• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH ARSITEKTUR - Perpustakaan

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "SEJARAH ARSITEKTUR - Perpustakaan"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH ARSITEKTUR

Melalui Visual - Estetik Diorama

dan Litografi Nusantara

YUKE ARDHIATI

(2)

SEJARAH ARSITEKTUR

Melalui Visual-Estetik

Diorama dan Litografi Nusantara

YUKE ARDHIATI

PENERBIT UP2M FTUP JAKARTA

(3)
(4)

i Sejarah Arsitektur :

Melalui Visual-Estetik Diorama

dan Litografi Nusantara

Yuke Ardhiati

Hak Cipta Yuke Ardhiati

Cetakan 20, Mei 2020 Diterbitkan oleh UP2M FTUP

Jl. Raya Lenteng Agung Srengseng Sawah Jakarta 12640 Jakarta Selatan

Tel.021-7864730

email: [email protected]

Desain Sampul :

Menyunting lukisan Borobudur: Nature in Meditation (2000) karya Srihadi Soedarsono (lahir 1931)

M edium lukisan oil in canvas 90 x 100 cm (35.4 x 39.4 in)

Perpustakaan Nasional – Katalog Dalam Terbitan

Ardhiati, Yuke, Pengantar, Antariksa Sudikno. Jakarta- UP2M FTUP, 2020 Xvi + 148; 15,5 cm x 23 cm

ISBN : 978-602-53164-6-3

(5)

ii

Sejarah Arsitektur :

Melalui Visual-Estetik Diorama dan Litografi Nusantara

Y U K E A R D H I A T I

Penerbit: UP2M FTUP Universitas Pancasila

Jl. Raya Lenteng Agung Srengseng Sawah Jakarta Selatan

(6)

iii Cetakan Pertama, 2020

Hak cipta pada penulis. Dilarang menerbitkan ulang atau mengalihmediakan terbitan ini dalam bentuk apapun tanpa izin dari penulis. UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

(7)

iv ....Teruntuk Anak Bangsa,

yang mencintai karya Arsitektur sebagai ungkapan rasa bersyukur

dan cara untuk mencintai kecerdasan Ilahiah yang mewujud dalam sosok rupa lahiriah ...

dari sebuah ruang di tengah kesunyian untuk pengisi semesta harapan

Jakarta, era pandemic covid-19, 2020

(8)

v

Ungkapan terimakasih tak terkatakan, kepada seluruh pribadi mulia,

yang ikut menyemai kebajikan, hingga buku ini hadir tersedia,

semoga jejak pena ini menginspirasi Anak Bangsa

(9)

vi Kata Pengantar sekaligus Sambutan Dari Pakar Arsitektur

Dalam menyusun sebuah buku mengenai sejarah arsitektur masa lampau pada umumnya ternyata antara satu penulis dengan penulis lainnya tidak sama. Hal yang menarik adalah bagaimana kehebatan seorang penulis buku sejarah arsitektur dalam mengumpulkan dan menghimpun sumb-sumber yang ingin dijadikan bahan tulisannya. Perbedaan dalam mencari dan mengumpulkan informasi dan data inilah merupakan keahlian seorang penulis dalam mencari sumber utama, terutama sumber informasi dimasa lampau.

Sudah sewajarnya kalau penyusunan buku ini melewati sebuah proses pengerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketajaman dalam mengambil dan menyusun

berbagai macam data yang digunakan dalam penulisan.

P ro f. A n ta rik s a S u d ik n o

G u ru B e s a r A rs ite k tu r U n iv e rs ita s B ra w ija y a

(10)

vii Tentu saja tahapan-tahapan yang telah dilakukan penulis adalah merekam jejak-jejak masa lampau melalui

observasi, pengumpulan, dan penelusuran keberadaan arsip-arsip langka, yang masih tersimpan dengan baik.

Pendekatan litografi dan diorama telah yang dilakukan, menghasilkan temuan-temuan historis arsitektural yang tersusun dengan baik. Pustaka-pustaka inipun disusun berdasar pada sumber-sumber, seperti semi

historiografi, arsitektur tradisional Indonesia, pustaka daerah, arsitektur Nusantara, arsitektur modern Indonesia, dan sejarah arsitektur dan perkotaan pun digunakan. Hal inilah yang menjadi sebuah

kelengkapan dalam menyusun dan menulis sebuah buku sejarah arsitektur.

Penyajiannya ditulis dalam susunan gambar-gambar atau lukisan-lukisan arsitektur yang di dalamnya terdapat peristiwa-peristiwa historis pada masa itu.

Beberapa bagian diungkapkan dalam buku ini mengenai budaya arsitektur peradaban Eropa pada masa

pemerintah Hindia-Belanda turut mengisi dan memberi makna dalam perkembangan arsitektur di Indonesia.

(11)

viii Inilah bumi Nusantara tempat kita berpijak, tempat kita belajar tentang sejarah arsitektur masa lampau, yang menyenangkan dan membanggakan.

Membaca dan memahami sebuah diorama itu, seperti halnya kita sedang bertamasya dan diperkenalkan secara visual tentang sejarah arsitektur masa lampau dalam bentuk demensional. Sebuah diorama terwujud dan terbentuk melalui latar sejarah, arsitektur bahkan arkeologi yang sangat kuat sebagai dasar utama dalam mempelajari dan memahami diorama tersebut dengan baik. Diorama dibentuk dalam tatanan fisik arsitektural, dan biasanya diisi oleh para perilaku sejarah, dan bisa juga disebut para pahlawan barangkali, diisi dengan peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau dan diletakan di dalam ruangnya. Bahkan lukisan-lukisan pun dapat memperkuat catatan sejarah masa lampau yang menjadi bagian dalam mengisi diorama tersebut.

Mempelajari sejarah dan arsitektur Nusantara, bukan berarti kita kembali ke sejarah arsitektur masa lampau.

Hal ini penting untuk dipahami bagi para arsitek akademisi dan sejarahwan arsitektur. Bagaimana menafsirkan arsitektur Nusantara masa lampau?

(12)

ix Apa yang bisa kita ambil dari masa lampau dan tumbuhkembangkan untuk masa kini?

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dengan mempelajari arsitektur Nusantara? Sebenarnya hanya dengan gambar-gambar dan diorama yang tersajikan inipun, kita bisa belajar banyak mengenai sejarah, teknologi maupun material yang digunakan di masa lampau.

Demikian juga peristiwa sejarah kegiatan dari para pelakunya yang tertuang pada gambar atau lukisan diorama tersebut yang dapat menceriterakan sebuah aktifitas-aktifitas masa lampau dan juga menjelaskan sisi arsitektur bangunannya.

Hal ini dikarenakan arsitektur adalah sebagai tempat bernaung, yang menaungi aktifitas atau peristiwa bersejarah yang telah berlangsung dimasa lampau sampai setelah kemerdekaan dapat menjadi sebuah sumbangan catatan yang tertulis dalam buku sejarah arsitektur ini.

Buku ini menjadi sangat menarik karena mengajak kita untuk bisa memahami dalam melihat sejarah arsitektur melalui visual-estetik diorama dan litografi tentang Nusantara.

(13)

x

Objek arsitektur ini yang terdapat di wilayah Nusantara menjadikan tempat kajian yang dapat memunculkan tinggalan fisik arsitektural yang terbentuk karena geografis kulturalnya.

Pondok Blimbing Indah, Malang 18 Mei 2020

Antariksa Sudikno

(14)

xi Prakata oleh Penulis

Sebagai profesi yang berbasis kebudayaan, Arsitek Indonesia sepatutnya mensyukuri keragaman arsitektur yang tersebar di tanah air. Keragaman inilah yang terekam sebagai sejarah peradaban, yang tersimpan sebagai koleksi museum, dokumentasi, dijumlah lukisan, serta gambar litografi.

Tradisi merekam peristiwa melalui lukisan diwariskan oleh pemerintah kolonial. Tercatat beberapa di antaranya, Josias Cornelis Rappard (1824-1898), seorang tentara KNIL yang juga melukis keelokan nusantara. Dari lukisan-lukisannya mampu mengungkapkan ragam arsitektur vernacular nusantara. Ketrampilan dalam mereka mengguratkan pena, mampu merekam peristiwa kelampauan yang tidak mungkin lagi kita alami.

(15)

xii Melalui keindahan rendering yang dianggitnya, bahkan kita dapat menyingkap wujud asli puluhan tahun lampau dari sosok arsitektur yang menjadi objeknya.

Berangkat dari kekaguman atas karya-karya lukisan itu, saya terdorong untuk memuliakan karya seni lukis tersebut sebagai metode pengenalan sejarah arsitektur yang unik.

