kebudayaan terjadi saat urbanisasi berlangsung dan ketika masyarakat desa yang bekerja di kota kembali lagi ke desa yang dari
hal ini, baik sadar maupun tidak akan turut serta membawa budaya yang ada di kota yang ia dapatkan dari proses adaptasinya dengan kebudayaan yang ada di kota. Hal ini akan menimbulkan suatu keanehan bagi masyarakat desa, namun ada kecenderungan untuk menjadi suatu kekaguman yang akan menciptakan suatu bentuk kebudayaan baru dengan kelompok yang baru dalam masyarakat desa yang mayoritas cenderung homogen dari sifat sosial maupun kebudayaan masyarakat setempat turut menyumbang alasan terjadinya reproduksi kebudayaan. Selain faktor dari dalam, terdapat pula faktor yang berasal dari luar, yakni media massa dan juga globalisasi. Keduanya memang sangat saling berkaitan untuk mendorong kebudayaan itu mengalami perubahan atau reproduksi.
Sementara itu, proses reproduksi kebudayaan juga akan mengalami hambatan bila menjumpai beberapa kendala yang sebagian besar berasal dari masyarakatnya itu sendiri.
Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain menyebabkan masyarakat tidak mengetahui perkembangan yang dapat memperkaya kebudayaan masyarakat tersebut. Sikap masyarakat yang tradisional dan mengangung-agungkan budaya masa lampau dan berabggapan bahwa tradisi masa lampau sudah mutlak dan tidak dapat diubah bahkan enggan untuk menghasilkan budaya baru. Soerjono Soekanto (1982:329-330). Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat yang disebabkan karena masyarakat tertutup maupun terasing juga bisa menyebabkan terhambatnya reproduksi kebudayaan.
4. Tokoh-tokoh dalam Reproduksi Kebudayaan
Konseptualisasinya yang kritis dan modern seputar ide reproduksi budaya baru dikembangkan untuk pertama kalinya oleh seorang sosiolog sekaligus teorisi budaya dari Perancis bernama Pierre Bourdieu pada awal periode 1970-an. Konteks praktik awal pemikiran-pemikiran Bourdieu adalah sistem pendidikan modern yang ia pandang berfungsi untuk mencapai tujuan ‘mereproduksi’ kebudayaan bagi kelas yang dominan. Mekanisme sosialisasi massa seperti ini jelas membantu mempertahankan kelangsungan dominasi kelompok ini dan juga melanggengkan penggunaan kekuasaan secara terselubung.
REPRODUKSI BUDAYA: PERSPEKTIF MARXIS
Dalam bentuknya yang dominan saat ini, tema reproduksi budaya tampak seperti dikotomi Marxis klasik antara esensi (kesinambungan) dan tampilan luar (sebagai perubahan), dan pada kenyataannya, banyak tulisan dari Inggris mengenai reproduksi budaya berkembang dari tradisi Marxis. Epistemologi ini pertama kali muncul di The German Ideology, kemudian diperbarui di The Introduction to the Critique of Political Economy serta Grundisse, dan berhasil mencapai tujuannya dalam Das Kapital. Konsep penghubung dari kontradiksi atau perbedaan antara esensi dan tampilan luar tentu saja ideologi. Ideologi menjadi proses yang disadari maupun tidak disadari, tetapi sebagian besar tidak disadari, yang melaluinya distorsi, pengaburan, penyamarataan dan dekontekstualisasi realitas terjadi. Dengan model ini, maka akan didapatkan sebuah pola dan serangkaian konsep untuk menganalisis fenomena-fenomena budaya yang cakupannya mulai dari bentuk-bentuk material seperti properti, artefak, atau komoditas (benda-benda sebagaimana adanya) sampai ke sesuatu yang sifatnya membentuk ide-ide seperti bahasa, pengetahuan dan subjektivitas itu sendiri. Sejalan dengan semakin sadar dengan peristiwa-peristiwa yang belakangan ini terjadi di Eropa Timur, Marxisme sebagai sebuah kebijakan ekonomi dan politik yang konkret telah menghasilkan serangkaian struktur sosial yang merupakan perwujudan dari penindasan dan tingkat personal, keputusasaan. Dalam konteks teorisasi Barat, tradisi Marxis selalu membuka dan menciptakan peluang bagi adanya kebebasan, emansipasi dan autentisitas sebagai prinsip-prinsip intelektual. Meskipun demikian, dalam konteks analisis budaya terkait dengan reproduksibilitas budaya, tulisan yang berasal dari perspektif sosial yang demikian ini memberikan suatu visi pesimisme, penyesalan dan keruntuhan, atau melancholy science menurut Adorno. Oleh karena itu, anjuran-anjurannya yang sering tidak terucapkan memberikan landasan bagi pergolakan dan konflik, sebuah tesis tentang penebusan tiada henti. Sebagai suatu bentuk analisis, teori Marxis mengadopsi dan mendukung demokrasi yang diawasi dan diarahkan oleh pihak yang merusak gambaran- gambaran yang dikonkretkan dan yang menampilkan distorsi-distorsi.
