Pencucian uang merupakan suatu cara yang dilakukan pelaku kejahatan untuk melegalkan hasil kejahatannya guna menghilangkan jejak. Ancaman pencucian uang berikutnya menyebabkan para pelaku kejahatan, khususnya kejahatan terorganisir, mengembangkan jaringan pencucian uang. Dalam konteks ini, berarti tuntutan terhadap tindak pidana korupsi seperti pencucian uang harus bersifat kumulatif.
Kekhawatiran internasional terhadap narkoba dan pencucian uang melahirkan sebuah perjanjian yang disebut Rezim Hukum Internasional untuk Memerangi Pencucian Uang. Kelompok Sepuluh (G-10), yang anggotanya terdiri dari negara-negara terkemuka dan merupakan anggota Dana Moneter Internasional (IMF), sebelumnya mencermati bahaya penggunaan lembaga perbankan untuk pencucian uang. Oleh karena itu, dengan penegakan hukum terhadap praktik pencucian uang, diharapkan tindak pidana asal tersebut juga dapat diberantas.
Maka penting untuk dipahami bahwa jika pencucian uang tidak diberantas, berarti berbagai penjahat dapat menikmati hasil kejahatannya bahkan mengembangkan kejahatan terorganisir. Tindak pidana pencucian uang merupakan strategi untuk menangkap pelakunya, bukan lagi di hulu (penangkapan atas dugaan tindak pidana korupsi) melainkan di hilir (penangkapan atas dugaan tindak pidana pencucian uang). Sedangkan tindak pidana pencucian uang dalam UU No. 8 Tahun 2010 pada Pasal 3, 4 dan 5 diatur.
Pendahuluan
Secara umum pencucian uang diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan seperti korupsi, tindak pidana narkotika, perjudian, penyelundupan dan tindak pidana berat lainnya agar hasil tindak pidana tersebut tampak sebagai hasil yang sah. kegiatannya karena asal usulnya disamarkan atau disembunyikan.46 Hakikat tindak pidana ini adalah perbuatan yang dilakukan untuk menyamarkan atau menyembunyikan hasil kejahatan agar tidak ketahuan oleh yang berwenang, dan hasil kejahatan tersebut dapat dipergunakan secara aman seolah-olah merupakan hasil kejahatan. berasal dari kegiatan hukum.46 Dari uraian makna perbuatan tersebut maka jika ada tindak pidana yang menghasilkan uang seperti korupsi, tindak pidana perbankan, pembalakan liar, penyelundupan dan sebagainya, maka secara logika seharusnya juga ada tindak pidana pencucian uang. kecuali setelah melakukan tindak pidana tersebut mereka langsung tertangkap dan belum sempat menikmati hasil tindak pidana tersebut. Namun tampaknya hal tersebut tidak terjadi, meskipun Indonesia memiliki ketentuan anti pencucian uang, namun ketentuan tersebut belum diterapkan secara luas, apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih jarang mengaitkan tindak pidana korupsi yang ditangani TPPU. Hukum. Mengenai cara dan ciri-ciri tindak pidana pencucian uang yang sulit dan berbeda dengan tindak pidana lainnya.
Sebab, selama ini Indonesia menganut sistem pembuktian negatif menurut undang-undang (negative failed punishment), sebagaimana tercantum dalam Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan: “Hakim tidak boleh memidana seseorang kecuali terdapat sekurang-kurangnya ada kedua alat bukti tersebut adalah “hak hukum yang dengannya ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa tersangkalah yang bersalah melakukannya”. Penerapan sistem pembuktian terbalik dalam perkara pidana pencucian uang hanya dilakukan satu kali saja. di persidangan yaitu pada saat ditangkapnya kasus Bahasyim yang didakwakan korupsi dan pencucian uang, walaupun terkesan sangat terpaksa untuk dilaksanakan dan berhasil yang disita sekitar Rp 63 Miliar, dan tidak ada dakwaan, namun ketika hakim berani melakukannya. menerapkannya, sebelumnya ia bertanya kepada para ahli yang dihadirkan bagaimana dengan bukti sebaliknya yang pada akhirnya dianggap dapat diterapkan oleh hakim.
