• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selanjutnya, pada remaja enam belas tahun, cenderung tidak memiliki rasa keprihatinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Selanjutnya, pada remaja enam belas tahun, cenderung tidak memiliki rasa keprihatinan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja adalah masa peralihan dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang mencakup perubahan fisik, kognitif, sosial, dan emosional (Santrock, 2007). Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun (Papalia, 2012). Sarwono (2000) mengatakan ada tiga tahap perkembangan remaja yaitu remaja awal (usia 11-14 tahun), remaja madya (usia 15-17 tahun), dan remaja akhir (usia 18- 20 tahun).

Menurut Yusuf (2006), untuk memenuhi tugas perkembangan remaja harus mampu mencapai kemandirian emosional, mampu mengembangkan komunikasi interpersonal, belajar bersosialisasi dengan teman sebaya, memiliki tanggung jawab sosial dan mampu mengendalikan diri. Remaja memiliki tugas perkembangan dalam pertumbuhan sehingga dapat mencapai tugas perkembangannya dan mampu menerima keadaan fisik dan psikologisnya (Havighurst, dalam Prayitno, 2006). Periode ini juga dikatakan sebagai periode dimana remaja mengalami emosi yang tidak stabil dan tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan- aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat (Zulkifli, 2009).

Menurut Gesell (dalam Hurlock,1997), remaja empat belas tahun sering kali mudah marah, mudah dirangsang, emosinya cenderung tidak stabil dan tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Selanjutnya, pada remaja enam belas tahun, cenderung tidak memiliki rasa keprihatinan.

Disinilah peran orang tua sangat diperlukan dalam masa remaja karena remaja yang memiliki relasi yang nyaman dengan orang tuanya memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik (Armsden &

Greenberg, 2007). Perasaan yang kuat antara anak dan orangtua dapat

(2)

2 menyangga remaja dari kecemasan dan potensi perasaan-perasaan depresi atau tekanan emosional yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak - kanak menuju masa dewasa (Santrock, 2007).

Tidak semua remaja beruntung hidup dengan lingkungan perkembangan yang memiliki anggota keluarga yang harmonis ataupun lengkap dengan suasana rumah yang nyaman, serta memiliki kehidupan ekonomi yang berkecukupan. Ada pula remaja yang terlantar, memiliki orangtua yang tidak harmonis, tidak lengkap yang disebabkan meninggal dunia atau bercerai ataupun keadaan ekonomi yang mengharuskan mereka tinggal di panti asuhan sehingga perkembangan mereka dipantau atau dibina oleh pengurus panti asuhan. Menurut Yoel (2006), remaja penghuni panti asuhan kurang atau tidak mendapatkan pengajaran dari orang tua tentang bagaimana individu menilai dirinya sendiri. Ibu atau bapak pengasuh panti asuhan yang dianggap sebagai pengganti orang tua tidak bisa diharapkan untuk memberikan pengajaran secara mendalam mengenai bagaimana menilai diri sendiri.

Hal ini disebabkan karena perbandingan yang tidak seimbang antara remaja panti asuhan yang sangat banyak jumlahnya dengan pengasuh panti asuhan. Remaja yang tinggal di panti asuhan merupakan anak-anak yang terpisah dari lingkungan keluarganya. Menurut Karolina (2009), pemisahan anak dari keluarganya dapat menimbulkan tekanan akibat perubahan situasi hidup yang bersumber dari pengalaman kehilangan dari figur orang tua, situasi baru yang tidak dikenali dan perubahan kebiasaan.

Hasil penelitian Lusiawati (2013), menunjukkan bahwa remaja panti asuhan mengalami ketidaknyamanan dengan kondisi di panti asuhan yang berbeda jauh dengan kondisi di rumah, adanya batasan-batasan aturan dan kondisi senior junior yang membuat merasa takut dan tertekan, sehingga menimbulkan rasa gelisah yang dikarenakan masalah pergaulan, penyesuaian diri dan peraturan-peraturan yang ada. Hasil penelitian Hartini (2000), menunjukkan bahwa remaja panti asuhan memiliki kepribadian yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Dengan demikian, remaja panti

(3)

