• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBUAH DINAMIKA SASTRA TANPA HENTI

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "SEBUAH DINAMIKA SASTRA TANPA HENTI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

M

E

LAYU.JAWA DAN JAWA.M

E

LAYU

:

SEBUAH DINAMIKA SASTRA TANPA HENTI-)

Sri

Widoti

Inti

sari

Sastra dari luar, misalnya dari India, Persia, dan Cina, telah lama masuk ke ranah sastra Indonesia, bahkan juga menjadi bagian dari sastra ]awa, misalnya Mahabarata, Ramayana, dan Baratayudha dari India, Menak, Ambiya, dan Yusup dari Persia, serta Sam Pek Eng Tai dan Sin Jin Kui dari Cina. Kehadiran sastra tersebut dilakukan melalui perpindahan penduduk ke luar daerah asalnya (migrasi) sambil membawa serpihan kekayaan budaya mereka. Di negeri singgahnya, biasanya mereka beradaptasi dengan saling menunjukkan kebudayaan masing- masing, yang selanjutnya teradaptasi di negeri baru itu.

Perjalanan budaya semacam itu dapat terjadi juga pada abad modern ini, misalnya kehadiran guritan karya Noriah Muhammed dan puisi karya Siti Zainon Ismail (keduanya dari Malaysia).

Perpindahan sastra ]awa (dan Indonesia) keluar negerinya juga melalui perpindahan penduduk atau migrasi, tetapi ada perbedaan pada latar belakang yang mendasarinya karena kondisi dan konsep bernegara masa kini lebih bersistem, yang tidak memungkinkan migrasi secara mudah dan atau menga;'arkan kebudayaan negeri asal secara bebas pula.

Kata kunci: migrasi, sastra jawa, sastra Indonesia, sastra asing

Abstract

Literature, such as fronr India, Persia nnd China hed entered to Indonesian literature for long time,

wen, ludbecomepartsoflaanneseliteraturelikeinMahabarata,Ramayr:r-andBaratayudha (fromlndia), Menak, Ambiya, Yrcuf from Persia nnd Sam Pek Eng Tai andsinJnKuifrom Cina. The existence of literature (texts) occurred by the ntoae of inhabitants out from their origins by bringing parts of their culture. In tlrcir moaement, tlrc inlnbitants usunlly stopped ooer in countries and had adaptation to local culture. Tlrcir culture, then, were ndapted in the countries they aisited.

Tlnse cultural phenonrcna also occurred in literary works in tlds modern era, like guritan by Norinlr Muhammed and poems by Si Zainon lsmnil (t'rom Malaysia). Migration of laaanese (and Indonesian) literature out of country occurred through people migration, but there was dffirence on its fundamental backgrowtd for contempornry condition nnd goaernnnce concept thnt is more systeruatic. lt does not allow

easy migration or not nllow teaching tlrc origin culture freely.

Key words: migrntion, lnaanese literature, hrdonesian literature, foreign literature

1.

Pendahuluan

Hubungan timbal-balik antarbangsa

di

kepulauan Nusantara sesungguhnya sudah

berlangsung lama, melalui berbagai jalur, mi- salnya

jalur

perdagangan dan jalur perpin- dahan penduduk ke

luar

(dengan sengaja)

)

Naskah masuk 8 November 2010. Editor Drs. Slamet Riyadi, APU. Editing I: 9 - 15 November 2010. Editing

Il

7 -14

November 2010.

Tulisan ini pemah dibentangkan di Persidangan Antarbangsa, Bahasa, Sastera, dan Kebudayaan Melayu III, Anjuran Jabatan Bahasa dan Kebudayaan Asia, Institut Pendidikan Nasional, Universiti Teknologi Nanyang, Singapura, tanggat

14-16 Juli 2006.

101

(2)

atau migrasi. Media komunikasi antarsuku bangsa yang saling berkunjung itu ialah ba- hasa Melayu, sebuah jenis bahasa

di

Asia Tenggara yang juga bahasa ibu di semenan-

jung

Malaka, Sumatra bagian

timur,

Riau, dan Kalimantan Barat. Bahasa Melayu me- mang salah satu lingua franca antaretnis

di

Asia pada waktu itu. Pengaruh komunikasi antarbangsa yang berdagang dan "berdia-

1og" dengan media lingua franca itu mening- galkan jejakyang amat signifikan dalam per- kembangan peradaban

di

Asia Tenggara, khususnya diJawa, salah satu

pulau

yang penting di Indonesia.

Jejak peradaban

luar

(asing) yang per- tama

di

Indonesia ialah dari

India

dengan membawa bagian dari kebud ay aanny ayang menempel pada masyarakatnya, termasuk agamanya, Hindu-Budha. Mereka datang

di

Indonesia

melalui

ekspidisi perdagangan dan selanjutnya meninggalkan serpih-serpih budaya yang dibawanya itu di negeri-negeri Asia Tenggara, seperti Nusantara (termasuk Indonesia). Kehadiran mereka ditandai de- ngan tersebarnya berbagai unsur kebudaya- an India

di

daerah-daerah yang disinggahi atau dikunjungi. Unsur kebudayaary antara

lain

berpengaruh pada agama, bangunan ibadah (candi-candi), tradisi, dan unsur-un- sur keseniary misalnya sastra (c.f. Eco,1986).

Selain menjadi tempat persinggahan bangsa India, wilayah Nusantara itu juga mejadi dae- rah transito bagi bangsa lain di sekitar seme-

nanjung Malaka, yang juga bermigrasi da- lam melakukan aktivitas sehari-hari mereka sebagai bangsa. Oleh karena itu, setelah ke- hadiran bangsa India, beberapa bangsa lain di Asia, misalnya bangsa Persia (Arab) dan bangsa Cina juga singgah-bahkan selanjut- nya sebagian ada yang menetap

-

di negeri-

negeri Nusantara dengan meninggalk arr " be- kas" transitnya, antara lain berupa serpihan

bahasa etnik mereka, tempat-tempat ibadah, pakaiary makanan, adat-istiadat, dan karya

seni kadisi lainnya, termasuk sastra (c.f. Xian-

lin

dalam Claudin-Salmory 1987:1).

Sastra adalah salah satu jenis kesenian yang hampir selalu tr-rrut bermigrasi bersama masyarakat di negerinya, karenapada masa tradisi lisan, sastra menyatu atau "melekat"

dalam adat dan kehidupan sehari-hari me- reka. Penelitian Zoetmulder dalam buku Ka- langwan (1974:3

-

4) menunjukkan bahwa hu- ruf Pallawa (India) sudah diperkenalkan

di

wilayah Indonesia sejak pra-Islam, yaitu pa- da abad ke-5 M. Demikian juga halnya de- rlgan bahasa Jawa Kuna yang berakar dari

bahasa Sansekerta (India). Bahasa etnik dari India itu sudah menjadi wahana kebudaya-

an Jawa sejak abad ke-9 M. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila wiraca rita Mahab a- rata, Baratayudha, danRamayana dibaca, dipe- lajari, dan diadaptasi dengan baik oleh ma- syarakat Jawa dan masyarakat lain

di

Nu- santara.l Sementara itu, wiracarita Islam po- puler dari Persia yang diterima dan diadap- tasi oleh masyarakat Jawa ialah wiracarita yang diekspresikan menjadi Serat Menak, Se- rat Iskandar, dan Serat Yusuf. Serat Menak,

mi-

salnya, merupakan saduran dari naskah Me- layu, Hikay st Amir Hamzah. Masyarakat Jawa menyebuttokohcerita itu dengan Amir Am- byah atau Wong Agung Menak. Oleh karena

mirip

dengan kisah Panji (dari Jawa Timur), kisah

Amir

Hamzah juga populer

di

]awa

(Poerbatj araka, 1952) . S e r at I skan d sr disadur dari naskah Melayu, Hikayat lskandar Zulkar- nain (abadke-1S). Sementara itu, SeratYusuf

-

saduran daiHikayatYusuf

-

juga populer

di

JawaTimur, khususnya di daerah pesantren.

