Policy Brief Adaptasi Sasi “ecological wisdom” dalam menjaga ekosistem lingkungan kedalam hukum formal
policy brief
Adaptasi Sasi “ecological wisdom” dalam menjaga ekosistem lingkungan ke dalam hukum formal di Maluku Tengah 1
Sasi: Antara Kebanggaan, Penghargaan, dan Keprihatinan
Adaptasi Sasi atau kearifan ekologi lokal ke dalam hukum formal Maluku Tengah untuk menjaga kelestarian ekosistem lingkungan
Rekomendasi Kebijakan
Pelestarian sosial budaya dan hukum adat yang berkembang di Maluku Tengah.
Penyusunan kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan serta pemeliharaan nilai-nilai kecerdasan ekologis yang ada, agar tidak tergilas oleh kemajuan dan tantangan hidup masyarakat.
Penguatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfataan sumber daya kelautan dan perikanan.
Penegakan Hukum yang berkeadilan, dalam menjaga ekosistem lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam di daerah.
Disusun oleh:
Pusat Telaah Dan Informasi Regional (PATTIRO), Institute Tifa Damai Maluku, dan
Masyarakat Adat Negeri Haruku
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan, 2015
Luas Potensi Lahan Budidaya di Maluku Tengah Tahun 2014
November, 2015
Sasi atau kearifan ekologi merupakan tradisi masyarakat Maluku termasuk masyarakat Kabupaten Maluku Tengah yang sampai saat ini masih diterapkan secara berkesinambungan dan sukarela. Sasi sendiri diartikan sebagai sebuah mekanisme kearifan lokal yang digunakan masyarakat adat untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam baik yang terdapat di darat, perarian atau sungai, maupun pesisir atau laut secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan kebutuhan pangan masyarakat. Sasi di Maluku dikelola oleh sebuah lembaga adat di bawah Raja atau Kepala Desa yang disebut Kewang.
Dalam penerapannya, aturan ini hanya berlaku di tingkat pemerintah Negeri (sebutan masyarakat lokal untuk desa). Pun, tidak semua Negeri menerapkan Sasi di wilayahnya sehingga regulasi adat ini hanya mengikat di wilayah Negeri yang menerapkannya. Selain tidak semua Negeri menerapkan Sasi, praktik pengimplementasian peraturan adat ini memiliki tantangan yang cukup besar, baik dari dalam maupun luar. Salah satunya adalah pergantian pemerintah. Pergantian pemerintah yang telah sering terjadi dan kebijakan pembangunan yang dibuat semakin mengikis nilai-nilai adat yang terkandung di dalam Sasi. Bahkan kini, Sasi di sebagian besar Negeri Adat tengah mengalami fenomena mati suri.
Dalam pengelolaan sumber daya alam pesisir, tradisi Sasi Laut dan Sasi Kali mengatur masyarakat untuk tidak menangkap ikan dalam waktu tertentu. Tujuannya agar ikan dapat tumbuh dan mencapai ukuran tertentu ketika ditangkap nantinya. Selain itu, ada juga Sasi Lompa, perpaduan antara Sasi Laut dan Sasi Kali, yang mengatur tentang penangkapan ikan macherel – ikon dan kebanggaan masyarakat setempat – di Negeri Haruku. Implementasi Sasi Lompa ini telah memperoleh berbagai penghargaan baik di tingkat daerah, nasional, bahkan international.