Sejumlah jejak keindahan dan peradaban nusantara yang langka itupun terhimpun. Sejumlah karya lukis anggitan Abraham Salm (1857-1915). Objeknya, terutama di daerah sekitar Jawa Timur. Sementara itu, pelukis Auguste van Pers (1815-1871) melukis objek di Batavia, serta tema batavia lainnya karya Andries Beeckman dan Charles Theodore Deeleman.

Beberapa karya, dua pelukis kakak beradik Adrianus Johannes Bik (1790-1872) dan Jannes Theodorus Bik (1796-1875) melukis sejumlah karya yang merekam kekunoan pada Borobudur, Artja Domas, Candi Mendut, Prambanan di bawah komando Profesor Caspar G C Reinward melalui ekspedisi ke beberapa pulau ke Jawa, Sumbawa, Adonara, Solor Timor, Ombai, Bandanaira, Kisar, Ambon dan pulau lainnya.

(16)

xiii Sementara itu koleksi pelukis Johannes Muller 1859, melukis reruntuhan candi Jabung di Probolinggo, petilasan Macan Putih di Banyuwangi, Kompleks Percandian Dataran Dieng, Candi wringin lawang, Candi Muteran melengkapi tema percandian. Di sisi lainnya, lukisan naturalis Antoine Payen (1792-1853) melengkapi objek-objek yang terlewat. Pelukis Belgia, M.E.H.R van den Kerkhoff (1830-1908), bekerja sebagai admistratur pabrik rokok Tanah Wangi, Malang. Dan juga karya lukis Franz Wilhelm Junghun (1809-1864), Paulus Lauters (1806-1875).

Lalu, bagaimana memulainya?

Sejumlah pustaka yang selama ini menjadi panduan belajar kelampauan arsitektur nusantara, ingin saya perkaya menjadi cara belajar sejarah arsitektur yang menyenangkan. Terobosan kecil ini barangkali bukan sesuatu kebaharuan. Hanyalah gerbang masuk dari arah pandang yang sedikit berbeda.

Meskipun kelak hasilnya belum sepenuhnya

menggembirakan, namun saya ingin menawarkan cara belajar sejarah arsitektur melalui alur cerita/ storyline sejarah dalam bingkai teori Hegelian.

(17)

xiv Yaitu tinggalan Presiden Soekarno yang luput dari

pembahasan sejarah kebangsaan yang diwujudkan

melalui diorama. Kini, 51 kotak diorama masih terpajang di empat sisi dinding hall Museum Sejarah Kebangsaan di Tugu Nasional. Tepatnya mengisi di ruang basemen/

bawah tanah. Komposisi diorama yang ditampilkan, memang bukan sepenuhnya merupakan gagasan Presiden Soekarno (1964) , karena di era Presiden Soeharto (1970) juga menambah serta menguranginya ketika meneruskan projek tersebut.

Beruntunglah saya menyimpan arsip kesejarahan yang berperan sebgai storyline diorama tersebut, berikut adegan-adegannya yang dinamai draibooken. Ketika buku tersebut diserahkan, sempat terjadi diskusi panjang dengan salah satu penganggitnya, seniman Edhi Sunarso (alm.). Karena memahami semangat yang ada di

dalamnya, maka saya memberanikan diri untuk mengawinkan seluruh adegan diorama, sebanyak 51 (lima puluh satu) kotak menjadi metode awal untuk mengenal sejarah arsitektur.

Adapun, sebagai pelengkapnya akan ditambahkan gambar digital dari sepilihan karya lukisan/ liografi era kolonial sebagaimana telah saya utarakan sebelumnya.

(18)

xv Dan, apabila terjadi ketiadaan sumber gambar

pendukung, maka akan diperkaya dengan foto dokumentasi, ataupun karya lukisan pelukis maestro Indonesia.

Saya berharap, kesiapterapan mahasiswa arsitektur/

arsitek/ maupun publik secara luas dalam memahami arsitektur di Indonesia dapat terjembatani oleh keelokan karya seni yang terhimpun.

Jakarta, Mei 2020

Yuke Ardhiati

(19)

xvi Pengantar Penerbit

Pustaka referensi ini kami terbitkan di hadapan publik sebagai upaya untuk memberikan apresiasi terhadap karya diorama di Museum Kebangsaan Indonesia di Tugu Nasional (Monas), dan karya-karya lukis para seniman era Kolonial dan era kekinian yang ternyata mampu menjadi karya inspiratif dalam mempelajari

arsitektur nusantara. Melalui cara masuk ke gerbang keilmuan arsitektur dengan

‘membaca’ karya seni rupa, akan menjadi sebuah metode yang menyenangkan di era digital ini.

Terbitnya pustaka ini diharapkan dapat melengkapi memori tentang arsitektur nusantara. Oleh karena itu, selayaknya

“memori” tentang masa kelampauan nusantara yang telah diolah sebagai pustaka rujukan ini akan dapat menggerakkan perhatian para arsitek, calon arsitek, perupa, calon perupa, serta generasi milineal untuk diserap spiritnya. Selamat membaca.

Jakarta, Mei 2020 Dede Lia Zariati Penerbit UP2M FTUP Universitas Pancasila

(20)

xvii Daftar Isi

Kata Pengantar sekaligus Sambutan Pakar vi

Prakata Penulis xi

Pengantar Penerbit xvi

Daftar Isi xvii

Daftar Gambar xviii

Bagian I Pendahuluan 1

Bagian II Tinjauan Pustaka Sejarah Arsitektur 7

Bagian III Memahami Diorama 18

Di Museum Sejarah Kebangsaan di Tugu Nasional Bagian IV Arsitektur Nusantara dalam Diorama dan Litografi

IV. 1. Membaca Diorama Sisi A dan B 25

IV. 2. Membaca Diorama Sisi C dan D 60

IV. 3 Membaca Diorama Sisi E dan F 91

IV. 4 Membaca Diorama Sisi G dan H 106

IV. 5. Membaca Diorama Sisi Tengah 131

Epilog 137

Daftar Pustaka 139

Biografi Penulis 143

(21)

xviii G a m b a r A d e g a n D io ra m a H a l Adegan no.1 Masyarakat Indonesia Purba (3.000 - 2.000 SM) 27

Adegan no.2 Bandar Sriwijaya (Abad ke-7 s/d ke-13) 29

Adegan no.3 Candi Borobudur (824) 34

Adegan no.4 Bendungan Waringin Sapta (Abad ke-11) 38 Adegan no.5 Candi Jawi Perpadan Sivaisme-Buddhisme (1292) 40

Adegan no.6 Sumpah Palapa (1331) 43

Adegan no.7 Armada Perang Majapahit (Abad ke-14) 47 Adegan no.8 Utusan Tiongkok ke Majapahit (1405) 49 Adegan no.9 Peranan Pesantren dalam Penyatuan Bangsa (Abad-14) 51 Adegan no.10 Pertempuran Pembentukan Jayakarta (22 Juni 1527) 53

Adegan no.11 Armada Dagang Bugis (Abad ke-15) 56

Adegan no.12 Perang Makassar 58

Adegan no.13 Perlawanan Pattimura (1817) 60

Adegan no.14 Perang Diponegoro (1825 – 1830) 63

Adegan no.15 Perang Imam Bonjol (1821 - 1837) 68

Adegan no.16 Perang Banjar (1859 – 1905) 70

Adegan no.17 Perang Aceh (1873 - 1904) 74

Adegan no.18 Perlawanan Sisingamangaraja (1877 - 1907) 78 Adegan no.19 Pertempuran Jagaraga (1848 - 1849) 80

Adegan no.20 Tanam Paksa (1830 - 1870) 82

Adegan no.21 Kegiatan Gereja Protestan dalam Penyatuan Bangsa 84

Adegan no.22 Kartini (1879 - 1904) 87

Adegan no.23 Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908) 88

Adegan no.24 Taman Siswa (3 Juli 1922) 90

Adegan no.25 Muhammadiyah (18 November 1912) 91

Adegan no.26 Perhimpunan Indonesia (1922) 92

Adegan no.27 STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) (1898-1926) 93

Adegan no.28 Digul (1927) 95

Adegan no.29 Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) 96

Adegan no.30 Romusha (1942 - 1945) 97

Adegan no.31 Pemberontakan Tentara PETA di Blitar (14 Februari 1945) 98

(22)

xix Adegan no.32 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) 99 Adegan no.33 Pengesahan Pancasila dan Undang-Undang 101

Dasar 1945 (18 Agustus 1945)

Adegan no.34 Hari Lahir ABRI (5 Oktober 1945) 103 Adegan no.35 Pertempuran Surabaya (10 November 1945) 104 Adegan no.36 Kegiatan Gereja Katolik Roma dalam 105

Proses Penyatuan Bangsa

Adegan no.37 Gerilya Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949) 106