3 asuhan akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Disamping itu, mereka menunjukkan perilaku yang negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan dan lebih egosentrisme. Hasil penelitian Aesijah, dkk (2016), menunjukkan bahwa kehidupan remaja panti asuhan cenderung mengalami emosi negatif (sedih, marah, dan jengkel) dibandingkan dengan emosi positif (senang, menerima, dan harapan positif), serta sering mengeluh kehidupannya. Selain itu juga, remaja panti asuhan lebih susah dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, perkembangan kepribadian dan penyesuaiaan sosialnya kurang memuaskan. Dalam hal ini menurut Diener dkk (2005), menunjukkan bahwa tidak sejahteranya remaja panti asuhan, baik secara emosional, psikologis maupun sosial. Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan mengalami prevalensi permasalahan tinggi terhadap gangguan emosi (MCGloin & Wisdom, dalam Rembulan, 2009). Masalah emosi itu cukup mendominasi dalam hal perkembangan remaja panti asuhan. Oleh karena itu remaja panti asuhan diharapkan mampu meregulasi emosi dalam kehidupannya.

Emosi positif dapat dihasilkan melalui regulasi emosi. Regulasi emosi yang baik pada individu dapat mempertahankan atau meningkatkan pengalaman emosi positif (Tugade & Fredrickson, 2007). Kemampuan meregulasi emosi penting dimiliki setiap individu di dalam menghadapi persoalan kehidupan. Kemampuan untuk mengelola emosi inilah yang biasa disebut dengan regulasi emosi. Biasanya, kebanyakan orang akan meregulasi emosi-emosi negatif yang muncul dalam dirinya (Gross &

Thompson, 2006). Adanya regulasi emosi yang baik akan membuat seseorang mampu berpikir positif, menerima permasalahan, menyelesaikan masalah dan tidak terikat akan permasalahan yang ada (Hoeksema, 2012).

Hambatan yang berat pada regulasi emosi sangat berkaitan dengan terjadinya gangguan perasaan dan gangguan perilaku (Buckner dalam Baumgardner & Crothers, 2009). Maka, diperlukan cara-cara untuk mengatasi gangguan regulasi emosi. Ada beberapa cara pendekatan yang

(4)

4 digunakan untuk membantu meningkatkan kemampuan regulasi emosi, diantaranya adalah Contextual Emotion Regulation Therapy (CERT) (Kovacs dkk., 2006) dan Supportive Expressive Therapy (SET) (Benson, Kraemer, & Spiegel, 2002), Acceptance and Commitment Therapy (ACT) (Blackledge & Hayes, 2001), Dialectical Behavior Therapy (DBT) (Linehan, Bohus, & Lynch dalam Gross, 2007); (Frye & Spates, 2012), dan Mindfulness Based Stress Therapy (MBSR) (Goldin & Gross, 2010) yang berhulu pada mindfulness meditation (Dunford & Dclinpsy, 2010;

Gresson, 2009). Meski demikian, diantara berbagai pendekatan tersebut peneliti akan lebih berfokus pada pendekatan trait mindfulness dalam penelitian ini.

Meditasi Mindfulness adalah suatu jenis perhatian tertentu yang ditandai dengan intensionalitas, fokus pada kejadian-kejadian, dan pengamatan pengalaman yang tidak penting (Kabat-Zinn, 1994). Hal tersebut dapat dikembangkan secara disengaja dan dengan kesadaran penuh, yang mana tindakan tersebut ditandai dengan rasa ingin tahu dan keterbukaan terhadap sifat pengalaman dan kualitas perhatian itu sendiri.

Eddy (2013) menggunakan metode Interpretative Phenomenologi Analysis (IPA) yang bertujuan untuk mengeksplorasi persepsi dan pengalaman partisipan melalui wawancara yang mendalam. Penelit menggunakan tiga subjek yang biasa mengikuti meditasi mindfulness dengan jadwal rutin di Kelompok Meditasi Zen, Vihara Buddha Prabha Yogyakarta. Peneliti menemukan bahwa semua subjek yang rutin bermeditasi mindfulness ini mengalami perubahan regulasi emosi yang positif. Meskipun demikian, semua subjek tidak mengalami perubahan-perubahan yang sama persis.

Setiap subjek memiliki kekhasan tema yang tidak dimiliki subjek lainnya.

