M
ELAYU.JAWA DAN JAWA.M
ELAYU
:SEBUAH DINAMIKA SASTRA TANPA HENTI-)
Sri
Widoti
Inti
sariSastra dari luar, misalnya dari India, Persia, dan Cina, telah lama masuk ke ranah sastra Indonesia, bahkan juga menjadi bagian dari sastra ]awa, misalnya Mahabarata, Ramayana, dan Baratayudha dari India, Menak, Ambiya, dan Yusup dari Persia, serta Sam Pek Eng Tai dan Sin Jin Kui dari Cina. Kehadiran sastra tersebut dilakukan melalui perpindahan penduduk ke luar daerah asalnya (migrasi) sambil membawa serpihan kekayaan budaya mereka. Di negeri singgahnya, biasanya mereka beradaptasi dengan saling menunjukkan kebudayaan masing- masing, yang selanjutnya teradaptasi di negeri baru itu.
Perjalanan budaya semacam itu dapat terjadi juga pada abad modern ini, misalnya kehadiran guritan karya Noriah Muhammed dan puisi karya Siti Zainon Ismail (keduanya dari Malaysia).
Perpindahan sastra ]awa (dan Indonesia) keluar negerinya juga melalui perpindahan penduduk atau migrasi, tetapi ada perbedaan pada latar belakang yang mendasarinya karena kondisi dan konsep bernegara masa kini lebih bersistem, yang tidak memungkinkan migrasi secara mudah dan atau menga;'arkan kebudayaan negeri asal secara bebas pula.
Kata kunci: migrasi, sastra jawa, sastra Indonesia, sastra asing
Abstract
Literature, such as fronr India, Persia nnd China hed entered to Indonesian literature for long time,
wen, ludbecomepartsoflaanneseliteraturelikeinMahabarata,Ramayr:r-andBaratayudha (fromlndia), Menak, Ambiya, Yrcuf from Persia nnd Sam Pek Eng Tai andsinJnKuifrom Cina. The existence of literature (texts) occurred by the ntoae of inhabitants out from their origins by bringing parts of their culture. In tlrcir moaement, tlrc inlnbitants usunlly stopped ooer in countries and had adaptation to local culture. Tlrcir culture, then, were ndapted in the countries they aisited.
Tlnse cultural phenonrcna also occurred in literary works in tlds modern era, like guritan by Norinlr Muhammed and poems by Si Zainon lsmnil (t'rom Malaysia). Migration of laaanese (and Indonesian) literature out of country occurred through people migration, but there was dffirence on its fundamental backgrowtd for contempornry condition nnd goaernnnce concept thnt is more systeruatic. lt does not allow
easy migration or not nllow teaching tlrc origin culture freely.
Key words: migrntion, lnaanese literature, hrdonesian literature, foreign literature
1.
PendahuluanHubungan timbal-balik antarbangsa
di
kepulauan Nusantara sesungguhnya sudahberlangsung lama, melalui berbagai jalur, mi- salnya
jalur
perdagangan dan jalur perpin- dahan penduduk keluar
(dengan sengaja))
Naskah masuk 8 November 2010. Editor Drs. Slamet Riyadi, APU. Editing I: 9 - 15 November 2010. EditingIl
7 -14November 2010.
Tulisan ini pemah dibentangkan di Persidangan Antarbangsa, Bahasa, Sastera, dan Kebudayaan Melayu III, Anjuran Jabatan Bahasa dan Kebudayaan Asia, Institut Pendidikan Nasional, Universiti Teknologi Nanyang, Singapura, tanggat
14-16 Juli 2006.
101
atau migrasi. Media komunikasi antarsuku bangsa yang saling berkunjung itu ialah ba- hasa Melayu, sebuah jenis bahasa
di
Asia Tenggara yang juga bahasa ibu di semenan-jung
Malaka, Sumatra bagiantimur,
Riau, dan Kalimantan Barat. Bahasa Melayu me- mang salah satu lingua franca antaretnisdi
Asia pada waktu itu. Pengaruh komunikasi antarbangsa yang berdagang dan "berdia-1og" dengan media lingua franca itu mening- galkan jejakyang amat signifikan dalam per- kembangan peradaban
di
Asia Tenggara, khususnya diJawa, salah satupulau
yang penting di Indonesia.Jejak peradaban
luar
(asing) yang per- tamadi
Indonesia ialah dariIndia
dengan membawa bagian dari kebud ay aanny ayang menempel pada masyarakatnya, termasuk agamanya, Hindu-Budha. Mereka datangdi
Indonesiamelalui
ekspidisi perdagangan dan selanjutnya meninggalkan serpih-serpih budaya yang dibawanya itu di negeri-negeri Asia Tenggara, seperti Nusantara (termasuk Indonesia). Kehadiran mereka ditandai de- ngan tersebarnya berbagai unsur kebudaya- an Indiadi
daerah-daerah yang disinggahi atau dikunjungi. Unsur kebudayaary antaralain
berpengaruh pada agama, bangunan ibadah (candi-candi), tradisi, dan unsur-un- sur keseniary misalnya sastra (c.f. Eco,1986).Selain menjadi tempat persinggahan bangsa India, wilayah Nusantara itu juga mejadi dae- rah transito bagi bangsa lain di sekitar seme-
nanjung Malaka, yang juga bermigrasi da- lam melakukan aktivitas sehari-hari mereka sebagai bangsa. Oleh karena itu, setelah ke- hadiran bangsa India, beberapa bangsa lain di Asia, misalnya bangsa Persia (Arab) dan bangsa Cina juga singgah-bahkan selanjut- nya sebagian ada yang menetap
-
di negeri-negeri Nusantara dengan meninggalk arr " be- kas" transitnya, antara lain berupa serpihan
bahasa etnik mereka, tempat-tempat ibadah, pakaiary makanan, adat-istiadat, dan karya
seni kadisi lainnya, termasuk sastra (c.f. Xian-
lin
dalam Claudin-Salmory 1987:1).Sastra adalah salah satu jenis kesenian yang hampir selalu tr-rrut bermigrasi bersama masyarakat di negerinya, karenapada masa tradisi lisan, sastra menyatu atau "melekat"
dalam adat dan kehidupan sehari-hari me- reka. Penelitian Zoetmulder dalam buku Ka- langwan (1974:3
-
4) menunjukkan bahwa hu- ruf Pallawa (India) sudah diperkenalkandi
wilayah Indonesia sejak pra-Islam, yaitu pa- da abad ke-5 M. Demikian juga halnya de- rlgan bahasa Jawa Kuna yang berakar daribahasa Sansekerta (India). Bahasa etnik dari India itu sudah menjadi wahana kebudaya-
an Jawa sejak abad ke-9 M. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila wiraca rita Mahab a- rata, Baratayudha, danRamayana dibaca, dipe- lajari, dan diadaptasi dengan baik oleh ma- syarakat Jawa dan masyarakat lain
di
Nu- santara.l Sementara itu, wiracarita Islam po- puler dari Persia yang diterima dan diadap- tasi oleh masyarakat Jawa ialah wiracarita yang diekspresikan menjadi Serat Menak, Se- rat Iskandar, dan Serat Yusuf. Serat Menak,mi-
salnya, merupakan saduran dari naskah Me- layu, Hikay st Amir Hamzah. Masyarakat Jawa menyebuttokohcerita itu dengan Amir Am- byah atau Wong Agung Menak. Oleh karena
mirip
dengan kisah Panji (dari Jawa Timur), kisahAmir
Hamzah juga populerdi
]awa(Poerbatj araka, 1952) . S e r at I skan d sr disadur dari naskah Melayu, Hikayat lskandar Zulkar- nain (abadke-1S). Sementara itu, SeratYusuf
-
saduran daiHikayatYusuf
-
juga populerdi
JawaTimur, khususnya di daerah pesantren.