Sebagaimana naskah-naskah asing lainnya, sastra-sastra Islam itu masuk ke dalam kha- zanah sastraJawa melalui proses migrasi dan

perdagangan (c.f.

Chamamah-Soeratno,

I

Di Jawa dan Bali, wiracarita India mendapat tanggapan positif dan diransformasi ke dalam kebudayaan setempat,

bahkan dikembangkan melalui persepsi lokal genius setempat pula. Oleh karena itu, di Jawa banyak diciptakan episode- episode Mahabarata, Baratayudn, atau Ramnyana yar.g tidak ada dalam naskah aslinya.

L02

Widyapanua, Volume 38, Nomor 2, Desember 2010

(3)

1991). Perlu dicatat bahwa selain naskah-nas- kah sastra Islamyang ditinggalkan oleh para warga migran dari Persia, jenis mistik Islam (tasawuf) juga dibawakeJawa. Dinamika je- nis sastra Persia itu terlihat jejaknya di dalam naskah-naskah suluk di daerah pesantren pe- sisiran Jawa, dan di dalam naskah-naskah su- luk karya pujangga di keratonSurakarta dan Cirebon.

Selain peran aktif (dominan) imigran da- ri India dan Persia (Arab) dalam menyebar- kan sastra etniknya di Jawa, masyarakat Ci-

na pun memiliki kegiatan budaya (secara

ti- dak

sengaja) yang

hampir

sama.

Di

Asia, bangsa Cina dikenal kepandaiannya dalam

beberapa ilmu (misalnya obat-obatan,

hit

tr&

perbintangan, dan memasak) dan sebagai pe- dagang dan pelaut yang gigih. Dalam proses literary migration, bangsa Cina datang di Indo- nesia sambil menyebarkan budaya tradisi- nya, seperti seni drama (wayang potehi), seni bela diri, bangunanibadah (kelenteng), ane- ka jenis makanan (mie, bakso, bakpia, bak- pau, tongseng, dsb.), serta cerita-cerita tradi-

si (mite,legenda, danwiracarita). Dalam du- nia sastra, kisah kasih ala Romeo-Yuliet khas Cina

juga ditinggalkan di

daerah-daerah yang disinggahinya. Saska Indonesia dan sas-

tra Jawa juga mencatat keberterimaan ma- syarakatnya terhadap kehadiran kebudaya- an Cina itu. Jejak sastra klasik dari Cina yang dapat disimak, antara lain dua karya sastra populer, yaitu " Sflm Pek Eng Tae"

,

dant " Sin

lin Kui"

(diadaptasi ke dalam sastra Jawa menjadi " Jaka Sudira"). MasyarakatJawa me- ngenal kedua sastra klasik Cina yang popu- ler itu melalui terjemahannya dalambahasa Melayu yang diterbitkan oieh Balai Pustaka.2 Dikatakan oleh Xianlin (dalam Claudine-Sal- mon (1987:1) bahwa persebaran naskah ro-

mantis " Sam Pek Eng Tae" meluas di seluruh Asia. Bahkan, bukan hanya migrasi sastra, te- tapi juga migrasi budaya Cina yang dibawa

melalui jalur

perdagangan. Kebudayaan yang dibawa ke negeri lain

itu

tidak hanya hasil karya seni tinggi, tetapi juga sejumlah karya

fiksi

yang kurang popular

di

negeri mereka, misalnya n ov el Yin Yun Qiau Zhuan, Erdu Me| danlinDengXinhua. Disetiap tem- patyang disinggahi, mereka menggelar dan

"menjual" kebudayaan tradisi yang semula dilakukan

untuk

mengingat kehidupan ta- nah air mereka yang jauh (Claudine-Salmon, 1987:2-3).

Dijelaskan selanjutnya bahwa terjadi proses saling memberi dan menerima, baik dari sisi para imigran maupun dari sisi

pri-

bumi.3 Populernya kisah cinta dari Cina

di

Indonesia, khususnya di Jawa, terlihat dari resepsi masyarakat terhadap karya tersebut, terutama kisah '! Sflm Pek EngTae" dalamba- hasa Jawa

jauh

sebelum

berdirinya

Balai Pustaka. Keberterimaat't " Sfrm Pek Eng Tae"

dan " Sirt

lin Kui" di

Indonesia (terutama di Jawa) mendorong peranakan Cina

untuk

kreatif melanjutkan penyebaran sastra tradisi dari negerinya melalui tradisi tulis dengan media bahasa dan huruf Cina. Barulah pada generasi berikutnya, kisah-kisah

dari

Cina itu ditulis dalam bahasa setempat dan diter- bitkan sendiri. Pilihan bahasa dan huruf se- tempat itu dilakukan dengan kesadaran agar pikiran-pikiran nenek moyang mereka dipa- hami oleh masyarakat lain. Karya-karya pe- ngarang Cina di Melayu (termasuk di Indo- nesia) itu kemudian disebut "sastra Melayu- Cina" atau sastra Melayu -Tionghoa".

Dari paparan singkat di depan dapat di- tarik benang merah yang penting. Pertama, ternyataJawa bukan hanya merupakan tem-

Hampir semua karya sastra Persi dan Cina memasuki khazanah sastra Jawa melalui bahasa Melayu karena bahasa

|awa amat spesifik, baik hurufnya maupun gramatikanya. Selain itu, dalam tradisi ]awa terkandung secara implisit strukturasi masyarakatnya yang menyebabkan hubungan komunikasi antarmanusia memerlukan pemahaman etika.

Di Indonesia, khususnya di Jawa, kehadiran dua jenis sastra tradisi Cina itu pun masuk melalui migrasi masyarakatnya, yang selanjutnya dikembangkan melalui teater Jawa tradisional (kethoprak) dan teater Indonesia modern.

Melayu-Jawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti 103

(4)

pat singgah para pedagang asing, melainkan juga sebagai tempat subur bagi penyebaran kebudayaan mereka. Kedua, fakta literer da- Iam sejarah sastra Jawa menunjukkan bahwa peranan Jawa dalam dunia sastra yang da- tang dari Persi dan Cina pada masa kehadir- annya masih "pasif". Hal itu berarti bahwa

Jawa belum memiliki peran penting sebagai subjek dalam cerita, melainkan baru sebagai objek dalam cerita yangberbahasa Melayu.

Dalam Hikayat Hang Tunh, misalnya, dapat dilihat bahwa Jawa hanya "diceritak an:." atatr disebutkan saja, tidak menjadi bagian pen- ting yang menggerakkan alur cerita. Ketiga, naskah-naskah asing dari Persi dan Cina ter- nyata tidak mudah masuk ke dalam kehidup-

an tradisi sastra Jawakarena naskah-naskah itu terlebih dahulu harus masuk melalui sas-

tra Melayu. Tidak adanya istilah "sastraJa- wa-Cina" memperlihatkan dengan tegas bah- wa bahasa Melayu memang telah menunjuk- kan fungsinya sebagailinguafranca

didi

Nu- santara, sedangkan bahasa Jawa hanya ber- fungsi sebagai sarana komunikasi regional.

Dengan kata lairu anasir asing

tidak

dapat langsung "bertemu" dengan masyarak atJa- wa. Hal

itu

amat bertolak belakang apabila dibandingkan dengan cerita dalam Hikayat Hang Tuah (daLam Soelastin-Soetrisno 1983).