Goldin dan Gross (2010) menemukan bahwa para pasien dengan SAD (Social Anxiety Disorder) yang mengikuti pelatihan meditasi mengalami peningkatan kemampuan dalam melakukan regulasi emosi. Hal ini membuat kecemasan yang dimiliki para pasien tersebut berkurang.

Selain sebagai salah satu mediator terapi, mindfulness pada dasarnya juga dapat terkandung dalam diri seseorang sebagai trait.

(5)

5 Brown dan Ryan (2003) mengatakan bahwa trait mindfulness didasari oleh meningkatnya keadaan sadar terjaga (awareness) terus-menerus, memonitor keadaan diri dan lingkungan luar, serta adanya perhatian (attention) yang memusat sehingga menghasilkan kesadaran penuh akan pengalamannya secara lebih terbuka. Baer (2016) mendefinisikan trait mindfulness sebagai meningkatnya kesadaran dengan berfokus pada pengalaman saat ini (present- moment awareness) serta penerimaan tanpa memberikan penilaian (nonjudgemental acceptance). Trait mindfulness terkait dengan kemampuan untuk melihat secara lebih dalam hubungan antara pikiran, perasaan dan aktivitasnya sehingga makna dan penyebab dari pengalaman dan perilaku disadari sepenuhnya. Pengalaman terbuka dan penerimaan memungkinkan perspektif yang lebih luas akan pikiran dan perasaannya, sehingga risiko depresi dapat dikurangi bersama dengan meningkatnya kesadaran akan pikiran negatif (Lau &

McMain, 2005; Finucane & Mercer, 2006).

Brown dan Ryan (2003) membagi dimensi trait mindfulness menjadi dua.

Dimensi pertama, awareness (keadaan sadar) yang berlangsung ketika seseorang memahami peristiwa lingkungan eksternalnya. Dan dimensi kedua, attention yang merupakan pemusatan keadaan sadar terjaga untuk memperjelaskan aspek tertentu untuk sebuah realitas. Pada remaja panti asuhan memiliki trait mindfulness yang baik, maka ia akan sadar dan memberikan perhatian terhadap segala hal yang dilakukannya. Hal itu dapat membantu remaja panti asuhan untuk dapat terus mengembangkan kepribadiannya, potensinya, serta mengoptimalkan kemampuannya dengan regulasi emosi pada remaja panti asuhan.

Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa trait mindfulness dapat membantu seseorang untuk dapat memiliki hidup yang lebih sehat dan tidak mudah cemas, tidak mudah depresi, memandang hidup lebih baik, meningkatkan hubungan positif dengan orang lain, meningkatkan self esteem dan meningkatkan fungsi ketahanan tubuh manusia (Kabat-Zinn dkk dalam West, 2008). Melalui trait mindfulness, individu dapat melihat permasalahan dengan objektif serta sadar dengan apa yang mereka rasakan sehingga membantunya dalam regulasi emosi dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Roemer (2009) menyatakan bahwa tingginya tingkat mindfulness seseorang berelasi negatif terhadap gangguan regulasi emosi seseorang. Penelitian tentang efek dari mindfulness dengan remaja menunjukkan banyak keuntungan, termasuk peningkatan

(6)

6 kesadaran dan regulasi emosi yang membaik dan perhatian (Van Den Hurk et.al, 2010).

Islam mengajarkan untuk meregulasi emosi yang baik dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu memohon perlindungan kepada Allah dengan membaca ta’awudz, diam dan menjaga lisan ketika berbicara dengan oranglain, mengambil posisi rendah ketika emosi sedang meningkat, meredam emosi marah dengan segera mengambil wudhu atau mandi, dan dzikrullah mengingat nama Allah SWT. Untuk dapat meregulasi emosi dengan baik, dibutuhkan kesadaran diri pada setiap individu.

Kesadaran diri dalam al-qur’an mengandung arti yaitu menemukan pribadi dengan cara memunculkan potensi-potensi fitrah dan internal yang ada pada wujud dirinya dan memahami dengan menjiwai hakikat-hakikat suatu keberadaan dirinya, yaitu sebagai khalifatullah. Apabila individu mengenal Allah SWT, maka hakikatnya individu tersebut mengenal atau mempelajari dirinya sendiri dan menyadari kekurangan dirinya untuk melangkah kearah yang lebih baik. Selain itu juga, Islam mengajarkan agar setiap individu harus menyadari akan semua cobaan dan ujian yang Allah SWT berikan dengan berpikir positif dan bersikap realistis karena setiap individu akan diminta pertanggungjawabannya masing- masing di hari kiamat.