REPRODUKSI BUDAYA: PERSPEKTIF DURKHEIMIAN
Bagi Durkheim, masalah yang melekat ada isu-isu reproduksi sosial dan budaya bukanlah dalam hal mengungkap terjadinya reproduksi itu di balik topeng ideologis perubahan yang terdistorsi tetapi bagaimana mencari kredo sekuler kolektif yang sesuai yang akan ‘menjamin’ reproduksi solidaritas ketika menghadapi perubahan. Durkheim menawarkan ide ini pada kita; ide yang fundamental dalam semua tulisannya yang terangkum dalam The Division of Labour. Dalam tulisan formatif inilah ia memberikan dua model integrasi yang tersebar luas di sepanjang poros modernitas dalam bentuk solidaritas
‘mekanis’ dan ‘organik’. Solidaritas mekanis adalah bentuk masyarakat yang didasarkan pada kesamaan, pada keyakinan-keyakinan bersama yang solid, pada pembagian tenaga kerja yang kurang jelas, dan pada kesadaran kolektif yang secara intensif diarahkan oleh orang lain. Transisi menuju solidaritas organik yang terjadi melalui ‘kepadatan moral’ yang menyertai jalan modernitas, mengakibatkan melemahnya kesadaran kolektif secara terus- menerus dan sangat melemahkan sehingga berdampak tak langsung terhadap karakteristik- karakteristik lain dalam masyarakat. Perubahan ini, dalam kerangka ilmu etika, didefinisikan sebagai sebuah gerakan menjauh dari altruism menuju ke bangkitnya egoism. Tujuan Durkheim, dan warisan pemikirannya, menghasilkan sebuah teori tentang ‘reproduksi yang ramah’, yaitu teori yang akan menemukan kekuatan pengikat dalam menghadapi potensi perpecahan yang dideskripsikannya sebagai kondisi ‘anomi’. Berlawanan dengan pendekatan Marxis, Durkheim menegaskan perlunya reproduksi budaya itu sendiri, yang berarti perlunya kesesuaian melalui perubahan. Sebagian sistem memang harus bereproduksi. Bagaimanapun, bentuk-bentuk masyarakat Durkheim tidak evolusioner, tetapi morfologis. Tradisi pemikiran Durkheim memandang reproduksi dengan optimism, bahkan positivism. Metafora-metaforanya lebih merupakan konsensus daripada perpecahan, dan motivasinya bersifat menyatukan.
REPRODUKSI BUDAYA: PERSPEKTIF ETNOMETODOLOGIS
Sumber lain dari gagrak (genre) teori reproduksi budaya yang disebut dengan etnometodologi dapat dipandang sebagai sumber yang banyak memberikan pelajaran sebagai hasil dari tradisi pemikiran Durkheim. Garfinkel adalah seorang pelopor etnometodologi dari California. Pemikirannya dipengaruhi oleh fenomenologi Schutz dalam
hal karakter realitas yang dibangun secara sosial tetapi tipikal, oleh teori sistem dari Parson dalam soal kepastian sentralitas persoalan tatanan meskipun hal tersebut dibangun kembali sebagai isu internal, bukan eksternal, dan oleh filsafat linguistik Wittgenstein dalam kaitannya dengan permainan bahasa dan aturan-aturan yang berlaku.
