• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN VIKTIMOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "TINJAUAN VIKTIMOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S1) Sarjana Hukum

Oleh

ALFRIYATI 4515060031

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2019

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis serta penyertaan dan perlindungan-Nya dalam setiap langkah kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang mengambil judul “Tinjauan Viktimologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Yang Dilakukan Oleh Anak”

Tujuan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tinggi kepada orang tua penulis, Ayahanda Pither Liling dan Ibunda Agustina Kamban serta saudara-saudariku Marnita, Frisca, Alfriyani, Marvin yang telah memberikan cintah kasih sayang, perhatian, pengertian, bantuan baik dari segi moril, materil serta doa yang tulus demi kesuksesan penulis selama melaksanakan proses pendidikan hingga dapat menyandang gelar sarjana.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dalam bentuk penyajian maupun bentuk penggunaan bahasanya, karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penulis. Maka dengan kerendahan hati,

(6)

dari berbagai pihak dan oleh sebab itu melalui kesempatan ini penulisan ingin menghanturkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H.M.Saleh Pallu, M.Eng. selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar

2. Bapak Dr. Ruslan Renggong, SH. MH. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar dan Wakil Dekan I, dan II Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar

3. Bapak Dr. H. Abdul Salam Siku, SH. MH. selaku pembimbing I dan Ibu Hj.

Siti Zubaidah, SH. MH. selaku pembimbing II yang telah banyak membantu memberikan arahan dan petunjuk dalam penulisan skripsi ini.

4. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang telah memberikan nasehat dan rela berbagi kisah pengalaman dan bantuannya.

5. Sahabat sahabatku Ui Dkk (Anastasia Papang, Memes Oktavia, Vivi Destriani, Prizkila, Meli Angel) & Anugrah yang selalu memberikan support, doa kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Teristimewa untuk Arya Dewanto yang telah banyak memberikan support, bantuan, waktu serta doa kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

(7)

7. Teman-teman angkatan 2015 yang telah banyak berbagi suka dan duka selama menjalani perkuliahan.

8. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, semoga Tuhan selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta membalas kebaikan kalian semua.

Makassar, April 2019

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...……….i

HALAMAN PENGESAHAN……….………...…ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….…...…………..iii

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI………...iv

KATA PENGANTAR………v

DAFTAR ISI………..………...ix

BAB 1 PENDAHULUAN : 1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...6

1.3 Tujuan Penelitian...6

1.4 Kegunaan Penelitian………..….………….7

1.5 Metode Penelitian………....……….7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Viktimologi ...9

2.2 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana……..………14

2.3 Tindak Pidana Pembunuhan dan Unsur-Unsur………...……..21

2.4 Anak Berhadapan Dengan Hukum……...…..……….……26

2.5 Anak Konflik Dengan Hukum………...………….29

2.6 Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan…………..…..34

BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Yang Dilakukan Oleh Anak……….……….39

(9)

3.2 Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Yang Dilakukan Oleh Anak……….………..43

3.3 Peran Korban Menjadi Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Yang Dilakukan Oleh Anak……….……….46

BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan………..…51

4.2 Saran……….52

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) alinea ketiga bagian pembukaan, mengamanatkan pada pemerintah dan setiap warga Negara Indonesia untuk ikut serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan bangsa.

Indonesia adalah suatu Negara wajib “menjujung hukum”.Dalam kenyataan sehari-sehari, warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga Negara tersebut melanggar hukum karena kewajiban tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain (Homo homini lupus), selalu mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain sehingga bukan hal yang mustahil bagi manusia untuk melakukan kesalahan-kesalahan baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Sehingga perbuatan itu merugikan orang lain dan tidak jarang pula melanggar hukum, kesalahan itu dapat berupa suatu tindak pidana (delik).

(11)

Salah satu tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat adalah tindak pidana pembunuhan. Pembunuhan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan/merampas jiwa orang lain. Selain itu pembunuhan dianggap perbuatan yang sangat terkutuk dan tidak berperikemanusiaan. Dipandang darin sudut agama pembunuhan merupakan suatu tindakan yang terlarang bahkan tidak boleh dilakukan.

Dalam tindak pidana pembunuhan yang menjadi sasaran si pelaku adalah nyawa seseorang yang tidak dapat diganti dengan apapun. Dan perampasan itu sangat bertentangan dengan UUD NRI 1945 Bab Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 28A yang berbunyi:

“setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Apabila kita melihat kedalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat KUHP, segera dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang telah bermaksud mengatur ketentuan- ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang dintujukan terhadap nyawa orang itu dalam Buku ke II Bab ke-XIX KUHP yang terdiri dari tiga belas pasal, yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.

Salah satu masalah yang sering muncul dimasyarakat adalah tindak pidana pembunuhan, tindak pidana pembunuhan adalah suatu bentuk kejahatan dalam jiwa seseorang dimana perbuatan tersebut

(12)

sangat bertantangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat yaitu norma agama dan adat-istiadat, sekaligus bertentangan dengan norma ketentuan hukum pidana dan melanggar hak asasi manusia yaitu hak hidup. Pada dasarnya suatu kejahatan atau tindak pidana itu dapat terjadi pada siapapun dan dapat dilakukan oleh siapa saja baik pria, wanita, ataupun anak.

Beberapa tahun belakang ini juga terjadi fenomena-fenomena sosial yang muncul di dalam masyarakat, dimana kejahatan-kejahatan tindak pidana pembunuhan tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa akan tetapi juga dilakukan oleh anak-anak baik secara sendiri-sendiri, maupun secara bersama-sama.

Anak adalah masa depan kita, masa depan agama, masa depan bangsa dan harapan umat manusia. Jika suatu bangsa menginginkan masa depan yang baik, maka anak sebagai penerus bangsa adalah kunci utamanya. Mendidik anak adalah tugas kita bersama, tugas semua elemen masyarakat. Dalam lingkup terkecil anak akan belajar hal baru dari keluarga, kemudian berkembang ke lingkungan tempat tinggal, berlanjut proses pembelajaran sekolah yang tidak hanya mengajarkan mengenai pelajaran formal, namun juga belajar mengenai norma yang berlaku dimasyarakat. Tetapi dijaman yang semakin berkembang ini anak-anak mulai tidak lagi diperhatikan sehingga tak

(13)

heran banyak anak-anak yang tak sungkan-sungkan untuk melakukan tindak pidana kejahatan.

Terhadap anak yang melakukan tindak pidana tersebut akan dilakukan tindakan hukum atau proses hukum. Dalam tindakan hukum tersebut, yang masih anak-anak didepankan pada aspek perlindungan hak-hak anak tersebut dalam tiap pemeriksaannya.

Hal ini didasarkan karena dalam diri seseorang anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak anak sebagaimana layaknya manusia yang dijunjung tinggi. Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah seharus dan selayaknya mendapatkan perhatian khusus terutama anak yang berkonflik dengan hukum.