Dalam hikayat itu disebutkan bahwa arma- da Majapahit (di bawah Mahapatih Gadjah- mada) mampu melaut sampai di Malaka dan armada Malaka pun dapat sampai di Maja- pahit. Selain itu, prajurit Majapahit juga per- nah sampai di Sumatra Barat.a Berdasarkan uraian itu, timbul pertanyaan, mengapa be- berapa jenis sastra asing (Cina dan Persi) tidak dapat langsung "beradaptasi" dan me- masuki ranah sastraJawa klasik, tidak seper- ti sastra Indonesia yang dengan mudah me- nerima sastra asing?

2.

Kerangka Berpikir dan Metode

Berkenaan dengan masalah tersebut, adaptasi sastra asing ke sastra Indonesia dan atau sastra Jawamodern, seperti kasus gurit- an Noriah Mohammed (1995) dan puisi Siti Zainon Ismail (2003) dapat dijelaskan dengan kerangka berpikir tentang migrasi sastra Cina

yang digunakan oleh

Claudine-Salmon

(1987). Setidaknya, ada tiga prinsip tentang

sastra dan migrasi (perpindahan) sastra, ya- itu (1) kepergian suatu bangsa ke luar negeri (migrasi)

-misalnya

dalam kegiatan berda-

gang-selalu

membawa bagian budaya ne- gerinya; (2) sastra dan budaya

dari

suatu bangsa "melekat" dalam tubuh bangsa

itu

yang dapat terbawa pergi ke mana pun; (3) di setiap daerah singgahny a, bagianbudaya atau pengertahuan budaya dari negeri

itu

(dengan sengaja atau tidak) dapat ditularkan dan disebarkan.

Dengan kerangka berpikir migrasi sas- tra tersebut, dinamika sastraJawa ke luar dae- rahnya atau sebaliknya dan pengaruh Indo-

nesia atau Jawa kepada sastra Melayu dapat dijelaskan. Sehubungan dengan itu, tulisan

ini

difokuskan pada dinamika komunikasi

sastra Jawa ke luar daerahnya, seperti pada kasus puisi ]awa (guritan) yang

ditulis

oleh Noriah Mohammed danpuisiSiti Zainon Is- mail sehingga" jejak" kehadiran mereka da- pat dijelaskan. Jejak kehadiran yangtertuang dalam tulisan singkat ini dibantu dengan me- tode pengumpulan data melalui studi pus-

taka-khususnya

sastra Jawa yang

ditulis

orang

asing-untuk

mendapatkan sumber data. Selain

itu,

pemerolehan sumber data dapat dilakukan pula dengan wawancara ke- pada beberapa narasumber. Selanjutnya, pen- catatan dan pembacaan buku-buku referensi yang terkait dengan migrasi sastra dilakukan unfuk membanfu menjelaskan proses migrasi sastra Jawa ke luar daerahnya.

a Dalam sebuah mitos tentang penamaan etnis Minangkabau, diceritakan bahwa nama Minangkabau adalah akronim dari "menang" dan "kerbau" , yang diangkat ketika suku Minang "rnemenangkan" adu kerbau melawan prajurit Jawa dari Majapahit.

L04

Widyapanua, Volume 38, Nomor 2, Desember 2010

(5)

3.

Bahasa dan Sastra Jawa di Masa Lalu dan Sekarang

3.1

Bahasa Jawa dalam Sastra Lama

Bahasa merupakan cermin sebuah bang-

sa karena bahasa merupakan alat komunikasi antarmanusia. Bahasa Jawa

-

sebagai alat ko-

munikasi-tertata

menurut tata

nilai

yang berlaku dalam masyarakatnya. Masyarakat Jawa merupakan salah satu etnis di Indone-

sia yang memiliki bahasa etnik yangtertata

secara rurnit sesuai dengan tatanan budaya Jawa yang bersumber pada konsep hormat,

diatur

dalam

perilaku

alus'halus' dan rasa

'perasaan' (Kodiran, 1982; c.f . Koentjaraning- rat,1975). Kerumitan itu memang sengaja di- atur oleh kerajaan sebagai upaya mengukuh- kan kedudukan raja di hadapan rakyat dan daerah jajahannya.s Pada masa pemerintah- an Sultan Agung, kedudukan dinasti Mata- ram dikonsulidasikan melalui pengembang- an bahasa Jawa (Moedjant o, 1987 :4L-75). Ke- rajaan mengembangkan bahasa Jawa dengan ragam ngoko (bernuansa kasar) dan krama (bernuansa halus).

Di

dalam bahasa ragam

kr ama terdapat subragam, yaitu kr ama mady a dan krarna inggil, yang masing-masing tertata dalam gramatika yang rumit6, dengan kosa kata yang terpilih sesuai dengan unggah-ung- guh.sebagai bahasa yang ditata dari" atas" ,

tingkat tutur bahasa ]awa amat memperha- tikan situasi dan kondisi pembicara dan la- wan bicara. Pada jenis naratlf babad yang is- tana sentris, misalnya, dikembangkan cara pembangunan

politik

(Moedjanto, 1987 :4L;

c.f. C.C. Berg, de Graaf, Djajadiningrat,Kar- todirdjo, dan Surjohudojo dalam Moedjanto, 1987:42). Di dalam babad itu dikisahkan se-

jarah kerajaary tokoh-tokoh dan ksatria kera- jaan, para

putri

kerajaan, undang-undang kerajaan, kegiatan atau peristiwa khusus ke- rajaan, dan sebagainya. Semua yang diceri- takan itu bersifat politis yang ditujukan un- tuk kebesaran atau kewibawaan raja.

Naskah-naskah kerajaan dipelihara me- lalui lembaga kerajaan yang disebut tEaska- pujanggan. Para pengarangnya ditetapkan oleh kerajaan. Melalui pembinaan kebuda- yaan yang berpusat di kerajaan tersebut, tra- disi sastra istana dilestarikan dan

dikemb*g-

kan dengan konsep tetap hamemayu hayuning

b aw ana' memelihara keselamatan dunia/ ne- gffid' ,tetap bersumber pada budaya dan aga- ma, dan diekspresikan dengan mengguna- kan ikatan konvensi tembang,T Tembang itu di- tulis dalam huruf Jawa yangjuga rumit, se-

rumit

gramatika bahasanya. Semuanya di- tata dalam rangka memelihara keagungbina-

tharaan'kebesaran/keagungan' raja. Bah- kan, hingga pascaker ajaan, konvensi tembang dan tradisi menulis dengan huruf ]awa ma- sih digunakan dalam sejumlah buku cetak-

an-

dan majalah-berbahasa jawa terbitan

Balai Pustaka hingga akhir tahun 1930-an (da- lam Balai Pustaka Sewajarnya, t.t.:7). Berikut ini dikutipkan hasil transliterasi satu bait Se- rat P anitisastra y angditulis pada zaman Ma- japahit (Poerbatjaraka, 1933:11), yang kemu- dian ditulis kembali pada zamanMataram-

Islam

(Surakarta), pada pergantian abad XVIII

-

XIX (Sudew a, 1991.:1.

-

3).

PANITISASTRA Pupuh

l:

Dandhanggula

1..1..

Makir ty a ring agny a narp asiwi nul ar p r al amp it anin g s an g Wu sm an

s Moedjanto (1987:a1) menjelaskan lebih lanjut bahwa banyak upaya dilakukan untuk konsolidasi kekuasaan taja, di antaranya yang bercork kultural dan salah satu di antaranya iatah pengembangan sastra babad dan bahasa Jawa.