Sebagaimana naskah-naskah asing lainnya, sastra-sastra Islam itu masuk ke dalam kha- zanah sastraJawa melalui proses migrasi dan
perdagangan (c.f.
Chamamah-Soeratno,I
Di Jawa dan Bali, wiracarita India mendapat tanggapan positif dan diransformasi ke dalam kebudayaan setempat,bahkan dikembangkan melalui persepsi lokal genius setempat pula. Oleh karena itu, di Jawa banyak diciptakan episode- episode Mahabarata, Baratayudn, atau Ramnyana yar.g tidak ada dalam naskah aslinya.
L02
Widyapanua, Volume 38, Nomor 2, Desember 20101991). Perlu dicatat bahwa selain naskah-nas- kah sastra Islamyang ditinggalkan oleh para warga migran dari Persia, jenis mistik Islam (tasawuf) juga dibawakeJawa. Dinamika je- nis sastra Persia itu terlihat jejaknya di dalam naskah-naskah suluk di daerah pesantren pe- sisiran Jawa, dan di dalam naskah-naskah su- luk karya pujangga di keratonSurakarta dan Cirebon.
Selain peran aktif (dominan) imigran da- ri India dan Persia (Arab) dalam menyebar- kan sastra etniknya di Jawa, masyarakat Ci-
na pun memiliki kegiatan budaya (secara
ti- dak
sengaja) yanghampir
sama.Di
Asia, bangsa Cina dikenal kepandaiannya dalambeberapa ilmu (misalnya obat-obatan,
hit
tr&perbintangan, dan memasak) dan sebagai pe- dagang dan pelaut yang gigih. Dalam proses literary migration, bangsa Cina datang di Indo- nesia sambil menyebarkan budaya tradisi- nya, seperti seni drama (wayang potehi), seni bela diri, bangunanibadah (kelenteng), ane- ka jenis makanan (mie, bakso, bakpia, bak- pau, tongseng, dsb.), serta cerita-cerita tradi-
si (mite,legenda, danwiracarita). Dalam du- nia sastra, kisah kasih ala Romeo-Yuliet khas Cina
juga ditinggalkan di
daerah-daerah yang disinggahinya. Saska Indonesia dan sas-tra Jawa juga mencatat keberterimaan ma- syarakatnya terhadap kehadiran kebudaya- an Cina itu. Jejak sastra klasik dari Cina yang dapat disimak, antara lain dua karya sastra populer, yaitu " Sflm Pek Eng Tae"
,
dant " Sinlin Kui"
(diadaptasi ke dalam sastra Jawa menjadi " Jaka Sudira"). MasyarakatJawa me- ngenal kedua sastra klasik Cina yang popu- ler itu melalui terjemahannya dalambahasa Melayu yang diterbitkan oieh Balai Pustaka.2 Dikatakan oleh Xianlin (dalam Claudine-Sal- mon (1987:1) bahwa persebaran naskah ro-mantis " Sam Pek Eng Tae" meluas di seluruh Asia. Bahkan, bukan hanya migrasi sastra, te- tapi juga migrasi budaya Cina yang dibawa
melalui jalur
perdagangan. Kebudayaan yang dibawa ke negeri lainitu
tidak hanya hasil karya seni tinggi, tetapi juga sejumlah karyafiksi
yang kurang populardi
negeri mereka, misalnya n ov el Yin Yun Qiau Zhuan, Erdu Me| danlinDengXinhua. Disetiap tem- patyang disinggahi, mereka menggelar dan"menjual" kebudayaan tradisi yang semula dilakukan
untuk
mengingat kehidupan ta- nah air mereka yang jauh (Claudine-Salmon, 1987:2-3).Dijelaskan selanjutnya bahwa terjadi proses saling memberi dan menerima, baik dari sisi para imigran maupun dari sisi
pri-
bumi.3 Populernya kisah cinta dari Cinadi
Indonesia, khususnya di Jawa, terlihat dari resepsi masyarakat terhadap karya tersebut, terutama kisah '! Sflm Pek EngTae" dalamba- hasa Jawajauh
sebelumberdirinya
Balai Pustaka. Keberterimaat't " Sfrm Pek Eng Tae"dan " Sirt
lin Kui" di
Indonesia (terutama di Jawa) mendorong peranakan Cinauntuk
kreatif melanjutkan penyebaran sastra tradisi dari negerinya melalui tradisi tulis dengan media bahasa dan huruf Cina. Barulah pada generasi berikutnya, kisah-kisahdari
Cina itu ditulis dalam bahasa setempat dan diter- bitkan sendiri. Pilihan bahasa dan huruf se- tempat itu dilakukan dengan kesadaran agar pikiran-pikiran nenek moyang mereka dipa- hami oleh masyarakat lain. Karya-karya pe- ngarang Cina di Melayu (termasuk di Indo- nesia) itu kemudian disebut "sastra Melayu- Cina" atau sastra Melayu -Tionghoa".Dari paparan singkat di depan dapat di- tarik benang merah yang penting. Pertama, ternyataJawa bukan hanya merupakan tem-
Hampir semua karya sastra Persi dan Cina memasuki khazanah sastra Jawa melalui bahasa Melayu karena bahasa
|awa amat spesifik, baik hurufnya maupun gramatikanya. Selain itu, dalam tradisi ]awa terkandung secara implisit strukturasi masyarakatnya yang menyebabkan hubungan komunikasi antarmanusia memerlukan pemahaman etika.
Di Indonesia, khususnya di Jawa, kehadiran dua jenis sastra tradisi Cina itu pun masuk melalui migrasi masyarakatnya, yang selanjutnya dikembangkan melalui teater Jawa tradisional (kethoprak) dan teater Indonesia modern.
Melayu-Jawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti 103
pat singgah para pedagang asing, melainkan juga sebagai tempat subur bagi penyebaran kebudayaan mereka. Kedua, fakta literer da- Iam sejarah sastra Jawa menunjukkan bahwa peranan Jawa dalam dunia sastra yang da- tang dari Persi dan Cina pada masa kehadir- annya masih "pasif". Hal itu berarti bahwa
Jawa belum memiliki peran penting sebagai subjek dalam cerita, melainkan baru sebagai objek dalam cerita yangberbahasa Melayu.
Dalam Hikayat Hang Tunh, misalnya, dapat dilihat bahwa Jawa hanya "diceritak an:." atatr disebutkan saja, tidak menjadi bagian pen- ting yang menggerakkan alur cerita. Ketiga, naskah-naskah asing dari Persi dan Cina ter- nyata tidak mudah masuk ke dalam kehidup-
an tradisi sastra Jawakarena naskah-naskah itu terlebih dahulu harus masuk melalui sas-
tra Melayu. Tidak adanya istilah "sastraJa- wa-Cina" memperlihatkan dengan tegas bah- wa bahasa Melayu memang telah menunjuk- kan fungsinya sebagailinguafranca
didi
Nu- santara, sedangkan bahasa Jawa hanya ber- fungsi sebagai sarana komunikasi regional.Dengan kata lairu anasir asing
tidak
dapat langsung "bertemu" dengan masyarak atJa- wa. Halitu
amat bertolak belakang apabila dibandingkan dengan cerita dalam Hikayat Hang Tuah (daLam Soelastin-Soetrisno 1983).Dalam hikayat itu disebutkan bahwa arma- da Majapahit (di bawah Mahapatih Gadjah- mada) mampu melaut sampai di Malaka dan armada Malaka pun dapat sampai di Maja- pahit. Selain itu, prajurit Majapahit juga per- nah sampai di Sumatra Barat.a Berdasarkan uraian itu, timbul pertanyaan, mengapa be- berapa jenis sastra asing (Cina dan Persi) tidak dapat langsung "beradaptasi" dan me- masuki ranah sastraJawa klasik, tidak seper- ti sastra Indonesia yang dengan mudah me- nerima sastra asing?