Salah satu prinsip yang digunakan dalam perlindungan anak adalah anak itu modal utama kelangusangan hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri, banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

Jika harus dilakukan proses hukum terhadap anak maka tentunya kurang adil jika kepada terdakwa anak diberlakukan proses hukum yang sama dengan terdakwa dewasa. Begitu juga dengan pidana yang nantinya akan dijatuhkan kepada anak tentunya sangat tidak adil jika

(14)

pidana yang harus dijalani sama dengan pidana terdakwa dewasa.

Apalagi mengingat bahwa anakmerupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa, sehingga dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak, harus betul-betul memperhatikan kepentingan dan masa depan anak.

Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam undang- undang ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap anak dalam menyongsong masa depannya yang masih sangat panjang. Selain itu, pembedaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada anak agar setelah melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas yang dalam kenyataannya hakim dalam menjatuhkan putusan terkadang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dimana aturan yang mengatur tentang pemidanaan anak terdapat dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak aturan tersebut telah menegaskan tentang proses pemidanaan yang dilakukan oleh anak diatur dalam Pasal 2 UU No 11 Tahun 2012 mengenai perlindungan, keadilan, nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan seterusnya, serta

(15)

pasal-pasal lain yang menunjang dan membahas tentang hak-hak anak selama menjali persidangan.

Berdasarkan apa yang tekah diuraikan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang penerapan hukum dan pertimbangan hukum dalam putusan hakim terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dijadikan dasar penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peran korban dalam terjadi tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak?

2. Apakah peran korban menjadi pertimbangan hukum dalam putusan hakim terhadap tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui peran korban dalam terjadinya tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dalam putusan hakim terhadap tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak.

(16)

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis yaitu hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan informasi bagi masyarakat khususnya tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak.

2. Kegunaan praktis yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang membutuhkan dalam merencanakan kegiatan penelitian mengenai pembunuhan berencana yang dilakukan oleh anak.

3. Sebagai syarat wajib bagi penulis untuk menyelesaikan program studi stara satu di Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.

1.5 Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi-empiris, oleh karena dalam pendekatan ini menggunakan data sekunder sebagai data awal yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan.

b. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitia yang dipilih yaitu Polres Gowa. Jl. Syamsudin T.

Gowa, Sungguminasa dan Pengadilan Negeri Sungguminasa. Alasan pemilihan didasarkan pada pertimbangan bahwa penulis dapat memperoleh data-data terkait kasus tersebut dikarenakan kejadian pembunuhan berencana masih termasuk didalam wiliayah Kab.Gowa

(17)

c. Jenis dan Sumber Data

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dengan mengadakan Tanya jawab langsung kepada pihak yang terkait dengan objek penelitian.

2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui penelusuran studi keputusan dengan cara mempelajari peratura perundang- undangan atau dokumen, literatur yang berkaitan dengan masalah dan objek penelitian yang diteliti.

d. Teknik Pengumpulan Data

1. Dokumentasi yakni mengkaji berbagai peraturan perundang- undangan literatur-literatur yang berhubungan dengan judul yang diteliti, menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Sunggu Minasa.

2. Wawancara yakni percakapan langsung dengan responden untuk mendapatkan data dan informasi primer.

e. Analisis Data

Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalis secara deskriptif kualitatif.

Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian dilapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian diubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh jawaban atas permasalahan dirumuskan.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Viktimologi

Viktimologi berkembang dalam kriminologi hubungan (criminology of relationship). Paradigma korban ini selaras dengan perkembangan

kriminologi waktu itu secara khusus memusatkan perhatian pada arti penting peranan korban dalam kompleksitas terjadinya kejahatan. (C.

Maya indah, 2014:2)

Secara sederhana, viktimologi merupakan ilmu pengetahuan tentang korban (kejahatan) yang berasal dari bahasa latin victim yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi adalah suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai kenyataan sosial. (Rena Yulia, 2010:43).

Secara yuridis pengertian korban diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah di ubah menjadi Undang-Undang No 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

(19)

diakibatkan oleh suatu tinda pidana”. Adapun unsur-unsur disebut korban adalah

1. Setiap orang,

2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau 3. Kerugian ekonomi,

4. Akibat tindak pidana.

Menurut kamus crime Dictionary yang dikutip seorang Abdussalam, 2010: 5) bahwa victim adalah:

“Orang yang mdendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh tindak pidana lainnya”.

Hal tersebut didukung pendapat dari Arif Gosita (1989: 75) yang menyatakan bahwa korban adalah :

“mereka yang menderita jasmaniah dan rohania sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dak hak asasi yang menderita”.

Viktimologi memiliki arti luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang mengalami kerugian tetapi juga kelompok perusahaan, pemerintahan dan swasta.Oleh karena itu kajian terhadap korban perlu mendapat perhatian utama dalam pembahasan kejahatan.Pemahaman mengenai korban diharapkan mampu memberikan kemudian dalam

(20)

mencari upaya penanggulangan kejahatan.Viktimologi adalah pengetahuan ilimiah yang berkaitan dengan viktimisasi yaitu criminal yang merupakan masalah yang sering ditemui dalam kehidupan bermasyarakat. (Didik &Elisatris, 2006:34)

Dalam buku C. Maya Indah (2014: 40) Pendefisinian viktimitasi dikemukakan oleh Sahetapy sebagai berikut:

“Penderitaan baik secara fisik maupun secara psikis atau mental bertalian dengan perbagai perbuatan. Perbuatan yang dilakukan itu bisa dari perorangan, suatu kelompok tertentu, suatu komunitas tertentu, bahkan juga dari pihak penguasa, sehingga korban bukan saja perorangan, melainkan dapat pula beberapa orang, sekelompok orang, atau komunitas tertentu atau sebagian dari rakyat yang menderita bukan saja secara fisik, melainkan inklusif dalam arti finansial, ekonomis, social, agama, dan dalam artian psikis secara luas”.

Viktimologi dalam perkembangan memiliki beberapa tahap, yang pertama adalah mengkaji korban kejahatan yang disebut sebagai penal or special victimology.Tahap selanjutnya adalah kajian mengenai

korban kejahatan serta kecelakaan yang dinamakan general victimology. Fase yang ketiga adalah pembahasan tentang korban secara lebih luas karena menyangkut penyalahgunaan kekuasaan serta HAM, fase ini dinamakan new victimology (Didik & Elisatris, 2006:35-36)

Untuk dapat memahami suatu permasalahan, maka seseorang perlu mengerti terlebih dahulu akan apa yang akan dipahaminya itu, demikian pula dengan viktimologi. Sebelum menguraikan segala hal

(21)

yang berkaitan dengan viktimologi, maka perlu dipaparkan terlebih dahulu hal-hal mendasar dari viktimologi sehingga uraian-uraian berikutnya dapat dipahami dimengerti (G. Widiartana, 2014: 1)

Disamping itu tersebut beberapa orang yang menaruh perhatian pada pengembangan viktimologi mencoba memberikan defisnisinya sendiri, misalnya Sahetapy (1987: 7) Viktimologi sebagai ilmu atau dispilin yang membahas permahasalan korban dalam segala aspek dan fasetnya

Selaras dengan pemikiran viktimologi yang mempelajari korban menurut C.Maya Indah,( 2014: 16) yaitu mengenai Terminologi Separovic.