6 Pilihan kata dalam bahasa Jawa harus tepat-terutama ragamkarma-karena kesalahan memitih dapat menimbulkan salah paham dalam pemakaian. Orang yang tidak dapat menggunakan bahasa Jawa dengan baik disebut "oranjauani,

atau';tuongndesa","irangertitntaknrrun" atau"wongkonrpra".Bagioranglawayangmengertihormatsebutan-sebutan seperti itu dihindari (c.f. Poedjosoedarmo dkk., 1979).

7 Ada bermacam jenis tembang dalam sastra Jawa, yaitt tembang gedle, tengnhan, dan mncapat, yang masing-masing memiliki metrum dan watak sendiri-sendiri.

Melayu-Jawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti L05

(6)

ing Surakarta wedhare tata tri gora ratu

ri sangkala witning winarti Nitisnstra ingaran

winarna ing kidung kadikadanging sajarwa

lumnksana sasananingkang janma di adi yan kadriyana//

PANITISASTRA

Pupuh

l:

Dhandhanggula 1.1.

'Hamba berkarya atas perintah putra raja menjalin petuah ajaran sang Wusman di Surakarta (ajaran ini) diuraikan tertib tiga besar raja

adalah sangkalan awal (ajaran ini) diwar- takan

diberi nama Nitisastra

disusun dalam bentuk kidung

seperti lainnya ada dalam bentuk uraian terlaksana di tempat insan utama

sepantasnya bila (hal itu) dipahami.' Contoh sebagian kecil Serat Panitisastra tersebut menggambarkan bahwa sastra klasik Jawa hanya dapat ditulis oleh orang atau pe- ngarang yangbenar-benar memahami kon- vensi sastra tradisional. Orang atau penga- rang itu disebut "pujangga" (pengarang ke- rajaan), bukan penyair biasa seperti "penga- rang" pada sastra modern. Bait

di

atas me- nyiratkan makna bahwa pujangga harus me- mahami tembang, memahami karawitan kare- na tembans harus dapat dilagukan dengan fuingan gamelan, memahami ilmu bahasa, me- mahami kawi (bahasa sastra), memahami fal-

safah, dan memahami untuk siapa naskah

itu dituliskan. Dalam

hubungannya dengan kompleksitas dalam naskah-naskah tradisio- nal semacam itu, sistem sastra tradisional me- nunjukkan dirinya sebagai "sistem yang ter- tutup" (closed sy stem), y angrctenunjuk sebuah sistem mapan dan

sulit

berubah (Tanaka, 1976). Gubahan naskah berbentuk tembang macapat (Dhandhanggula)

itu

dapat diterje-

mahkan, tetapi makna yang tersirat di dalam- nya barulah dapat tertangkap apabila ditem- bangkan. Dengan media ragam bahasa Jawa arkhais, dengan gramatika y ang dib alut un g- gah-ungguh, naskah klasik Jawa telah mem- bangun bentuk ekspresi tembangtradisional yang

rumit.

Lebih-lebih, tembnng

itu

biasa ditulis dalam huruf Jaw-a yang eksklusif. Sis- tem sastra Jawa tradisional yang

"tertutup"

itu dapat menjadi kendala utama bagi sejum- lah karya asing untuk melakukan interfensi langsung (dir ect intera ention ) ke dalam tradisi

sastraJawa tradisional. Untuk memasuki sas- tra Jawa tradisional yang sistemnya tertutup itu harus dilakukan melalui 'nyantrik" 'ber- guru secaraprivat' atau melalui pembelajar- an khusus, baik dalam pendidikan formal maupun nonformal.

Salah satu upaya percepatan peningkat- an pendidikan (sederhana)

-sebagai

salah satu progr am P olitiek Etische

-

yang dilaku-

kan pemerintah kolonial Belanda untuk ba- las budi kepada pribumi di Hindia Belanda, terutamaJawa, ialah dengan dibukanya pen- didikan formal. Program itu diawali dengan pengadaan buku yang dicetak oleh pemerin- tah kolonial. Melalui program

itu-di

sam- ping menambah sekolah-sekolah desa untuk elite pribumi

-

penyebarluasan buku bacaan digalakkan secara sungguh-sungguh dengan tujuan memelihara dan meningkatkan minat baca bumi putera. Pemerintah mengusaha- kan penerbitan buku-buku ilmu pengetahu- an sederhana, buku-buku karya bumi putera (y^^g lolos sensor), dan penerbitan buku-bu- ku terjemahan dari bahasa asing, termasuk terjemahan ke dalam bahasa Jawa. Namun, politik kolonial tetap tampak jelas dalam pro- gram edukasi

itu

yang dapat diamati dari pengelompokan pencetakan

buku.

Dalam Balai Pttstaka Sewajarnya: 1905

-

1942 (ban-

dingkan

Widati

dkk., 2001:81) dinyatakan bahwa ada tiga pengelompokan buku terbit-

an Balai Pustaka di masa kolonial, seperti be-

rikut'ini.

106

Widyapanva, Volume 38, Nomor 2, Desember 2010

(7)

Seri A ialah seri buku bacaan untuk anak- anak;

Seri B ialah seri buku bacaan penghibur dan penambah pengetahuan bagi orang dewasa, dalam bahasa dae- rah;

Seri C ialah seri buku bacaanyang sama dengan B, tetapi bagi yang lebih lan-

jut

pengetahuannya dan

di

dalam

bahasa Melayu.

Dari tiga pengelompokan atau kategori tersebut, sastra

daerah-

selain yangberba-

hasa Melayu

-

ditempatkan dalam kategori

B. Penetapan itu bersifat sepihak karena kar- ya-karya berbahasaJawa dalam kategori

itu

banyak yangberkualitas, ditulis oleh penga- rang-pengarang besar. Misalnya, karya-kar- ya Jasawidagda, Sasraharsana, Sugeng Tja- krasoewignja, dan Margana Djajaatmadja.

Bahkan, cetakan karya-karyaJawaklasik

ju-

ga rnasuk dalam kelompok B, misalnya kar- ya-karya Mangkoenegara IV, R.Ng. ]asadi- pura, danR. Ng. Ranggawarsita. Karya-kar-

y a para pujangga itu, misalny a Wedhatama, Wulangreh, Cemporet, Centhini, danWulangsu- nu, diakuisebagai karya kerajaan y ang adilu- hung'rndah dan agung' dan berisi ajaran lu-

hur.8 Hingga pasca-Kongres Pemuda II (1928)

yang menjunjung bahasa Melayu (menjadi bahasa Indonesia) sebagai bahasa persatuan di Hindia Belanda, huruf Jawa masih digu- nakan sebagai media komunikasi tulis dalam komunitas masyarakatnya. Kundjana dkk.

(1979:2) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan bahasa dan sastra Jawa masih terpelihara, yaitu (1) tradisi bersastra yang sudah berurat-berakar; (2) pemakai bahasaJawa yang masih banyak, dan (3) pe- cinta-pecinta bahasa Jawa

dari

dalam dan luar negeri yang sebenarnya juga masih ba- nyak, misalnya di Suriname. Faktor terakhir

itu

dapat dibuktikan dengan uluran tangan

Yayasan Rancage (dari Sunda) yang setiap ta-

hun

memberikan penghargaan bagi buku

sastra kreatif Jawa terbaik terbitan tahun se-

belumnya

dan

tokoh

yang berjasa dalam pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa.

Dalam perkembangannya, perubahan sosial-politik dari waktu ke waktu, terutama pada pascakekuasaan kerajaan, telah mem- bawa hikmah dalam proses penyederhana- an bahasa Jawa yang berstuktur

rumit.

