Seminar Nasional & Call Papers Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan | I
Seminar Nasional & Call Papers Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan | II
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
“Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan”
Semarang, 9-10 Oktober 2019
ISBN 978-623-7097-50-1
Penerbit
UNISSULA PRESS
Universitas Islam Sultan Agung Semarang Jl. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang 50112 Tlp. 024-6583584
Seminar Nasional & Call Papers Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan | III
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
“Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan”
Penyelenggara:
Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang
Dewan Pengarah:
Drs. Muhammad Muhtar Arifin Sholeh, M.Lib.
H. Khoirul Anwar, S.Ag., M.Pd.
H. Choeroni, S.H.I., M.Ag.
H. Tali Tulab, S.Ag., M.S.I.
Pimpinan Redaksi:
Muna Madrah Yastuti, M.A.
Reviewer:
H. Anis Malik Toha, Lc., M.A., Ph.D.
Dr. H. Abdullah Arief Cholil, S.H., M.Ag.
Dr. H. Rozihan, S.H., M.Ag.
Dr. H. Ghofar Shidiq, S.Ag., M.Ag.
Dr. Supian Sauri, Lc.
Dewan Editor:
Mohammad Noviani Ardi, S.Fil.I., MIRKH.
Dr. Susianto, SE., M.Ag.
Ahmad Muflihin, S.Pd.I., M.Pd.
Desain Cover & Layout:
Mohammad Noviani Ardi, S.Fil.I., MIRKH.
Muhammad Azlan Syah
PANITIA
Seminar Nasional & Call Papers Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan | IV Saat ini kita hidup di era kemajuan teknologi yang sangat masif. Kemajuan yang masif ini tidak selalu diiringi dengan kesiapan masyarakat baik dalam hal menggunakannya maupun menghadapi dampak kemajuan teknologi.
Ketidaksiapan masyarakat ini seringkali menimbulkan kekacauann dalam segala aspek kehidupan. “Kekacauan” ini sering disebut dengan istilah
“disrupsi”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata disrupsi didefinisikan dengan frasa “tercerabut dari akarnya”, sementara itu makna kontekstual dari era disrupsi adalah goncangan atau kekacauan yang terjadi seiring dengan perubahan yang sangat mendasar dari semua aspek kehidupan akibat revolusi teknologi yang terjadi saat ini.
Perubahan merupakan keniscayaan yang dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Seseorang dituntut mengikuti perubahan dan perkembangan zaman, dapat memanfaatkannya menjadi peluang. Begitupun sebaliknya, siapa yang tidak mampu mengikutinya, maka akan tertinggal dan ditinggalkan.
Fakultas Agama Islam, FAI-UNISSULA meyakini bahwasanya, Islam sebagai pedoman hidup, haruslah juga mampu “hidup” dalam setiap kondisi. Hadits nabi, “Al-Islamu shalihun li kulli zaman wa al-makan” telah memberikan gambaran bahwa Islam sebagai agama yang sempurna dengan sendirinya menuntut bahwa Islam dengan beragam ajarannya, mestilah dapat
“menembus” luasnya ruang dan “berjalan” bersama aliran waktu. Artinya tiap jengkal ajaran yang ditawarkan mestilah sanggup untuk senantiasa shalih dan berjalan selaras di setiap zaman dan pada ruang-ruang yang berbeda. Tidak terkecuali di era disrupsi seperti saat ini. Sebagai salah satu bentuk kepedulian FAI-UNISSULA menyikapi fenomena ini, maka kami mengundang para peneliti, pemikir dan praktisi untuk berdiskusi dan menyampaikan pandangan-pandangan terkait era disrupsi ini sesuai dengan bidang masing- masing.
Pemikiran dan pandangan mereka telah di sampaikan dalam Seminar Nasional bertajuk “Islam di era disrupsi : peluang dan tantangan” pada tanggal 9-10 Oktober 2019 dengan pembicara utama Prof. Dr. Arskal Salim, GP, M.Ag, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam ,Dirjen Pendidikan Islam, Kementrian Agama Republik Indonesia.
Selanjutnya setelah melalui tahap penyuntingan, makalah yang telah disampaikan oleh para pemakalah disusun dalam prosiding yang kami beri judul “Prosiding Seminar Nasional Islam di Era Disrupsi, Peluang dan Tantangan, 2019”. Hadirnya prosiding Seminar Nasional Islam di Era Disrupsi, Peluang dan Tantangan di penghujung tahun 2019 ini kiranya dapat
KATA PENGANTAR
Seminar Nasional & Call Papers Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan | V menjadikan refleksi, memberikan kontribusi dan manfaat terhadap permasalahan yang dihadapi oleh ummat.
Atas terbitnya prosiding ini tim editorial dan publikasi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung kegiatan seminar sekaligus kegiatan paska seminar yang memungkinkan prosiding ini hadir ke hadapan anda sekalian.