Perbandingan pembuktian terbalik pada UU PTPK dan TPPPU
Oleh karena itu, setiap upaya atau kebijakan pidana untuk menangani masalah pencucian uang memerlukan langkah-langkah yang tegas terkait dengan pengungkapan hasil kejahatan tersebut, yang meliputi penerapan pembuktian terbalik dan juga pembentukan unit intelijen Financila yang di Indonesia adalah disebut PPATK. Pembuktian terbalik dalam UU TPPU yang tidak ada penjelasannya, tentunya mau tidak mau kita harus menghubungkan diterimanya asas pembuktian terbalik dengan apa yang telah diterapkan sebelumnya dalam penjelasan umum dan Pasal 37 PTPK. Undang-undang Tahun 1999 yang maksudnya penerapan hukum pembuktian dilakukan dengan cara pembuktian, sebaliknya dengan alat bukti terbatas atau berimbang, dan menggunakan sistem pembuktian negatif wettelijk overtuiging (negatif menurut undang-undang). Sanggahan yang terbatas atau seimbang mempunyai arti bahwa terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan mengenai seluruh harta kekayaannya dan harta kekayaan istri/suaminya, anak-anaknya dan harta kekayaannya dalam segala hal. orang atau perusahaan yang diduga berkaitan dengan perkara yang bersangkutan, dan Kejaksaan tetap wajib membuktikan tuntutannya (Penjelasan UU Nomor 31 Tahun 1999).
Dengan demikian, diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output (misalnya: rumah, mobil milik, rekening, dan lain-lain) merupakan hasil perolehan yang didakwakan tindak pidana korupsi.46 Lebih lanjut Martiman menyatakan bahwa bukti sebaliknya terdapat dalam UU PTPK Tahun 1999, melalui dua KUHAP yang diterapkan, yaitu KUHAP sebagaimana diatur dalam UU Tipikor yang. penyimpangan dari KUHAP dan KUHAP dalam KUHAP itu sendiri. Teori bebas sebagaimana tercermin dalam Pasal 37 UU Nomor 1) Terdakwa berhak membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi; Bahkan pada Pasal 38 B, terdakwa juga wajib membuktikan bahwa asal usul harta tersebut bukan dari tindak pidana korupsi, melainkan diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Sebab dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tidak ada penjelasannya, namun dikatakan cukup jelas, tentu saja karena kita sudah menerima sistem pembuktian terbalik pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PTPK. Undang-undang, dimana sudah sangat jelas dan tegas dalam penjelasan umum dan penjelasan Pasal 37. Hal ini hendaknya menjadi acuan dalam peraturan perundang-undangan selanjutnya yang memuat penggunaan alat bukti terbalik. Pembuktian sebaliknya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) Nomor 31 Tahun 1999 dipandang sebagai hak sekaligus kewajiban bagi terdakwa. Soal pembuktian terbalik, kita harus ingat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU TPK) Nomor 31 Tahun 1999. Pembuktian terbalik dalam UU Pemberantasan Korupsi sebenarnya disebut sebagai hak sekaligus kewajiban terdakwa.
Penerapan pembuktian terbalik dalam TPPU tidak lepas dari apa yang dijelaskan dalam ketentuan umum dan Pasal 37 UU PTPK Tahun 1999, maksudnya penerapan UU Pembuktian adalah dengan cara pembuktian terbalik, yaitu terbatas atau seimbang dan yang menggunakan sistem pembuktian negatif yang berlebihan (negatif menurut undang-undang). Selanjutnya dalam UU PTPK Tahun 2001 terdapat dua macam pembuktian terbalik, yaitu pertama, penerimaan hadiah (gratifikasi) dianggap suap sampai terbukti sebaliknya (Pasal 12B), terakhir ada tulisan “dianggap suap” ditolak Andi Hamzah karena memang terjadi suap jika terdakwa tidak bisa membuktikan sebaliknya. Ketentuan Pasal 38 B saya masukkan untuk dibandingkan dengan ketentuan UU TPPU yang tidak mengatur tata cara penyimpanan bukti balik yang selalu menjadi senjata bagi pengacara atau terdakwa untuk menolak penggunaan bukti balik dalam tindak pidana pencucian uang. kasus uang.