“perkembangan ruang lingkup viktimologi diatas membawa pemikran bahwa korban tidak hanya diartikan sebagai korban kejahatan belaka, tetapi lebih pada persoalan kualitas kehidupan dan keamanan kehidupan untuk mereduksi penderitaan manusia/human suffering atau disebut Separovic sebagai human living or human risk problem.

Menurut (Arif Gosita, 2009: 8-10) yang telah memberikan definisi ada beberapa manfaat viktimologi yaitu:

1. Viktimologi mempelajari hakikat siapa si korban dan yang menimbulkan korban, apa arti viktimisasi dan proses viktimitasi dan proses viktimitasi bagi mereka yang terlibat dalam suatu proses viktimitasi. Akibat dari pemahaman ini, akan tercapai pengertian-pengertian etiologis criminal dan konsep-konsep mengenai usaha represi dan prevensi dalam mengahadapi

(22)

dan menanggulangi permasalahan kejehatan, viktimisasi diberbagai bidang kehidupan.

2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, social. Tujuannya, tidaklah untuk menyanjung (eulogize) pihak korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai peran korban dan hubungannya dengan pihak pelaku.

3. Permasalahan utama viktimologi antara lain adalah mencapai, mengusahakan hasil-hasil yang praktis (particial), yang berarti menyelamatkan orang dalam bahaya dan dari bahaya.

4. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi masalah kompensasi pada korban; pendapat-pendapat viktimologis digunakan dalam keputusan-keputusan peradilan criminal dan reaksi pengadilan terhadap perilaku criminal.

Korban merupakan pihak yang dirugikan yang disebabkan oleh kealpaan, kurang hati-hati, ketidaktahuan, kelemahan korban, dapat juga diakibatkan oleh kelalaian Negara dalam melindungi masyarakat.Yang dikutip oleh (Rena yulia, 2010: 81) menjelaskan bahwa terdapat empat peranan korban yang bisa menimbulkan kejahatan, yaitu :

a. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh sikorban untuk terjadi;

b. Keuntungan akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan oleh sikorban untuk memperoleh keuntungan lebih besar;

c. Akibat yang merugikan sikorban mungkin merupakan kerja sama antara sipelaku dan korban;

d. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi dari sikorban.

Menurut medelshon yang dikutip Bambang Walyono (2011:19), terdapat lima korban, yaitu:

(23)

1. Yang sama sekali tidak bersalah;

2. Yang jadi korban karena kelalaianya;

3. Yang sama salahnya dengan pelaku;

4. Yang lebih bersalah dari pelaku;

5. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan)

Mendelshon menjelaskan bahwa derajat kesalahan korban yang sebenarnya adalah sama sekali tidak bersalah, korban dan pelaku bisa saja memiliki hubungan darah, misalnya pelecahan seksual, pencurian dalam keluarga, bahkan pembunuhan dalam merebutkan harta warisan.

2.2 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Kitab Undang-Undang membagi dua macam perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan diatur dalam buku kedua, sedangkan pelanggaran diatur ke tiga. Pada dasarnya kedua macam perbuatan pidana tersebut masing-masing mempunyai konsekuensi tersendiri yang tidak sama dan memiliki ancaman hukuman yang berbeda-beda, akan tetapi setiap ancaman hukuman tindak menjadi penghalang seseorang untuk tidak melakukan kejahatan ataupun pelanggaran. (Teguh Prasetyo, 2010:45)

Sedangkan pengertian menurut Simons (Erdianto Effendi, 2011:

97) tindak pidana adalah:

“Suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan kesehatan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab”

(24)

Strafbaar feit sebagai unsur perilaku manusia yang pada suatu

saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana yang dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.

Sementara itu, Moeljatno (Erdianto Effendi, 2011: 98) menyatakan bahwa tindak pidana adalah:

“Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhdap barang siapa melanggar larangan tersebut. Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat”

Untuk memberikan gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana, berikut ini penulis akan kemukakan pandangan dari beberapa ahli hukum mengenai tindak pidana, antara lain yaitu:

a. Pengertian strafbaar feit dikemukakan oleh Pompe dalam buku Erdianto Effendi (2011: 97) secara teoritis dapat merumuskan sebagai suatu yaitu “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak disengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.”

(25)

b. Menurut Van Hamel merumuskan “strafbaar feit” sebagai suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.

c. Menurut E. Utrecht “strafbaar feit” dengan istilah peristiwa pidana sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau melainkan netelen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melainkan itu.)

Sedangkan menurut Kanter dan Sianturi (Erdianto Efendi, 2011:

99) mengartikan tindak pidana adalah sebagai berikut:

“suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggungjawab).”

(Moeljatno, 2002: 54) mengatakan bahwa “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut”

Sedangkan pengertian menurut

(26)

Dari pengertian Moeljatno tersebut dapat disimpulkan unsur- unsur tindak pidana yaitu:

1. Perbuatan melawan hukum 2. Merugikan masyarakat 3. Dilarang oleh aturan

4. Pelakunya diancam dengan pidana

Pendapat Moeljatno tersebut menekankan bahwa unsur-unsur terjadinya delik yaitu jika adanya perbuatan yang menimbulkan suatu akibat dan perbuatan tersebut memenuhi unsur melawan hukum yang subjektif dan objektif.Adapun unsur melawan hukum subjektif yang dimaksud adalah kesengajaan dari pembuat delik untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum, sedangkan unsur melawan hukum objektif penilainnya bukan dari pembuat, tetapi dari masyarakat.

Adapun Unsur-Unsur Tindak Pidana menurut Evi Hartianti (2006:

07)

a. Unsur Subjektif

1) Kesengajaan atau kelalaian.

2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain

(27)

4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP.

5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 380 KUHP.

b. Unsur Objektif

1) Sifat melawan hukum.

2) Kualitias dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan kejahatan yang diatur pasal 451 KUHP.

3) Kualitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.

Andi Zainal Abidin Farid (2007: 230) merumuskan delik sebagai berikutnya:

Perbuatan aktif atau pasif, yang melawan hukum formil dan materil yang dalam hal tertentu disertai akibat dan/atau keadaan yang menyertai perbuatan, dan tidak adanya dasar pembenar.