Adegan no.38 Jenderal Sudirman (1948) 110

Adegan no.39 Pengakuan Kedaulatan (27 Desember 1949) 112 Adegan no.40 Kembali ke Negara Kesatuan (1950) 114 Adegan no.41 Indonesia Menjadi Anggota PBB (28 September 1950) 118 Adegan no.42 Konferensi Asia Afrika (18 - 24 April 1955) 120 Adegan no.43 Pemilihan Umum Pertama (1955) 122 Adegan no.44 Pembebasan Irian Jaya (1 Mei 1963) 123 Adegan no.45 Hari Kesaktian Pancasila (1 Oktober 1965) 125 Adegan no.46 Aksi-aksi Tri Tuntutan Rakyat (1966) 127 Adegan no.47 Surat Perintah Sebelas Maret (1966) 128 Adegan no.48 Penentuan Pendapat Rakyat Irian Jaya (1969) 130 Adegan no.49 Integrasi Timor Timur (1976) 131 Adegan no.50 Konferensi Tingkat Tinggi ke-10 Negara-negara 133

Non-blok (1992)

Adegan no.51 Alih Teknologi (1995) 134

(23)

xx

D a fta r G a m b a r h a l

Gbr.1. Situs Hunian di Gua Song Keplek 28

Gbr.2 Situs Warisan Kerajaan Sriwijaya di Muara Takus 30 Gbr.3 Situasi Awal Candi Muara Takus di Kab. Kampar Riau 30

Gbr.4 Arsitektur di Pinggir Sungai Musi di Palembang 30

Gbr. 5 Benteng Kraton Palembang 1881 31

Gbr. 6 Litografi Kraton Palembang di Kuto Gawang 32 Gbr.7 Arsitektur Kedaton Sultan Palembang 33 Gbr.8 Benteng Kuto Besak Karaton Palembang 1797 33 Gbr. 9 Candi Borobudur oleh JC Rappard tahun (1883-1889) 35 Gbr. 10 Borobudur Saat Ditemukan oleh Raffles 35 Gbr.11 Sketsa Karya Daoed Joesoef di Saat Rekonstrusi Borobudur 36 Gbr.12 Borobudur - Nature in Meditation Lukisan Srihadi Soedarsono 36

Gbr.13 Gerbang Candi Borobudur 1850 37

Gbr.14 Pemandangan Sungai Brantas Abraham Salam (1865-1872) 39 Gbr.15 Candi Jawi Warisan Kerajaan Singasari 41 Gbr.16 Kawasan Candi Jawi di Desa Pandaan 42 Gbr.17 Reruntuhan Candi Jinggo oleh D'Almeida 1864 44 Gbr.18 Detail Rumah Jawa Kuno pada Relief Candi Jinggo 44 Gbr.19 Petirtan Jalatunda di Trawas Karya Johannes Muller (1859) 45

Gbr.20 Candi Tikus di Malam Hari 46

Gbr.21 Rekonstruksi Rumah Jaman Majapahit 46 Gbr.22 Relief Kapal Jaman Majapahit di Candi Borobudur 48

Gbr.23 Tipe Kapal / Jong dari Jawa 48

Gbr.24 Rekonstruksi Denah Keraton Majapahit, Maclaine Pont (1924) 50 Gbr.25 Litografi Rumah Misionarsis di Mojowarno Jombang 52

Gbr.26 Pesantren Tebu Ireng di Jombang 52

Gbr.27 Benteng di Pelabuhan Batavia 1613-1810 54 Gb. 28 The New Gate of Batavia karya Nieuhof tahun 1682 54 Gbr.29 The Castle of Batavia Karya Andries Beeckman Circa 1661 55 Gbr.30 Batavia karya C Reiss W Wallis 1850 55 Gbr.31 Arsitektur Keluarga Bangsawan Bugis 57

Gbr.32 Arsitektur Rumah Bugis 1883 57

Gbr.33 Litografi Benteng Sumbo Opu dan armada Bugis 59 Gbr.34 Peta Fort Duurstede di Saparua oleh Isaac de Graaf (1695) 61

(24)

xxi Gbr.35 Litografi Fort Duurstede di Pulau Honimoa 61

Gbr. 36 Fort Duurstede Digambar oleh C.M.W Van der Velde 62 Gbr. 37 Fort Duurstede Digambar oleh Johannes Hogeboom (1693) 62

Gbr.38 Litografi Pangeran Diponegoro 64

Gbr. 39 Sketsa pertempuran pengikut Diponegoro dengan serdadu 64 Belanda di Selarong 1825

Gbr. 40 Litografi Pangeran Diponegoro berjubah putih dan berkuda 65 Gbr. 41 Litografi bukit Manoreh sebagai markas besar Diponegoro 65 Gbr. 42 Lukisan “The Submission of Prince Diponegoro to General 66

De Kock”karya Nicolaas Pieneman (1809-1860)

Gbr. 43 Lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya 67 Raden Saleh (1857).

Gbr. 44 Bukit Bonjol karya Tijschrift voor Nederlands Indie, 1839 69 Gbr. 45 Litografi Fort de Kock di Bukittinggi 69 Gbr. 46 Litografi Lanting Kotamara, Benteng Terapung dalam 71 Strategi Perang Kesultanan Banjar

Gbr. 47 Litografi Keraton Banjar di Martapura 1843 71 Gbr.48 Litografi Keraton Banjar 72

Gbr. 49 Litografi Muara Teweh 72

Gbr.50 Litografi Rumah Apung di Kutai Banjarmasin 73 Gbr. 51 Litografi Rumah Apung di Kutai Banjarmasin 73 Gbr.52 Litografi Makam Raja Dinda karya Carl Bock 1879-1880 73 Gbr. 53 Litografi Masjid di Kotaraja Aceh karya EB Kielstra (1882) 75 Gbr. 54 Litografi Peta Banda Aceh oleh Valentyn 1724-1726 76 Gbr.55 Foto Taman Bunga Teratai Kota Gunungan Aceh, G.B Hooijer 77 Gbr.56 Litografi Kampung Aceh karya J.C.C Rappard (1883-1889) 77 Gbr.57 Balai Istana Sisingamagaraja yang Dilestarikan di Huta Bakara 79 Gbr.58 Lukisan Puputan tahun 1849. Raja Buleleng Bunuh Diri 81

Bersama 400 Pengikutnya

Gbr.59 Litografi Suasana Kawasan Pabrik Gula Sebagai 83 Muara Tanam Paksa Tanamaan Tebu

Gbr.60 Lukisan Perkebunan Tebu 83

Gbr.61 Litografi Gereja Prostestan di Maluku 1800-1864 85 Gbr.62 Litografi Karya P Blommers, 1898 Gereja dan Sekolah 85

di Lalumpey Manado Sulawesi

(25)

xxii Gbr.63 Litografi Gereja Sion di Tomohon 85

Gbr.64 Litografi Gereja di Bogor sekitar1882-1889 86 Gbr. 65 Gereja Protestan Immanuel di Weltevreden/ di depan 86

Stasiun Gambir

Gbr.66 Kartini, Kardinah dan Rukmini sedang membatik 87 Gbr.67 Fotografi ex Gedung Rumah Sakit Militer sebagai 89

Sekolah Dokter Jawa

Gbr.68 Suasana belajar di Sekolah Dokter Jawa 89 Gbr.69 Gedung Sekolah Dokter Jawa (1851-1902) 94 Gbr.70 Rumah Proklamasi di Jl. Pegangsaan Timur Jakarta 100 Gbr.71 Karya Charles Theodore Deeleman, 1859 102 Gbr.72 Litografi rumah Dutch Royal Army 1792-1862 102 Gbr.73 Lukisan “Laskar Rakyat Mengatur Siasat”, Affandi, 1946 107 Gbr.74 Lukisan “Kawan-Kawan Revolusi “ karya S. Sudjojono 107 Gbr.75 Lukisan “Persiapan Gerilya” Karya Dullah 108 Gbr.76 Lukisan “Awan Berarak Djalan Bersimpang, Harijadi S, 1955 109 Gbr.77 Fotografi Pelantikan Jenderal Sudirman Pada 28 Juni 1947 111 Gbr.78 Fotografi Tandu Gerilya jenderal Sudirman 111 Gbr.79 Amsterdam Holland Netherlands Royal Palace karya H Moll 113

C.1730 Lokasi Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1947

Gbr.80 Litografi Istana Koningspein 1880 JC Rappard (Istana Merdeka) 115 Gbr. 81 Litografi Paleis Rijswijk Karya JC Rappard/ Istana Negara 115 Gbr. 82 Litografi ‘Bultenzorg’ atau ‘Sans Souci’ karya Van Imhoff 116

sekarang menjadi Istana Bogor

Gbr. 83 Litografi Istana Cipanas Lama 1880 karya JC Rappard 116 Gbr. 84 Litografi Loji Kebon/ Rumah Residen Yogyakarta 1883-1889 117

kini Gedung Agung Istana Kepresidenan di Yogyakarta

Gbr. 85 Fotografi Istana Kepresidenan Tampak Siring di Bali 117 Gbr. 86 Postcard Gedung Markas PBB di New York 119 Gbr. 87 Grafis Vector Gedung Concord/ Gedung Asia Afrika 120 Gbr. 88 Soekarno Dalam Konferensi Asia Afrika 1955 di Gedung 121