2.
Kerangka Berpikir dan MetodeBerkenaan dengan masalah tersebut, adaptasi sastra asing ke sastra Indonesia dan atau sastra Jawamodern, seperti kasus gurit- an Noriah Mohammed (1995) dan puisi Siti Zainon Ismail (2003) dapat dijelaskan dengan kerangka berpikir tentang migrasi sastra Cina
yang digunakan oleh
Claudine-Salmon(1987). Setidaknya, ada tiga prinsip tentang
sastra dan migrasi (perpindahan) sastra, ya- itu (1) kepergian suatu bangsa ke luar negeri (migrasi)
-misalnya
dalam kegiatan berda-gang-selalu
membawa bagian budaya ne- gerinya; (2) sastra dan budayadari
suatu bangsa "melekat" dalam tubuh bangsaitu
yang dapat terbawa pergi ke mana pun; (3) di setiap daerah singgahny a, bagianbudaya atau pengertahuan budaya dari negeriitu
(dengan sengaja atau tidak) dapat ditularkan dan disebarkan.
Dengan kerangka berpikir migrasi sas- tra tersebut, dinamika sastraJawa ke luar dae- rahnya atau sebaliknya dan pengaruh Indo-
nesia atau Jawa kepada sastra Melayu dapat dijelaskan. Sehubungan dengan itu, tulisan
ini
difokuskan pada dinamika komunikasisastra Jawa ke luar daerahnya, seperti pada kasus puisi ]awa (guritan) yang
ditulis
oleh Noriah Mohammed danpuisiSiti Zainon Is- mail sehingga" jejak" kehadiran mereka da- pat dijelaskan. Jejak kehadiran yangtertuang dalam tulisan singkat ini dibantu dengan me- tode pengumpulan data melalui studi pus-taka-khususnya
sastra Jawa yangditulis
orangasing-untuk
mendapatkan sumber data. Selainitu,
pemerolehan sumber data dapat dilakukan pula dengan wawancara ke- pada beberapa narasumber. Selanjutnya, pen- catatan dan pembacaan buku-buku referensi yang terkait dengan migrasi sastra dilakukan unfuk membanfu menjelaskan proses migrasi sastra Jawa ke luar daerahnya.a Dalam sebuah mitos tentang penamaan etnis Minangkabau, diceritakan bahwa nama Minangkabau adalah akronim dari "menang" dan "kerbau" , yang diangkat ketika suku Minang "rnemenangkan" adu kerbau melawan prajurit Jawa dari Majapahit.
L04
Widyapanua, Volume 38, Nomor 2, Desember 20103.
Bahasa dan Sastra Jawa di Masa Lalu dan Sekarang3.1
Bahasa Jawa dalam Sastra LamaBahasa merupakan cermin sebuah bang-
sa karena bahasa merupakan alat komunikasi antarmanusia. Bahasa Jawa
-
sebagai alat ko-munikasi-tertata
menurut tatanilai
yang berlaku dalam masyarakatnya. Masyarakat Jawa merupakan salah satu etnis di Indone-sia yang memiliki bahasa etnik yangtertata
secara rurnit sesuai dengan tatanan budaya Jawa yang bersumber pada konsep hormat,
diatur
dalamperilaku
alus'halus' dan rasa'perasaan' (Kodiran, 1982; c.f . Koentjaraning- rat,1975). Kerumitan itu memang sengaja di- atur oleh kerajaan sebagai upaya mengukuh- kan kedudukan raja di hadapan rakyat dan daerah jajahannya.s Pada masa pemerintah- an Sultan Agung, kedudukan dinasti Mata- ram dikonsulidasikan melalui pengembang- an bahasa Jawa (Moedjant o, 1987 :4L-75). Ke- rajaan mengembangkan bahasa Jawa dengan ragam ngoko (bernuansa kasar) dan krama (bernuansa halus).
Di
dalam bahasa ragamkr ama terdapat subragam, yaitu kr ama mady a dan krarna inggil, yang masing-masing tertata dalam gramatika yang rumit6, dengan kosa kata yang terpilih sesuai dengan unggah-ung- guh.sebagai bahasa yang ditata dari" atas" ,
tingkat tutur bahasa ]awa amat memperha- tikan situasi dan kondisi pembicara dan la- wan bicara. Pada jenis naratlf babad yang is- tana sentris, misalnya, dikembangkan cara pembangunan
politik
(Moedjanto, 1987 :4L;c.f. C.C. Berg, de Graaf, Djajadiningrat,Kar- todirdjo, dan Surjohudojo dalam Moedjanto, 1987:42). Di dalam babad itu dikisahkan se-
jarah kerajaary tokoh-tokoh dan ksatria kera- jaan, para
putri
kerajaan, undang-undang kerajaan, kegiatan atau peristiwa khusus ke- rajaan, dan sebagainya. Semua yang diceri- takan itu bersifat politis yang ditujukan un- tuk kebesaran atau kewibawaan raja.Naskah-naskah kerajaan dipelihara me- lalui lembaga kerajaan yang disebut tEaska- pujanggan. Para pengarangnya ditetapkan oleh kerajaan. Melalui pembinaan kebuda- yaan yang berpusat di kerajaan tersebut, tra- disi sastra istana dilestarikan dan
dikemb*g-
kan dengan konsep tetap hamemayu hayuning
b aw ana' memelihara keselamatan dunia/ ne- gffid' ,tetap bersumber pada budaya dan aga- ma, dan diekspresikan dengan mengguna- kan ikatan konvensi tembang,T Tembang itu di- tulis dalam huruf Jawa yangjuga rumit, se-
rumit
gramatika bahasanya. Semuanya di- tata dalam rangka memelihara keagungbina-tharaan'kebesaran/keagungan' raja. Bah- kan, hingga pascaker ajaan, konvensi tembang dan tradisi menulis dengan huruf ]awa ma- sih digunakan dalam sejumlah buku cetak-
an-
dan majalah-berbahasa jawa terbitanBalai Pustaka hingga akhir tahun 1930-an (da- lam Balai Pustaka Sewajarnya, t.t.:7). Berikut ini dikutipkan hasil transliterasi satu bait Se- rat P anitisastra y angditulis pada zaman Ma- japahit (Poerbatjaraka, 1933:11), yang kemu- dian ditulis kembali pada zamanMataram-
Islam
(Surakarta), pada pergantian abad XVIII-
XIX (Sudew a, 1991.:1.-
3).PANITISASTRA Pupuh
l:
Dandhanggula1..1..
Makir ty a ring agny a narp asiwi nul ar p r al amp it anin g s an g Wu sm an
s Moedjanto (1987:a1) menjelaskan lebih lanjut bahwa banyak upaya dilakukan untuk konsolidasi kekuasaan taja, di antaranya yang bercork kultural dan salah satu di antaranya iatah pengembangan sastra babad dan bahasa Jawa.
