• Tidak ada hasil yang ditemukan

Review Tsunami: Tsunami Teluk Moro, Filipina (1976) dan Metode Mitigasi Tsunami

N/A
N/A
Aulia

Academic year: 2024

Membagikan "Review Tsunami: Tsunami Teluk Moro, Filipina (1976) dan Metode Mitigasi Tsunami "

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

1

Review Tsunami: Tsunami Teluk Moro, Filipina (1976) dan Metode Mitigasi Tsunami

Ditulis oleh Aulia Afifatuz Zulfah (104120045)

a. Tsunami Teluk Moro, Filipina (1976)

Hampir empat dekade lalu, pernah terjadi bencana paling dahsyat sepanjang sejarah Filipina yang meluluh-lantahkan wilayah Teluk Moro dan menewaskan tercatat sebanyak 4381 korban jiwa (NCEI/WDS, 2021). Bencana tersebut terjadi pada hari Selasa tanggal 17 Agustus 1976 tengah malam. Saat kebanyakan orang sedang tertidur lelap, terjadi gempa bumi besar yang terindikasi setelahnya merupakan jenis strike-slip motion berkekuatan 8,0 skala Richter mengguncang sebagian besar Pulau Mindanau dan sebagian Visayas. Getarannya paling terasa di kota-kota sekitar Teluk Moro, khususnya di Kota Cotabato. Gempa bumi tersebut bukan hanya sebuah guncangan namun juga membawa salah satu bencana ikutan yang tidak kalah dahsyat karena terjadi di sekitar daerah perairan yaitu Tsunami. Tanpa adanya peringatan, sekitar 2-5 menit setelah gempa terjadi, gelombang air laut setinggi sembilan meter mencapai pantai dan menggenangi pemukiman masyarakat di sepanjang Teluk Moro. Sekitar 8000 orang menjadi korban termasuk yang hilang dan tidak pernah ditemukan dan menjadikannya sebagai tsunami paling dahsyat yang melanda Filipina.

Dilansir dari Arguillas (2011), 95% kematian disebabkan oleh tsunami dengan alasan masyarakat yang tinggal di bibir pantai tinggal di rumah mereka tanpa ada waktu untuk mengungsi mengingat fenomena tersebut terjadi pada dini hari. Meskipun gempa tersebut berkekuatan besar, yang mengejutkan, gempa tersebut hanya menghasilkan sedikit deformasi tanah di wilayah daratan. Namun, tercatat kerusakan besar pada infrastruktur bangunan (seperti sekolah, hotel, restoran, bioskop, serta gereja), jembatan, dan jalan di Mindanao. Sebagian besar bangunan runtuh karena konstruksi yang buruk atau fondasi yang tidak memadai.

Sejumlah bangunan semacam itu telah dibangun di atas endapan aluvial tanpa penyangga tiang pancang yang memadai. Bukti pencairan tanah ditemukan di banyak daerah di mana gelembung lumpur telah mencapai permukaan. Bencana gempa bumi dan tsunami di Teluk Moro tahun 1976 ini, juga berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakatnya.

Diperkirakan akibat kejadian ini, kerugian finansial yang dialami oleh masyarakat terdampak bencana Teluk Moro dan sekitarnya adalah sekitar 6.7 Miliar Peso (Baterna et al. 2013).

Pelajaran yang dapat diambil dari bencana gempa bumi dan tsunami Teluk Moro Filipina tahun 1976 adalah sebagai berikut.

1. Sebagai negara yang memiiki ancaman bahaya gempa bumi dan tsunami yang nyata, peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat setempat menjadi senjata utama dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana yang sama di masa mendatang.

2. Oleh karena bencana gempa bumi dan tsunami tidak dapat diprediksi maka untuk meminimalisir jumlah korban jiwa perlu dilakukan peningkatan pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) gempa bumi, dan tsunami, serta menyiapkan jalur evakuasi yang telah disosioaliasikan kepada masyarakat setempat.

(2)

2

3. Untuk meminimalisir kerusakan infrastruktur maka konstruksi atau pembangunan infrastruktur harus mengikuti standar yang telah ditetapkan untuk daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami.

Kehancuran besar yang dibawa oleh gempa bumi Teluk Moro dan tsunami yang mengikutinya mengakibatkan perubahan dalam rencana kesiapsiagaan bencana negara. Itu juga menyebabkan presiden Ferdinand Marcos, Presiden Filipina yang menjabat saat itu merevisi ketentuan Kode Bangunan Nasional setahun setelah tragedi itu. Kemudian pada tahun 1978, Marcos membentuk Dewan Koordinasi Bencana Nasional, pendahulu dari apa yang sekarang dikenal sebagai Dewan Manajemen dan Pengurangan Risiko Bencana Nasional.

b. Buoy, Pendeteksi Tsunami Super Cepat Buatan Indonesia

Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng aktif dunia, yaitu Indo-Australia di bagian selatan, Eurasia di bagian utara, dan Pasifik di bagian timur. Akibatnya, Indonesia memiliki lebih dari 70 sesar aktif dan belasan zona subduksi. Hal ini juga yang memunculkan jalur gempa dan rangkaian gunung aktif di Indonesia. Kondisi geologi seperti inilah yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling rawan bencana di dunia. Tercatat pada awal abad 21 ini, Indonesia telah dilanda tsunami Aceh 2004 yang memakan korban hingga ratusan ribu jiwa. Setelah itu, pada 2006 tsunami kembali terjadi di selatan Pulau Jawa, kemudian 2007 di Bengkulu, 2010 di Kepulauan Mentawai, terakhir 2018 tsunami baru saja menerjang Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Bencana tsunami merupakan gelombang air laut besar yang dipicu oleh pusaran air bawah laut karena pergeseran lempeng, tanah longsor, erupsi gunung api, dan jatuhnya meteor.