Merdeka Bandung

Gbr. 89 Fotografi gedung Gedung Societeit Concordia 121 Gbr. 90 Penyerahan Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh 124

Pemerintah Belanda

(26)

xxiii Gbr. 91 Presiden Soeharto Meresmikan Monumen Pancasila Sakti 126

di Lubang Buaya

Gbr. 92 Dokumentasi saat Presiden Soeharto Memberikan briefing 129 Terkait Adegan Diorama Nomor 47

Gbr. 93 Fotografi Rumah di Timor Timur 132

Gbr. 94 Gedung Kantor PT Dirgantara Indonesia 135

Gbr. 95 Hanggar Pesawat Tutuko N-250 136

(27)

1 Bagian I

Pendahuluan

Kesiapterapan dalam memahami sejarah arsitektur melalui visual-estetik adalah upaya menyerap intisari keindonesiaan melalui objek visual dengan arsitektur sebagai latar kesejarahannya. Melalui karya lukisan indah berlatar nusantara1, diperoleh pengalaman estetik yang melahirkan kecintaan dan kebanggaan pada arsitektur. Metode tersebut sebagai strategi untuk mengatasi sejumlah kendala pembelajaran sejarah arsitektur yang selama ini tersaji linier/ kronik, sekaligus sebagai cara belajar yang menyenangkan.

Sejumlah pakar sejarah [arsitektur] memulai merekam arsitektur dari beberapa sudut pandang. Sejumlah pustaka (terbatas) telah berhasil menghimpun 30-an seri arsitektur daerah2 oleh Kementrian Pendidikan Kebudayaan. Juga, kontribusi dari Kementrian Pekerjaan Umum3 hingga sejumlah pustaka yang terbit kemudian4. Namun, ada yang masih luput dari pembahasan yaitu jejak warisan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, berupa esensi arsitektur yang tersirat dalam diorama di Museum Sejarah Kebangsaan di Tugu Nasional.

1 Sejumlah karya lukisan era Kolonial berlatar nusantara terhimpun melalui jagad maya.

2 Sejumlah arsitektur tradisional diterbitkan secara terbatas oleh Kemdikbud RI era Presiden Soeharto

3Pustaka Kompendium Sejarah Arsitektur” dihimpun oleh Djauhari Sumintardja (ed).,1978). Kehadirannya sangat mencerahkan Arsitek. Sekitar 20 tahun kemudian, pustaka semi historigrafi diperkaya oleh kehadiran pustaka The Indonesian Heritage seri Architecture” (Tjahjono (ed.), 1998) dan Sejarah Kebudayaan Indonesia seri Arsitektur (Tjahjono (ed.), 2007) dan beberapa lainnya.

4 Paska tebitnya buku The Indonesian Heritage, sejumlah pustaka tentang arsitektur-pun terbit namun tidak menyajikan sejarah arsitektur Indonesia secara menyeluruh, akan tetapi berupa sepilihan arsitektur daerah, namun belum tersedia pustaka komperhensif per-wilayah Indonesia, sejak provinsi Indonesia masih berjumlah 27 hingga terjadinya daerah pemekaran menjadi 34 provinsi.

(28)

2 Ketika seluruh dunia menghimbau untuk menghormati demikian berharganya kehidupan melalui kebijakan pemerintah untuk berlakunya Work from Home (WFH)5 sejak 13 Maret 2020, kesempatan berselancar ke jagad maya mengamati sejumlah lukisan kuno, sebagai litografi tentang nusantara telah mengilhami penyusunan pustaka sebagai pengkayaan untuk memahami diorama yang saya

kemukakan sebelumnya. Celah inilah yang saya unggulkan sebagai gerbang memasuki ranah sejarah arsitektur.

Berdasar sejumlah arsip sejarah pembuatan diorama6, menunjukkan bahwa minat besar Presiden Soekarno pada sejarah berlatar arsitektural. Perhatian itu diawali dengan semacam riset mendalam untuk diwujudkan secara tiga dimensional sebagai minatur. Jejak itu kini masih dapat disaksikan pada serangkaian kotak diorama bernarasi keindonesiaan di Museum Sejarah Kebangsaan Indonesia7. Harus dikatakan bahwa, antara diorama yang tersaji dalam diorama di Museum Sejarah Kebangsaaan terdapat sejumlah perbedaan dengan konsep awal gagasan Soekarno. Dalam proses perwujudan diorama, konsepsi awal Soekarno telah mengalami perubahan ketika diteruskan oleh Presiden Soeharto. Artinya, diorama yang tersaji merupakan paduan dua penggagas negara. Bagaimanapun, diorama tersebut telah memerikan maknawi keindonesiaan. Narasi yang disandang oleh diorama tersebut merupakan pintu gerbang yang cukup efektif untuk mempelajari sejarah secara singkat, padat, dan maknawi.

5 Work from Home (WFH) secara nasional berlangsung sejak 13 Maret 2020 demi menekan laju peningkatan korban virus corana yang dinamai pandemic covid-19.

6 Terhimpun sejumlah arsip dan dokumentasi dari berbagai sumber sejak penulis melaksanakan studi doktor ilmu sejarah (2001-2004) hingga studi doktor ilmu arsitektur (2009-2013) di Universitas Indonesia

7 Museum Sejarah Kebangsaan berada di basemen Tugu Nasional dengan diorama sebagai media visual

(29)

3 Di dalam arsip kesejarahan tentang diorama yang dinamai draibooken 8, yang dibuat atas permintaan Presiden Soekarno (1964) dan Presiden Soeharto (1970) tersingkap sejumlah perubahan signifikan ketika diorama benar-benar terwujud sebagai pengisi museum di lantai bawah tanah di Tugu Nasional itu.

Kedua arsip draibooken tersebut berisi deskripsi, historigrafi dan penafsiran figur itu sekaligus sebagai storyline petunjuk adegan bagi seniman yang ditugasi.

Keseluruhan arsip draibooken (1964) dan (1970) 9 menggambarkan benang merah pengungkapan kejayaaan Bangsa. Sekaligus, sebagai media Soekarno maupun Soeharto untuk membanggakan Indonesia.

Dalam penyusunan draibooken, sejumlah mahasiswa jurusan sejarah Universitas Indonesia ditugasi untuk riset bersama-sama dengan seniman ahli gambar figuratif dan pematung. Menyimak kolaborasi multidisiplin yang dilakukan pada masa itu, maka dapat dikatakan terjadinya situasi terstruktur dalam proses penyusunan diorama sebagai metode merepresentasi keindonesiaan dari sudut pandang negarawan.

8Yuke Ardhiati, (2007). Makalah Seminar Penyempurnaan Diorama Monumen Nasional di Istana Bogor 22- 23 Maret 2007. Diuraikan arsip pembuatan diorama Draaiboeken Laporan Lengkap Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu Nasional yang diterbitkan oleh Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional tanggal 1 Agustus 1964 berupa 40 adegan sejarah lengkap dengan diskripsi dan historiografi seri A, B1,B2 dan C.

Kemudian pada tahun 1970 diterbitkan buku Usul Tambahan Adegan sebanyak 48 adegan seperti yang kini tersaji di Museum Sejarah saat ini, di luar 3 kotak diorama yang berada di tengah hall.

9 Saleh A Djamhari (alm), sebagai salah satu tim sejarawan penyusun draibooken menyampaikan bahwa arsip belum dapat dimunculkan pada masa itu karena merupakan sehimpunan mahasiswa jurusan Sejarah di Universitas Indonesia yang ditugasi.

(30)

4 Segagasan dengan Presiden Soekarno dalam upaya

mengenali Bangsa Indonesia yang mengusung diorama sebagai upaya kebanggaan Negara. Kecenderungan pengungkapan kejayaaan bangsa telah dilakukan oleh Negarawan sebelumnya10 terutama di masa klasik melalui litografi11, lukisan tangan yang indah yang merepresentasi tokoh dan peristiwa berlatar pemandangan alam sekaligus arsitektur.

Terinspirasi dari beliau, sayapun akan mengangkat karya- karya arsitektur melalui pembacaan draibooken tahun 1964 sekaligus bertahun 1970, kemudian mendeskripsikan hal-hal kearsitekturan secara lebih detil melalui hasil selancar di jagad maya tentang karya lukisan klasik berlatar

nusantara12.