6 Pilihan kata dalam bahasa Jawa harus tepat-terutama ragamkarma-karena kesalahan memitih dapat menimbulkan salah paham dalam pemakaian. Orang yang tidak dapat menggunakan bahasa Jawa dengan baik disebut "oranjauani,
atau';tuongndesa","irangertitntaknrrun" atau"wongkonrpra".Bagioranglawayangmengertihormatsebutan-sebutan seperti itu dihindari (c.f. Poedjosoedarmo dkk., 1979).
7 Ada bermacam jenis tembang dalam sastra Jawa, yaitt tembang gedle, tengnhan, dan mncapat, yang masing-masing memiliki metrum dan watak sendiri-sendiri.
Melayu-Jawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti L05
ing Surakarta wedhare tata tri gora ratu
ri sangkala witning winarti Nitisnstra ingaran
winarna ing kidung kadikadanging sajarwa
lumnksana sasananingkang janma di adi yan kadriyana//
PANITISASTRA
Pupuh
l:
Dhandhanggula 1.1.'Hamba berkarya atas perintah putra raja menjalin petuah ajaran sang Wusman di Surakarta (ajaran ini) diuraikan tertib tiga besar raja
adalah sangkalan awal (ajaran ini) diwar- takan
diberi nama Nitisastra
disusun dalam bentuk kidung
seperti lainnya ada dalam bentuk uraian terlaksana di tempat insan utama
sepantasnya bila (hal itu) dipahami.' Contoh sebagian kecil Serat Panitisastra tersebut menggambarkan bahwa sastra klasik Jawa hanya dapat ditulis oleh orang atau pe- ngarang yangbenar-benar memahami kon- vensi sastra tradisional. Orang atau penga- rang itu disebut "pujangga" (pengarang ke- rajaan), bukan penyair biasa seperti "penga- rang" pada sastra modern. Bait
di
atas me- nyiratkan makna bahwa pujangga harus me- mahami tembang, memahami karawitan kare- na tembans harus dapat dilagukan dengan fuingan gamelan, memahami ilmu bahasa, me- mahami kawi (bahasa sastra), memahami fal-safah, dan memahami untuk siapa naskah
itu dituliskan. Dalam
hubungannya dengan kompleksitas dalam naskah-naskah tradisio- nal semacam itu, sistem sastra tradisional me- nunjukkan dirinya sebagai "sistem yang ter- tutup" (closed sy stem), y angrctenunjuk sebuah sistem mapan dansulit
berubah (Tanaka, 1976). Gubahan naskah berbentuk tembang macapat (Dhandhanggula)itu
dapat diterje-mahkan, tetapi makna yang tersirat di dalam- nya barulah dapat tertangkap apabila ditem- bangkan. Dengan media ragam bahasa Jawa arkhais, dengan gramatika y ang dib alut un g- gah-ungguh, naskah klasik Jawa telah mem- bangun bentuk ekspresi tembangtradisional yang
rumit.
Lebih-lebih, tembnngitu
biasa ditulis dalam huruf Jaw-a yang eksklusif. Sis- tem sastra Jawa tradisional yang"tertutup"
itu dapat menjadi kendala utama bagi sejum- lah karya asing untuk melakukan interfensi langsung (dir ect intera ention ) ke dalam tradisi
sastraJawa tradisional. Untuk memasuki sas- tra Jawa tradisional yang sistemnya tertutup itu harus dilakukan melalui 'nyantrik" 'ber- guru secaraprivat' atau melalui pembelajar- an khusus, baik dalam pendidikan formal maupun nonformal.
Salah satu upaya percepatan peningkat- an pendidikan (sederhana)
-sebagai
salah satu progr am P olitiek Etische-
yang dilaku-kan pemerintah kolonial Belanda untuk ba- las budi kepada pribumi di Hindia Belanda, terutamaJawa, ialah dengan dibukanya pen- didikan formal. Program itu diawali dengan pengadaan buku yang dicetak oleh pemerin- tah kolonial. Melalui program
itu-di
sam- ping menambah sekolah-sekolah desa untuk elite pribumi-
penyebarluasan buku bacaan digalakkan secara sungguh-sungguh dengan tujuan memelihara dan meningkatkan minat baca bumi putera. Pemerintah mengusaha- kan penerbitan buku-buku ilmu pengetahu- an sederhana, buku-buku karya bumi putera (y^^g lolos sensor), dan penerbitan buku-bu- ku terjemahan dari bahasa asing, termasuk terjemahan ke dalam bahasa Jawa. Namun, politik kolonial tetap tampak jelas dalam pro- gram edukasiitu
yang dapat diamati dari pengelompokan pencetakanbuku.
Dalam Balai Pttstaka Sewajarnya: 1905-
1942 (ban-dingkan
Widati
dkk., 2001:81) dinyatakan bahwa ada tiga pengelompokan buku terbit-an Balai Pustaka di masa kolonial, seperti be-
rikut'ini.
106
Widyapanva, Volume 38, Nomor 2, Desember 2010Seri A ialah seri buku bacaan untuk anak- anak;
Seri B ialah seri buku bacaan penghibur dan penambah pengetahuan bagi orang dewasa, dalam bahasa dae- rah;
Seri C ialah seri buku bacaanyang sama dengan B, tetapi bagi yang lebih lan-
jut
pengetahuannya dandi
dalambahasa Melayu.
Dari tiga pengelompokan atau kategori tersebut, sastra
daerah-
selain yangberba-hasa Melayu
-
ditempatkan dalam kategoriB. Penetapan itu bersifat sepihak karena kar- ya-karya berbahasaJawa dalam kategori
itu
banyak yangberkualitas, ditulis oleh penga- rang-pengarang besar. Misalnya, karya-kar- ya Jasawidagda, Sasraharsana, Sugeng Tja- krasoewignja, dan Margana Djajaatmadja.Bahkan, cetakan karya-karyaJawaklasik
ju-
ga rnasuk dalam kelompok B, misalnya kar- ya-karya Mangkoenegara IV, R.Ng. ]asadi- pura, danR. Ng. Ranggawarsita. Karya-kar-
y a para pujangga itu, misalny a Wedhatama, Wulangreh, Cemporet, Centhini, danWulangsu- nu, diakuisebagai karya kerajaan y ang adilu- hung'rndah dan agung' dan berisi ajaran lu-
hur.8 Hingga pasca-Kongres Pemuda II (1928)
yang menjunjung bahasa Melayu (menjadi bahasa Indonesia) sebagai bahasa persatuan di Hindia Belanda, huruf Jawa masih digu- nakan sebagai media komunikasi tulis dalam komunitas masyarakatnya. Kundjana dkk.
(1979:2) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan bahasa dan sastra Jawa masih terpelihara, yaitu (1) tradisi bersastra yang sudah berurat-berakar; (2) pemakai bahasaJawa yang masih banyak, dan (3) pe- cinta-pecinta bahasa Jawa
dari
dalam dan luar negeri yang sebenarnya juga masih ba- nyak, misalnya di Suriname. Faktor terakhiritu
dapat dibuktikan dengan uluran tanganYayasan Rancage (dari Sunda) yang setiap ta-
hun
memberikan penghargaan bagi bukusastra kreatif Jawa terbaik terbitan tahun se-
belumnya
dantokoh
yang berjasa dalam pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa.Dalam perkembangannya, perubahan sosial-politik dari waktu ke waktu, terutama pada pascakekuasaan kerajaan, telah mem- bawa hikmah dalam proses penyederhana- an bahasa Jawa yang berstuktur
rumit.