Menurut Andi Zainal Abidin Farid istilah deliklah yang paling tepat karena:

a. Bersifat universal, dan dikenal dimana-mana;

b. Lebih singkat, efisien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik khusus yang subjeknya merupakan badan hukum, badan, orang mati;

c. Orang yang memiliki istilah strafbaarfeit, tindak pidana, dan perbuatan pidana juga menunggakan istilah delik;

d. Istilah perbuatan pidana (seperti istilah lainnya) selain perbuatanlah yang dihukum, juga ditinjau dari segi Bahasa

(28)

Indonesia yang mengandung kejanggalan dari ketidaklogisan, karena kata pidana adalah kata benda; di dalam Bahasa Indonesia kata benda seperti perbuatan itu, atau kata benda boleh dirangkaikan dengan kata benda lain dengan syarat bahwa ada hubungan logis antara keduanya.

Andi Zainal Abidin Farid (2007: 171-179) menuiskan unsur delik menurut pandangan monoisme dan pandangan dualism sebagai berikut:

Unsur delik menurut aliran monoisme hanya mengenal unsur perbuatan dan pembuat, sedangkan unsur delik menurut aliran dualism yaitu:

a. Perbuatan aktif serta akibat (khusus untuk delik meteril);

b. Yang melawan hukum yang objektif dan subjektif:

c. Hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana;

d. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; dan e. Tak adanya alas an pembenar

Andi Zainal Abidin Farid (2007: 180) sendir berpendapat bahwa unsur-usur delik pada umumnya adalah sebagai berikut:

a. Perbuatan aktif atau pasif;

b. Melawan hukum formil (bertalian dengan asas legalitas) dan melawan hukum materil (berkaitan dengan pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman);

c. Akibat, yang hanya diisyaratkan untuk delik materil;

d. Perbuatan diisyaratkan untuk delik-delik tertentu (misalnya delik menurut pasal 164 dan pasal 165 KUHP dan semua delik jabatan yang pembuatnya harus pegawai negeri);

e. Tidak adanya dasar pembenar (merupakan unsur yang diterima secara diam-diam)

(29)

Menurut Jonkers (Bambang Poernomo, 1994: 91) yang telah memberikan definisi tindak pidana dalam bahasa asing strafbaar feit menjadi dua yaitu:

a. Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang- Undang.

b. Definisi panjang atau lebih mendalam memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatau kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau culpa (lalai) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pengertian tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur “straafbaar feit” atau yang lazim disebut delik seperti:

1. Perbuatan melawan hukum

2. Dengan sengaja tindak dapat dipertanggungjawabkan 3. Diancam dengan pidana

(Lamintang. 1997: 193-194) unsur-unsur suatu tindak pidana itu adalah:

Unsur Subjektif:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu voorbedachte read seperti yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

(30)

Unsur-unsur objektif:

1. Sifat melanggar hukum atau wenderrechtelicjkheid;

2. Kwalitas dari sipelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP

3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat Perlu kita ingat bahwa unsur “wenderrechtelicjkheid” itu selalu harus dihadapkan sebagai diisyaratkan didalam setiap rumusan delik, walaupun unsure tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan.

2.3 Tindak Pidana Pembunuhan dan Unsur-Unsur

Wahbah Zuhali, (1989: 217). Para ahli hukum tidak memberikan pengertian atau definisi tentang apa yang dimaksud dengan pembunuhan, akan tetapi banyak menggolongkan pembunuhan itu dalam kejahatan terhadap nyawa (jiwa) orang lain. Perbuatan pidana pembunuhan tidak diklafikasi apakah dilakukan dengan sengaja, atau tidak sengaja dan atau semi sengaja.Ini berarti bahwa tidak ada yang dibebaskan dalam tuntutan pidana bagi pelaku pembunuhan.

Pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Untuk menghilangkan nyawa orang lain, kesengajaan

(31)

menghilangkan nyawa orang lain itu oleh kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 338-340 KUHP yang berbunyi:

Pasal 338 :“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Pasal 339 : “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesutau perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 340: “Barang siapa dengan sengaja dan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Apabila kelompok tindak pidana pembunuhan diatas diurutkan sesuai dengan sistematika dalam KUHP, maka urutannya adalah sebagai berikut:

1. Tindak pidana pembunuhan biasa, diatur dalam pasal 338 KUHP

(32)

2. Tindak pidana pembunuhan yang dikualifikasi/pemberatan, diatur dalam pasal 339 KUHP

3. Tindak pidana pembunuhan berencana, diatur dalam pasal 340 KUHP

Unsur-unsur Tindak Pidana Pembunuhan yaitu:

a) Unsur obyektif:

1) Perbuatan: menghilangkan jiwa;

2) Obyeknya: nyawa orang lain;

b) Unsur subyektif: dengan sengaja.

Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu;

1) Adanya wujud perbuatan;

2) Adanya suatu kematian (orang lain);

3) Adanya hubungan sebab dan akibat (casual verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain);

Antara unsur subyektif sengaja dengan wujud perbuatan menghilangkan terdapat syarat yang juga harus dibuktikan, ialah pelaksanaan perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) harus tidak lama setalah timbulnya kehendak (niat) untuk menghilangkan nyawa orang lain itu (Adam Chazwai, 2007: 57)

(33)

Ketentuan pidana di dalam Pasal 338 KUHP itu ternyata telah melarang orang “untuk menimbulkan suatu akibat”, yakni “hilangnya nyawa orang lain” akibat yang terlarang itu didalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut suatu “constituef gevolg” atau suatu “akibat konstitutif”. Sedang delik yang terjadi karna orang telah melanggar larangan untuk menimbulkan sesuatu akibat konstitutif disebut delik material atau materiel delict. (Lamintang, 1997:201)

Kejahatan terhadap nyawa orang lain yang telah direncanakan terlebih dahulu disebut sebagai tindak pidana pembunuhan berencana atau dalam bahasa Belanda disebut moord.

Pembunuhan berencana sejatinya merupakan unsur-unsur pada pasal 338 dan 339 KUHP dengan tambahan unsur dengan rencana terlebih dahulu. Pembunuhan berencana sejatinya diatur dalam pasal 340 KUHP. (R.soesilo, 1995: 241)

Unsur-unsur pembunuhan berencana berdasarkan Pasal 340 KUHP adalah :

1. Barangsiapa, adalah subyek dimana subyek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah Naturlijk person yaitu manusia

2. Sengaja, adalah pelaku memiliki kehendak dan keinsyafan untuk menimbulkan akibat tertentu yang telah diatur dalam perundangundangan yang didorong oleh pemenuhan nafsu (motif).