Arsip kesejarahan yang ditampilkan beragam lukisan litografi berlatar arsitektur. Selain menumbuhkan rasa keindahan (rasa estetik), diharapkan mampu menggugah keinginan menggoreskan sketsa sebagai skill dasar arsitek yang beberapa dekade ini terlewatkan. Karena, Arsitek/

calon Arsitek lebih menyukai bantuan computer untuk penggambaran gambar teknis seusai memperoleh data secara lengkap berupa gambar denah, tampak, potongan, sebagai paras bangunan secara 3D13. Akan tetapi, hasil 3D computer tidak mampu menandingi keunggulan gambar litografi sebagai karya manual. Melalui momen estetik inilah, keasikan cara belajar sejarah arsitektur akan dialami.

10 Negara yang mengandalkan lukisan sebagai sumber antara lain di negara besar di Eropa

11 Litografi adalah karya seni berbasis medium batu limestone, sebagai teknik untuk melukis dokumentasi termasuk peta. Objek litografi dikenal sejak 1637 ketika bangsa Eropa mulai menduduki Batavia

12 Litografi suasana nusantara sebagai cara Kolonial untuk menggambarkan keunggulan nusantara

13 CAD sebagai cara penggambaran arsitektural sangat teknis serta presisi, namun kurang terasa estetik

(31)

5 Sejumlah arsip lukisan litografi berhasil terhimpun dari berbagai sumber, antara lain Tropenmuseum14, situs Djoko Luknanto, Jack la Motta, Luke Skywalker, situs Indonesia Zaman Doeloe, situs Kekunoan, Pinterest, WowShack,

@Potretlawas, serta yang beredar anonim di jagad maya.

Sekalipun cukup sulit untuk menyandingkan

kesinambungan antara diorama dengan lukisan litografi, namun upaya ini cukup menarik sebagai metode awal belajar sejarah arsitektur, karena adanya alur cerita/

storyline diorama. Setidaknya akan diperoleh asupan menyeluruh antara lain; (a) sejarah peristiwa terkait karya arsitektur sebagai latarnya, (b) suasana keaslian bumi nusantara, yang sulit ditemukan lagi pada saat ini,

Terkait poin (3) yaitu posisi geografis/ kedudukan karya arsitektur terkait bentuk arsitektural dan bahan bangunan, dan (4) menjadi entry poin untuk mempelajari hal-hal teknis arsitektur. Adapun pemahaman lanjutan; (i) Tata letak/

susunan unit-unit menurut fungsi dan hubungan antar unit, (ii) Denah/ tata-ruang terukur sebagai sistem pola tata-ruang dan fungsinya, (iii) Konstruksi/tektonika, (iv) Bentuk/ pola masing-masing unit serta gaya/ langgam struktur, konstruksi dan bahan bangunan, dekorasi / hiasan/ ornamen khas-nya.

Demi menyajikan cara pembelajaran sejarah arsitektur secara menyenangkan karena tampilan visual yang indah serta mengesankan. Pemahaman secara linier/ kronik akan menjadi bagian studi lanjutan. Dalam mensiasati kejenuhan metode ajar, beberapa upaya diterapkan melalui e-book, video/youtube tayangan.

14 Sejumlah litografi klasik disimpan di Museum Tropen yang kini dapat diakses di jagad maya

(32)

6 Termasuk tugas berupa scrapbook bertema Arsitektur Nusantara dan Arsitektur Era Kemerdekaan, dengan membuat sketsa, ringkasan, hingga maket model. Namun, masih dirasakan belum terasa greget-nya. Sehingga, upaya pencarian itu berlanjut pencarian metode belajar sejarah arsitektur dengan cara menyenangkan15. Untuk itu, pustaka ini disajikan sebagai langkah kecil kebaharuan metode belajar sejarah arsitektur. Kekurangan yang belum terjawab dalam pustaka ini dapat ditelelusur melalui pustaka sejarah arsitektur sebelumnya.

Sementara itu, untuk pembahasan Sejarah Arsitektur Dunia dilakukan melalui cara Napak Tilas Muhibah Presiden Soekarno ke mancanegara16, untuk memberikan gambaran kesejarahan [arsitektur] melalui cara pandang Negarawan.

Rupa-rupanya, hal ini pulalah yang mendorong Presiden ingin memiliki sebuah monumen khas Indonesia yang kelak disebut Tugu Nasional.

Tercatat beberapa Kota dan Negara tujuan muhibah Soekarno, antara lain; (a) Kota Rangoon dengan Pagoda Shwe Dagon, (b) Washington DC dengan Monumen Washington, (c) Kota Cairo dengan Piramid Gize, (d) Kota New Delhi-Tugu Asoka dan Kutub Minar, (e) Kota Mekah, bangunan kabah dan Hajarul Aswad, (f) Kota Tiongkok dengan Tien An Men, (g) Kota Moskow dengan mausoleum pemimpin Lenin, (h) Kota Paris dengan menara Eifel, dan beberapa kota lainnya.

15beberapa tahun terakhir ini, tugas mata kuliah sejarah arsitektur saya terapkan tugas membuat scrapbook arsitektur di Indonesia. Mahasiswa menyampaikan ekspresi pemahamannya melalui cara kekinian.

16Dalam pidatonya tahun 1960, Presiden Soekarno menyebutkan sejumlah negara yang beliau kunjungi

(33)

7

II.Tinjauan Pustaka Sejarah Arsitektur

Idealnya, Pengungkapan sejarah dalam bidang arsitektur, selain mampu mengekspresikan kesejamanan ketika sosok- nya ‘hadir’ secara fisik di muka bumi, juga terlekat zeitgeist/ jiwa jaman-nya. Dan, hal yang tidak boleh terlupakan adalah keberadaan arsip kesejarahan yang menyertakan penyebutan kapan, dimana, serta bagaimana sosok itu dibangun. Tepatnya, ada bukti tertulis berupa manuskrip atau prasasti.

Beberapa pustaka bertema sejarah arsitektur tidak semuanya merujuk metode di atas, terutama yang difokuskan pada arsitektur tradisional/vernakular, yang bahan utamanya dari material alam. Ketiadaan bukti tertulis inilah yang seringkali menjadi perdebatan antara sejarawan dan penulis sejarah arsitektur. Cara pandang sejarawan murni, mengandalkan akurasi/ otentisitas kesejarahan17, sementara itu pembahasan sejarah arsitektur bertujuan mendokumentasikan keilmuan arsitektur dari waktu ke waktu yang tidak dapat diperoleh dari sumber sejarah.

Sekitar 42 tahun lalu, terbit pustaka sejarah Kompendium Sejarah Arsitektur (Sumintardja,1978). Baru sekitar 20 tahun kemudian, keberadaannya diperkaya oleh kehadiran pustaka The Indonesian Heritage seri Architecture, (Tjahjono, 1998) dan Sejarah Kebudayaan Indonesia seri Arsitektur (Tjahjono, 2007).

17 peran otensitas sejarah berdasar disiplin ilmu sejarah

(34)

8 Lalu, sejumlah pustaka lepas ikut memperkaya, namun tidak menyajikan sejarah arsitektur Indonesia secara menyeluruh.

Kelangkaan pustaka seri sejarah arsitektur Indonesia ini menandakan adanya stagnansi terutama penulisan arsitektur tradisional yang secara komperhensif belum benar-benar tersedia. Bahkan sejak provinsi Indonesia masih berjumlah 27, hingga terjadinya daerah pemekaran menjadi 34 provinsi.

Dalam menyoroti, pustaka-pustaka yang telah terbit sebelumnya, kategorikan oleh Ardhiati menjadi enam kategori, yaitu; (a) Semi historiografi, (b) Arsitektur Tradisional Indonesia, (c) Arsitektur Percandian, (d) Arsitektur Indonesia Era Kolonial, (e) Arsitektur Modern Indonesia, (f) Arsitektur Kawasan dan Perkotaan.

Kategori Semi Historiografi ini direpresentasi oleh 3 (tiga) pustaka yang merintis ke arah historiografi namun pembahasannya berdasar prioritas yaitu;

(i) Sumintardja, Djauhari.(1978). Kompendium Sejarah Arsitektur. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung.

(ii) Tjahjono, Gunawan (ed). (1998). Indonesian Heritage Seri Architecture.

(iii) Tjahjono Gunawan (ed). (2007). Sejarah Kebudayaan Indonesia Seri Arsitektur.

Pustaka serial Arsitektur Tradisional Indonesia, terhimpun sekitar 39 (tiga puluh sembilan) buku. Secara kuantita buku himpunan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan era 1980-an cukup memadai, meskipun substansinya belum dapat mewakili perkembangan dari ke-27 provinsi menjadi 34 provinsi.

(35)

9 Hal yang disayangkan dalam serial ini ada pada subtansi ke-arsitektur-an yang masih jauh dari harapan, terutama ketiadaan gambar denah denah, tampak, potongan serta tata letaknya di dalam sebuah entitas, ataupun tata-ruang secara terukur/skalatis masing-masing unit serta penamaan strukturnya secara lokal. Informasi arsitektural baru tersaji sebagai pelengkap saja.

