• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sehubungan dengan itu, disusun skripsi yang berjudulkan: Diversi Sebagai Alasan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Pelecehan Seksual Yang Dilakukan Anak (Penelitian Pada Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan)

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Sehubungan dengan itu, disusun skripsi yang berjudulkan: Diversi Sebagai Alasan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Pelecehan Seksual Yang Dilakukan Anak (Penelitian Pada Unit PPA Satreskrim Polrestabes Medan)"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang

  • Rumusan Masalah
  • Faedah Penelitian

Dalam perkembangannya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 sebagai perangkat lunak dalam proses peradilan anak sudah tidak konsisten lagi dengan upaya perlindungan anak, khususnya upaya perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat 2, dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat dipahami bahwa penyelesaian perkara anak yang melakukan pelanggaran hukum tidak selalu dapat dilakukan dengan cara diversi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan khususnya di bidang hukum pidana tentang pelaksanaan penutupan penyidikan tindak pidana pencabulan terhadap anak melalui penerapan Diversi oleh penyidik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada pemerintah, praktisi, dan publik tentang penghentian investigasi terhadap pelanggaran pelecehan seksual terhadap anak.

Metode Penelitian

  • Sifat Penelitian
  • Sumber Data
  • Alat Pengumpul Data
  • Analisis Data

Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, seperti undang-undang, buku, sumber internet, dan sebagainya. Untuk mendukung data primer yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan, dilakukan juga penelitian kepustakaan dengan membaca literatur atau bahan hukum yang relevan dengan masalah dan pembahasan penelitian berupa: undang-undang, buku, artikel, jurnal yang relevan dengan penelitian ini.

Definisi Operasional

Pengertian anak menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan pengertian anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibedakan menjadi 3 macam yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

TINJAUAN PUSTAKA

Tindak Pidana Pelecehan Seksual

Perbuatan cabul dengan anaknya, anak di bawah pengawasannya dan anak di bawah umur lainnya (Pasal 294 KUHP). Perbuatan memfasilitasi perbuatan cabul terhadap anaknya, anak tiri dan orang lain yang belum dewasa (Pasal 295 KUHP);

Pengertian Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum

Penyelesaian kasus anak yang melanggar hukum melalui Diversi memiliki beberapa tujuan. Kondisi penegakan hukum terhadap anak yang melanggar hukum sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak sangat memprihatinkan. Dengan demikian, penyelesaian perkara anak yang melanggar hukum harus dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak.

Keengganan penyelesaian perkara oleh penyidik ​​dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif. Pokok bahasan pasal ini memberikan pemahaman bahwa penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum melalui pendekatan keadilan restoratif adalah wajib (esensial). Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Sisdiknas, penyidik ​​unit PPA Polrestabes Medan dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum bertanggung jawab melakukan diversi melalui pendekatan restorative justice.

Peran penyidik ​​Satreskrim PPA Polrestabes Medan dalam penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum adalah berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan diversi. Penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan dengan mengadakan musyawarah (mediasi) antara korban dan pelaku. Pelaksanaan diversi dalam penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum secara substansial dan jelas diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana.

Selanjutnya Pasal 9 Undang-Undang Hukum Pidana Anak mengatur bahwa: penyidik ​​dalam melaksanakan diversi dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Penjelasan pendahuluan telah menjelaskan bahwa pelaksanaan diversi dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan melalui pendekatan keadilan restoratif.

Penyidikan

Pengertian Diversi

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formil ke penyelesaian secara damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban. Secara konseptual, diversi merupakan mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan ke proses pelayanan sosial. Dari perspektif hukum normatif, konsep diversi dapat dilihat dalam rumusan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang memberikan pengertian diversi sebagai proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar sistem peradilan pidana.

Maka distraksi masuk akal sebagai upaya mengalihkan perhatian anak dari proses hukum formal di luar proses peradilan pidana formal. Upaya mengalihkan proses peradilan anak ke proses nonperadilan didasarkan pada pertimbangan bahwa keterlibatan anak dalam proses peradilan pada hakikatnya telah menimbulkan stigma. Hal ini sejalan dengan tujuan Diversi yang dijelaskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Selain diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, diatur dan juga terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung No. konsultan dan pihak terkait lainnya untuk mencapai kesepakatan divestasi dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Hal-hal Yang Menyebabkan Penghentian Penyidikan

Penghentian penyidikan berdasarkan alasan-alasan hukum pada dasarnya sesuai dengan alasan-alasan batalnya hak mengadili dan hilangnya hak melakukan tindak pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 76.77 dan Pasal 78 KUHP. Penghentian penyidikan demi hukum, ada beberapa keadaan yang menjadi dasar penghentian penyidikan, antara lain: 24. Hal ini sesuai dengan asas hukum yang berlaku secara universal pada zaman modern ini, yaitu bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan.