Ke- beratan generasi muda terhadap kerumitan bahasa dan aksaraJawa menghasilkan pe- nyederhanaantingkat tutur
bahasa Jawa menjadi ragam ngoko dankarma saja. Penye- derhanaan itu dilakukan dengan tujuan un- tuk melestarikan budaya tanpa mengingkari perubahan zaman. Benturan budaya dari luar tidak mungkin dihindari karena masya- rakatJawa juga turutberkembang di tengah perubahan yang terus berlangsungdi
seki- tarnya akibat desakan dari lingkungan do- mestik dan budaya asing. Peminggiran ba- hasa daerah dari jangkauan atau perhatian pemerintah dimulai sejak pemberlakuan ku- rikulum 1975 -1994,yan9 menekankan pen-didikan
otak tanpa memperhatikan pendi- dikan budi pekerti. Sejak pemberlakuan ku-rikulum
1975 itu, status pengajaran bahasa dan sastra daerah di SD, SMP, dan SPG men- iadi kokurikuler atau manasuka. Akibatnya, terjadi perubahan populasi pemakai bahasa daerahdari
generasi muda yang semakin menyusut. Situasi dankondisi
sepertiitu
mencapai puncaknya setelahbahasa dan sas- tra daerah yang sarat nilai adiluhung itu tersi- sih dari masyarakat pendukungnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada lagi tiang penyanggabagi sastra
kultural
di ma- syarakat daerah padahal dalam penjelasan Pasal36 (Bab XV) UUD 1945 disebutkan ten- tang kewaj lban/
janjipemerintah untuk me- lindungi dan memelihara/ mengembangkan 8 Penempatan itu berdampak secara berlanjut pada persepsi masyaiakat yang mengategorikan sastra ]awa modemsebagai sastra popular tanpa diawali oleh proses pembacaan terlebih dahulu.
Melayu-Jawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti LO7
bahasa daerah yang masih dipelihara oleh masyarakat pemakainya. Akib atny a,banyak warga masyarakat bersikap masa bodoh ter- hadap etika dan tata
nilai
kesantunan. Ke- bobrokan itu baru disadari oleh masyarakat ketika terjadi huru-hara tahun 1997-1998
yar.g menyebabkan lengsernya penguasa Orde Baru, kemudian digantikan oleh Orde Reformasi. Peristiwa itu memicu terjadinya perubahan perilaku masyarakat Indonesia yang mengejutkan.Kontrol
sosial melalui karya-karya budaya daerah (termasuk karyasastra) tidak mampu berperan mengembali- kan kepribadian masyarakat. Hal itu terlihat dari ekspresi tanpa kontrol (hilangnya kon-
sep alus) dan tanpa perasaan (hilangnya kon-
sep rasa) pada perilaku masyarakat. Dasar- dasar kebudayaan daerah seolah-olah tidak
memiliki
tempat lagi di hati sebagian besar masyarakat.3.2
Bahasa Jawa dalam Sastra Baru/Modern Ketika media massa dan penerbitan ber- bahasa Jawa mulai bangkit (pada abad ke- 19 yang diawali dengan terbitnya Bramarta- ni, 1.855),sastra J aw a mulai mendapat ruang penyebaran di media massa. Peristiwa pen- ting dapat dicatatbahwa kala itu telah terjadi pergeseran sistem sastra, dari sistem sastra inklusif yang tertutup (closed system) menuju ke sistem sastra terbuka (opened system) (c.f.Tanaka,1976).
Surat kabar berbahasa Jawa padawaktu itu kebanyakan bersifat umum sehingga be- lum banyak menyediakan rubrik untuk sas- tra. Barulah pada tahun \930-an,beberapa ma- jalah, yaitu Kn d1 aw en (1926) milik pemerintah kolonial, P anj eb ar S eman g at (1 933) milik swas- ta-nasionalis, dan Pusaka Suraknrta (1939) mi- lik swasta organisasi Islam, membuka
rubrik
sastra dengan orientasi berbeda-beda. Maja- lahKadjawen, misalnya, memiliki kekhasan se-
bagai majalah
umum
corong pemerintah.Oleh karena itu, majalah tersebut mengguna- e Bandingkan dengan kebijakan penerbitan pemerintah kolonial.
108
Widyapanvil, Volume 38, Nomor 2, Desember 2010kan bahasa ragam krama, dan berhuruf Jawa
(sampai dengan tahunl937). Dengan misi me- lanjutkan
politik
etis, Kadjawen memuat kar-ya
terjemahan,karya-karya yang dinilai
"aman" bagi masyatakat, dan bersifat men- didik.e Majalah Pusaka Surakartamengemban misi organisasi Islam, sebagai media dakwah, menggunakan bahasa ragam krama. Semen- tara itu, majalah umumPanjebar Semangntme-
miliki
kekhususan sebagai media/corong Boedi Utomo pimpinan dr. Soetomo, di Su- rabaya, media pendidikanpolitik
bagi rak- yat kecil. Majalah itu menggunakan bahasa ragam ngoko, sebagai simbol keberpihakan kepada w ong cilik. Pllihan bahasa ragam ngo- ko itu menunjukkan bahwa bahasa Jawa se- hari-hari telah berterima dalam masyarakat Jawa. Bahasa ragam ngoko mudah dipelajari oleh siapa pury dari lapisan mana pun. Mes-kipun
demikian, bahasa ragam krama tetap penting dalaur komunikasi karena ragamitu
dapat menjadi filter yang mengingatkan ma- syarakat Jawa pada unggah-ungguh atau adat kesopanan (konsep alus danrasa).
Di dalam media massa bahasa Jawa yang berbeda-beda orientasinya, sastra Jawa mo- dern disebarluaskan. Pilihan bahasa ragam
krama danngoko dalam kebijakan masing-ma- sing menyebabkan majalah-majalah tersebut
memiliki
sasaran pengarang dan pembaca sendiri-sendiri. Pada hakikatnya, penerbit merupakanpemilik
modal yang sekaligus bertindak sebagai penentu kebijakan dalam berbagai hal bagi majalahnya. Dengan demi- kian, masalah pemilihan tema untuk naskah yang dimuat juga "ditentukan" oleh pener- bit. Berkenaan dengan karya sastra, sejak ta- hun 1920 sastra Jawatelah memproklamasi- kan dirinya sebagai sastrayangbaru atau mo- dern. Pernyataan itu ditandai oleh kehadiransebuah novel pendek Serat Riyanta,kNyaR.B.
Soelardi. Kehadiran novel tersebut tentu bu- kan secara tiba-tiba karena R.B. Soelardi per-
nah berkomunikasi dengan J. Kats 1917)
-
da-lam misi perjalanannya keliling
Jawa-ten-
tang penulisan fiksi baru (novel) ya.g berbe- da dengan fiksi klasik dari istana, seperti se- rat danbabad.
Kehadiran Serat Riy anta, sebenarnya su- dah diawali oleh pernyataan atau sikap
Ki
Padmasoesastra
-
seorang pengarang dariTe-pas Kapuj anggansurakarta
-
untuk menyebutdirinya sebagai " usong mardika" 'orang bebas' dari ikatan kerajaan (Supardi, 1961). Karya- karyanya pada awal abad ke-20 melambang- kan kebebasan pikirannya dalam berekpresi.