Bagi para etnometodolog, reproduksi budaya hampir merupakan sebuah proses yang perlu, bahkan bisa menjadi tujuan. Tindakan-tindakan lihai dari anggota-anggota (kebudayaan) yang ditunjukan dan dipuji secara terbuka oleh etnometodologi dalam detail etnografis yang rumit atau yang paling sering, dalam perbincangan, didedikasikan, meskipun tidak ditentukan, untuk memahami konteksnya dengan cara mereproduksi kondisi-kondisi dari kejadiannya sendiri secara refleksif. Maka, reproduksi untuk para anggotanya sifatnya intensional sekaligus integratif. Hal ini merupakan sebuah penegasan ulang yang terus- menerus dari kehidupan kolektif. Poin penting dari metodologi yang terkait dengan tradisi sosiologi adalah pembubaran peran teorisi sebagai ahli. Ini berarti ketika menjelaskan tentang kehidupan sosial, seorang sosiolog sebenarnya sedang melakukan keahlian-keahlian dan tindakan-tindakan yang sama dengan anggota (masyarakat) biasa, dan hanya bertindak refleksif. Apapun status pernyataan demokratis utopia ini atas nama kumpulan tulisan dalam aliran pemikiran ini, pernyataan tersebut mengatakan lagi tentang perlunya peran teorisi maupun anggota masyarakat biasa sebagai pelaku-pelaku reproduksi sebuah jaringan simbolik yang berkesinambungan dan dimiliki bersama yang dapat kita katakan sebagai kebudayaan.
REPRODUKSI BUDAYA: PERSPEKTIF STRUKTURALIS
Levi-Strauss-lah yang paling instrumental dalam menggunakan metafora geologis ini. Ia menyamakan pembentukan fenomena-fenomena budaya dengan pelapisan, perluasan, peregangan dan perobosan lapisan-lapisan batu; tiap bentuk topografi tampak khas tetapi sama-sama memiliki elemen-elemen dasar tertentu dengan fenomena-fenomena geologis yang serupa. Pemahaman atas fenomena-fenomena tersebut harus dilakukan dengan cara menggali strata atau lapisan-lapisan tersebut dan kemudia mengungkap pola-pola hubungan antar lapisannya. Strukturnya berasal dari pola-pola tersebut. unsur-unsur sebuah kebudayaan seperti yang kita alami adalah tampilan-tampilan permukaan atau manifestasi-
manifestasi dari pola-pola yang mendasarinya pada level yang lebih dalam, baik dalam suatu masa, yang disebut dengan ‘sinkronik’ atau sepanjang masa yang disebut dengan
‘diakronik’. Ferdinand Saussure menyatakan pola-pola atau struktur yang mendasari semua fenomena budaya harus dipahami sebagai sebuah metafora linguistik. Kita mungkin mengenal struktur-struktur yang berupa kebudayaan seakan-akan struktur-struktur adalah bahasa. Istilah-istilah atau item-item leksikal kosakata dalam sebuah bahasa semacam itu didukung oleh simbol-simbol yang ada dalam kehidupan sosial, yaitu representasi- representasi yang melekat pada, atau muncul dari, kondisi nyata benda-benda atau materialitas itu sendiri. Jadi, berbagai macam cara yang kita ahami dalam budaya-budaya yang berbeda mengeksresikan dan mengembangkan berbagai ‘bahasa’ dengan cara yang berbeda pula yang membentuk simbol-simbol budaya kita. Kebudayaan merupakan praktik struktural yang konvensional tetapi mendalam, yang aturan-aturannya mungkin hanya merupakan bagian dari level ketidaksadaran anggota-anggotanya. Simbol- simbol dan representasi-representasi budaya adalah struktur permukaan.
DAFTAR PUSTAKA
Irwan Abdullah. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jenks, Chris. 1993. Cultural Reproduction. London: Routledge.