Ke- beratan generasi muda terhadap kerumitan bahasa dan aksaraJawa menghasilkan pe- nyederhanaan

tingkat tutur

bahasa Jawa menjadi ragam ngoko dankarma saja. Penye- derhanaan itu dilakukan dengan tujuan un- tuk melestarikan budaya tanpa mengingkari perubahan zaman. Benturan budaya dari luar tidak mungkin dihindari karena masya- rakatJawa juga turutberkembang di tengah perubahan yang terus berlangsung

di

seki- tarnya akibat desakan dari lingkungan do- mestik dan budaya asing. Peminggiran ba- hasa daerah dari jangkauan atau perhatian pemerintah dimulai sejak pemberlakuan ku- rikulum 1975 -1994,yan9 menekankan pen-

didikan

otak tanpa memperhatikan pendi- dikan budi pekerti. Sejak pemberlakuan ku-

rikulum

1975 itu, status pengajaran bahasa dan sastra daerah di SD, SMP, dan SPG men- iadi kokurikuler atau manasuka. Akibatnya, terjadi perubahan populasi pemakai bahasa daerah

dari

generasi muda yang semakin menyusut. Situasi dan

kondisi

seperti

itu

mencapai puncaknya setelahbahasa dan sas- tra daerah yang sarat nilai adiluhung itu tersi- sih dari masyarakat pendukungnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada lagi tiang penyanggabagi sastra

kultural

di ma- syarakat daerah padahal dalam penjelasan Pasal36 (Bab XV) UUD 1945 disebutkan ten- tang kewaj lban

/

janjipemerintah untuk me- lindungi dan memelihara/ mengembangkan 8 Penempatan itu berdampak secara berlanjut pada persepsi masyaiakat yang mengategorikan sastra ]awa modem

sebagai sastra popular tanpa diawali oleh proses pembacaan terlebih dahulu.

Melayu-Jawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti LO7

(8)

bahasa daerah yang masih dipelihara oleh masyarakat pemakainya. Akib atny a,banyak warga masyarakat bersikap masa bodoh ter- hadap etika dan tata

nilai

kesantunan. Ke- bobrokan itu baru disadari oleh masyarakat ketika terjadi huru-hara tahun 1997

-1998

yar.g menyebabkan lengsernya penguasa Orde Baru, kemudian digantikan oleh Orde Reformasi. Peristiwa itu memicu terjadinya perubahan perilaku masyarakat Indonesia yang mengejutkan.

Kontrol

sosial melalui karya-karya budaya daerah (termasuk karya

sastra) tidak mampu berperan mengembali- kan kepribadian masyarakat. Hal itu terlihat dari ekspresi tanpa kontrol (hilangnya kon-

sep alus) dan tanpa perasaan (hilangnya kon-

sep rasa) pada perilaku masyarakat. Dasar- dasar kebudayaan daerah seolah-olah tidak

memiliki

tempat lagi di hati sebagian besar masyarakat.

3.2

Bahasa Jawa dalam Sastra Baru/Modern Ketika media massa dan penerbitan ber- bahasa Jawa mulai bangkit (pada abad ke- 19 yang diawali dengan terbitnya Bramarta- ni, 1.855),sastra J aw a mulai mendapat ruang penyebaran di media massa. Peristiwa pen- ting dapat dicatatbahwa kala itu telah terjadi pergeseran sistem sastra, dari sistem sastra inklusif yang tertutup (closed system) menuju ke sistem sastra terbuka (opened system) (c.f.

Tanaka,1976).

Surat kabar berbahasa Jawa padawaktu itu kebanyakan bersifat umum sehingga be- lum banyak menyediakan rubrik untuk sas- tra. Barulah pada tahun \930-an,beberapa ma- jalah, yaitu Kn d1 aw en (1926) milik pemerintah kolonial, P anj eb ar S eman g at (1 933) milik swas- ta-nasionalis, dan Pusaka Suraknrta (1939) mi- lik swasta organisasi Islam, membuka

rubrik

sastra dengan orientasi berbeda-beda. Maja- lahKadjawen, misalnya, memiliki kekhasan se-

bagai majalah

umum

corong pemerintah.

Oleh karena itu, majalah tersebut mengguna- e Bandingkan dengan kebijakan penerbitan pemerintah kolonial.

108

Widyapanvil, Volume 38, Nomor 2, Desember 2010

kan bahasa ragam krama, dan berhuruf Jawa

(sampai dengan tahunl937). Dengan misi me- lanjutkan

politik

etis, Kadjawen memuat kar-

ya

terjemahan,

karya-karya yang dinilai

"aman" bagi masyatakat, dan bersifat men- didik.e Majalah Pusaka Surakartamengemban misi organisasi Islam, sebagai media dakwah, menggunakan bahasa ragam krama. Semen- tara itu, majalah umumPanjebar Semangntme-

miliki

kekhususan sebagai media/corong Boedi Utomo pimpinan dr. Soetomo, di Su- rabaya, media pendidikan

politik

bagi rak- yat kecil. Majalah itu menggunakan bahasa ragam ngoko, sebagai simbol keberpihakan kepada w ong cilik. Pllihan bahasa ragam ngo- ko itu menunjukkan bahwa bahasa Jawa se- hari-hari telah berterima dalam masyarakat Jawa. Bahasa ragam ngoko mudah dipelajari oleh siapa pury dari lapisan mana pun. Mes-

kipun

demikian, bahasa ragam krama tetap penting dalaur komunikasi karena ragam

itu

dapat menjadi filter yang mengingatkan ma- syarakat Jawa pada unggah-ungguh atau adat kesopanan (konsep alus danrasa).

Di dalam media massa bahasa Jawa yang berbeda-beda orientasinya, sastra Jawa mo- dern disebarluaskan. Pilihan bahasa ragam

krama danngoko dalam kebijakan masing-ma- sing menyebabkan majalah-majalah tersebut

memiliki

sasaran pengarang dan pembaca sendiri-sendiri. Pada hakikatnya, penerbit merupakan

pemilik

modal yang sekaligus bertindak sebagai penentu kebijakan dalam berbagai hal bagi majalahnya. Dengan demi- kian, masalah pemilihan tema untuk naskah yang dimuat juga "ditentukan" oleh pener- bit. Berkenaan dengan karya sastra, sejak ta- hun 1920 sastra Jawatelah memproklamasi- kan dirinya sebagai sastrayangbaru atau mo- dern. Pernyataan itu ditandai oleh kehadiran

sebuah novel pendek Serat Riyanta,kNyaR.B.

Soelardi. Kehadiran novel tersebut tentu bu- kan secara tiba-tiba karena R.B. Soelardi per-

nah berkomunikasi dengan J. Kats 1917)

-

da-

(9)

lam misi perjalanannya keliling

Jawa-ten-

tang penulisan fiksi baru (novel) ya.g berbe- da dengan fiksi klasik dari istana, seperti se- rat danbabad.

Kehadiran Serat Riy anta, sebenarnya su- dah diawali oleh pernyataan atau sikap

Ki

Padmasoesastra

-

seorang pengarang dariTe-

pas Kapuj anggansurakarta

-

untuk menyebut

dirinya sebagai " usong mardika" 'orang bebas' dari ikatan kerajaan (Supardi, 1961). Karya- karyanya pada awal abad ke-20 melambang- kan kebebasan pikirannya dalam berekpresi.

Hal itu merupakan salah satu penanda lite- rer yang jelas, yang menunjukkan terbuka- nya sistem sastra Jawa. Keterbukaan sistem tersebutbahkan sudah terlihat dalam roman

Rangsang Tubsn (1912) karya Ki Padmasoe- sastra. Dengan keberaniannya, Padmasoe-

sastra menggubahoyu dalam bentuk gancnr - an (prosa), bukan tembang, meskipun dalam hal skuktur cerita masih tetap mengikuti ba-

bad.10 Paro pertama abad ke-20 amat penting bagi perkembangan sastra Jawa karena pe- riode tersebut merupakan masa kelahiran je- nis-jenis sastra modern, misalnyanovel, cer- pen (crita cekak) , dan puisi modern (guritan) . Berbagai tema dalam kehidupan

riil

diulas dalam berbagai jenis sastra, dengan media bahasa Jawa ragam ngoko atau ada kalanya dengan ragam krama.