3. Dengan rencana lebih dahulu, artinya terdapat waktu jeda antara perencanaan dengan tindakan yang memungkinkan adanya perencanaan secara sistematis terlebih dahulu lalu baru diikuti dengan tindakannya. (Moeljatno, 2002: 62)

Menurut Ewis Meywan (Vol.5:199) mengatakan bahwa adanya bentuk-bentuk lain dari tindak pidana pembunuhan, bukan

(34)

terletak pada hakekatnya tetapi pada keadaan-keadaan tertentu baik cara melakukan perbuatan maupun pada objek perbuatan. Adanya unsur sengaja dikatakan : unsur sengaja meliputi tindakannya dan objeknya. Artinya ia mengetahui dan menghendaki matinya seseorang dengan tindakannya itu.

Mengenai unsur kesengajaan ini dikatakan dalam kepustakaan pada umumnya diakui ada tiga corak kesengajaan :

1) Kesengajaan sebagai dimaksud 2) Kesengajaan sebagai keharusan dan 3) Kesengajaan sebagai kemungkinan.

Dalam kesengajaan sebagai maksud perbuatan itu disengaja karena memang maksud untuk mencapai suatu tujuan. Corak kesengajaan sebagai keharusan ada apabila perbuatan yang dilakukan itu bukanlah yang dimaksud, tetapi untuk mencapai yang dimaksud itu harus melakukan perbuatan itu pula. Jalan yang dimaksud melalui perbuatan tersebut, dalam kesengejaan sebagai kemungkinan perbuatan pidana itu tidaklah terpaksa dilakukan. Tetapi hanya satu kemungkinan saja. Kalau orang melakukan perbuatan yang dimaksud dengan tidak takut akan kemungkinan dilakukannya pula suatu perbuatan pidana itu dilakukan dengan sengaja sebagai kemungkinan

(35)

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bawha Tindak Pidana Pembunuhan yang direncanakan adalah pembunuhan yang terlebih dahulu berpotensi terjadi karena adanya tenggang waktu yang tidak terlalu sedikit antara kehendak (niat) dengan pelaksanaan untuk menghilangkan nyawa orang lain. Tenggang waktu tersebut sekiranya menjadi peluang bagi si pelaku untuk berfikir mengenai berbagi kemungkinan dalam melaksanakan tindak pidana.

2.4 Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law), adalah sebagai berikut :

“Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”

Adapun unsur Perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum terdapat dalam berbagai bentuk, yaitu dalam UU No. 11 tahun 2012 bentuk-bentuk perlindungan tersebut terdapat berbagai unsur:

a. Unsur aturan yang terkait dengan prosedur penyelesaian perkara secara litigasi

b. Unsur penyelesaian perkara secara non litigasi c. Unsur aparat penegak hukum

(36)

d. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian perkara.

Melihat kecenderungan yang uada di media saat ini, baik media cetak maupun media elektronik, jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak (juvenile delinquency) semakin meningkat dan semakin beragam modusnya.Masalah delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan perlu segera diatasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Menurut Romli Atmasasmita dalam Wagiati Soetodjo (2006: 17), motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak adalah sebagai berikut :

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak- anak adalah:

a. Faktor Intelegentia;

b. Faktor Usia;

c. Faktor Kelamin;

d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga.

2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah:

a. Faktor rumah tangga;

b. Faktor pendidikan dan sekolah;

c. Faktor pergaulan anak;

Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan kenakalan dan kegiatan criminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan dengan hukum dan system peradilan.Anak yang melakukan tindak pidana ini bisa disebut pula dengan anak yang berhadapan degan hukum.

Satrio vol 2,2015 : pengaruh social kultural memainkan peranan yang sebar dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah laku criminal anak. Perilaku anak yang terlibat tindak criminal atau melakukan pelanggaran norma sosial dan hukum menunjukan tanda-tanda kurang atau tidak adanya konfromitas terhadap norma-norma social. Kenakalan kejahatan yang terkadang mereka anggap wajar, ternyata tak jarang menyebabkan anak tersebut melakukan tindak kejahatan yang melanggar hukum diusia anak. Sebagai anak yang melakukan tindak kejahatan

(37)

(berkonflik dengan hukum), seringkali hak-hak anak tersebut tidak terlindungi pada setiap fase pemeriksaan, mulai dari prosese pendidikan yang lazimnya orang dewasa, proses integrasi yang pengacara, psikilog, maupun pekerjaan sosiak dan tidak mendapatkan advokasi.

Terhadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum, menurut Arief Gosita ada beberapa hak anak yang harus diperjuangkan pelaksanaannya secara bersama-sama, yaitu:

1. Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah.

2. Hak untuk mendapat perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial, dari siapa saja (ancaman, penganiayaan, cara dan tempat penahanan misalnya).

3. Hak untuk mendapat pendamping, penasihat dalam rangka mempersiapkan diri berpartisipasi dalam persidangan yang akan dating dengan predeo.

4. Hak untuk mendapat fasilitas ikut serta memperlancar pemeriksaan terhadap dirinya (transport, penyuluhan dari yang berwajib).

Adapun yang dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum menurut Pasal 1 Butir 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, adalah sebagai berikut:

(38)

“Anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum umur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”

Sementara anak yang menjadi korban diatur diatur didalam Pasal 1 butir 4 Undang-undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi sebagai berikut:

“Anak yang menjadi korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.”

Demikian pula halnya dengan anak yang menjadi saksi, diatur dalam Pasal 1 Butir 5 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi sebagai berikut:

“Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan suatu perkara pidana yang didengar dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”

2.5 Anak Yang Konflik Dengan Hukum

Anak yang konflik dengan hukum adalah anak yang diduga melakukan tindak pidana. Sistem perdilan pidana anak adalah keseluruhan perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Terdapat sepuluh asas yang diterapkan dalam sistem

(39)

peradilan pidana anak berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 tahun 2012, yaitu :

a. Perlindungan

Yang dimaksud dengan ”pelindungan” meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis.

b. Keadilan

Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.

c. Nondiskriminasi

Yang dimaksud dengan ”nondiskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.

d. Kepentingan terbaik bagi anak.

Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak”

adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.

e. Penghargaan terhadap pendapat anak

Yang dimaksud dengan ”penghargaan terhadap pendapat Anak” adalah penghormatan atas hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan anak.

f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak

Yang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

g. Pembinaan dan pembimbingan Anak

Yang dimaksud dengan ”pembinaan” adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Yang dimaksud dengan ”pembimbingan” adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan,

(40)

profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

h. Proporsional

Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.

i. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir

Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir” adalah pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara.

j. Penghindaran pembalasan

Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.

Asas-asas yang ada tersebut secara jelas menunjukkan perlakuan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Asas pertama, misalnya, menekankan asas perlindungan terhadap anak. Perlindungan ini didasarkan pada keadaan pelaku yang masih anak-anak yang tidak bisa disamakan dengan orang dewasa.