Semarang, 12 Desember 2019
Editorial Board
Seminar Nasional & Call Papers Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan | VI Halaman Cover
Halaman Cover Dalam Panitia Penyelenggara Kata Pengantar Daftar Isi
Ekonomi Digital: Peluang dan Tantangan Masa Depan Terhadap Ekonomi Syariah di Indonesia
Shinta Maharani & Miftahul Ulum
Analysis of The Role of Mudharabah Principle in Developing Islamic Financial Instrument
Dina Yustisi Yurista & Mohammad Noviani Ardi
Al-Wasatiyya pada Budaya Banjar: Relevansi Penerapan Metode Dakwah Arsyad Al-Banjari di Era Disrupsi
Noor Hasanah
Pembelajaran Fiqih Kebinekaan Sebagai Prevensi Masifikasi Sistem Khilafah di Perguruan Tinggi
Abdul Wahid, Sunardi, Dwi Ari Kurniawati
Meretas Etos Digital Preneur melalui Dropship Online Business Berbasis e-Commerce
Bayu Tri Cahya, Fatmawati & Supriyadi
Objektifikasi Hukum Ibnu Hazm dan Pemabaharuan Hukum Islam di Indonesia Ahmad Zaini & Ainun Najib
Keberlangsungan Rumah Tangga Tenaga Kerja Wanita (TKW) dalam Tinjauan KHI
Anshori Akmal, Muchamad Coirun Nizar & Rozihan Fikih dan Legislasi Hukum Islam di Era Disrupsi Abdullah Arief Cholil
Penguatan Nilai Moderasi dan Kultural Beragama Bagi Umat Islam dalam Kehidupan Berbangsa
Anis Tyas Kuncoro
Konsep Al-Milk Al-Yamin: Sebuah Kajian Hadis tentang Kedudukan Milk Al- Yamin Dalam Islam
Supian Sauri
I II III IV VI 1-11
13-21
23-37
39-51
53-67
69-75 77-86
87-101 103-113
115-126
DAFTAR ISI
Seminar Nasional & Call Papers Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan | VII Faktor Penyebab Perkawinan di Bawah Umur dalam Tinjauan Maqashid Syariah
Lukman Khakim & Ahmad Thobroni
Implikasi Revolusi Industri Terhadap Lintas Generasi dalam Perspektif Pendidikan Islam
Binti Nurhayati
Desain Kurikulum Berbasis Kearifan Lokal di MI Ma’arif Kenalan Borobudur Antoro & Suliswiyadi
Telaah Kritis Konten Kurikulum PAI Madrasah Ibtidaiyah di Mi Ma’arif Bumiharjo Borobudur Magelang
Titik Handayani & Suliswiyadi
Telaah Kritis Konten Kurikulum Pendidikan Agama Islam di SD Islam Al Firdaus Mertoyudan
Ahmad Husin & Suliswiyadi
Pengembangan Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum Swasta Berbasis Agama
A. Jauhar Fuad
Strategi Internasionalisasi Perguruan Tinggi Islam Melalui Program Student Mobility
Muna Yastuti Madrah, Riana Permatasari, Ida Musofiana & Ika Agus Setiawan
Tantangan Lembaga Pendidikan Pesantren di Era Disrupsi Samsudin
Digitalisasi Layanan Kesehatan dalam Perspektif Islam Amin Rahmawati Purwaningrum & Muna Yastuti Madrah Inovasi Pengelolaan Pembelajaran PAI di Era Disrupsi Khoirul Anwar
Perpustakaan dalam Pembelajaran PAI di SMK se-Kecamatan Karangawen Sholeh
Shalat Sebagai Sumber Etika Politik dalam Berbangsa Yang Beradab Muhammad Muhtar Arifin Sholeh
Keterampilan Guru PAI dalam Mengembangkan RPP Ukhti Filia, Sarjuni & Ghofar Shidiq
Polarisasi Peran Kyai dan Ustadz dalam Manajemen Rumah Tahfizh Choeroni, Nur’l Yakin Mch & Supian Sauri
127-136
137-144
145-162 163-180
181-199
201-212
213-227
229-238 239-252 253-262 263-288 289-299 301-319 321-330
Seminar Nasional & Call Papers Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan | VIII Penerapan Strategi Pembelajaran Langsung dalam Pendidikan Akhlak
Lilik Nurhidayah, Didiek Ahmad Supadie & Muhtar Arifin Sholeh Pemanfaatan Internet Sebagai Sumber Belajar Pendidikan Agama Islam Ulyn Ni’mah, Ali Bowo Tjahjono & Ghofar Shidiq
Pengembangan Religiusitas dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Studi Kasus Di SMP N 20 Semarang
Laelatul Rhohmah
Internalisasi Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Sekolah Jazilatun Nafisah
Pengaruh Hukum Islam di Indonesia Rozihan
331-335 337-351 353-367
369-383 385-399
Pengaruh Hukum Islam di Indonesia
Seminar Nasional & Call for Papers FAI UNISSULA 2019 385
PENGARUH HUKUM ISLAM DI INDONESIA Rozihan
Universitas Islam Sultan Agung Abstract
Islam is a religion that not only regulates human relationships with its creators. But it also regulates human-to-human relationships. Islamic law covers various aspects of life. This is certainly by paying attention to the aspects of the good (benefit) of society. Therefore, even if Islamic law applies to non-Muslims, it will still feel suitable, because it still pays attention to the aspects of benefit. Just like in Indonesia, a democratic country that not all people in it are Muslims. There needs to be unification and codification of the law, so that Islamic law can be implemented and binding for all citizens. This can be seen in the enactment of Law No. 1 of 1974 on Marriage which incorporates Islamic values and is binding for all people in Indonesia.
Another example is the Law on Sharia banking. Although Indonesia already has a conventional bank but needs to issue a Law on Sharia banking in line with Islamic values.
Keywords: unification, codification, maslahah
Abstrak
Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan penciptanya. Tapi juga mengatur hubungan antar manusia dengan manusia. Hukum Islam mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal ini tentu dengan memerhatikan aspek kebaikan (kemaslahatan) masyarakat.Oleh karena itu, walaupun hukum Islam berlaku untuk kalangan non-muslim, hal itu akan tetap terasa cocok, karena tetap memerhatikan aspek kemaslahatan. Seperti halnya di Indonesia, negara demokrasi yang tidak semua masyarakat di dalamnya beragama Islam.