Serial Pustaka Arsitektur Daerah yang diinsisasi oleh Kemdikbud antara lain;

(i) Abu, Rifai (ed). 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(ii) Abu, Rifai (ed). 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Jambi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(iii) Abu, Rifai (ed). 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (iv) Darwis, Raf & Abu, Rifai (ed.). 1986. Arsitektur

Tradisional Kalimantan Tengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(v) Darwis, Raf & Abu, Rifai (ed.). 1986. Arsitektur Tradisional Kalimantan Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(vi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982.

Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Tengah.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(vii) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Bali.

1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(viii) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993.

Tamansari. Depdikbud.

(36)

10 (ix) Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya. 2002. Arsitektur Tradisional: Betawi- Sumbawa-Palembang-Minahasa-Dani.

(x) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provnsi Kepulauan Bangka Belitung. 2013. Rumah Adat Melayu di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

(xi) Samingoen, Sampoerno (ed). 1993. Album Arsitektur Tradisional Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(xii) Soimun & Pannangan, Margariche (ed.) 1993.

Arsitektur Tradisional Tana Toraja. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(xiii) Suhardi dan Djoko M.R. 1999. Provinsi Bali dan Budayanya. Depdikbud

(xiv) Mardanas, Izarwisma & Abu Rifai (ed.). 1986.

Arsitektur Tradisional Sulawesi Tenggara.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(xv) Muanas, Dasum & Abu, Rifai (ed). 1998. Arsitektur Tradisional Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(xvi) Pudja, Arinton & Abu, Rifai. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Irian Jaya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

(xvii) Sedyawati, Edi (ed). 1995. Konsep Tata Ruang Suku Bangsa Dayak Kenyah di Kalimantan Timur.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

(xviii) Sitanggang, Hilderia & Abu, Rifai. 1997. Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

(xix) Subagijo, Wisnu & Lindyastuti. 1999. Mengenal Permukiman Masyarakat Batak Karo di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(37)

11 (xx) Sutjiatiningsih, Sri. (ed.). Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(xxi) Syamsidar. 1991. Arsitektur Tradisional Sumatera Barat. Depdikbud .

(xxii) Syamsidar; Dakung, Sugiarto; Abu, Rifai (ed.). 1986.

Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Tengah.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(xxiii) Syafwandi. 1993. Arsitektur Tradisional Sumatera Barat. Depdikbud.

(xxiv) Wibowo; Murniatno, Gatut; Sukirman. 1998.

Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Selain seri yang diterbitkan diatas, Kemdikbud juga berupaya menghimpun pustaka yang dinamai ATLAS, namun penerbitannya seperti terhenti setelah satu buku bertajuk Atlas Arsitektur Tradisional Seri Indonesia Timur yang ditulis oleh Yuke Ardhiati, Bambang Eryudhawan, dan Agus Widiatmoko di tahun 2014.

Pustaka Bertema Arsitektur Nusantara bermunculan antara lain;

(i) Adiyanto, Johanes (ed). 2004. Naskah Jawa Arsitektur Jawa, Wastu Lanas Grafika.

(ii) Adiyanto, Johanes (ed). 2004. Dari Lamin dan Bilik Pengakuan Dosa. Wastu Lanas Grafika.

(iii) Davison, Julian & Granquist, Bruce.1999. Balinese Architecture, Periplus.

(iv) Dwijendra, Ngakan. 2010. Arsitektur Tradisional Bali di Ranah Publik, Udayana Press.

(38)

12 (v) IAI Kepri. Rekam Jejak Arsitektur Melayu: Johor, Penyengat, Daik, Dabo Singkep, Sambas, Mempawah, Serdang Bedagai, Batam.

(vi) Jurusan Arsitektur FTUI. 2009. Studi Ekskursi:

Sumba, Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

(vii) Joseph, Lambert. 1998. Arsitektur Tradisional, Maluku Tengah.

(viii) Faturrachman, Agus. 1989. Konsepsi Arsitektur Lumbung Sasak

(ix) Harun, Ismet; Kartakusumah, Hisma; Ruchiat, Rachmat; Soediarso, Umar. DKI Jakarta. 1991. Rumah Tradisional Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

(x) Prijotomo, Josep & Widyarta, Nanda. 2009. Ruang di Arsitektur Jawa. Sebuah Wacana.Wastu Lanas Grafika, Surabaya.

(xi) Salura, Purnama. 2007. Menelusuri Arsitektur Masyarakat Sunda. Cipta Sastra Salura

(xii) Saraswati, Titien. 2013. Bangunan Pengering Tembakau di Jawa, Lanas Wastu Grafika

(xiii) Tjahjono, Gunawan 1983. Disertation. Cosmos, Center and Duality in Javanesse Architectural Tradition: The Symbolic Dimensions of House Shapes in Kuto Gede and Sorroundings. University of California at Berkeley.

(xiv) Kosasih, Varani. 2009. Kampung Nage. Sebuah Sketsa Arsitektural. Arsitektur Hijau..

(xv) Antar, Yori (ed.). (2013). Pesan dari Wairebo:

Kelahiran Kembali Arsitektur Nusantara. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(xvi) Ardhiati, Yuke. (2017). Studio Living pada Rumah Kaki Seribu di Papua Barat, Wastu Adiciita, Jakarta

(39)

13 Terhimpun sekitar 7 (tujuh) buku, namun substansinya belum mencerminkan kekayaan candi di seluruh Indonesia karena yang disajikan berkisar pada candi-candi terkemuka di Jawa. Subtansi kearsitekturan belum informatif terutama ketiadaan gambar denah, tampak, potongan serta tata letaknya di dalam entitasnya.

Pustaka Arsitektur Modern

Ketika sejumlah pustaka terhimpun, rupanya sudah muncul pula penulisan tentang Arsitektur Modern Indonesia sejak tahun 1989, tercatat 5 (enam) buku, namun pustaka arsitektur modern ini lebih berorientasi pemikiran dan ketokohan seseorang dalam perkembangan arsitektur di Indonesia di awal kemerdekaan, antara lain;

(i) Salam, Solichin. 1989. Tugu Nasional dan Soedarsono. Kuning Mas, Jakarta.

(ii) Budihardjo, Eko. 1997. Arsitektur sebagai Warisan Budaya. Penerbit Djambatan, Jakarta.

(iii) Ardhiati, Yuke. 2004. Bung Karno Sang Arsitek.

Komunitas Bambu, Depok.

(iv) Ardhiati,Yuke. 2013. Bung Karno dalam Panggung Indonesia. Wastu Adicitta, Jakarta

(v) Sopandi, Setiadi. 2017. Friedrich Silaban. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(40)

14 Sejarah Arsitektur Kawasan Dan Perkotaan

Terhimpun yang kontennya cukup membantu memahami kawasan dan perkotaan, al:

(i) Dana, Djefry. 1990. Ciri Perancangan Kota Bandung.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(ii) Danasasmita, Saleh. 1983. Sejarah Bogor Bagian satu. Guna Kawi Gapura Jagat.

(iii) Departemen PU. 2006. Sekilas Kawasan Wisata Pengging: Wisata Spiritual, Lumbung Padi &

Konservasi Air. Pemda Boyolali.

(iv) Antariksa, Arsitektur dalam Dinamika Ruang, Bentuk dan Budaya. 2018.Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta

Berdasar pustaka yang berhasil terhimpun, belum seluruhnya mampu menjawab kebutuhan historiografi sejarah arsitektur Indonesia. Idealnya ke-enam kategori pustaka itu saling beririsan, serta mendukung pemahaman Arsitek/ calon Arsitek.

Dalam buku Kompendium Sejarah Arsitektur, 1978 menampilkan sejarah arsitektur Indonesia melalui lima pembahasan antara lain ; (a) Rumah-Rumah Tradisional, (b) Arsitektur dari masa Kebudayaan Hindu, (c) Arsitektur dari Masa Kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, (d) Arsitektur dari masa Penjajahan Barat, (e) Perkembangan Arsitektur di masa 4 Windu Merdeka. Informasi yang disampaikan oleh buku ini dikemas padat dengan beberapa gambar-gambar arsitektural deserta foto dokumentasi dalam bentuk hitam- putih sebagai percontohan dari beberapa lokasi namun melalui pustaka ini dapat membuka khasanah kearsiteturan di Indonesia.

(41)

15 The Indonesian Heritage seri Architecture, 1999 ditampilkan dalam pustaka bergambar dua edisi Inggris dan Indonesia. Buku ini menampilkan wajah arsitektur Indonesia sebagai buah pertemuan antara bangsa Austronesia-Indonesia disajikan dalam 5 bagian utama yaitu: (a) Traditional Architecture, (b) Indonesian Classical Heritage, (c) Cities, Mosques and Palaces, (d) Architecture of the 17th to 19th dan, (e) Modern Architecture and Identity.