Selanjutnya, huruf d menyebutkan agar proses hukum yang dilakukan mengacu kepada kepentingan terbaik bagi anak, untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, dan seterusnya. Berdasarkan asas- asas ini pula, maka diperlukan aturan dan tindakan khusus untuk menangani perkara anak.

Adapun uraian lainnya terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu :

Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak:

(41)

Pasal 3

a. Diperlakukan secara manusiawi dan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b. Dipisahkan dari orang dewasa;

c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d. Melakukan kegitan rekrasional;

e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h. Memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak dan dalam siding yang tertutup untuk umum;

i. Tidak dipublikasikan identitasnya;

j. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;

k. Memperoleh advokasi social;

l. Memperoleh kehidupan pribadi;

m. Memperoleh aksibilitas, terutama bagi anak cacat;

n. Memperoleh pendidikan;

o. Memperoleh pelayanan kesehatan; dan

p. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

 Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:

Pasal 4

a. Mendapat pengurungan masa pidana;

b. Memperoleh asimilasi;

c. Memperoleh cuti mengkujungi keluarga;

d. Memperoleh mebebasan bersyarat;

e. Memperoleh cuti menjelang bebas;

f. Memperoleh cuti bersyarat; dan

g. Memperoleh hak lain susuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Bahwa hak sebagaimana huruf a dengan sampai huruf g diatas diberikan kepada anak yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

(42)

Sistem perdilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadila restoratif yaitu penyelesain perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, koban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan yang meliputi;

Pasal 5

a. Penyidikan dan penuntutan pidana pidana Anak yang dilaksanakan susuai dengan ketentuan peraturan perundang- udangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;

b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum; dan

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan;

Anak yang berkonlik dengan hukum (AKH) seringkali terabaikan hak-haknya. Padahal, sebagai anak mereka tetap berhak atas layanan social, bimbingan dan pengasuhan, dan lain-lain kenyataannya, saat mereka berada dipenjara, Negara seakan-akan berhenti melayani mereka. Pengabaian hak AKH ini bahkan terjadi sejak proses awal penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian hingga saat pada saat mereka keluar penjara.

(43)

2.6 Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan 1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal harus dimuat didalam putusan.

Pertimbangan hakim Radio Decidendi adalah argument atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Dalam praktik sebelum pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konkluksi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti.

Menurut Lilik Mulyadi (2007: 193) mengemukakan bahwa :

“Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik, apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan delik yang didakwakan oleh penuntut umum putusan hakim”

Sedangkan menurut Rusli Muhammad dalam Lilik Mulyadi (2007: 212) mengemukakan bahwa pertimbangan hakim dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu:

(44)

“Pertimbangan yuridis dan pertimbangan non-yuridis.

Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan misalnya dakwaan jaksa penuntut umum keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti, dan pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana. Sedangkan pertimbangan non-yuridis dapat dilihat dari latar belakang akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, dan agama terdakwa.”

Fakta-fakta persidangan yang dihadirkan, berorientasi dari lokasi, waktu kejadian, dan modus operandi tentang bagaimana tindak pidana itu dilakukan. Selain itu, dapat pula diperhatikan bagaimana akibat langsung atau tidak langsung dari perbuatan terdakwa, barang bukti apa saja yang digunakan, serta apakah terdakwa dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak.

Apabila fakta-fakta dalam persidangan telah diuangkapkan, barulah hakim mempertimbangankan unsur-unsur delik yang didakwakan oleh penuntu umum. Pertimbangan yuridis dari delik yang didakwakan juga harus menguasai aspek terotik, padangan doktrin, yurisprudensi, dan posisi kasus yang ditangani, barulah kemudian secara limitative ditetapkan pendirinya. Setelah pencatuman unsur-unsur tersebut, dalam praktek putusan hakim, selanjutnya dipertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan terdakwa.

(45)

Hal-hal yang memberatkan misalnya terdakwa sudah pernah dipidana sebelumnya (Recidivis), karena jabatannya, dan menggunakan bendara kebangsaan. Dan hal-hal yang bersifat meringankan adalah terdakwa dewasa, dalam perihal percobaan dan pembantuan kejahatan.

2. Pertimbangan Sosiologis

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomoe 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa :

“Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan masyarakat.

Ketentuan ini dimaksudkan agar keputusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarkat. Jadi, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Oleh karna itu, ia harus terjun ke tenga- tenga masyarkat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyalami perasan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarkat.”

Jadi hakim merupakan perumusan dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat. Oleh karena itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyalami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

(46)

Menurut HB Sutopo (2002: 68) faktor-faktor yang harus dipertimbangankan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, sebagai berikut:

a. Mempertimbangkan sumber hukum tak tertulis dan nilai- nilai yang hidup dalam masyarakat.

b. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai yang hidup yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa.

c. Memperhatikan ada atau tidaknya pendamaian, kesalahan, dan peranan korban.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Selain harus memperhatikan sistem pembuktian yang dipakai di Indonesia, M. H. Tiraatmaja mengutarakan cara hakim dalam menentukan suatu hukuman kepada si terdakwa, yaitu

“Sebagai hakim ia harus berusaha untuk menetapkan hukaman, yang dirasakan oleh masyarakat dan oleh si terdakwa sebagai suatu hukuman yang setimpal dan adil.”

Untuk mencapai usaha ini maka hakim harus memperhatikan, yaitu :

a. Sifat pelanggaran pidana (apakah itu suatu pelanggaran pidana yang berat atau ringan)

b. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pidana itu.

c. Keadaan dan suasana waktu melakukan pelanggaran pidana itu (yang memberatkan dan meringankan)

(47)

d. Pribadi terdakwa apakah ia seorang penjahat yang telah berulang-ulang dihukum (recidivis) atau seorang penjahat untuk satu kali ini saja, atau apakah ia seorang yang masih muda ataupun seorang yang telah berusia tinggi.

e. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan perkara itu.

Kepentingan umum (hukum pidana diadakan untuk melindungi kepentingan umum, yang dalam keadaan-keadaan tertentu menuntut suatu penghukuman berat terhadap pelanggaran pidana, misalnya penyelundupan suatu penghukuman berat terhadap pelanggaran pidana, misalnya penyelundupan, membuat palsu pada waktu Negara dalam keadaan ekonomi yang buruk

(48)

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3 .1 Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Yang Dilakukan Oleh Anak

Berdasarkan hasil penelitian dan pengambilan data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Sungguminasa maka menghasilkan beberapa hasil yang ditunjukan dari tabel dibawah ini

Data Tindak Pidana Pembunuhan Yang dilakukan Oleh Anak Yang ditangani Oleh PN.Sgm

NO Tahun Jumlah Persentase

1 2015 1 25%

2 2016 1 25%

3 2017 1 25%

4 2018 1 25%

Jumlah 4 100%

Sumber: PN.Sgm

Adapun penjelasan penulis terkait tabel diatas dapat dilihat dari tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anak sejak tahun ketahun tidak mengalami peningkatan atau penurunan. Pada Tahun 2015 tercatat 1 (25%) kasus, pada tahun 2016 tercatat 1 (25%) kasus,

(49)

pada tahun 2017 1 (25%) kasus, kemudian pada tahun berikutnya yaitu 1 (25%) kasus pada tahun 2018.