Perlu adanya unifikasi dan kodifikasi hukum, agar hukum Islam dapat diimplementasikan dan mengikat untuk seluruh warga negara. Hal ini bisa kita lihat dngan berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memasukkan nilai-nilai Islam dan bersifat mengikat untuk seluruh masyarakat yang ada di Indonesia.Contoh lain adalah adanya Undnag-Undang tentang perbankan syariah. Walaupun Indonesia telah memiliki bank konvensional tetapi perlu mengeluarkan Undang-Undang tentang perbankan syariah yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Kata Kunci: unifikasi, kodifikasi, kemaslahatan
I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya hukum Islam diterapkan dengan tujuan mengajak kepada kebaikan dan mencegah terjadinya kemungkaran, dengan kata lain, menciptakan kemaslahatan. Sehingga Islam bukan hanya dikenal sebagai keyakinan, tapi juga sebagai standar, untuk mewujudkan kemaslahatan. Untuk dapat mencapai itu, maka Islam mengenal maqashid syariah, dengan terpenuhinya maqashid syariah yang berjumlah lima, maka dapat dipastikan kemaslahatan untuk umat manusia akan tercapai. Lima aspek yang harus terpenuhi (Maqashid Al-Khamsah) yaitu (Abu Ishaq Asy-Syatibi: 1997; 7),
1. Menjaga agama 2. Menjaga jiwa 3. Menjaga akal
Rozihan
386 Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan
4. Menjaga harta 5. Menjaga keturunan
Kelima hal tersebut, menjadi standar atau ukuran untuk dapat menciptakan produk hukum yang ideal.
Dalam sejarah Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan (zaman kolonial) sudah ada upaya-upaya kodifikasi dan perwujudan hukum Islam menjadi Undang- Undang, salah satunya adalah diberlakukannya Compedium Freijer yang digunakan oleh pengadilan VOC (Resolutie der Indisch Regering, 25 Mei 1760); Compendium der Voornaamste javaanisch wetten nauwkeuring Getrokken uit het Mohammedaansch Wetboek Mogharraer (di susun di Semarang 1750);
Compendium Indlandsch Wetten bij De Hoven Van Bone en Goa yang diberlakukan di Sulawesi Selatan (Muhammad Daud Ali: 1990; 213-214).
Selanjutnya, pada zaman Orde lama ada beberapa produk hukum (Undang-Undang) yang mengadopsi hukum Islam di dalamnya, antara lain, Undang-Undang pokok Agraria tahun 1960. Pada masa Orde Baru muncul produk-produk hukum yang bernuansa Islam, yaitu, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1975 mengenai implementasi UU No.1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan Tanah Hak Milik No. 28 tahun 1977, Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan agama, Peraturan Menteri Agama no.2 tahun 1990 tentang petunjuk perkawinan secara Islam, dan masih banyak lagi.
Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi negara yang menganut paham demokrasi. Sedangkan mayoritas masyarakat Indonesia adalah masyarat muslim, sehingga diperlukan produk hukum yang tidak keluar dari koridor keislaman sebagaimana yang dianutnya. Oleh karena itu, karena Indonesia merupakn negara demokrasi yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, maka diperlukan
“proses legislasi” untuk mengimplementasikan hukum Islam, yang selanjutnya menjadi “produk legislasi” berupa perUndang-Undangan yang mengikat.
Hal ini juga tidak lepas dari perkembangan masyarakat, yang sebelumnya merupakan masyarakat tradisional, beralih ke modern, hal ini memaksa perubahan pada produk hukum yang digunakan, yang sebelumnya produk hukum yang hanya berupa kebiasaan-kebiasaan (tidak mengikat, tidak terkodifikasi), saat ini harus terkodifikasi (bersifat mengikat).
II. TINJAUAN PUSTAKA Unifikasi dan Kodifikasi Hukum
Kata Unifikasi, menurut kamus besar bahasa indonesia adalah, menyatukan berbagai hal, penyatuan, menjadikan seragam, penyempurnaan.
(https://kbbi.web.id/unifikasi:2019)
Sedangkan kata kodifikasi, berasal dari bahasa Inggris codification yang berarti penyusunan (George Ostler dan Julia Swannel: 1986; 100). Dalam bahasa Indonesia, kodifikasi tersebut diartikan dengan Himpunan berbagai peraturan menjadi Undang-Undang atau penggolongan hukum dan Undang-Undang berdasarkan pada asas tertentu di kitab Undang-Undang yang baku(Tim Penyusun:
1995; 516).
Pengaruh Hukum Islam di Indonesia
Seminar Nasional & Call for Papers FAI UNISSULA 2019 387
Dalam istilah Arab, kata kodifikasi sering disamakan dengan kata al-taqnin, al-tadwin, al-jam’u. Tetapi, kata yang paling sering digunakan untuk menggambarkan kata kodifikasi adalah kata al-taqnin (Pagar: 2004; 3).
Jadi, secara rinci, kodifikasi dan unifikasi hukum adalah usaha menghimpun hukum menjadi satu kesatuan dengan bentuk yang sistematis untuk dapat dijadikan sebuah buku pedoman. Serta menyeragamkan hukum yang berlaku di suatu wilayah.
Gagasan menyeragamkan hukum Islam melalui legislasi hukum atau yang sering kita sebut sebagai gagasan Unifikasi dan Kodifikasi hukum, hal ini sudah dimulai sejak abad ke-2 Hijriah atau tepatnya pada tahun 757 Masehi, oleh Ibnu al- Muqaffa.
Ibnu al-Muqaffa yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad Abdullah bin al-Muqaffa. Ia adalah orang Persia yang tumbuh besar di tengah-tengah masyarakat Arab. Pada tahun 730 M beliau menjadi sekretaris dari khalifah Abu Ja’far al-Manshur (Puriyadi: 2010; 3). Selain menjadi sekretarisnya Ibnu Muqaffa yang mahir berbahasa Arab dan menguasai seni dalam bahasa Arab (Balaghah) juga sering menerjemahkan syair-syair atau kitab-kitab untuk khalifah Abu Ja’far Al-Manshur.
Sampai pada suatu hari, ia menyurati khalifah, yang isinya adalah agar pemerintah melakukan penyeragaman hukum dengan mengundangkan sebuah kodifikasi hukum, yang menjadi pedoman dan berlaku di seluruh wilayah. Hal ini adalah sebagai refleksi dari kumulatif hasil pengamatannya terhadap kekacauan hukum yang terjadi dalam masyarakat dan lembaga peradilan.