Berdasarkan latar belakang di atas, diketahui bahwa terdapat beberapa penelitian yang sudah dilakukan pada remaja secara umum di Indonesia maupun di Luar Negeri mengenai peran mindfulness sebagai bagian dari meditasi dan pelatihan. Remaja yang rutin bermeditasi mindfulness ini mengalami perubahan regulasi emosi yang positif. Namun peneliti belum menemukan peran trait mindfulness terhadap remaja, khususnya mereka yang berada di panti asuhan.

Remaja yang tinggal di panti asuhan mengalami prevalensi permasalahan emosional yang tinggi sehingga rentan mengalami gangguan emosi. Peneliti menganggap peran trait mindfulness penting dilakukan untuk mengetahui kemampuan remaja di Panti Asuhan dalam meregulasi emosi mereka untuk menghadapi berbagai fenomena yang ada baik di Panti Asuhan maupun di luar Panti Asuhan.

Penelitian ini merupakan bagian dari payung penelitian yang bertemakan Mindfulness dan Depresi.Selain penelitian ini, terdapat juga penelitian Peran Mindfulness terhadap Penerimaan Diri pada Remaja dengan Orangtua Bercerai, Peran Regulasi Emosi terhadap Depresi pada Remaja dengan Orangtua Bercerai,

(7)

7 Peran Mindfulness dan Spiritualitas terhadap gejala Depresi pada Ibu Hamil dan Peran Mindfulness dan Relationship Quality terhadap Depresi pada Ibu Hamil.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang diatas maka pertanyaan dari penelitian ini adalah

1. Apakah terdapat peran trait mindfulness terhadap regulasi emosi pada remaja panti asuhan ?

2. Bagaimana pandangan Islam mengenai peran trait mindfulness terhadap regulasi emosi pada remaja panti asuhan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui peran trait mindfulness terhadap regulasi emosi pada remaja Panti Asuhan.

2. Untuk mengkaji pandangan Islam mengenai peran trait mindfulness terhadap regulasi emosi pada remaja Panti Asuhan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini yaitu untuk mengembangkan ilmu psikologi yang berkaitan dengan trait mindfulness dan regulasi emosi pada remaja panti asuhan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk membantu dalam pengasuhan remaja panti asuhan dengan mempertimbangkan penggunaan pendekatan trait mindfulness khususnya dalam regulasi emosi.

(8)

8 Remaja Panti Asuhan

Fenomena remaja panti asuhan :

Merasa ketidaknyamanan, sedih, gelisah, ketakutan, kepribadian inferior, pasif, apatis, menarik diri, egosentrisme, mudah putus asa, kecemasan, dan tertekan.

1.5 Ringkasan Alur Berpikir

Bagan 1.1 Ringkasan Alur Berpikir

Remaja panti asuhan yang memiliki regulasi emosi yang baik :

 Dapat mempertahankan atau meningkatkan pengalaman emosi positif (Tugade &

Fredrickson, 2007)

 Membuat seseorang mampu berpikir positif, menerima permasalahan, menyelesaikan masalah, dan tidak terkait akan permasalahan yang ada (Hoeksema, 2012).

Trait Mindfulness

Membantu remaja panti asuhan untuk:

Acting with awareness: memberikan atensi penuh pada aktifitas yang sedang dilakukan.

Observing: menyadari atau melibatkan diri dengan pengalaman internal maupun eksternal.

Describing: memberikan label atas apa yang dirasakannya.

Non-reactivity to inner experience:

adanya keselarasan antara pikiran dan perasaan.

Nonjudging of inner experience: sikap nonevaluatif terhadap pikiran dan perasaan.

Apakah trait mindfulness berperan dalam regulasi emosi pada remaja panti asuhan ?

(9)

9

Referensi

Dokumen terkait

Tindakan yang dilakukan kepada pecandu atau penyalahguna narkotika sebagai bentuk perlindungan hukum semestinya berbasiskan pada ilmu pengetahuan. Suatu kebijakan