Dalam Traditional Architecture, dibahas keragaman arsitektur tradisional yang menampilkan konstruksi pondasi, konstruksi atap, teknik konstruksi serta ritus pendirian rumah-rumah tradisional direpresentasikan melalui rumah Tongkonan di Toraja, Rumah Batak, Rumah Gadang, Rumah Panjang di Mentawai, Rumah dan Budaya Megalitik di Nias, Rumah Panjang di Kalimantan, Rumah Jawa, Rumah Bali, Uma Mbatangu di Sumba, Rumah Timor, dan Rumah Dani di Papua.

Pembahasan Indonesian Classial Heritage, diuraikan pengertian arsitektur sebagai; (a) Tempat Tinggal Dewa:

Arsitektur dan Kosmologi, (b) Sumber Awal Arsitektur Megalitik Indonesia, (c) Metode Membangun Gedung dengan Batu, (d) Perspektif Arsitektur Candi di Jawa.

Dilanjutkan pada (e) Ornamen Candi Klasik di Jawa, (f) Arsitektur Hindu Arsitektur di Jawa Tengah, (g) Candi Borobudur, (h) Arsitektur Budha di Jawa Tengah.

Dilanjutkan, (i) Arsitektur Candi Batu di Jawa Timur, (j) Arsitektur Candi Batu Bata di Majapahit, (k) Arsitektur dalam prasasati di Jawa Kuno, (l) Teras Candi, (m) Artificial pada Gua dan Candi, (n) Konservasi dan Rekonstruksi.

(42)

16 Dalam bagian Cities, Mosques and Palaces diuraikan; (a) Kejadian dari Tradisi Urban, (b) Arsitektur Masa Islam Awal, (c) Awal Tempat Ibadah Muslim, (d) Keraton dan Kota, (e) Masjid sebagai Ruang Sakral, (f) Masjid di Wilayah Indonesia, Tradisi dan Eklektisisme, (g) Taman sebagai Surga di Bumi, (h) Nisan Muslim dan Pemakaman (i) Kota-Kota di Pesisir. Pada pembahasan Architecture of the 17th to 19th Centuries diuraikan, (a) Pembentukan Kota Abad ke-19 di Jawa, (b) Batavia sebagai Kota Ideal, (c) Bangunan Negara di Abad ke-18, (d) Town-Houses Belanda sebuah perjumpaan dengan Cina. Dilanjutkan (e) Pengenalan Jenis Gedung Baru.

Dalam pembahasan Modern Architecture and dibahas (a) Kehadiran Gaya Indies, (b) Karya Arsitek Belanda di Hindia Belanda, (c) Taman Kota dan Bungalows, (d) Gaya Arsitektur Modern dan International Style, (e) Karya Arsitektur di Awal Kemerdekaan, (f) Karya Arsitektur Kota Modern di Indonesia, (g) Regionalisme dan Identitas dalam Arsitektur Kontemporer, (h) Menuju Kedewasaan Arsitektur Indonesia.

Di dalam pustaka Sejarah Kebudayaan Indonesia – Seri Arsitektur (Kemdikdub, 2007) terbit untuk melengkapi kekosongan sebelumnya dengan enam bagian pembahasan;

(1) Pengantar Sejarah Arsitektur, (2) Bermukim di Nusantara: Arsitektur Kehidupan Sehari-Hari, (3) Perjumpaan dengan Budaya India dan Cina, (4) Perjumpaan dengan Budaya Islam, (5) Perjumpaan dengan Budaya Eropa, (6) Membangun Watak Bangsa.

(43)

17 Sejarah Arsitektur digambarkan mulai cara bermukim di Nusantara dengan pengenalan “Budaya” Austronesia era prasejarah; (a) Permulaan Bermukim: Penadah Angin, (b) Menghuni di Pohon, (c) Budaya megalit dan kosmologi.

Mengulik klasifikasi dan kosmologi, makna rumah dan cara membangun hingga perkembangannya.

Berikutnya membahas perjumpaan dengan budaya India dan Cina, terkait komunikasi budaya dengan India, dan arsitektur diaspora Cina serta hibriditas penghunian.

Selanjutnya perjumpaan dengan budaya Islam, dibahas tipologi bangunan ibadah, makam dan kota.

Pada pembahasan perjumpaan dengan budaya Eropa dibahas keberadaan benteng-benteng, rumah, istana, landhuis serta bangunan peribadatan: Gereja. Pembahasan tentang Perkotaan (Urbanisme) dan Gemente/ Stadsemente membahas Rencana Pengembangan Kota (Uitbreidingsplan), Balaikota dan Gedung-Gedung Institusi serta Fasilitas-Fasilitas Kota dan Pertamanan, Perumahan Volkshuisvesting, Kleinwoningbouw, Perbaikan Kampung (Kampong Verbeetering) dan Infrastruktur dan Industri. Di akhir pembahasan, tema Membangun Watak Bangsa diprakarsai oleh Ir. Soekarno antara lain pembangunan monumen dan tata kota serta pengembangan kawasan institusi dan kota satelit di Jakarta.

Bila disandingkan, pustaka yang disajikan ini sedikit berbeda dalam menampilkan alur, yaitu berselas dengan storyline diorama Museum Sejarah Kebangsaan.

Kehadirannya sekaligus menjadi terobosan kecil untuk belajar sejarah arsitektur secara menyenangkan.

(44)

18

III. Memahami Diorama

Di Museum Sejarah Kebangsaan

Konsepsi Hegelian

Ke 48 kotak diorama18 di Museum Sejarah Kebangsaan yang ditampilkan periodikal di empat sisi dinding museum menurut Leirissa, masing–masing terpilih oleh Presiden Soekarno untuk merepresentasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia19. Metode yang dilakukan oleh Soekarno tersebut dinilai merujuki semangat filosofis Hegelian20 yang memaknai perjalanan bangsa sejak masa purba menuju ke satu tujuan akhir tertentu yaitu terbentuknya NKRI.

Keselarasan konsep Hegelian atas warisan Presiden Soekarno ditegaskan oleh pernyataannya terkait dasar pembangunan Tugu Nasional dan seluruh isinya termasuk diorama, yaitu “untuk memberi kepada bangsa Indonesia secara visual material (visueel materieel) satu tanda kebesaran, tanda kebesaran kita sebagai bangsa, tanda kebesaran kita sebagai negara” 21.

Agar siapapun yang berkunjung baik orang Indonesia maupun asing setelah keluar akan berkata “Yes, the Indonesian people are great people. Yes, the Indonesian people are becoming a great people again”.

18 Diorama menurut kamus bahasa Indonesia Kontemporer (Salim, hlm 357): pemandangan dalam ukuran kecil yang dibuat seperti aslinya, dilengkapi patung-patung, dan dipadukan dengan warna-warna alami.

19Prof. RZ Leirissa (2007) memimpin 5 (lima) Sejarawan dalam Evaluasi Sisi Sejarah Diorama Monas, yaitu Prof.Dr. Suzanto Zuhdi, Dr. Saleh A Djamhari, Dra.MPM Lili Manus, dan Dr. Ir Yuke Ardhiati, M.T

20 Hasil Evaluasi Diorama Museum Sejarah Nasional di Jakarta, 22 Februari 2007

21 Soekarno, Pidato Pelantikan Panitia Sejarah, Jakarta, 3 Januari 1964

(45)

19 Sekalipun akhirnya terdapat tiga kotak merupakan diorama bertema KTT Non Blok, Tetuko dan Masuknya Timor Timur yang ditambahkan di era Presiden Soeharto, namun maknawi diorama tidak berubah. Diorama tersebut memiliki peranan sebagai media visual tiga dimensional untuk mengantar pemirsanya ke nuansa kesejarahan perjuangan pada masa lalu. Sajiannya mudah dicerna namun berkesan mendalam.

Proses Pembuatan Diorama

Selaras dengan pidato Presiden Soekarno terungkap gagasan

’diorama’ di Museum Sejarah, ditindaklanjuti dengan Pembentukan Panitia yang bekerja satu tahun sejak 7 September 1963. Paralel dengan pembentukan panitia tersebut, Presiden juga menugaskan beberapa seniman Indonesia (tidak termasuk pematung Edhie Soenarso) untuk studi banding ke luar negeri guna mempelajari pembuatan diorama. Sekembali ke tanah air, Presiden meminta tiga buah sampel diorama yang memiliki skenario (1) Sumpah Pemuda, (2) Kerawang Bekasi dan (3) Pemberontakan 1926.