Melihat hasil dari jumlah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak selama empat tahun terakhir pada tabel diatas maka secara keseluruhan tercatat4 kasus.

Kita dapat melihat dari tabel, tersebut kasus sejak empat tahun belakangan ini tidak meningkat ataupun menurun terhitung sejak tahun 2015 hingga 2018 kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak masih terus terjadi.

Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat jika pada tahun berikutnya kasus yang sama terjadi kembali. Kasus tersebut dapat berkurang apa bila keterlibatan dan kerja sama dari banyak pihak baik dari keluarga maupun masyarakat, terutama korban sebagai pemeran utama dan penegak hukum sebagai pemeran pembantu. Dalam hal ini menjalakan tugas dan fungsinya melindungi dan membantu masyarakat, terutama untuk menciptakan rasa aman.

1. Posisi Kasus

Perkara pembunuhan ini bermula dari adanya hubungan kerja antara Terdakwa (Akbar) dengan Mursalim (korban). Hubungan kerja sudah terjalin sejak awal bulan Januari 2017, yang sebelumnya korban

(50)

bekerja ditempat jual ayam milik Taharuddin Dg. Ngempo (saksi) selama kurang lebih 3 bulan, hingga pada akhirnya korban berpindah kerja ke tempat jual ayam potong milik Amhar (terdakwa). Selama korban bekerja ditempat terdakwa, korban masih sering datang ke tempat Dg.

Ngempo, makan, mandi.Serta masih sering membantu Dg. Ngempo.

Atas hal tersebut Amhar merasa Kesal terhadap korban dan mengantakan kepada Galang, Asdar, Yo, Ica, Adi dan Anak (Akbar) akan memberikan uang masing-masing sebesar Rp. 1.000.000, jika mau mengikuti kemauan dari Amhar untuk melakukan pembunuhan terhadap Mursalim (korban). Kemudian Anak (Akbar) dan kawan-kawannya menerima tawaran dari Amhar, disamping hal itu Anak (Akbar) juga memiliki masalah pribadi dengan Mursalim (korban) yaitu karena Anak pernah meminjam sepeda motor milik Mursalim dan pada saat Anak mengembalikan sepeda motor miliknya mursalim marah dan ingin memukul Anak. Kemudian beberapa hari sebelum kejadian Amhar mengadakan pertemuan sebanyak dua kali dengan Anak dan kawan- kawannya untuk membahas caranya membunuh korban dengan cara Asdar yang mencekik korban, Galang yang memegang kaki korban, Ica dan Adi memegang lutut korban dari arah belakang, sedangkan Anak (Akbar) dan Amhar tugasnya hanya berjaga-jaga mengawasi keadaan sekitar dan Yo menyiapkan mobil pick up merk Suzuki type APV untuk membawa mayat korban dan dibuang di sungai Jeneberang.

(51)

Pada hari Jumat tanggal 6 Januari 2017 pukul 00.30 WITA, Anak bersama kawan-kawannya telah berkumpul dan melihat korban di Basement pasar, maka dengan serentak Anak (Akbar) bersama kawan- kawannya menghabisi korban dengan cara dari arah belakang kemudian Asdar memeluk korban dengan kuat sehingga korban merontah lalu Ica memegang kedua kaki korban dari arah kanan sementara Adi memegang lutut korban tetapi korban masih merontah namun tidak mampu, lalu Asdar mencekik leher korban sejak korban masih berdiri sampai tubuh korban rebah yang akhirnya korban meninggal dunia saat itu juga. Setelah itu Yo memundurkan mobil pick up dan membawa korban ke jalan raya untuk dibawa/dibuang di sungai Jeneberang.

Berdasarkan Surat hasil Visum et Repertum RS. Bhayangkara Makassar No. 035/I/2017/Forensik tanggal 10 Januari 2017 yang ditandatangani oleh dr. Eko Yulianto, Sp.F, MH, M.Kes menyatakan tidak adanya tanda-tanda kekerasan pada tubuh jenazah, tidak ditemukan adanya tanda-tanda tenggelam, ditemukan adanya resapan darah pada serambi dan bilik kanan jantung, ditemukan adanya penyimpitan pembuluh darah jantung sebesar 75%, sebab kematian adalah penyempitan pembuluh darah jantung menyebabkan gangguan sirkulasi darah dari dan menuju ke jantung. Berdasarkan perbuatan Anak (Akbar) seperti yang tertera diatas, yang telah mengakibatkan

(52)

hilangnya nyawa seseorang dan telah diatur lebih awal oleh si terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana Pasal :

Primair : Pasal 340 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

Subsidair : Pasal 338 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

3.2 Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Yang Dilakukan Oleh Anak

Korban bernama mursalim pada saat itu korban berumur 21 Tahun, korban mempunyai karakteristik yang baik, pendiam, sabar, korban adalah anak ke empat dari lima bersaudara, pendidikan korban hanya sampai SMP (Sekolah Menengah Pertama), korban sebelumnya tinggal bersama ayah kandung dan ibu tiri korban akan tetapi semenjak korban mulai bekerja ditempat penjualan ayam potong milik Dg.

Ngempo yang tak lain adalah keluarga jauh dari korban itu sendiri, semenjak bekerja korban sudah tidak tinggal lagi dengan kedua orang tua korban tersebut, korban lebih memilih tinggal di tempat usaha milik Dg. Ngempo dikarenakan pekerjaan korban yang tak menentu waktunya dan juga jarak yang jauh dari rumah kedua orang tua korban, akan tetapi korban biasa pulang kerumah orang tuanya hanya satu atau dua hari saja.

Lebih lanjut penulis juga menanyakan peran korban dalam terjadinya tindak pidana pembunuhan tersebut kepada Dg. Ngempo bahwa ia mengetahui mursalim menjadi korban pembunuhan yakni dari

(53)

proses pengungkapan yang dilakukan oleh petugas polisi dan adanya rekonstruksi yang dilakukan di pasar oleh pihak kepolisan. Menurut Dg.

Ngempo peran korban dalam tindak pidana pembunuhan secara berencana yaitu dikarenakan kelalaian yang ditimbulkan secara tidak langsung, sikap korban yang membuat pelaku kesal dan jengkel tanpa disadari oleh korban dikarenakan ia masih sering ke tempat Dg.