Studi mengenai Sasi ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat gambaran tentang pelaksanaan “Sasi” di Kabupaten Maluku Tengah, khususnya Sasi Laut di Negeri Haruku dan beberapa Negeri lainnya, serta melihat peluang keberlanjutan tradisi lokal dalam menjaga kelestarian dan sumber daya alam melalui adaptasi hukum formal. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tiga metode penggalian data, wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, dan pengumpulan dokumen yang relevan.
policy brief
Adaptasi Sasi “ecological wisdom” dalam menjaga ekosistem lingkungan ke dalam hukum formal di Maluku Tengah Maluku Tengah merupakan kabupaten ke dua yang
menyumbang produksi ikan. Secara geografis kabupaten Maluku Tengah memiliki Luas Wilayah seluruhnya kurang lebih 275 907 Km2 yang terdiri dari luas laut 264 311,43 Km2 dan luas daratan 11 595,57 Km2 atau dengan kata lain 95,8 % wilayah Maluku Tengah adalah wilayah lautan. Maluku Tengah memiliki pulau sebanyak 49 buah dan 144 buah sungai, pulau yang dihuni oleh masyarakat sebanyak 14 buah pulau. Produksi perikanan tertinggi, dengan 24 jenis ikan. Jumlah ikan yang diproduksi pada tahun 2012 sebesar 100.271,10 Ton, jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 30,19% sehingga pada tahun 2014 menjadi 130.538,40 Ton.
Kondisi tersebut didukung dengan adanya jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) pada Tahun 2013 yakni sebanyak 15.603. RTP ini mengalami peningkatan sebesar 0,39 % hingga menjadi 15.664 RTP pada Tahun 2011. Jumlah nelayan/pembudidaya ikan juga mengalami peningkatan sebesar satu persen sehingga menjadi 30.361 orang pada Tahun 2014.
Maluku Tengah juga memiliki potensi budi daya laut dan darat.
Temuan Penting
Hasil studi menunjukan bahwa dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan ditemukan:
1. Belum adanya kebijakan Pemerintah Daerah dalam mendorong keberlanjutan sumber daya alam terkait kelautan dan perikanan.
2. Belum adanya kebijakan untuk mendukung koordinasi dan kerjasama lintas sektoral dalam melakukan pengawasan.
3. Terbatasnya kapasitas masyarakat adat untuk dapat melindungi area / wilayah Sasi
4. Lemahnya koordinasi antar kewang, pemerintah negeri dan pemerintah kabupaten, juga antar pemerintah kabupaten dan propinsi.
5. Tidak adanya sarana dan prasarana pendukung dalam melakukan pengawasan.
Pemboman ikan dan biodata laut. Hingga saat ini pemboman liar tetap berlangsung dan perluasan terhadap tindakan ini juga telah dicegah.
Penindakan pemboman tersebut juga diperkarakan di pengadilan dan kepolisian. Kasus lainnya penangkapan ikan ilegal (illegal fishing), yang menjadi sorotan nasional dan internasional, salah satunya yang terjadi di Maluku Tengah adalah kasus penangkapan terhadap KMN Inka Mina di perairan
Desa Seith, Kecamatan Leih itu, Kabupaten Maluku Tengah.
Lemahnya sarana pendukung yang dimiliki oleh Kewang, Kendala dalam menjaga dan mengelola sumber daya kelautan dan perikanan khususnya.
Keterbatasan sarana ini telah menuntun masyarakat adat “kewang” bekerja keras dalam penegakan sasi.
Rendahnya kesadaran masyarakat dalam melestarikan sasi. mulai menurunnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan budaya nenek moyang. Pelaporan pelanggaran sasi juga telah tersistem. Jika terjadi pelanggar sasi dan tidak menghadap ke kewang, maka kewang akan melaporkan pelanggaran tersebut kepada raja.
“Yang tadi beta bilang tu, masyarakat Negeri Haruku mereka sudah tahu mana yang di Sasi dan mana yang bebas, jadi seumpamanya dibilang Sasi ada masyarakat yang coba-coba itu dilapor Kewang panggil kalau Kewang panggil dia tidak menghadap Kewang lapor ke bapa Raja”. (wawancara, Z.F erdinandus, 5 agustus)
Berbagai persoalan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam “sasi” masih dilakukan secara tradisional dengan sistem dan nilai berbasis norma yang dilakukan secara turun-temurun, melalui penetapan oleh Raja selaku kepala adat di masing- masing negeri. Pelaksanaan penerapan sasi oleh Kewang sering dihadapkan dengan berbagai kendala baik yang bersifat internal maupun eksternal seperti;
internal (keterbatasan SDM, keterbatasan alat komunikasi dan pengawasan dalam implementasi kegiatan, sanksi yang tidak kuat berupa denda yang diukur dengan nilai material/uang yang kecil, dukungan pendanaan, dll).