Asas hukum ini merupakan penegasan hukum pidana tentang tanggung jawab, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang dalam hukum pidana hanya dibebankan kepada orang yang melakukan kejahatan itu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 78 KUHP, penuntutan terhadap pelaku tindak pidana secara otomatis menurut undang-undang, jika tenggang waktu penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP sudah tidak diperbolehkan lagi. Logikanya, jika kewenangan untuk mengadili di depan sidang pengadilan telah dicabut terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana, maka jelas tidak ada gunanya melakukan penyidikan dan penyidikan terhadap orang tersebut.

Dalam pelaksanaan penghentian penyidikan, KUHAP menetapkan beberapa alasan yang menjadi dasar penghentian penyidikan, yaitu: tidak cukup bukti, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, dan penghentian penyidikan harus dilakukan demi kepentingan hukum.

Prosedur Penghentian Penyidikan

Konsep diversi baru kemudian muncul setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dasar hukum pelaksanaan redirection dalam klarifikasi perkara anak yang melakukan pelanggaran hukum oleh penyidik ​​mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat Akibatnya, masih banyak hak anak yang terabaikan dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dan tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Beberapa kasus penanganan kasus anak melawan hukum tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Anak, sehingga berdampak pada psikologi anak sehingga menimbulkan trauma bagi anak. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Undang-Undang Sistem Peradilan Anak menyikapi permasalahan tersebut dengan mereformasi hukum pidana untuk proses hukum terhadap anak dengan mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak. Diversi sebelumnya tidak diatur dalam KUHP maupun KUHAP, konsep ini baru muncul setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang merupakan pengesahan dari konsep yang dikembangkan oleh UNICEF.

Saat ini Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai bentuk ratifikasi Konvensi Hak Anak (20 November 1989). Mengingat alasan dan tujuan diversi yang diatur dalam sistem peradilan pidana anak, jelas bahwa diversi tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyidikan. Perbedaan antara diversi yang diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan penghentian penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat dilihat pada alasan, tujuan dan proses penerapannya.

Mekanisme Penghentian Penyidikan Dengan Alasan Diversi

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, diketahui bahwa penanganan perkara anak melalui pendekatan keadilan restoratif meliputi: tahap penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan suatu tindak pidana atau tindakan dan setelah tindak pidana atau tindakan tersebut dijalani. Diversi menurut Pasal 1 ayat (7) UU Sisdiknas adalah pengalihan penanganan perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar sistem peradilan pidana. Sesuai dengan tanggung jawab penyidik, penyidik ​​Satreskrim PPA Polrestabes Polrestabes Medan melakukan langkah-langkah penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum sebagai berikut: 43.

Tuntutan penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum yang berkaitan dengan korban, yaitu terkait dampak perbuatan pelaku terhadap korban. Oleh karena itu, penyelesaian kasus anak sebagai pelaku tindak pidana melalui restorative justice memerlukan keterlibatan korban dan/atau keluarganya. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tanggung jawab penyidik ​​adalah menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum di unit PPA.

Untuk memenuhi kewajiban tersebut, dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum, penyidik ​​harus selalu mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Hambatan Dalam Penghentian Penyidikan Dengan Alasan

Analisis permasalahan mengenai hambatan penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum melalui penerapan diversi dapat digunakan konsep penegakan hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Dengan menggunakan pendekatan diversi melalui pendekatan restorative justice untuk menyelesaikan kasus anak yang berkonflik dengan hukum, maka pihak kepolisian sebagai aparat penegak hukum memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan penyelesaian kasus tindak pidana ringan. Dalam konteks penerapan diversi melalui pendekatan restorative justice dalam penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum, sarana dan prasarana pendukung tidak menjadi kendala yang berarti.

Oleh karena itu, untuk melaksanakan penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum melalui pendekatan restorative justice tidak diperlukan sarana dan prasarana khusus, hanya diperlukan saja. Kondisi ini terkadang menjadi kendala tersendiri bagi penyidik ​​untuk melakukan diversi dalam penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum yaitu tidak tercapainya kesepakatan diversi. Hal yang paling mendasar dalam proses penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum melalui pelaksanaan Diversi adalah adanya keinginan pelaku untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada korban.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan penerapan distraksi melalui pendekatan restorative justice oleh detektif dalam penyelesaian perkara.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Saran

Kendala yang dihadapi penyidik ​​PPA Polrestabesa Medan dalam menuntaskan penyidikan berdasarkan diversi tindak pidana pencabulan terhadap anak yaitu sulitnya mencapai kesepakatan antara korban dan pelaku dalam proses diversi yaitu kurangnya kepatuhan pelaku dalam hal pengembalian kerugian materiil.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan konsep model sistem peradilan pidana maka sistem peradilan pidana Indonesia dimasa yang akan mendatang merupakan sistem peradilan pidana dengan sistem