Dalam perkembangan selanjutnya/ sas-

tra Jawa modern

hidup

berdampingan de- ngan sastra tradisional karena kesenian Jawa tradisional masih memerlukan kehidupan

sastra tradisional, terutama tembang-nya. Bah- kan, dalam beberapa karya fiksi (cerpen) dan guritan, misalnya dalam karya kontemporer Turio Ragil Putro, Krisna Mihardja, dan Su- wardi Endraswara, terlihat tanda-tanda ata- vismenya dengan pemanfaatan kembali un- sur-unsur kuna sastra daerahnya. Meskipun

Peralihan bentuk tenfuangke gancaran pada Sernt Rangsnng Tubanbskan berarti tenrbnng lalu lenyap dari sastra-Jawa, karena hingga sekarang,Jenis-puisi tradisional itu masih akrab dengan masyarakatlawa, termasuk generasi mudanya.

Pada periode awal kemerdekaan hanya tercatat beberapa orang pengarang lama yang muncul kembali, misalnya Soebagi;o I.N., Any Asmara,dan Poerwadhie Atmodihaidjo. Ketig'arrya sudah aktif menulis puisi dan cerpen pada masa pendudukan Jepang dan Belanda (Kelas II).

demikiaru sistem sastra sejak kehadiran

Ki

Padmasoesastra sudah menunjukkan sikap berbeda dengan sistem sastraJawa sebelum- nya. Sejak itu, sistem sastra menunjukkan tan- da-tanda "sistem yang terbuka" (opened sys- tem), y angmemberi kemungkinan " meneri- ma" anasirbaru dari luar dan juga memung- kinkan "menyebarkan" informasi dirinya ke dunia luar.

4.

Sistem Terbuka dan Dinamika Sastra Jawa Modern

4.1

Kebangkitan Generasi dan Perkembangan Sastra Jawa

Sejak proklamasi kemerdekaan Repu-

blik

Indonesia hinggS tahun 1950, sastra Ja-

wa modern mati suri karena situasi sosial, ekonomi, politik, dan keamanan yang belum stabil. Fakta itu berakibat pada (masih) pasif- nya elemen-elemen terdekat sastraJawa, se-

perti kepengarangan, penerbitaru dan pem- bacanya. Akan tetapi, beberapa elemen po- kok pemerintahan mulai berjalan. Kemente- rian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebuda-

y aan, misalnya, mulai menata sistem pendi- dikan melalui pro€fam pemberantasan buta huruf. Program itu ditanggapi

pengarffigla-

wa yang sebagian besar merupakan penda- tang baru.11 Mereka kembali menulis, men- dirikan media massa, dan ada yang

mendi

rikan percetakan untuk mereproduksi buku mereka sendiri.

Terbitnya kembali

Paniebar Semangat (1949)- setelah sejak

tahunlgl2ditutup

oleh kolonial Jepang

-

dapat memberikan sema- ngat maj alah D j aj a B aj a (1950), y angkondisi nya tertatih-tatih, untuk memulai menata ru-

brik-rubriknya.

Setelah

itu, terbit

majalah

P u st aka Romnn (1 953), T j r it a T i ekak (\955), Ke'

tl

Melayu-Jawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti 109

(10)

kasihku (1,956)

di

Surabaya, Cenderawasih (1957 ), W a sp a da (1952), Meka r S ari (1957), Kem - bang Brayan (1969), dan Djaka Lodang (1971) di Yo gyak arta, Kunthi (19 69) dan Kuman dhang (1973) di Jakarta, sertaDharma Kanda (1968), Darma Nyata (1,971), dan

tabloid

Parikesit (1,973)

di

Surakarta. Dengan

bangkitnya

media massa cetak dan penerbitan sastra Jawaberarti sistem pengarang dan pembaca sastra Jawa mulai bangkit untuk membangun barisan panjang penyair, cerpenis, dan no- velis Jawa modern baru. Para pengarang itu, antara lain Esmiet, Satim Kadarjono, Suparto Brata, Susilomurti, St. Iesmaniasita, Basuki Rachmat, Sudarmo K.D., Suripan Sadi

Hu-

tomo, Totilowati, M.Tahar, Handung Kussu- dyarsono, dan Tamsir AS. Mereka adalah pemakai aktif bahasaJawa dari berbagai pro- fesi di kota-kota di Jawa.

Daiam menanggapi perkembangan sas- tra Jawa modern, Hutomo (1978) menyata- kan bahwa hingga tahun 1990 ada dua ke- lompok besar pengarang sastra Jawa, yaitu

(1) pengarang periode perkembangan bebas (dari tahun 1945 -1965), dan (2) pengarang

sastra majalah (dari tahun 1966-sekarang).

Periode I disebut sebagai "generasi perintis", yaitu generasi yang membangun mata rantai penyambung antara periode prakemerdeka- an dan periode kemerdekaan. Pada periode itu ketiga jenis sastraJawamodern (guritan, cerperL dan novel) berkembang dengan baik

dan banyak karya diterbitkan melalui pener- bit-penerbit kecil. Sejumlah pengarang me- ngembangkan teknik-teknik penulisan jenis sastra tertentu. Misalnya, Suparto Brata ke- mudian dikenal sebagai penulis sastra em-

pirik

yang cermat dan pengarang cerita de- tektif yang ulung, Any Asmara sebagai pe- ngarang panglipur Tl)uyung (roman picisan) yang laris, Esmiet sebagai pengarangyang serba bisa, Tamsir AS sebagai pengarang realis yang menarik, dan Satim Kadarjono

-

sebagaimana Suparto Brata

-

sebagai penga-

rang cerita peperangan yang bagus. Mereka

pada umumnya adalah dwilingual yang pro- duktif menulis dengan bahasa ibu dan baha-

sa nasional. Tidak mengherankan apabila pa- da tahun 1970-an dikatakan oleh Hutomo

(1993:227 -238)bahwa sejak awal kemerde- kaan, sastra Jawa mendapat pengaruh kuat

dari

sastra Indonesia, terutama

dari

aliran ekspresionisme Chairil Anwar. Bahkan, da- lam artikelnya "Pengaruh Timbal Balik Sas- tra Melayu (Indonesia) dengan Sastra Jawa"

dikatakan oleh i{utom o (1993 :197

-

226) b ah-

wa dalamrangka keindonesiaary banyak sas-

trawan Jawa "belajar" dan beradaptasi de- ngan sastra Indonesia, baik yang berbentuk puisi maupun prosa. Puisi penyair Jawa St.

Iesmaniasita berjudul " Kowe wis Lega?" be-

rikut

ini, misalnya, dengan jelas mengikuti gaya ekspresionismenya Chairii Anwar.

KOWEWIS LEGAT (St. Iesmaniasita) Aku turuning pujangga

bisn nyipta Palgunadi €t Anggraini

bisa nyipta Panji €t Candrakirana bisa crita edining kuncup

j ingga tuzoin aruming ludira

O, jaman Kanwa jaman Sedhah

pepuspan amrik mekar endah Leluhurku

uriping saben jaman

ngelik sesindhenan ing padesan

lan ngumbara turut pesisir

n a s ak u) flna s alum ahin g b aw nn a

Rungokna, rungokna...

O, sumitra

apa sliramu wis lega

se sindhen an I agu w arisan

(P anj ebar Semangat, 2 Februari 1954)

110

Widyapanua, Volume 38, Nomor 2, Desember 2010

(11)

,SUDAH PUASKAH KAMU?