Permintaan Ibn al-Muqaffa ini juga bertujuan untuk memberikan batasan yang jelas tentang batasan yang jelas tentang hukum sehingga dapat dipahami oleh masyarakat secara umum, juga untuk membantu para hakim supaya dapat secara langsung merujuk hukum yang akan diterapkan tanpa terlebih dahulu melakukan ijtihad pada kasus-kasus yang sama. Menurutnya jika ini terlaksana, maka kekacauan hukum dan sifat subjektifitas hakim dalam lembaga peradilan tersebut akan dapat diminimalisir (Muhammad Abu Zahrah; 119).
Karena tujuan hukum Islam adalah menciptakan maslahah maka kodifikasi hukum pada zaman itu, harus sesuai dengan kaidah-kaidah umum dan memerhatikan kemaslahatan masyarakat, serta tidak bertentangan dengan dalil- dalil yang terdapat pada nash (Al-Qur’an, As-Sunnah, Ar-Ra’yu).
Tetapi, gagasan ini tidak diterima oleh khalifah Abu Ja’far Al-Manshur. Hal ini juga dengan beberapa pertimbangan, salah satunya adalah dengan mempertimbangkan aspek ketentraman masyarakat. Karena masyarakat di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah tidak semua beragama Islam, maka dengan berlakunya hukum Islam untuk seluruh masyarakat baik masyarakat muslim maupun masyarakat non-muslim akan menimbulkan konflik, dan akan terjadi banyak pemberontakan (Muhammad Abu Zahrah; 119).
Produk Legislasi Hukum Islam
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang majemuk. Disebut demikian karena adanya tiga sistem hukum yang berlaku, yaitu;
1. Sistem hukum Adat
Rozihan
388 Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan
2. Sistem hukum Islam 3. Sistem hukum Barat
Hukum Islam menjadi salah satu hukum yang berlaku di Indonesia dikarenakan sudah sejak lama Islam masuk di Indonesia.ada banyak teori yang menjelaskan masuknya Islam ke Indonesia, salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi, atau pada abad pertama hijriyyah, yang dibawa oleh pedagang arab. Hal ini didasarkan pada temuan batu nisan seorang muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun di Lera, dekat Surabaya (Syafitri Gunawan: 2018; 13). Bandingkan dengan hukum Barat yang baru diperkenalkan oleh VOC Belanda pada awal abad ke-17 M. Oleh karena itu, ketika Belanbda datang ke Indonesia, hukum Islam tidak serta merta dihapuskan dan diganti oleh produk hukum yang mereka bawa, hal in terlihat pada tahun 1760 diterbitkannya Compendium Frejer, yaitu kitab Undang-Undang yang memuat hukum Perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang diberlakukan di pengadilan-pengadilan untuk menyelesaikan sengketa umat muslim pada saat itu (Muhammad Daud Ali: 1990; 266).
Produk Legislasi hukum Islam yang berlaku di Indonesia, antara lain:
1. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang tentang perkawinan di Indonesia adalah Undang-Undang No.1 tahun 1974. Walaupun hanya dinamakan Undang-Undang tentang perkawinan, tetapi di dalamnya penuh dengan nilai-nilai keislaman. Hal ini terlihat pada pasal 2 ayat (1), yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan di Indonesia hanya diakui apabila mengikuti tatacara agamanya masing-masing, termasuk agama Islam. Kemudian, dilanjutkan dengan pasal 2 ayat (2), yang berbunyi,
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perUndang- Undangan yang berlaku.”
Sesuai dengan ajaran Islam, yaitu surat al-baqarah (2) : 282. Dimana setiap perkara harus dicatatkan agar memiliki kekuatan hukum.
Sejarah dari terbentuknya Undang-Undang perkawinan di Indonesia, dimulai pada tahun 1930-an, dimana pemerintah kolonial Belanda berencana membentuk sebuah peraturan untuk mencatatkan perkawinan. kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Indonesia merdeka dimana sebelum menjadi Undang-Undang harus melalui tahap perencanaan, yang dinamakan rancangan Undang-Undang, dalam hal ini rancangan Undang-Undang yang digunakan adalah rancangan Undang-Undang perkawinan. ada tiga rancangan Undang-Undang yang hendak di buat menjadi Undang-Undang perkawinan di Indonesia. pertama, rancangan Undang-Undang perkawinan, kedua, rancangan Undang-Undang perkawinan umat Islam, ketiga, rancangan Undang-Undang ketentuan pokok perkawinan.
Dari ketiga rancangan tersebt hanya satu yang diloloskan menjadi Undang- Undang, yaiturancangan Undang-Undang tentang perkawinan. sedangkan kedua rancangan Undang-Undang lain, ditarik agar tidak menjadi Undang-Undang.
Pengaruh Hukum Islam di Indonesia
Seminar Nasional & Call for Papers FAI UNISSULA 2019 389
Ditarik oleh presiden melalui suratnya yang disampaikan kepada DPR dengan Nomor surat: R02/P.U./1973 tanggal 31 Juli 1973.
Dan setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, rancangan tersebut berhasil menjadi Undang-Undang resmi di Indonesia, yang bersifat mengikat seluruh masyarakat Indonesia, menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Skema pembentukan UU Perkawinan di Indonesia 2. Undang-Undang Peradilan Agama
Peradilan agama di Indonesia, memiliki sejarah yang panjang, jauh sebelum kemerdekaan, sistem peradilan agama sudah dikenal. Peradilan agama di Indonesia sempat mengalami kemajuan dan kemunduran, terutama saat Sultan Agung wafat dan digantikan oleh Amangkurat I (Ari Wibowo: 2007; 128).
Sejarah terbentuknya Pengadilan Agama dimulai pada tahun 1820, yaitu pada era penjajahan Belanda. Gubernur jendral Belanda pada saat itu, melalui Staatsblad (peraturan) Nomor. 22 Pasal 13, yang berbunyi;
“Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan menjaga supaya para pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa.”
Para sejarawan menduga, bahwa telah ada Pengadilan Agama pada zaman ini, atau setidaknya diseluruh pulau Jawa.