Hal itu merupakan salah satu penanda lite- rer yang jelas, yang menunjukkan terbuka- nya sistem sastra Jawa. Keterbukaan sistem tersebutbahkan sudah terlihat dalam roman
Rangsang Tubsn (1912) karya Ki Padmasoe- sastra. Dengan keberaniannya, Padmasoe-
sastra menggubahoyu dalam bentuk gancnr - an (prosa), bukan tembang, meskipun dalam hal skuktur cerita masih tetap mengikuti ba-
bad.10 Paro pertama abad ke-20 amat penting bagi perkembangan sastra Jawa karena pe- riode tersebut merupakan masa kelahiran je- nis-jenis sastra modern, misalnyanovel, cer- pen (crita cekak) , dan puisi modern (guritan) . Berbagai tema dalam kehidupan
riil
diulas dalam berbagai jenis sastra, dengan media bahasa Jawa ragam ngoko atau ada kalanya dengan ragam krama.Dalam perkembangan selanjutnya/ sas-
tra Jawa modern
hidup
berdampingan de- ngan sastra tradisional karena kesenian Jawa tradisional masih memerlukan kehidupansastra tradisional, terutama tembang-nya. Bah- kan, dalam beberapa karya fiksi (cerpen) dan guritan, misalnya dalam karya kontemporer Turio Ragil Putro, Krisna Mihardja, dan Su- wardi Endraswara, terlihat tanda-tanda ata- vismenya dengan pemanfaatan kembali un- sur-unsur kuna sastra daerahnya. Meskipun
Peralihan bentuk tenfuangke gancaran pada Sernt Rangsnng Tubanbskan berarti tenrbnng lalu lenyap dari sastra-Jawa, karena hingga sekarang,Jenis-puisi tradisional itu masih akrab dengan masyarakatlawa, termasuk generasi mudanya.
Pada periode awal kemerdekaan hanya tercatat beberapa orang pengarang lama yang muncul kembali, misalnya Soebagi;o I.N., Any Asmara,dan Poerwadhie Atmodihaidjo. Ketig'arrya sudah aktif menulis puisi dan cerpen pada masa pendudukan Jepang dan Belanda (Kelas II).
demikiaru sistem sastra sejak kehadiran
Ki
Padmasoesastra sudah menunjukkan sikap berbeda dengan sistem sastraJawa sebelum- nya. Sejak itu, sistem sastra menunjukkan tan- da-tanda "sistem yang terbuka" (opened sys- tem), y angmemberi kemungkinan " meneri- ma" anasirbaru dari luar dan juga memung- kinkan "menyebarkan" informasi dirinya ke dunia luar.
4.
Sistem Terbuka dan Dinamika Sastra Jawa Modern4.1
Kebangkitan Generasi dan Perkembangan Sastra JawaSejak proklamasi kemerdekaan Repu-
blik
Indonesia hinggS tahun 1950, sastra Ja-wa modern mati suri karena situasi sosial, ekonomi, politik, dan keamanan yang belum stabil. Fakta itu berakibat pada (masih) pasif- nya elemen-elemen terdekat sastraJawa, se-
perti kepengarangan, penerbitaru dan pem- bacanya. Akan tetapi, beberapa elemen po- kok pemerintahan mulai berjalan. Kemente- rian Pengajaran, Pendidikan, dan Kebuda-
y aan, misalnya, mulai menata sistem pendi- dikan melalui pro€fam pemberantasan buta huruf. Program itu ditanggapi
pengarffigla-
wa yang sebagian besar merupakan penda- tang baru.11 Mereka kembali menulis, men- dirikan media massa, dan ada yangmendi
rikan percetakan untuk mereproduksi buku mereka sendiri.
Terbitnya kembali
Paniebar Semangat (1949)- setelah sejaktahunlgl2ditutup
oleh kolonial Jepang-
dapat memberikan sema- ngat maj alah D j aj a B aj a (1950), y angkondisi nya tertatih-tatih, untuk memulai menata ru-brik-rubriknya.
Setelahitu, terbit
majalahP u st aka Romnn (1 953), T j r it a T i ekak (\955), Ke'
tl
Melayu-Jawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti 109
kasihku (1,956)
di
Surabaya, Cenderawasih (1957 ), W a sp a da (1952), Meka r S ari (1957), Kem - bang Brayan (1969), dan Djaka Lodang (1971) di Yo gyak arta, Kunthi (19 69) dan Kuman dhang (1973) di Jakarta, sertaDharma Kanda (1968), Darma Nyata (1,971), dantabloid
Parikesit (1,973)di
Surakarta. Denganbangkitnya
media massa cetak dan penerbitan sastra Jawaberarti sistem pengarang dan pembaca sastra Jawa mulai bangkit untuk membangun barisan panjang penyair, cerpenis, dan no- velis Jawa modern baru. Para pengarang itu, antara lain Esmiet, Satim Kadarjono, Suparto Brata, Susilomurti, St. Iesmaniasita, Basuki Rachmat, Sudarmo K.D., Suripan SadiHu-
tomo, Totilowati, M.Tahar, Handung Kussu- dyarsono, dan Tamsir AS. Mereka adalah pemakai aktif bahasaJawa dari berbagai pro- fesi di kota-kota di Jawa.
Daiam menanggapi perkembangan sas- tra Jawa modern, Hutomo (1978) menyata- kan bahwa hingga tahun 1990 ada dua ke- lompok besar pengarang sastra Jawa, yaitu
(1) pengarang periode perkembangan bebas (dari tahun 1945 -1965), dan (2) pengarang
sastra majalah (dari tahun 1966-sekarang).
Periode I disebut sebagai "generasi perintis", yaitu generasi yang membangun mata rantai penyambung antara periode prakemerdeka- an dan periode kemerdekaan. Pada periode itu ketiga jenis sastraJawamodern (guritan, cerperL dan novel) berkembang dengan baik
dan banyak karya diterbitkan melalui pener- bit-penerbit kecil. Sejumlah pengarang me- ngembangkan teknik-teknik penulisan jenis sastra tertentu. Misalnya, Suparto Brata ke- mudian dikenal sebagai penulis sastra em-
pirik
yang cermat dan pengarang cerita de- tektif yang ulung, Any Asmara sebagai pe- ngarang panglipur Tl)uyung (roman picisan) yang laris, Esmiet sebagai pengarangyang serba bisa, Tamsir AS sebagai pengarang realis yang menarik, dan Satim Kadarjono-
sebagaimana Suparto Brata
-
sebagai penga-rang cerita peperangan yang bagus. Mereka
pada umumnya adalah dwilingual yang pro- duktif menulis dengan bahasa ibu dan baha-
sa nasional. Tidak mengherankan apabila pa- da tahun 1970-an dikatakan oleh Hutomo
(1993:227 -238)bahwa sejak awal kemerde- kaan, sastra Jawa mendapat pengaruh kuat
dari
sastra Indonesia, terutamadari
aliran ekspresionisme Chairil Anwar. Bahkan, da- lam artikelnya "Pengaruh Timbal Balik Sas- tra Melayu (Indonesia) dengan Sastra Jawa"dikatakan oleh i{utom o (1993 :197
-
226) b ah-wa dalamrangka keindonesiaary banyak sas-
trawan Jawa "belajar" dan beradaptasi de- ngan sastra Indonesia, baik yang berbentuk puisi maupun prosa. Puisi penyair Jawa St.
Iesmaniasita berjudul " Kowe wis Lega?" be-
rikut
ini, misalnya, dengan jelas mengikuti gaya ekspresionismenya Chairii Anwar.KOWEWIS LEGAT (St. Iesmaniasita) Aku turuning pujangga
bisn nyipta Palgunadi €t Anggraini
bisa nyipta Panji €t Candrakirana bisa crita edining kuncup
j ingga tuzoin aruming ludira
O, jaman Kanwa jaman Sedhah
pepuspan amrik mekar endah Leluhurku
uriping saben jaman
ngelik sesindhenan ing padesan
lan ngumbara turut pesisir
n a s ak u) flna s alum ahin g b aw nn a
Rungokna, rungokna...