Tsunami dapat bergerak dengan kecepatan sangat tinggi, dapat mencapai daratan dengan ketinggian gelombang hingga 30 meter, dan salah satu bencana yang dapat diprediksi namun rentang waktu evakuasi yaitu antara pengumuman potensi tsunami sampai detik-detik terjadinya bencana tsunami tidak terlalu lama. Untuk itu perlu adanya sistem peringatan dini yang akurat dan berkualitas sehingga masyarakat terdampak memiliki waktu evakuasi diri lebih banyak sehingga korban jiwa yang berjatuhan akibat bencana tsunami dapat diminimalisir.

PT PAL Indonesia melalui Divisi Produksi Bidang Rekayasa Umum telah berhasil membangun Indonesia-Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) atau sistem peringatan dini tsunami dalam bentuk buoy. Buoy adalah alat terapung yang dapat mendeteksi gelombang tsunami yang diakibatkan gempa bumi bawah laut. Buoy akan mengawasi dan mencatat perubahan tingkat air laut di samudera. Dilansir dari dokumen Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami yang dibuat oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Ina- TEWS pertama kali diluncurkan pada November 2008. Ina-TEWS memiliki dua sistem pemantauan. Yang pertama adalah sistem pemantauan darat yang terdiri dari jaringan seismometer broadband dan GPS. Yang kedua, sistem pemantauan laut (sea monitoring system) terdiri atas buoy, tide gauge, dan CCTV.

Indonesia sudah pernah memasang sejumlah buoy tsunami. Sembilan buoy dibuat Indonesia, dua buoy dibuat Amerika, satu buoy dari Malaysia, dan sembilan buoy lainnya sumbangan Jerman. Buoy-buoy ini ditempatkan di seluruh titik di lautan Indonesia, seperti di Laut Sumatra, Jawa, Flores, Maluku, dan Banda agar dapat membantu Badan Meteorologi Klimatologi dan Goefisika (BMKG) dalam memberikan peringatan dini tsunami. Pada 2019,

(3)

3

empat Ina-Buoy dipasang di Pelabuhan Benoa (Bali), Pantai Selatan Jawa Timur, Pantai Selatan Jawa Tengah, dan Selat Sunda. Pada 2022, 20 Ina-Buoy direncanakan untuk dipasang di sekitar Ambon, Sulawesi, dan Papua serta daerah patahan megathrust yang rawan tsunami lain (Sutrisno, 2021).

Ina-TEWS dapat mengolah informasi yang didapat dari sistem pemantauan darat dan laut dengan menggunakan perangkat decision support system (DSS) untuk menentukan apakah ada risiko tsunami setelah gempa. Setelah data tersebut diverifikasi, peringatan dini tsunami pun bisa dipublikasikan. Dengan adanya Ina-TEWS, BMKG mampu menerbitkan berita peringatan dini tsunami dalam kurun waktu lima menit setelah gempa bumi terjadi yang kemudian diikuti oleh beberapa kali berita pemutakhiran dan diakhiri berita ancaman tsunami telah berakhir.

Berita peringatan dini berisi tingkat ancaman tsunami untuk wilayah dengan status “Awas”,

“Siaga”, hingga “Waspada”.

Memang benar tidak ada yang bisa mengalahkan fenomena alam yang mengerikan ini.

Akan tetapi, terus mendidik masyarakat tentang bencana ini, tentang apa yang harus dilakukan serta meningkatkan sistem peringatan dini, kemungkinan besar dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup—apabila potensi bencana itu terjadi. Terutama gempa bumi yang tergolong tidak dapat diprediksi—yang tersisa bagi kita, selain memastikan keamanan struktur, adalah waspada.

REFERENSI

Arguillas, C. (2011). The 1976 Tsunami: Maguindanao had highest death toll. Diakses pada 15 Mei 2023. URL:http://www.mindanews.com/special-reports/2011/03/the-1976- tsunami-maguindanao-had-highest-death-toll/

Baterna, et al. (2013). Disasters in The Philippines. Diakses pada 15 Mei 2023. URL:

https://www.sutori.com/en/item/moro-gulf-earthquake-august-17-1976-mindanao-8- 0-magnitude-damage-of-p

Dela Cruz, G. (2015). Midnight Killer: 1976 Moro Gulf Tsunami. Diakses pada 15 Mei 2023.

URL: https://www.rappler.com/moveph/issues/disasters/102827-1976-moro-gulf- earthquake-tsunami

National Geophysical Data Center / World Data Service: NCEI/WDS Global Historical Tsunami Database. NOAA National Centers for Environmental Information.

doi:10.7289/V5PN93H7 https://www.worlddata.info/asia/philippines/tsunamis.php Sutrisno, Eri. (2021). Buoy, Pendeteksi Tsunami Super Cepat Buatan Indonesia. Diakses pada

15 Mei 2023. URL: https://indonesia.go.id/kategori/budaya/2543/buoy-pendeteksi- tsunami-super-cepat-buatan-indonesia

Referensi

Dokumen terkait