Dilanjutkan pada tahun 1823, dimana pada saat itu terjadi revolusi oleh gubernur jendral Hindia Belanda Nomor 12 Tanggal 3 Juni 1823, yang meresmikan Pengadilan Agama pertama di Indonesia, yang berada di kota Palembang.
Kemudian pada tahun 1931 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad Nomor 53, yang isinya mencakup tiga hal (Ari Wibowo: 2007; 128), yaitu:
1) Tentang perubahan nama Pengadilan dari Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht.
2) Memuat aturan tentang campur tangan Landard dalam peradilan soal pembagian harta milik orang Indonesia asli.
3) Memuat peraturan pembentukan balai yang mengurusi harta peninggalan milik orang Indonesia asli.
Rozihan
390 Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan
Karena staatsbad ini tidak berjalan efektif, maka pada tahun 1937 pemerintah hindia Belanda mengeluarkan staatsbad nomor 116, yang berisi tentang pencabutan hak mengadili masalah waris dan masalah lain yang berhubungan dengan harta benda bagi Pengadilan Agama. Sejak saat itu, Pengadilan Agama hanya memiliki wewenang untuk mengadili masalah perkawinan dan perceraian.
Tetapi pada saat itu, para hakim di Pengadilan Agama masih belum memiliki pegangan. Jadi dalam satu masalah yang sama, seringkali para hakim memutuskannya dengan putusan yang berbeda.
Lalu setelah kemerdekaan, hal ini dimulai pada tanggal 3 Januari 1946, di bentuknya kementerian agama. Pada masa ini, Pengadilan Agama dan mahkamah Islam tinggi yang telah ada tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan. Tiga bulan kemudian, pemerintah mengeluarkan penetapan Nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua urusan mengenai mahkamah Islam tinggi dan departemen kehakiman kepada Departemen Agama. Sejak saat itulah Pengadilan Agama menjadi bagian penting dari Departemen Agama. Pada tanggal 31 Oktober 1964 disahkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 tentang ketentuan pokok- pokok kekuasaan kehakiman.
Akhirnya, pada tahun 1989, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang nomor 7 tahun 1989, yang secara tegas menyebutkan tentang hukum acara yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa Pengadilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang Islam yang menyelesaikan maslah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah (Ari Wibowo: 2007; 134).
Skema pembentukan UU Peradilan Agama di Indonesia 3. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Beberapa catatan dalam sejarah mengungkapkan bahwa sebelum Indonesia di jajah, Indonesia sudah memiliki regulasi perjalanan haji yang diurus oleh beberapa kerajaan di Indonesia. akan tetapi hal ini, diatur secara individu, tidak ada lembaga yang khusus mengelola perjalanan haji di Indonesia (Zainal: 2012; 97).
Kemudian saat penjajahan oleh Belanda, Belanda yang mengendalikan perjalanan haji Indonesia. Tetapi semua itu hanya berorientasi ekonomi, tidak ada tanggung jawab dan tidak ada jaminan pelayanan dari pemerintah hindia Belanda.
Dilanjutkan dengan penyelenggaraan ibadah haji setelah kemerdekaan.
Setelah berhasil merdeka dari penjajah, pemerintah tidak langsung berhasil
Pengaruh Hukum Islam di Indonesia
Seminar Nasional & Call for Papers FAI UNISSULA 2019 391
menyelenggarakan ibadah haji. Pada 1946 HM. Rasyidi dilantik menjadi menteri agama, dan untuk pertama kalinya mengarahkan penataan administrasi umat beragama dan menganjurkan persatuan antar umat beragama di Indonesia.
Kemudian pada 1949, di Yogyakarta diselenggarakan musyawarah oleh Badan Kongres Muslim Indonesia. sebagai tindak lannjut dari musyawarah ini, pada tahun 1950 KH. M. Sudjak selaku utusan dari Badan Kongres Muslim Indonesia yang disertai oleh KH. Wahab Hasbullah dan H. Sholeh Suaidi mengadakan musyawarah dengan menteri agama yaitu KH. Wahid Hasyim.
Musyawarah tersebut membahas pembentukan panitia perjalanan haji Indonesia dan masalah pemberangkatan haji Indonesia. sebagai tindak lanjut dari musyawarah tersebut, Menteri Agama melalui surat No. AII/I/664 menunjuk Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (PPHI) sebagai satu-satunya lembaga yang sah untuk mengurus dan menyelenggarakan ibadah haji dii Indonesia.
Masih dalam usaha perbaikan penyelenggaraan dan perjalanan haji Indonesia, presiden mengeluarkan peraturan presiden Nomor. 3 Tahun 1960 tanggal 9 Februari 1960 yang berisi bahwa urusan haji adalah wewenang dan tanggung jawab Menteri Muda Agama untuk pekerjaan di dalam negri, dan menjadi urusan menteri luar negeri, saat pekerjaan tersebut berada di luar negeri. Kedua menteri ini dibantu oleh Panitia Negara Urusan Haji yang disebut dengan PANUHAJ.
Selanjutnya, dalam upaya memaksimalkan pelaksanaan ibadah haji di Indonesia, pada tanggal 3 Mei 1999 pemerintah bersama DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji.
Skema pembentukkan UU Penyelenggaraan ibadah Haji 4. Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Dengan posisi sentralnya dalam Islam, sebagai salah satu ibadah yang penting, yang berhubungan baik dengan tuhan (hablum min Allah) dan dengan sesama manusia (hablum min annas).
Di Indonesia, mayoritas beragama Islam. Faktanya, dana zakat di Indonesia sangat besar, maka dari itu, perlu adanya pengelolaan yang matang. Potensi zakat di Indonesia 217 miliar rupiah pada tahun 2013 (Lubis D,Anggraini L dan Rulian NA: 2014; 11).
Rozihan
392 Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan
Walaupun begitu, dalam aspek pelembagaan zakat tidak pernah diatur dalam hukum Islam. Nabi Muhammad hanya mengaturnya melalui baitul mal yang ada. Dengan melihat potensinya yang sangat besar, maka akan sangat disayangkan jika tak ada regulasi yang final yang mengatur pengelolaan zakat tersebut.