O, sumitra
apa sliramu wis lega
se sindhen an I agu w arisan
(P anj ebar Semangat, 2 Februari 1954)
110
Widyapanua, Volume 38, Nomor 2, Desember 2010,SUDAH PUASKAH KAMU?
(St. Iesmaniasita)
Aku keturunan pujangga
mahir mencipta Palgunadi & Anggraini mahir mencipta Panji & Candrakirana mahir bercerita indahnya kuncup jingga dan harumnya darah O, zamant Kanwa
zarrrarlSedhah
bunga-bunga semerbak mekar indah
Moyangku
hidup
di setiap zarrtar.merdu bersenandung di pedesaan
dan mengembara sepanjang pantai menembus hutan di muka bumi Dengarkan, dengarkan....
O, sahabat
apakah engkau sudah puas dendangan lagu warisan?'
Gaya ekspresionistis guritan karya St.
Iesmaniasita tersebut amat dekat dengan gaya ekspresionistis puisi-puisi Chairil An- war. Gaya ekspresionistis semacamitu amat banyak
diikuti
oleh penyair Jawa modern periode perintis, seperti tampak pada puisiSusilomurti, Priyadi
Gunawan,Mulyono
Sudarmo, dan Trim Sutedja.Periode II diisi oleh pengarang yang di- sebut oleh Hutomo sebagai "generasi pene- rus" ,
yaitu
generasi yang melanjutkan dan mengembangkan jejak kerja para pengarar.g senior periode sebelumnya. Mereka bukan hanya dwibahasawan, melainkan juga mul- tibahasawan karenadi
antara mereka ber- pendidikan tinggi, bahkan ada yang menga- jar di perguruan tinggi. Beberapa orang yang perlu dicatat, antara lain Tiwiek SA, Suryan- to Sastroatmojo, Ngalimu Anna Salim, N{och.Nursyahid P., Poer Adhie Prawoto, Turio Ra-
gilPutro, DanielTito, KeliekS.W., Krisna
Mi-
harja, dan Suwardi Endraswara. Kelompok" generasi penerus" itu seringkali bereksperi- men dengan temuan-temuan baru yang di- peroleh dari komunikasinya dengan penga- rang-pengarang nasional-Indonesia, teruta- ma dalamhalbentukekspresi. Ada di antara mereka telah menjelajah dunia, antara lain Susilomurti (wartawan), Suripan Sadi Huto- mo (dosen), danMoch. NursyahidP. (warta- wan). Berikut ini diberikan contoh pengaruh puisi Indonesia dalam guritankary aF.X.
Mul-
yadi berjudul "Potret" (dalam antologi puisiTaman Sari,1975) yang mengikuti gaya tipo- logis puisi Sutarji Kalzoum Bachri.
POTRET potret
lqaaci rokok
A na po tret
(p o tr e tmu ni er o n dhe dhe t potretku njero anget
mbangketebang
p otr etmu ny isil kw aci P otr etku ngrokokpeluke
akkk e e e e ehhhhh b an g e t) Sala,1975
, POTRET potret
kuaci rokok A da po tret
(potretmu dalamnya gelaP sekali potretku dalamnya hangat
muncul dan tamPak
potretmu makanbiji kuaci potretku merokok asapnya
b any aaaaakkkkk sekali)' Puisi F.X. Mulyadi tersebut menunjuk- kan kebebasan penyair dalam memanfaat- kan hak licentia poetica bagi pengarang atau penyair. Ia memaparkan pikirannya tanpa memperhatikan tanda baca, seperti titik, ko- ma, dan huruf kapital. Ia justru mengguna- kan
tipologi untuk
membantu pemaknaanMelayuJawa dan Jawa-Melayu: Sebuah.Dinamika Sastra Tanpa Henti
tLL
oleh pembaca. Misalnya, penempatan kata po- tret, kwaci, dan ngrokok yang dipisah-pisah- kan tempat dan lariknya; penataan yang asi- metris adalah bukan penataan yang abitrer, melainkan penataan yang dengan sengaja di- lakukan oleh penyair. Penyair biasanya rneng- ungkapkan sesuatu dengan cara yang lain.
Pentingnya ketiga ka ta (potret, lauaci, dan ngro- kok) yang terlihat pada bait tersebut menun- jukkan korelasi ketiga unsur atau kata kunci pada bait pertama. Pernyataan penyair " Ana potret" , itu menunjukkan bahwa penyair ter- sebut mengenangkan banyak peristiwa yang diceritakan secara berturut-turut dalam tan- da
kurung.Y*g
diceritakan adalah keadaan dua manusia (ia/ dia danakulirik)
yang ber- beda hati atau jiwanya dan berbeda pula yang dilakukannya. Perbedaan itu ditunjukkan de- ngan gambaran konkret suasana hattia yang gelap gulita (ndhedhet), iayangsedang mela- kukan sesuatu yang sia-sia (mangan kwaci);sebaliknya, suasana hattaku lirik ialah hangat (anget) dan santai (sedang merokok dengan nikmat), ditandai dengan asapnya yang amat banyak.
Contoh lain berupa catatan impresif kun- jungan Suripan Sadi Hutomo ke negeri Be- landa dalarn guritan-ny a " Kncir An gin" (197 9)
berikut ini.
KINCIR ANGII,I
Dhuwur endheke kincir angin Ing sacedhake kali Rijnkang nakal
Cofr,roft
Tangan alus kang ngawe-axoe Nganggo kapal cilik
Ombak ing landheyan
Plabuhan kuwi sangsay a sepi Kutha Rotter dam kang p eni Kabutkandel
Mangh.mg udel Sangsnyakendel Keluking piyandel
Lonceng greja Ngoyak swargct
Leiden,1979 ,KINCIR
ANGIN
Tinggi rendahnya kincir angin
Di
dekat sungai Rijn yang nakal Caf6, caf6Tangan halus yang melambai-lambai Dengan kapal kecil
Ombak di buritan
Pelabuhan itu semakin sepi Kota Rotterdam yang indah Kabut tebal
Menjulur ke pusat Semakin berarii
Asap dalam keyakinan L,onceng gereja
Mengejar surga'
4.2
Penyebaran Konvensi Sastra JawaPada subbab (a.1) dipaparkan secara se- lintas tentang sistem sastra yang terbuka dan perkembangan intern sistem kepengarangan dalam sastra Jawa modern. Subbab itu juga menyebutkan bahwa kualitas sastrawan Ja- wa modern pada abad2l ini lebih bagus.
Di
antara mereka ada yang menduduki posisi penting, misalnya dosen, anggota DPRD, dan peneliti. Komunikasi mereka tidak hanya de- ngan lembaga dalam negeri, tetapi juga de- ngan luar negeri. Selain itu, sejak pemerintah Indonesia membuka hubungan akademik de- ngan perguruan tinggi luar negeri, hubung- aninteraktif
antarnegarapun
terjadi.Hu-
bungan interakif antarnegara itu, antara lain, juga berdampak pada terjadinya kontak sas-tra antarnegara.