Eksternal (masih terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pihak luar, pengeboman, lemahnya peran koordinasi aparatur keamanan dalam menyelesaikan aduan, belum ada kebijakan regulasi dan anggaran yang terbatas di tingkat Kabupaten dalam mendukung dan melindungi sistim “sasi”
secara baik dan belum maksimal dilakukan pendekatan programatis oleh SKPD terkait secara terkoordinasi dalam mendukung pengelolaan SDA
“sasi”, dll).
Antara Fakta dan Prioritas
Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur tentang sumber daya kelautan yang berkaitan tentang perikanan melalui UU No. 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun
Policy Brief Adaptasi Sasi “ecological wisdom” dalam menjaga ekosistem lingkungan kedalam hukum formal
policy brief
Adaptasi Sasi “ecological wisdom” dalam menjaga ekosistem lingkungan ke dalam hukum formal di Maluku Tengah 3 2009, terbitnya UU ini diantara bertujuan untuk
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan, dan menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Senada dengan itu, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang salah satunya bertujuan untuk melindungi, mengobservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan dan meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pembangunan berbasis sumberdaya kelautan dan perikanan menjadi motor penggerak dalam pembangunan Nasional. Hal ini tercermin dalam keputusan politik nasional, sebagaimana tercantum dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Salah satu misinya adalah mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Sektor sumber daya kelautan berkontribusi cukup besar terhadap perekonomian nasional.
Luasnya area laut Maluku Tengah sangat menuntut perhatian besar dalam rangka mengelola dan menjaga keberlanjutan potensi dan produksi sumber daya alam tersebut. Kondisi geografis Maluku Tengah menunjukan bahwa kelautan dan perikanan merupakan sumber kekayaan daerah dan mayoritas masyarakatnya berpencaharian di bidang perikanan dan kelautan. Masalah yang saat ini terjadi yaitu: pertama, pencurian ikan (illegal fisihing) dan kerusakan lingkungan yang masih terjadi, Kedua, pengekploitasian sumber daya perikanan yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari luar wilayah dan Negeri. Ketiga, pemanfataan sumberdaya alam yang tidak mengindahkan lingkungan sekitar, pemanfaat ini dilakukan oleh warga dari luar Maluku Tengah dan masyarakat lokal sendiri dan keempat, penangganan masalah kelautan dan perikanan tidak sesuai antara pihak yang melakukan pengawasan dan pihak yang mempunyai kewenangan untuk menindak pelanggaran yang terjadi.
Diperlukan Kebijakan
Kearifan lokal yang selama ini dilakukan “Sasi laut”
bisa di adaptasi dalam kebijakan Maluku Tengah, sehingga kearifan lokal tersebut dapat terus dipertahankan dan dapat dirasakan manfaatnya dalam menjaga ekosistem lingkungan yang dapat mempertahankan keberlangsungan sumber daya alam di Maluku Tengah.
Wanggai dalam Karubaba (2007: 49) menyatakan bahwa untuk mencapai keberlanjutan sosial ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan, setiap upaya pembangunan harus memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku maupun pemilik sumber daya lingkungan baik pada tingkat individu maupun kelompok.
Oleh karenanya konsep pembangunan perikanan berkelanjutan sendiri harus mengandung aspek (Fauzi dan Anna, 2005):
1) Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi).
Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass, sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama.
2) Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio- ekonomi). bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian dalam kerangka keberlanjutan ini.