(St. Iesmaniasita)

Aku keturunan pujangga

mahir mencipta Palgunadi & Anggraini mahir mencipta Panji & Candrakirana mahir bercerita indahnya kuncup jingga dan harumnya darah O, zamant Kanwa

zarrrarlSedhah

bunga-bunga semerbak mekar indah

Moyangku

hidup

di setiap zarrtar.

merdu bersenandung di pedesaan

dan mengembara sepanjang pantai menembus hutan di muka bumi Dengarkan, dengarkan....

O, sahabat

apakah engkau sudah puas dendangan lagu warisan?'

Gaya ekspresionistis guritan karya St.

Iesmaniasita tersebut amat dekat dengan gaya ekspresionistis puisi-puisi Chairil An- war. Gaya ekspresionistis semacamitu amat banyak

diikuti

oleh penyair Jawa modern periode perintis, seperti tampak pada puisi

Susilomurti, Priyadi

Gunawan,

Mulyono

Sudarmo, dan Trim Sutedja.

Periode II diisi oleh pengarang yang di- sebut oleh Hutomo sebagai "generasi pene- rus" ,

yaitu

generasi yang melanjutkan dan mengembangkan jejak kerja para pengarar.g senior periode sebelumnya. Mereka bukan hanya dwibahasawan, melainkan juga mul- tibahasawan karena

di

antara mereka ber- pendidikan tinggi, bahkan ada yang menga- jar di perguruan tinggi. Beberapa orang yang perlu dicatat, antara lain Tiwiek SA, Suryan- to Sastroatmojo, Ngalimu Anna Salim, N{och.

Nursyahid P., Poer Adhie Prawoto, Turio Ra-

gilPutro, DanielTito, KeliekS.W., Krisna

Mi-

harja, dan Suwardi Endraswara. Kelompok

" generasi penerus" itu seringkali bereksperi- men dengan temuan-temuan baru yang di- peroleh dari komunikasinya dengan penga- rang-pengarang nasional-Indonesia, teruta- ma dalamhalbentukekspresi. Ada di antara mereka telah menjelajah dunia, antara lain Susilomurti (wartawan), Suripan Sadi Huto- mo (dosen), danMoch. NursyahidP. (warta- wan). Berikut ini diberikan contoh pengaruh puisi Indonesia dalam guritankary aF.X.

Mul-

yadi berjudul "Potret" (dalam antologi puisi

Taman Sari,1975) yang mengikuti gaya tipo- logis puisi Sutarji Kalzoum Bachri.

POTRET potret

lqaaci rokok

A na po tret

(p o tr e tmu ni er o n dhe dhe t potretku njero anget

mbangketebang

p otr etmu ny isil kw aci P otr etku ngrokokpeluke

akkk e e e e ehhhhh b an g e t) Sala,1975

, POTRET potret

kuaci rokok A da po tret

(potretmu dalamnya gelaP sekali potretku dalamnya hangat

muncul dan tamPak

potretmu makanbiji kuaci potretku merokok asapnya

b any aaaaakkkkk sekali)' Puisi F.X. Mulyadi tersebut menunjuk- kan kebebasan penyair dalam memanfaat- kan hak licentia poetica bagi pengarang atau penyair. Ia memaparkan pikirannya tanpa memperhatikan tanda baca, seperti titik, ko- ma, dan huruf kapital. Ia justru mengguna- kan

tipologi untuk

membantu pemaknaan

MelayuJawa dan Jawa-Melayu: Sebuah.Dinamika Sastra Tanpa Henti

tLL

(12)

oleh pembaca. Misalnya, penempatan kata po- tret, kwaci, dan ngrokok yang dipisah-pisah- kan tempat dan lariknya; penataan yang asi- metris adalah bukan penataan yang abitrer, melainkan penataan yang dengan sengaja di- lakukan oleh penyair. Penyair biasanya rneng- ungkapkan sesuatu dengan cara yang lain.

Pentingnya ketiga ka ta (potret, lauaci, dan ngro- kok) yang terlihat pada bait tersebut menun- jukkan korelasi ketiga unsur atau kata kunci pada bait pertama. Pernyataan penyair " Ana potret" , itu menunjukkan bahwa penyair ter- sebut mengenangkan banyak peristiwa yang diceritakan secara berturut-turut dalam tan- da

kurung.Y*g

diceritakan adalah keadaan dua manusia (ia/ dia danaku

lirik)

yang ber- beda hati atau jiwanya dan berbeda pula yang dilakukannya. Perbedaan itu ditunjukkan de- ngan gambaran konkret suasana hattia yang gelap gulita (ndhedhet), iayangsedang mela- kukan sesuatu yang sia-sia (mangan kwaci);

sebaliknya, suasana hattaku lirik ialah hangat (anget) dan santai (sedang merokok dengan nikmat), ditandai dengan asapnya yang amat banyak.

Contoh lain berupa catatan impresif kun- jungan Suripan Sadi Hutomo ke negeri Be- landa dalarn guritan-ny a " Kncir An gin" (197 9)

berikut ini.

KINCIR ANGII,I

Dhuwur endheke kincir angin Ing sacedhake kali Rijnkang nakal

Cofr,roft

Tangan alus kang ngawe-axoe Nganggo kapal cilik

Ombak ing landheyan

Plabuhan kuwi sangsay a sepi Kutha Rotter dam kang p eni Kabutkandel

Mangh.mg udel Sangsnyakendel Keluking piyandel

Lonceng greja Ngoyak swargct

Leiden,1979 ,KINCIR

ANGIN

Tinggi rendahnya kincir angin

Di

dekat sungai Rijn yang nakal Caf6, caf6

Tangan halus yang melambai-lambai Dengan kapal kecil

Ombak di buritan

Pelabuhan itu semakin sepi Kota Rotterdam yang indah Kabut tebal

Menjulur ke pusat Semakin berarii

Asap dalam keyakinan L,onceng gereja

Mengejar surga'

4.2

Penyebaran Konvensi Sastra Jawa

Pada subbab (a.1) dipaparkan secara se- lintas tentang sistem sastra yang terbuka dan perkembangan intern sistem kepengarangan dalam sastra Jawa modern. Subbab itu juga menyebutkan bahwa kualitas sastrawan Ja- wa modern pada abad2l ini lebih bagus.

Di

antara mereka ada yang menduduki posisi penting, misalnya dosen, anggota DPRD, dan peneliti. Komunikasi mereka tidak hanya de- ngan lembaga dalam negeri, tetapi juga de- ngan luar negeri. Selain itu, sejak pemerintah Indonesia membuka hubungan akademik de- ngan perguruan tinggi luar negeri, hubung- an

interaktif

antarnegara

pun

terjadi.

Hu-

bungan interakif antarnegara itu, antara lain, juga berdampak pada terjadinya kontak sas-

tra antarnegara.

Hubungan komunikasi antarsastra dan antarpeng arangdi Asia diawali oleh penyair- penyair dari negara-negara serumpun (pema- kai bahasa Melayu), seperti Malaysia, Singa-

LI.z

Widyapanrva, Volume 38, Nomor 2, Desernber 2010

(13)

prr&, dan Brunai Darusalam.l2 ]ejak-jejak per- temanan antarbangsa di Asia Tenggara, ter- utama Malaysi4 terlihat dalam sejumlah puisi karya penyair Malaysia ASAS 50 dengan puisi Charil Anwar, misalnya puisiberjudul "Sua- sana" dan

"Di

Desa" karya Masuri S.N. (Li Chuan Siu dalam Hutomo, 1993: 39

-

43). Hu-

tomo (1993:M

-

49) dalam tulisannya " P enga- ruh Rendra pada Puisi Malaysia" membahas pengaruh puisi-puisi W.S. Rendra dalam se-

jumlah puisi Malaysia. Ditunjukkan bahwa model puisipuisi W.S. Rendra

-

d alam B alla-

da O r ang-or ang'[ er cinta (1957), Emp at Kumpul- nn Sajak (1961),Blues untukBonnie 0971), Salak-

sa1 ak S E atu Tua (1972), dan sebagainya

-

popu-

lar

di

Malaysia, seperti terlihat dalam puisi

"Ballada Gadis Tani" karya penyair Dharma- wijaya dalam antologiny aWarna May a, " Ba- lada Orang-orang yang Ditinggalkan" karya Mansor Ahmad Samaru "Balada Sebuah Deri- ta" kexya Chan Khun

Ni.g.