Ngempo untuk membantu disana dimana korban seharusnya bekerja sepenuhnya di tempat Amhar tapi korban yang masih sering ke tempat Dg. Ngempo dan masih membantu di sana sehingga menimbulkan rasa kesal terhadap Mursalim (korban). Berdasarkan wawancara 12 Maret 2019 Pukul 11.14 WITA, Dg. Ngempo (38 Tahun)

Penulis juga melakukan wawancara dengan salah satu hakim Anggota PN.Sgm yang menangani kasus tersebut pada tanggal (21 Februari 2019 Pukul 09.50 WITA), menurut Henu Sistha Aditya, SH., MH. Bahwa untuk menghitung tingkat peranan korban, terdapat beberapa faktor yang harus diamati yaitu dengan cara melihat latar belakang korban meliputi keluarga serta lingkungan dari korban itu sendiri. Apabila keluarga tidak memperhatikan dan mengawasi dari hal- hal berbahaya maka akan semakin besar peluang seseorang akan menjadi korban kejahatan.

Jadi penulis menyimpulkan bahwa korban memang kurang mendapat pengawasan dari orang tua/keluarga, seperti yang diketeahui

(54)

dari keterangan saksi yaitu Dg. Ngempo yang dimana korban tidak tinggal bersama orang tua dan lingkungannya pun jauh dari keluarga terdekat.

Wawancara (25 Februari 2019 pukul 14.02) Menurut IPTU Lis Mulyadi, faktor penyebab terjadinya pembunuhan secara berencana adalah masalah kecemburuan sosial mengenai bisnis, dimana korban bekerja ditempat sipelaku akan tetapi masih sering datang dan membantu ditempat kerja korban yang sebelumnya. Akibat adanya unsur kelalaian sikorban karena tidak hati-hati terhadap apa yang dilakukan ternyata memicu terjadinya suatu kejahatan.

Lebih lanjut penulis melakukan wawancara kepada dua penyidik yang menangani kasus tersebut yaitu BRIPKA Hendra Wijaya (25 Februari 2019 pukul 14.20 WITA) dan BRIPKA Ardiansyah (12 Maret 2019 pukul 08.40 WITA) penulis menyimpulkan hasil wawancara dari kedua penyiik tersebut bahwa peranan korban terjadi karna adanya dorongan dari diri korban yang membuat pelaku kesal sehingga merencanakan pembunuhan terhadap korban, karena pelaku tidak tahan lagi melihat sikap korban yang masih suka datang ke tempat kerja sebelumnya selama pekerjaan berlangsung, pelaku juga sempat memberih tahukan kepada korban untuk tidak selalu datang membantu disana tetapi korban yang tidak mau mendengarkannya. BRIPKA Ardiansyah juga mengatakan bahwa pelaku juga tidak punya hak

(55)

sepenuhnya untuk melarang korban untuk sering datang kesana mengingat korban dan Dg. Ngempo mempunyai hubungan keluaraga jauh apa lagi korban memang tinggal ditempat jaulan milik Dg. Ngempo jika tidak pulang ke rumah orang tuanya.

3.3 Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Yang dilakukan Oleh Anak

Pertimbangan hukum secara non yuridis dapat dilihat dari pertimbangan sosiologis antaranya ;

1. Kondisi Korban. Mursalim berumur 21 Tahun, ia anak keempat dari lima bersaudara, Sebelum bekerja korban tinggal bersama ayah kandung dan ibu tirinya, korban mempunyai karaktersitik yang baik, pendiam, dan sabar.

Semenjak korban mulai bekerja di tempat penjualan ayam potong milik Dg. Ngempo, korban sudah jarang tinggal bersama orang tuanya, hanya saja korban satu atau dua hari pulang kerumah orang tuanya, korban lebih memilih tinggal di tempat usaha milik Dg. Ngempo dikarenakan pekerjaan yang tidak menentu waktunya, dan juga karena jarak yang jauh dari rumah orang tuanya ke tempat kerja korban sehingga korban tinggal di tempat penjualan ayam potong milik Dg. Ngempo dimana kondisi tempat kerja/tinggal korban secara fisik tidak mempunyai pagar sehingga kurang aman bagi diri korban.

(56)

awalnya korban hanya meminta ijin untuk istirahat sejenak dari pekerjaannya di tempat usaha milik Dg.Ngempo namun beberapa hari kemudian korban datang kepada Dg.Ngempo untuk memberitahukan bahwa korban akan pindah kerja ditempat usaha ayam potong milik amhar alasannya dikarekan korban dipanggil bekerja disana dan di berikan gaji yang lebih tinggi.

2. Keluarga Korban. Orangtua korban tinggal di Desa Towata Kec. Polongbangkeng Utara Kab. Takalar. Ayah dan ibu kandung korban telah lama bercerai, dan ayah kandung korban menikah lagi. Keluarga korban ialah keluarga yang sangat sederhana, ayah korban hanya seorang petani dan ibu tiri korban hanya sebagai ibu rumah tangga, sedangkan ibu kandung korban telah meninggal beberapa bulan setelah pembunuhan yang terjadi pada korban.

3. Pendidikan Korban. Pendidikan korban hanya sampai SMP dikarenakan status perekonomian keluarga korban yang kurang mampu dan kurang mendapatkan perhatian khusus dari orang tua sehingga menyebabkan korban tidak melanjutkan pendidikannya dan memilih untuk bekerja.

4. Budaya/adat masyarakat setempat, dimana sebagian besar lingkungan tempat tinggal korban masih menjunjung tinggi

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Mengatasi Kecanduan

Metode penelitian yang digunakan dalam pembuatan tugas akhir yang berjudulkan ”Perancangan Algoritma Packet Scheduling, Adaptive Modulation dan Coding pada High Speed

Salah satu diantaranya muncul yang dinamkan sistem, sistem adalah sekelompok unsure yang erat berhubungan dengan yang lainya, sehingga dengan adanya sistem dan

Moksleiviai iš aplinkos, pvz.: daug keliaudami, lankydami kultūros renginius, girdėdami daugiau kal - bų, gali „atsinešti“ kur kas daugiau išmoki - mų ir taip ne tik

Besar pengaruh antara proliferasi sel (AgNOR) terhadap volume tumor yang diberikan sebesar 0,204 atau 20,4%, sedangkan 79,6% lainnya dipengaruhi oleh faktor yang tidak diteliti

Pada jurnal ini hanya membahas sifat kekonvergenan, barisan Cauchy, dan ruang metrik lengkap pada ruang metrik bernilai kompleks serta eksistensi dan ketunggalan

Seseorang anak yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu, akan berusaha mempelajarinya dengan baik dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil yang baik. Dalam hal

Peristiwa erupsi yang menyisakan timbunan material vulkanik, peristiwa banjir lahar dingin, perubahan profil ekosistem lereng Gunung Merapi dan sekitarnya,