Namun demikian, meskipun tidak ada hukum acara penerapan bukti merugikan, bukan berarti tidak dapat dilakukan. Telah ditetapkan bahwa dalam perkara Bahasyim dapat dilakukan pembuktian tandingan dan apabila diikuti oleh hakim-hakim selanjutnya maka dapat dijadikan sebagai yurisprudensi. Dengan tidak adanya undang-undang acara khusus mengenai bukti merugikan dalam ketentuan UU TPPP, maka setidaknya pengertian bukti merugikan harus berada dalam persepsi yang sama dan konsisten dengan penerimaan kita terhadap bukti merugikan dalam UU TPPP Tahun 1999.
Pembuktian Terbalik dalam UU TPPU
Mengenai penggunaan bukti tandingan dalam perkara pidana pencucian uang, perlu dipahami bahwa tidak ada pencucian uang jika bukan merupakan tindak pidana utama. Sebelum saya menyimpulkan uraian ini, saya harus sampaikan bahwa yang terpenting adalah pidana pokok dan tindak pidana pencucian uang didakwakan dalam satu surat dakwaan. Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup mengenai dilakukannya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana sebelumnya, ia menggabungkan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut.
Dengan penjelasan bahwa untuk unsur harta benda yang berasal dari tindak pidana yang harus dibuktikan di pengadilan, maka ketentuan Pasal 69 Undang-Undang tentang Pencucian Uang yang menyatakan “untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak dapat dilakukan”. perlu dibuktikan terlebih dahulu kejahatan aslinya". Persoalan pembuktian tandingan tindak pidana pencucian uang diatur dalam undang-undang, meskipun tidak sekomprehensif dalam UU PTPK, khususnya terkait dengan hukum acara. Tindak pidana pencucian uang secara umum diartikan sebagai perbuatan menggunakan atau menikmati harta kekayaan yang diketahui atau diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Tentunya dalam konteks ini perlu dipahami bahwa tidak ada tindak pidana pencucian uang jika tidak ada tindak pidana pokoknya, karena yang ada adalah uang (kekayaan). Dari 100 (seratus) pasal, empat puluh satu pasal (41) mengacu pada PPATK, sehingga sekilas ketentuan anti pencucian uang tersebut tampak mirip dengan ketentuan terkait PPATK. Selain itu, tindak pidana pencucian uang hanya diatur dalam tiga pasal yaitu Pasal 3, 4, dan 5, serta beberapa pasal terkait dengan tindak pidana pencucian uang yaitu
Dalam UU Nomor 8 Tahun 2010, tindak pidana pencucian uang diatur dalam pasal 3, 4, dan 5 sebagai berikut. Untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana aslinya. Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana bawahannya sesuai dengan ketentuan hukum acara dan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Penyidik dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi tindak pidana pencucian uang pada saat bertugas. Dari penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi harus segera menerapkan ketentuan pencegahan pencucian uang dalam menangani kasus korupsi. Inovasi yang menarik dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang adalah dapat dibentuk badan investigasi independen yang disebut Financial Intelligence Unit (FIU).
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), penegakan hukum terhadap tindak pidana ini masih sangat rendah. Kemudian yang sangat penting harus ditegaskan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan, sehingga timbul permasalahan yaitu bagaimana dengan tindak pidana inti (predicate crime). Pemberantasan tindak pidana pencucian uang sangat penting tidak hanya untuk menangkap pelakunya, namun juga untuk memulihkan harta kekayaan yang timbul akibat tindak pidana, sekaligus mengungkap asal muasal tindak pidana tersebut.