Bung Karno merasa kecewa atas hasil sampel tersebut, karena dinilai kurang mampu menggambarkan adegan sejarah seperti yang dimaksudkannya22. Eksperimen adegan gagal dikarenakan keterbatasan materi diorama, yang seharusnya dibuat secara handmade sesuai karakter manusia Indonesia, namun ditampilkan melalui model boneka buatan Jepang. Bung Karno akhirnya menemui seniman yang dianggap tepat untuk menuangkan gagasan diorama tersebut.

22 Pelaksana Pembina Tugu Nasional, Tugu Nasional.Laporan Pembangunan 1961-1978, Jakarta, 1997, Cetakan kedua, hlm. 43

(46)

20 Dipanggilah seorang seniman pematung bernama Edhie Soenarso23. Petikan dialog antara keduanya:

”Edhie, Kau bisa buat diorama?” tanya Bung Karno.”Bung, bukankah saya tidak diajak studi banding melihat banding melihat diorama ke luar negeri? jawab Edhie, karena ia tidak termasuk yang ditugaskan.”Kowe punya Nasionalisme Bernegara atau tidak?

”Ya, saya akan coba, Bung, Jawab Edhie “Tidak ada coba-coba!

Tantang Bung Karno.

Dialog terakhir itulah pembuka ‘babakan baru’ dunia kesenirupaan Indonesia, termasuk merekam dunia kearsitekturannya sebagai latar peristiwa bersejarah.

Bersama seniman Saptoto, Boediani, dan Sutrisno, Edhie Soenarso mengawali pembuatan sampel diorama dengan pembuatan patung-patung mini yang menggambarkan 3 (tiga) buah adegan (terpasang pada kotak diorama sebelah Timur). Ide tersebut dapat diterima oleh kelompok Sejarawan yang terlibat24.

Kemudian tim seniman diberi draaiboeken Laporan Lengkap, Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu Nasional yang diterbitkan Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional tanggal 1 Agustus 196425, berupa 40 adegan sejarah lengkap dengan diskripsi dan historiografi seri A, B1, B2 dan C.

Bahkan di dalam pidato tersebut, imaji Bung Karno26 terkait dioram telah diungkapkannya:

23 Edhi Soenarso, pematung dan pembuat diorama, karena karya-karyanya yang luar biasa dianggap berjasa besar terhadap bangsa dan negara dalam meningkatkan, memajukan, dan membina kebudayaan nasional. Pada 12 Agustus 2003 dianugrahi Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma

24 Wawancara dengan Edhie Soenarso, pematung dan seniman diorama, Yogyakarta, 15 Februari 2007

25Panitia Museum Sedjarah Tugu Nasional. Laporan Lengkap, Lukisan Sedjarah Visuil Museum Sedjarah Tugu Nasional, Djakarta, 1964

26Kutipan Pidato Soekarno, 16 Agustus 1964 terkait ‘diorama’ di dalam museum sedjarah.

(47)

21

…Kemudian di bawah tugu itu akan diadakan satu museum bersedjarah, jang di dalam museum itu, Saudara-Saudara dengan melihat sadja, bisa melihat tingkatan-tingkatan, fase-fase daripada sedjarah Indonesia, masa kebesaran di dalam djaman Bahari, masa kegelapan di dalam djamanya imperialismo Belanda, masa kebangkitan kembali kepada kebesaran.

Itu semua akan Saudara-Saudara bisa lihat di dalam museum sedjarah itu…

Ke-40 gagasan Bung Karno tersaji dalam draibooken 1964, kemudian terjadi penambahan/ pengurangan di tahun 1970 selaras dengan diterbitkannya buku Usul Tambahan Adegan sebanyak 48 adegan seperti yang kini tersaji di Museum Sejarah, di luar 3 kotak diorama yang berada di tengah hall.

Kronika Diorama Era Soekarno

Dalam draibooken (1964) memuat konsep 40 adegan saja, diharapkan terdapat 9 buah kotak persediaan yang dapat diisi pada masa selanjutnya. Ke-40 narasi berdasar keinginan Soekarno, atara lain berupa: Delapan adegan pertama, (i) Kebesaran Crivijaya, (ii) Tjandi Barabudur Sedang di bangun, (iii) Prabu Siliwangi Keradjaan, (iv) Majapahit, (v) Faletehan, (vi) Dipati Unus, (vii) Baabullah, (viii) Ali Mughayat Sjah.

Sementara itu Bagian III Hasil Penelitian B1 yaitu Djaman Amanat Penderitaan Rakjat, antara lain (i) Banda, (ii) Sultan Agung Menjerang Betawi, (iii) Iskandar Muda, (iv) Pahlawan Hasanudin, (v) Sultan Ageng Tirtajasa, (vi) Untung Surapati, (vii) Wuku, (viii) Pahlawan Pattimura (ix) Pahlawan Dipanegara.

(48)

22 Adapun Bagian III Hasil Penelitian B2 yaitu Djaman

Amanat Penderitaan Rakjat, antara lain; (i) Imam Bonjol, (ii) Tanam Paksa, (iii) Djagaraga, (iv) Perang Bandjar, (v) Perang Atjeh, (vi) Perang Sulawesi Selatan, (vii) Si

Singamangaradja. Dan pada bagian IV, hasil Penelitian C yaitu Menudju Sosialisme Indonesia, berisi; (i) Ibu Kartini, (ii) Kebangkitan Nasional, (ii) Pemberontakan 1926, (iv) Sumpah Pemuda, (v) Bung Karno Di Depan Pengadilan Kolonial, (vi)Kolonialisme Belanda Diganti Dengan

Fascisme Djepang, (vii) Pemberontakan Peta di Blitar, (viii) Lahirnya Pancasila, (ix) Proklamasi, (x) Lahirnya Angkatan Perang, (xi) Hari Pahlawan, (xii) Pengakuan Kedaulatan, (xiii) Konferensi Asia Afrika, (xiv) Dekrit Presiden, (xv) Trikora dan /atau Kembalinya Irian Barat, (xvi) Ganefo Jejak Arsitektural Diorama27

Akhirnya, adegan diorama yang diwujudkan sebagai pengisi Museum Sejarah Kebangsaan dilaksanakan merujuk pada SK Tugu Monas B|No.06/Kpts/69, di lantai basemen seluas 750 m2 itu. Adegan diorama dimulai dari (a) Masa Kejayaan Nusantara, (b) Masa Perjuangan Melawan Penjajahan, (c) Masa Kebangkitan Nasional hingga Proklamasi Kemerdekaan, (d) Masa Mempertahankan dan Mengisi Kemerdekaan.

Ke-51 adegan tersebut memuat petikan peristiwa pada episode tertentu. Sajian peristiwa ditampilkan berbagai teknik, perpaduan antara seni dan teknologi.

Terdapat 8 (delapan) hall, dimulai dari sisi A dan B bertema Masa Kejayaan Nusantara dengan adegan:

(1) Masyarakat Indonesia Purba (3.000 - 2.000 SM)

27 https://monas.jakarta.go.id/diorama/

(49)

23 (2) Bandar Sriwijaya (Abad ke-7 s/d ke-13)

(3) Candi Borobudur (824)

(4) Bendungan Waringin Sapta (Abad ke-11)

(5) Candi Jawi Perpadan Sivaisme-Buddhisme (1292) (6) Sumpah Palapa (1331)

(7) Armada Perang Majapahit (Abad ke-14) (8) Utusan Tiongkok ke Majapahit (1405).

(9) Peranan Pesantren dalam Penyatuan Bangsa (Abad-14) (10) Pertempuran Pembentukan Jayakarta (22 Juni 1527) (11) Armada Dagang Bugis (Abad ke-15)

(12) Perang Makassar

Hall D dan C bertema Masa Perjuangan Melawan Penjajahan, antaraa lain berjudul;

(13) Perlawanan Pattimura (1817) (14) Perang Diponegoro (1825 – 1830) (15) Perang Imam Bonjol (1821 - 1837) (16) Perang Banjar (1859 – 1905) (17) Perang Aceh (1873 - 1904)

(18) Perlawanan Sisingamangaraja (1877 - 1907) (19) Pertempuran Jagaraga (1848 - 1849)

(20) Tanam Paksa (1830 - 1870)

(21) Kegiatan Gereja Protestan dalam Penyatuan Bangsa (22) Kartini (1879 - 1904)

(23) Kebangkitan Nasional (20 Mei 1908) (24) Taman Siswa (3 Juli 1922)

Hall D dan E bertema Masa Kebangkitan Nasional hingga Proklamasi Kemerdekaan, berjudul:

(25) Muhammadiyah (18 November 1912) (26) Perhimpunan Indonesia (1922)

(27) STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) (1898-1926)

Referensi

Dokumen terkait

Deep Learning-based Gated Recurrent Unit Approach to Stock Market Forecasting: An Analysis of Intel's Stock Data Nrusingha Tripathy1*, Ibanga Kpereobong Friday1, Dharashree Rath2,