Indonesia memiliki Undang-Undang yang mengatur pengelolaan zakat, yaitu Undang-Undang nomor 23 tahun 2011 dan peraturan pemerintah RI Nomor 14 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011. Yang didalamnya menjelaskan bahwa ada tiga organisasi yang berwenang dalam pengelolaan zakat yaitu, pertama Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional, kedua, Lembaga Amil Zakat (LAZ) yaitu lembaga yang dibentuk oleh amsyarakat, ketiga, Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yaitu satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS.
Ketiga lembaga tersebut memiliki tugas untuk merencanakan, melaksanakan, mengordinasikan dalam pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
Dalam hal ini, BAZNAS bertindak sebagai pusat lembaga pengelola zakat di Indonesia. merupakan lembaga non struktural atau lembaga yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri. Bertugas untuk:
1) Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2) Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
3) Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
4) Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Karena BAZNAS bertindak sebagai lembaga yang mandiri, maka pegawai yang bekerja didalamnya juga bukanlah pegawai negri sipil, dan dipimpin oleh tenaga profesional, atau ulama’, atau tokoh masyarakat muslim.
BAZNAS merupakan lembaga pengumpul dana zakat di tingkat nasional, untuk membantu pekerjaannya, maka Menteri atas pertimbangan BAZNAS berhak mengadakan BAZNAS Provinsi dan untuk lebih mempermudah dan mengefektifkan pekerjaan maka direktur jendral di bidang zakat kementerian setelah mendapat pertimbangan BAZNAS berhak mengadakan BAZNAS Kabupaten/kota.
BAZNAS provinsi yang telah dibentuk bertanggung jawab kepada BAZNAS dan pemerintah daerah provinsi, sedangkan BAZNAS kabupaten/ kota, bertanggungjawab kepada BAZNAS provinsi dan peerinytah daerah/kota.
Untuk UPZ (Unit Pengumpul Zakat) adalah unit terkecil, yang bertugas untuk membantu pengumpulan zakat, dan bertanggung jawab kepada BAZNAS atau BAZNAS provinsi, atau BAZNAS kabupaten/kota.
Pengaruh Hukum Islam di Indonesia
Seminar Nasional & Call for Papers FAI UNISSULA 2019 393
Skema pembentukan UU pengelolaan Zakat 5. Undang-Undang Wakaf
Potensi wakaf di Indonesia hingga kini cukup besar. Menurut data Direktorat Urusan Agama Islam, pada tahun 1999, jumlah tanah wakaf di seluruh Indonesia tercatat sebesar 1.477.111.015 m2 yang terdiri atas 349.296 lokasi. Pada tahun 2012, luas tanah wakaf mengalami peningkatan secara signifikan, hingga mencapai 3.492.045.373,754 m2 di 420.003 titik (http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/berita/35-berita/660-luas-tanah-
wakaf-di-indonesia-3492045373754-m2: 2019).
Perkembangan regulasi wakaf dapat dilihat dari karakter wakaf di Indonesia. ada beberapa istilah khas Indonesia tentang wakaf ini. di Banten, dikenal istilah “Huma Serang” yang artinya adalah ladang-ladang yang dikelola bersama- sama dan hasilnya pun dapat digunakan untuk kepentingan bersama. Di Lombok ada istilah “Tanah Pareman” yang memiliki arti sebagai tanah negara yang bebas dari pajak, hasil tanah tersebut diserahkan ke desa-desa yang selanjutnya digunakan untuk kepentingan umum. Di Jawa Timur ada istilah tanah “Perdikan” yang merupakan tanah pemberian raja kepada seseorang atau kelompok yang berjasa.
Tanah ini memiliki kemiripan dengan tanah wakaf ahli dari segi fungsi dan pemanfaatannya (Ahmad Djunaidi, dkk: 2006; 16). Dari sini dapat disimpulkan bahwa wakaf di Indonesia memiliki corak khas sesuai dengan daerahnya.
Peraturan wakaf yang menjadi landasan wakaf di Indonesia pasca kemerdekaan adalah:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria.
Pada pasal 49 ditemukan ketentuan sebagai berikut:
1) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai.
2) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal ini menegaskan bahwa tanah yang dipergunakan untuk kepentingan peribadatan agama tertentu, seperti lokasi pembangunan masjid, pembangunan madrasah, maka mendapat pengakuan secara resmi.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Rozihan
394 Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan
Setelah menunggu kurang lebih 17 (tujuh belas) tahun, keluarlah peraturan pemerintah tentang Perwakafan Hak Milik pada tanggal 17 Mei 1977.
PP ini terdiri dari VII bab dan 18 pasal. Bab I adalah Ketentuan Umum, salah satunya berisi tentang definisi wakaf;
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Definisi ini merupakan terobosan baru yang menegaskan bahwa wakaf dapat dilakukan baik perorangan maupun badan hukum dengan memberikan tanah miliknya untuk kepentingan keagamaan.
Dalam PP Nomor 28 tahun 1977 ini, tanah yang hendak diwakafkan cukup diikrarkan melalui Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Serta dalam pasal 14 disebutkan bahwa;
“setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar ketentuan yang telah diatur dalam peraturan tersebut, dihukum dengan hukuman selama-lamanya 3 (tiga) bulan kurungan atau denda sebanyak- banyaknya adalah 10 (sepuluh) ribu rupiah”
c. Kompilasi Hukum Islam
Definisi wakaf dalam KHI tidak jauh berbeda dengan definisi wakaf dalam PP Nomor 28 Tahun 1977. Hal ini disebabkan oleh posisi hierarki KHI yang lebih rendah dari PP.
d. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
Melalui Undnag-Undang ini terjadi banyak perkembangan dalam pelaksanaan wakaf dan penataan administrasi wakaf, hal ini terlihat pada Pasal 1 Ayat (1), yang menyebutkan bahwa;
“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadat dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”
Definisi yang tercantum dalam Undang-Undang ini memuat frase yang belum pernah muncul sebelumnya yakni “untuk jangka waktu tertentu”. Frase ini menunjukkan perubahan yang signifikan dalam fiqh wakaf Indonesia.