3) Community sustainabily, bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian membangun perikanan yang berkelanjutan.
4) Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan yang kelembagaan menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.
Eksistensi hukum adat di Indonesia secara konstitusional diakui sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
policy brief
Adaptasi Sasi “ecological wisdom” dalam menjaga ekosistem lingkungan ke dalam hukum formal di Maluku Tengah Skema keberlanjutan ecological wisdom
undang-undang”. Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 45 dinyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban.
Kehadiran UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memperkuat kewenangan desa adat dalam pengaturan dan pengurusan hak ulayat atau wilayah adat dan melestarikan nilai sosial budaya setempat, serta mengembangkan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat adat.
Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan harus dilakukan secara holistik. Tidak bisa dipisahkan antara pemanfaatan ekonomi semata, namun juga harus ditinjau dari aspek lingkungan, sosial dan budaya. Eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan tidak boleh dilakukan dengan cara merusak, dan harus mempertimbangkan pemanfaatan secara berkelanjutan. Keberadaan kearifan lokal di Maluku Tengah tentang kebelangsungan sumber daya laut
“sasi laut” dapat menjadi perhatian bagi pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
Integrasi peran antara pemerintah daerah dan masyarakat adat yang memiliki kearifan dalam pengelolaan sumber daya alam akan mampu mendorong keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan.
Penutup
Menguatnya kesadaran akan peran nilai-nilai lokal dalam menopang pembangunan yang berkelanjutan
membawa dampak dalam proses pembangunan hukum nasional. Hukum adat dan kearifan lokal sudah semestinya dijadikan komponen dan sendi dari pembangunan hukum nasional. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga atau penyaring iklim global yang melanda kehidupan manusia. Dalam hal ini, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan jati diri bangsa sekaligus sebagai upaya dalam mempertahankan dan melestarikan kearifan lokal agar tidak semakin tergerus maraknya budaya luar saat ini.
Kearifan lokal yang selama ini dilakukan “Sasi laut”
bisa di adaptasi dalam kebijakan Maluku Tengah, sehingga kearifan lokal tersebut dapat terus dipertahankan dan dapat dirasakan manfaatnya dalam menjaga ekosistem lingkungan yang dapat mempertahankan keberlangsungan sumber daya alam di Maluku Tengah. Sasi laut dipandang penting dalam konteks di atas, namun perlu dieksplorasi lebih jauh bagaimana pelaksanaan dari sasi laut itu sendiri, termasuk tantangan yang dihadapi. Selain itu, untuk memastikan bahwa sasi laut merupakan tradisi dalam menjaga ecological wisdom ini berjalan efektif dan berkelanjutan, maka dipandang penting untuk menjadikannya sebagai bagian dari aturan hukum formal yang mengadaptasi kearifan lokal masyarakat di Maluku Tengah.
Peraturan pengelolaan sumber daya laut pada dasarnya bertujuan sama, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan lingkungan, namun dalam pembuatan dan pengaplikasiaan peraturan tersebut perlu mempertimbangkan dan mensinkronkan dengan peraturan lokal serta memperhatikan asas dalam pengelolaan kelautan dan perikanan sebagai telah dituangkan dalam bab 2 naskah akademik ini, sehingga masyarakat sekitar daerah sumber daya tidak dirugikan dengan hadirnya pengaturan ini.
Referensi:
1. Pusat Telaah dan Informasi Regional, Laporan Penelitian adaptasi sasi dalam kebijakan formal, 2015 2. Maluku Tengah Dalam Angka, 2014, hal 3
3. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Malteng, 2015 4. Hendra WP, Pembangunan Hukum Berbasis Kearifan
Lokal” edisi 01/Tahun XVII/2011
5. Siti Wahyuni “Keberagaman dan Makna Nilai Kearifan Lokal sebagai sumber inspirasi pembelajaran seni budaya yang berkarakter” hal 116