Hubungan komunikasi antarsastra dan antarpeng arangdi Asia diawali oleh penyair- penyair dari negara-negara serumpun (pema- kai bahasa Melayu), seperti Malaysia, Singa-
LI.z
Widyapanrva, Volume 38, Nomor 2, Desernber 2010prr&, dan Brunai Darusalam.l2 ]ejak-jejak per- temanan antarbangsa di Asia Tenggara, ter- utama Malaysi4 terlihat dalam sejumlah puisi karya penyair Malaysia ASAS 50 dengan puisi Charil Anwar, misalnya puisiberjudul "Sua- sana" dan
"Di
Desa" karya Masuri S.N. (Li Chuan Siu dalam Hutomo, 1993: 39-
43). Hu-tomo (1993:M
-
49) dalam tulisannya " P enga- ruh Rendra pada Puisi Malaysia" membahas pengaruh puisi-puisi W.S. Rendra dalam se-jumlah puisi Malaysia. Ditunjukkan bahwa model puisipuisi W.S. Rendra
-
d alam B alla-da O r ang-or ang'[ er cinta (1957), Emp at Kumpul- nn Sajak (1961),Blues untukBonnie 0971), Salak-
sa1 ak S E atu Tua (1972), dan sebagainya
-
popu-lar
di
Malaysia, seperti terlihat dalam puisi"Ballada Gadis Tani" karya penyair Dharma- wijaya dalam antologiny aWarna May a, " Ba- lada Orang-orang yang Ditinggalkan" karya Mansor Ahmad Samaru "Balada Sebuah Deri- ta" kexya Chan Khun
Ni.g.
Hubungan antarsastrawan Melayu (dan karyanya) dengan sastrawan Indonesia tidak dapat langsung menyentuh sastraJawa lama dan modern. Mereka hanya mampu berde- katan dan berkomunikasi dengan sastrawan Indonesia melalui bahasa Melayu yangdekat dengan bahasa Indonesia. Penyebaran atau saling pengaruh sastra sekarang ini tidak se-
perti dahulu
kala yang dilakukan melalui perdagangan. Fakta itu terlihat dari latarbe- lakang para pengarang.Sejak tahun 1970-an,misalnya, sejumlah penyair akademis dari Indonesia belajar ke Malaysia atau Singapu- ra, atant sebaliknya. Komunikasi akademis
yang terbuka pada waktu itu menorehkan pe- san khusus melalui catatan tempat atau peris- tiwapenting. Misalnya, Muhammad Haji Sa- leh mencatat kota Jakarta dalam puisinya "Ja- karta" dan musik khas Indonesia dalam puisi- nya "Keroncong". Yang amat menarik ialah puisi-puisi karya Siti Zainon Ismail dalam an- tologinya Witir SelaMerap, (2003). Antologi itu
berisi puisi-puisi berbahasa Melayu yang mam-
pu
menggambarkan keluasan jelajahnyadi
Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Ia se- orang rupawan sekaligus ilmuwan sehingga dalam penjelajahan jiwanya tidak hanya men- catat berbagai sudut kota Yogyakart4 tetapi juga mencoba mendalami siapa dan bagai- mana orang Jawa itu. Berikut ini dikutipkan puisi Siti Zainon Ismail berjudul "ZiarahSa-jakku"
yang mencoba memahami falsafah" sangkanparaning dumadi" 'asaldan tujuan hi- dup', yang merupakan bagian dari kesadar- an hidup orang lawa.
Ziaruh Sajakku
Dakaplah puncak si kembar Sundoro-Sumbing
di celah mata air Serayu
pertemuan membersit di Klawing tibakah kau
di
ziarah Hijrah kepulan wap larung sesaji di malam SelasaKliwon
syukur dan berkah tapi akuwahai Wlandang japlak kitakah dari benih yang sama Adam Hawa
menyatu gelombang air menggebu ke kolam saksi di jagad luas
Illahi
Dalam kata pengantarnya, Suminto A.
Sayuti menyebutbahwa puisi-puisi penyair Malaysia (Siti Zainon)
itu
bukan hanya se- bagaicatatan perjalanan, melainkan juga pen- dalaman budaya dan intelektualitas seorang penyair. Ia tidak hanya mencatat, tetapi men- cermati apa yang dijumpainya, menangkaP- nya, dan mengekspresikan kembali secaraarif dan indah.
Pergumulan pengarang Malaysia dengan kadisi Jawa ternyata baru datang kemudian ketika seorang akademisi Malaysia datang
di
12 Hubungan antarilmuwan, antarpengarang sudah berlangsung lama, walaupun pemah terPutus sebentar pada masa pemerintah Orde Lama, antara tahun 1963-1964.
MelayuJawa dan Jawa-Melayu: Sebuah Dinamika Sastra Tanpa Henti 113
UGM dan tinggal di Yogyakarta cukup lama
untuk mengikuti studi
bahasa dan sastraJawa.13 Sebagai seorang mahasiswa Program
S-3, ia harus dekat dengan bahasa dan sastra Jawa dan mendalaminya dengan sunfuk. Ke- mampuannya mendalami bahasa J aw a tidak hanya pada tataran ragam ngoko, tetapi juga ragam krama. Hal itu berarti bahwa ia harus mengenal betul kebudayaan Jawa yang ber- sumber pada konsep alus dan rasa itu. Ber- kaitan dengan itu, berikut ini dikutipkan se- buah puisi berjudul "UBUD" karya Noriah Mohammed,
dimuat
dalam majalah Paga- gan,5April
1995, terbitan Sanggar Sastra Ja- wa Yogyakarta (SSIY).UBUD
Raket mekar sajroning angkup lembutmu
nagih tanpapamrih
ny eb nr kuncup -kuncup asih kebak gandapamitran
sanady an slir amu saka larik kang b eda saka gegrumbulan ijo
saka tanahmanca nanging...
kitapadha
saka jagading manungsa kangen asih
kangen raket kangenpaseduluran
N alika b eb ar en g an sl ir amu
I ariking r e r aket an p entil nguncup mfl'u)ar wangi ing taman kamanungsan kita
Kar eb en bib itin g r er ake t sn mekar akembang ing sajroning jizuakita.
,UBUD
Lekat mekar dalam pelepah
nyiur
lembutmumenagih tanpa harap
menyebarkan kuncup-kuncup kasih penuh bau persahabatan
walau kau datang dari jalur yang beda dari semak-semak hijau
dari negeri asing tapi...
kita sama
dari dunia manusia
rindu
kasihrindu
akrabrindu
persaudaraanKetika bersama-sama dengan
-mu
baris berlekatan kuncup menguncup mawar wangi di taman kernanusiaan kita.
Agar bibit keakraban mekar berbunga di dalam
jiwa
kita.Guritan (puisi) Noriah Mohammed dari Malaysia tersebut menggunakan bahasa Ja-
wa sehari-hari, dengan bahasa ragam ngoko halus. Hal
itu
merupakan tanda indeksikal bahwa penyairnya tidak hanya menguasai gramatika bahasa lawa, tetapi juga mema- hami undha-usuk'tingkat tutur' bahasa Jawa.Misalnya, pilihan kata sapaan orang kedua
" sliratnu"' andaf kamu' adalah sapaan hor- mat yang secara implisit menunjukkan bah- wa penyair menghormati lawan bicara. De- mikian juga kekayaan kosa kata, bangunan metafora, dan pilihan ungkapan yang khas bahasa Jawa, seperti " nagih tanpapamrih" @ait 1, larik 3) "'menuntut tanpa hatap"' adalah penanda indeksikal yang merujuk pemaham- an penyair pada budayaJawa.Dari apresiasi- nya tentang bahasa Jaw a, iamampu mencer- mati dan menyiangi sinonim-sinonim setiap kata sehingga kata-kata itu mencapai suasa- na yang diinginkannya, menyimpan makna yang dalam, indah dan enak dibaca. Puisi- puisi Jawamodern (guritan) dapat dipantau
13 Setelah menyelesaikan Program 93, ia menjadi Guru Besar di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), memegang bidang studi Jawa, dan menjadi peneliti kesastraan Melayu-Jawa di ATMA, UKM.