Perubahan cara pandang ini tidak terlepas dari dinamika wakaf yang terjadi dalam fiqh. Dalam fiqh Syafi’i, wakaf adalah penyerahan harta kepada Allah sehingga hak milik manusia berpindah kepada hak milik Allah (Wahbah az- Zuhaili; 154-155). Sejalan dengan fiqh Maliki, fiqh Hanafi menegaskan bahwa wakaf itu seperti pinjam-meminjam. Jika masa peminjaman telah terlampaui, harta wakaf kembali menjadi milik wakif (Wahbah az-Zuhaili; 156).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi wakaf yang tercantum dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam dipengaruhi oleh fiqh Syafi’i sedangkan definisi wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dipengaruhi oleh Fiqh Maliki dan Hanafi. Dengan demikian hukum wakaf di Indonesia sangat dinamis seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman.
Pengaruh Hukum Islam di Indonesia
Seminar Nasional & Call for Papers FAI UNISSULA 2019 395
Sedangkan dalam Pasal 19, yang berbunyi;
“Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW”
Hal ini menunjukkan bahwa sudah adanya perkembangan dalam hal frase dari peraturan sebelumnya.
Kemudian dalam pasal 68, disebutkan bahwa; Menteri dapat mengenakan sanksi administratif kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang melakukan pelanggaran sementara atau pencabutan izin kegiatan dibidang wakaf bagi Lembaga Keuangan Syariah.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006
Dalam peraturan ini, terjadi perkembangan dari peraturan dan undang-undang sebelumnya. Antara lain, terlihat dari pasal 2 peraturan ini;
Nazhir terdiri dari nazhir badan hukum dan nazhir organisasi.
Di peraturan-peraturan sebelumnya tidak dijelaskan, tetapi diperaturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 ini diperjelas.
Skema pembentukan UU Wakaf 6. Undang-Undang Perbankan Syariah
Kelesuan sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan berbagai jenis sistem lainnya telah memberikan peluang bagi perkembangan ekonomi yang sarat akan nilai-nilai Islam. Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang mandiri, bukan diadopsi dari ekonomi liberal, komunis, kapitalis dan sebagainya (Abdul Manan: 2006; 38).
Perkembangan Bank Islam sebagai bagian dari sistem ekonomi Islam mulai muncul pada pertengahan abad ke-20. Yaitu diawali dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank di Mesir. Akan tetapi, akibat gejolak politik saat itu, Bank ini diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Central Bank of Egypt tahun 1967.
Selanjutnya, pada tahun 1972, sistem bank non-konvensional diperkenalkan lagi dengan berdirinya Nasser Social Bank di Mesir. Sejarah lainnya bagi perkembangan Bank Islam adalah dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah yang diprakarsai oleh Negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) (Titik Triwulan Tutik: 2016; 2). IDB ini kemudian memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan dana negara-negara muslim untuk pembangunan dalam negrinya. Akhirnya dengan berdirinya IDB ini,
Rozihan
396 Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan
memotivasi banyak negara untuk ikut mendirikan lembaga keuangan berbasis syariah.
Di Indonesia, perbankan syariah dapat dikatakan terlambat dibandingkan negara-negara lain yang memiliki penduduk mayoritas muslim seperti Indonesia.
pada awal tahun 1980 diskusi mengenai bank syariah sebagai salah satu pilar ekonomi Islam, mulai dilakukan. Langkah berikutnya, yaitu pada 1991 dibentuk suatu izin Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia sebagai hasil diskusi nasional majelis Ulama Indonesia padda tahun 1990 yang menginginkan adanya bank Islam di Indonesia (Muhammad Syafi’i Antonio: 1999; 278).
Bank Syari’ah di Indonesia secara yuridis diperkenalkan pada tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undnag Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Walaupun Undnag-Undang ini tidak secara eksplisit menyebutkan tentang keberadaan bank Syari’ah. Hanya ada dua pasal yang dapat dijadikan dasar, yaitu pasal 6 huruf (m) yang berkenaan dengan lingkup perbankan umum dan Pasal 13 huruf (c) berkenaan dengan salah satu lingkup kegiatan Bank Pengkreditan Rakyat dengan isi yang smaa menyebutkan bahwa “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (Abdurrohman: 2005; 26).
Kemudian pada tahun 2008, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah. Peraturan ini yang sampai saat ini menjadi dasar hukum bagi pendirian dan pelembagaan bank syari’ah di Indonesia. peraturan ini berisi tentang segala sesuatu yang menyangkut Bank Syari’ah, asas, tujuan, kegiatan usahanya, dan lain sebagainya, yang menyangkut bank syari’ah. Cakupannya adalah mengenai kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Dalam PP Nomor 21 Tahun 2008 bank syari’ah menurut jenisnya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu, pertama, Bank Umum Syari’ah, kedua, Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah.