Hubungan antarsastrawan Melayu (dan karyanya) dengan sastrawan Indonesia tidak dapat langsung menyentuh sastraJawa lama dan modern. Mereka hanya mampu berde- katan dan berkomunikasi dengan sastrawan Indonesia melalui bahasa Melayu yangdekat dengan bahasa Indonesia. Penyebaran atau saling pengaruh sastra sekarang ini tidak se-

perti dahulu

kala yang dilakukan melalui perdagangan. Fakta itu terlihat dari latarbe- lakang para pengarang.Sejak tahun 1970-an,

misalnya, sejumlah penyair akademis dari Indonesia belajar ke Malaysia atau Singapu- ra, atant sebaliknya. Komunikasi akademis

yang terbuka pada waktu itu menorehkan pe- san khusus melalui catatan tempat atau peris- tiwapenting. Misalnya, Muhammad Haji Sa- leh mencatat kota Jakarta dalam puisinya "Ja- karta" dan musik khas Indonesia dalam puisi- nya "Keroncong". Yang amat menarik ialah puisi-puisi karya Siti Zainon Ismail dalam an- tologinya Witir SelaMerap, (2003). Antologi itu

berisi puisi-puisi berbahasa Melayu yang mam-

pu

menggambarkan keluasan jelajahnya

di

Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Ia se- orang rupawan sekaligus ilmuwan sehingga dalam penjelajahan jiwanya tidak hanya men- catat berbagai sudut kota Yogyakart4 tetapi juga mencoba mendalami siapa dan bagai- mana orang Jawa itu. Berikut ini dikutipkan puisi Siti Zainon Ismail berjudul "ZiarahSa-

jakku"

yang mencoba memahami falsafah

" sangkanparaning dumadi" 'asaldan tujuan hi- dup', yang merupakan bagian dari kesadar- an hidup orang lawa.

Ziaruh Sajakku

Dakaplah puncak si kembar Sundoro-Sumbing

di celah mata air Serayu

pertemuan membersit di Klawing tibakah kau

di

ziarah Hijrah kepulan wap larung sesaji di malam Selasa

Kliwon

syukur dan berkah tapi aku

wahai Wlandang japlak kitakah dari benih yang sama Adam Hawa

menyatu gelombang air menggebu ke kolam saksi di jagad luas

Illahi

Dalam kata pengantarnya, Suminto A.

Sayuti menyebutbahwa puisi-puisi penyair Malaysia (Siti Zainon)

itu

bukan hanya se- bagaicatatan perjalanan, melainkan juga pen- dalaman budaya dan intelektualitas seorang penyair. Ia tidak hanya mencatat, tetapi men- cermati apa yang dijumpainya, menangkaP- nya, dan mengekspresikan kembali secara

arif dan indah.

Pergumulan pengarang Malaysia dengan kadisi Jawa ternyata baru datang kemudian ketika seorang akademisi Malaysia datang

di

12 Hubungan antarilmuwan, antarpengarang sudah berlangsung lama, walaupun pemah terPutus sebentar pada masa pemerintah Orde Lama, antara tahun 1963-1964.

MelayuJawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti 113

(14)

UGM dan tinggal di Yogyakarta cukup lama

untuk mengikuti studi

bahasa dan sastra

Jawa.13 Sebagai seorang mahasiswa Program

S-3, ia harus dekat dengan bahasa dan sastra Jawa dan mendalaminya dengan sunfuk. Ke- mampuannya mendalami bahasa J aw a tidak hanya pada tataran ragam ngoko, tetapi juga ragam krama. Hal itu berarti bahwa ia harus mengenal betul kebudayaan Jawa yang ber- sumber pada konsep alus dan rasa itu. Ber- kaitan dengan itu, berikut ini dikutipkan se- buah puisi berjudul "UBUD" karya Noriah Mohammed,

dimuat

dalam majalah Paga- gan,5

April

1995, terbitan Sanggar Sastra Ja- wa Yogyakarta (SSIY).

UBUD

Raket mekar sajroning angkup lembutmu

nagih tanpapamrih

ny eb nr kuncup -kuncup asih kebak gandapamitran

sanady an slir amu saka larik kang b eda saka gegrumbulan ijo

saka tanahmanca nanging...

kitapadha

saka jagading manungsa kangen asih

kangen raket kangenpaseduluran

N alika b eb ar en g an sl ir amu

I ariking r e r aket an p entil nguncup mfl'u)ar wangi ing taman kamanungsan kita

Kar eb en bib itin g r er ake t sn mekar akembang ing sajroning jizuakita.

,UBUD

Lekat mekar dalam pelepah

nyiur

lembutmu

menagih tanpa harap

menyebarkan kuncup-kuncup kasih penuh bau persahabatan

walau kau datang dari jalur yang beda dari semak-semak hijau

dari negeri asing tapi...

kita sama

dari dunia manusia

rindu

kasih

rindu

akrab

rindu

persaudaraan

Ketika bersama-sama dengan

-mu

baris berlekatan kuncup menguncup mawar wangi di taman kernanusiaan kita.

Agar bibit keakraban mekar berbunga di dalam

jiwa

kita.

Guritan (puisi) Noriah Mohammed dari Malaysia tersebut menggunakan bahasa Ja-

wa sehari-hari, dengan bahasa ragam ngoko halus. Hal

itu

merupakan tanda indeksikal bahwa penyairnya tidak hanya menguasai gramatika bahasa lawa, tetapi juga mema- hami undha-usuk'tingkat tutur' bahasa Jawa.

Misalnya, pilihan kata sapaan orang kedua

" sliratnu"' andaf kamu' adalah sapaan hor- mat yang secara implisit menunjukkan bah- wa penyair menghormati lawan bicara. De- mikian juga kekayaan kosa kata, bangunan metafora, dan pilihan ungkapan yang khas bahasa Jawa, seperti " nagih tanpapamrih" @ait 1, larik 3) "'menuntut tanpa hatap"' adalah penanda indeksikal yang merujuk pemaham- an penyair pada budayaJawa.Dari apresiasi- nya tentang bahasa Jaw a, iamampu mencer- mati dan menyiangi sinonim-sinonim setiap kata sehingga kata-kata itu mencapai suasa- na yang diinginkannya, menyimpan makna yang dalam, indah dan enak dibaca. Puisi- puisi Jawamodern (guritan) dapat dipantau

13 Setelah menyelesaikan Program 93, ia menjadi Guru Besar di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), memegang bidang studi Jawa, dan menjadi peneliti kesastraan Melayu-Jawa di ATMA, UKM.

t14

Widyaparutla, Votume 38, Nomor 2, Desember 201"0

Referensi

Dokumen terkait

First, the researcher analyzed types of speech abnormalities using Liddle theory (2002) which was classified into eight symptoms: poverty of speech, weakening of

Next, demographic profile and last is variables in this study of Islamic Physical Attributes, Islamic Non-physical Attributes mediated by Religiosity on Tourist Preference