Baik Bank Umum Syari'ah maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah memiliki asas, yaitu:
1) Prinsip syari’ah 2) Demokrasi ekonomi 3) Prinsip kehati-hatian
Dan memiliki tujuan sebagai penunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Pengaruh Hukum Islam di Indonesia
Seminar Nasional & Call for Papers FAI UNISSULA 2019 397
Skema pebentukan UU Perbankan Syariah Perbedaan Bank Syari’ah dengan Bank Konvensional
NO PARAMETER BANK SYARI’AH BANK
KONVENSIONAL 1 Landasan hukum UU Perbankan dan
Landasan Syari’ah UU Perbankan
2 Return
Bagi hasil, margin pendapatan sewa,
komisi/fee
Bunga, komisi/fee 3 Hubungan dengan
nasabah
Kemitraan, Investor-
investor, investor-pengusaha Debitur-kreditur 4 Fungsi dan
kegiatan bank
Intermediasi, manager investasi, investor, sosial,
jasa keuangan
Intermediasi, jasa keuangan 5 Prinsip dasar
operasi Anti riba dan anti maysir Tidak anti riba dan maysir 6 Prioritas
pelayanan
1. Tidak bebas nilai (prinsip syari’ah Islam) 2. Uang sebagai alat tukar
dan bukan komoditi 3. Bagi hasil, jual beli, sewa
1. Bebas nilai (prinsip materialis) 2. Uang sebagai
komoditi 3. Bunga 7 Bentuk usaha Tujuan social-ekonomi
Islam, keuntungan Keuntungan 8 Evaluasi nasabah
Bank komersial, bank pembangunan, bank universal, atau multi
purpose
Bank komersial
9 Hubungan
nasabah
Lebih hati-hati karena partisipasi dalam resiko
Kepastian pengembalian pokok dan bunga 10 Sumber likuiditas
jangka pendek Erat sebagai mitra usaha Terbatas debitur-kreditur 11 Pinjaman yang
diberikan Terbatas Pasar uang, bank sentral
Rozihan
398 Islam di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan
12 Prinsip usaha
Komersial dan non komersial, berorientasi laba
dan nirlaba
Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba 13 Pengelolaan dana Pasiva ke aktiva Aktiva ke pasiva 14
Lembaga penyelesaian
sengketa
Pengadilan, arbitrase Pengadilan, Badan arbitrase bank Nasional
15 Resiko Investasi
1. Dihadapi bersama antara bank dan nasabah dengan
prinsip keadilan dan kejujuran.
2. Tidak mungkin terjadi negative spread.
1. Resiko bank tidak terkait langsung dengan
debitur, resiko debitur tidak terkait langsung
dengan bank.
2. Kemungkinan terjadi negative spread.
16
Monitoring pembiayaan/kredi
t
Memungkinkan bank ikut dalam manajemen nasabah
Terbatas pada administrasi 17
Struktur Organisasi
Pengawas
Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syari’ah, Dewan
Syari’ah Nasional
Dewan komisaris 18 Criteria
pembiayaan Bankable, halal Bankable, halal atau haram
Penutup
Adnya peraturan adalah untuk memberikan keteraturan kepada sekumpulan manusia. Maka dari itu, peraturan sangat diperlukan dalam organisasi atau perkumpulan. Peraturan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini ada tiga, yaitu hukum Barat, hukum Adat, dan hukum Islam. Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi mayoritas masyarakatnya adalah muslim. Sehingga perlu adanya legislasi atau produk hukum yang sejalan dengan hukum Islam, yaitu hukum yang mengedepankan kemaslahatan. Dalam hal ini, produk hukum yang diciptakan sarat akan nilai-nilai Islam, sehingga dapat memenuhi standar-standar kemaslahatan yang ditentukan.
Banyak peraturan di Indonesia, (Undang-Undang, Peraturaan Pemerintah, dan lain sebagainya) sejalan dengan nilai-nilai Islam. Walaupun peruntukannya bukan hanya masyarakat Muslim Indonesia. Seperti berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalamnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, tetapi berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia, yang tidak semuanya beragama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Asy-Syatibi, Abu Ishaq (1997), Al-Muwaffaqat fi Ushul Al-Syariah, Juz II, Dar ibn Affan
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, Vol.8
Pengaruh Hukum Islam di Indonesia
Seminar Nasional & Call for Papers FAI UNISSULA 2019 399
Muhammad Abu Zahrah, al-Islam wa Taqnin al-Ahkam: Da’wat Muhlisat li Taqnin Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyyah, t.tp:t.t, tt
Abdurrahman (2005), Eksistensi Perbankan Syari’ah dalam Pembinaan Ekonomi Umat dalam Prospek Bank Syari’ah di Indonesia, Bandung: PPHIM Ali, Muhammad Daud (1990), Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, Antonio, Muhammad Syafi’i (1999), Bank Syari’ah Wacana Ulama dan
Cendekiawan, Jakarta: Tazkia Institut
Djunaidi, Ahmad, dkk (2006), Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf
Lubis D, Anggraini L, dan Rulian N.A (2014), Faktor-faktor yang Mempengaruhi Muzaki dalam Memilih Organisasi Pengelola Zakat, IQTISHODA Jurnal Ekonomi Islam Republika, Republika Kamis, 24 April 2014
Manan, Abdul (2006), Sistem Ekonomi Berdasarkan Syari’ah, Jakarta: Suara Uldilag MARI, Vol. 3 No. IX
Ostler, George, Julia Swannel (1986), The Little Oxford Dictionary, Clarendon:
Oxford
Pagar (2004), Kodifikasi Hukum Islam: Kajian Kesejarahan dan Pelembagaannya, IAIN Sumatera Utara: analityca Islamica, Vol.6 No.2 2004
Puriyadi (2010), Nilai Etika dalam Kalilah Wa Dimnah katya Ibn al-Muqaffa, Ilmu Ushuluddin, Januari 2010
Syafri Gunawan (2018), Perkembangan Islam di Indonesia (Suatu Diskursus Awal Mula Islam ke Nusantara), Yurisprudentia Vol.4 No.2 Desember 2018 Tim penyusun (1995), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Titik Triwulan Tutik (2016), Kedudkan Hukum Perbankan Syariah dalam Sistem
Perbankan Nasional, Jurnal Muqtasid Vol. 7 No. 1, Juni 2016
Wibowo, Ari (2007), Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap, Al-Mawarid edisi XVII
Zainal (2012), Regulasi Indonesia dalam Tinjauan Sejarah, Juris Vol.11 No.2 Desember 2012
http://bimasislam.kemenag.go.id/informasi/berita/35-berita/660-luas-tanah-wakaf- di-indonesia-3492045373754-m2
https://kbbi.web.id/unifikasi
UNISSULA PRESS
Universitas Islam Sultan Agung Semarang Jl. Kaligawe Raya KM. 4 Semarang 50112 Telp. (024) 6583584