1
2 v
3
4
@2019, Febriawan Jauhari
Seni Menyiksa Diri Oleh: Febriawan Jauhari
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin tertulis dari penulis
Desain sampul: lebahbertakwa
v
5
Tentang
Febriawan Jauhari terlahir di Lombok, tiga Ramadhan. Biasa dipanggil ‘Jauh’. Sekarang sedang melanjutkan studi di kampus Ibukota.
v
6
Daftar Isi
Seorang Pesakitan ... 7
Kita yang Kotor …. ... 18
Kaum Rebahan ... 25
Dekat yang Jauh ... 38
Membanding-bandingkan ... 43
Terlalu Keras Kepala. ... 54
Sebelum Meminta ... 60
Hanya Karena Kamu Gagal ... 67
Tidak Baik-Baik Saja ... 41
7
Seorang Pesakitan
Berbisik pada diri, "Kira-kira siapa orang yang paling banyak aku kecewakan?"
Sebagian diri menjawab, "Aku rasa pasangan hidupmu. Kamu seringkali bersikap egois, emosi berubah-ubah semaumu. Tak terhitung berapa kali ia terluka oleh ketidakperhatianmu tentangnya?"
8
Sebagian diri yang lain menjawab,
"Aku rasa orang tuamu. Jika dihitung- hitung banyak sekali yang mereka korbankan untuk pertumbuhan dan sekolahmu. Parahnya, kamu sering kali meninggikan nada, berat hati jika diminta melakukan sesuatu, dan lusinan hal-hal yang membuat mereka terluka."
Sebagian diri yang lain menjawab,
"Aku rasa teman-temanmu. Mereka ada saat bahagia juga sedihmu. Dengan ringan hati meneguhkanmu saat jatuh.
Tapi kamu sendiri? Seringkali acuh saat mereka butuh. Kamu tak membersamai saat mereka dihempas badai kehidupan."
9
Aku menunduk, mulai memaki-maki diri, "Dasar tidak tahu terima kasih!
Padahal mereka telah memberikan semua, tapi balasanmu sangat tidak manusia!"
Tiba-tiba hati nurani terdalam berbisik,
"Memang benar kamu membuat mereka kecewa, tapi aku rasa orang yang paling banyak kamu kecewakan, orang yang paling berhak kamu memohon maaf padanya, adalah dirimu sendiri.
Lihatlah, dirimu sedang terluka mendapati kenyataan bahwa kamu mengecewakan banyak orang, alih-alih
10
memeluk dan merangkul, kamu malah memaki-makinya. Alih-alih mem- perbaiki, kamu malah memperkeruh keadaan!"
Aku tertegun, apa yang dikatakan oleh hati nurani benar adanya. Hal ini membawaku pada sebuah analogi kejam seorang orang tua dan anaknya.
Bayangkan saja, setelah si anak belajar mati-matian, ikut les sana-sini, berangkat pagi pulang malam, saat ujian datang, ia pun berusaha menjawab sebenar dan sebaik mungkin.
Akhirnya tak berselang lama keluar juga nilai ujian si anak dan aduhai!
11
ternyata nilainya biasa-biasa saja, bahkan ada yang merah di beberapa mata pelajaran. Serta merta si orang tua tadi marah. Murka semurka-murkanya.
"Dasar goblok! Dasar anak tidak berguna!" Teriaknya. Bahkan hampir- hampir ia melayangkan tangan menampar si anak.
Si anak hanya bisa menangis terluka.
Alih-alih merangkul memeluk si anak, si orang tua malah pergi begitu saja, meninggalkan si anak dengan hati yang hancur berkeping-keping.
Aku seringkali bertindak seperti orang tua itu, bayangkan setelah diri berjuang
12
mati-matian menjalani kehidupan ini dengan sebaik mungkin, tapi masih juga gagal, bukannya merangkul memeluk, aku malah memaki diri sendiri. Membiarkannya tidur di luar rumah, berselimut dingin malam. Wal hasil seringkali diriku menjadi frustasi dan stres. Rasa-rasanya tidak sanggup untuk menjalani hidup lagi.
Sungguh, orang yang paling kukecewakan bukanlah pasangan hidup, orang tua atau teman-temanku, tapi yang paling sering kukecewakan adalah diriku sendiri. Sering kali melukainya.
13
Tak terhitung berapa kali kutikam diriku dengan kekhawatiran akan masa depan yang berlebihan.
Tak terhitung berapa kali kuhancurkan diriku dengan ketakutan masa lalu yang terus membayangi.
Belum lagi keragu-raguan saat akan memulai sesuatu baru. Belum lagi iri terhadap orang-orang.
Aku membiarkan diriku hancur. Aku menghancurkan diriku sendiri.
Maka kepada diri, kepada hati, kepada aku, dengarlah,
14
"Aku minta maaf padamu. Maaf yang semaaf-maafnya. Betapa aku seringkali membunuh dan menyiksamu. Sehingga pernah beberapa kali kamu ingin menyerah hidup. Kamu ingin mengakhiri saja semua ini.
Maaf.
Padahal akulah benteng terakhirmu.
Orang-orang seantero galaksi boleh saja memakimu, tapi selama aku tidak ikut-ikutan memaki, aku yakin kamu pasti bisa bersabar dan teguh. Tapi naasnya, aku malah seringkali menjadi yang terdepan, ikut memaki-maki,
15
sehingga tak terhitung berapa kali kamu ingin mati saja.
Maaf.
Mulai hari ini aku berjanji untuk lebih menyayangimu. Menjadi tameng- tameng atas kekejaman manusia dan dunia. Menjadi penyangga saat kamu terpuruk jatuh. Aku berjanji.
Maka mulai sekarang, berlarilah kejar mimpi-mimpimu, berjuanglah seserius mungkin, terbang dan melesatlah!
Jangan takut jatuh, karena ada aku yang siap untuk menangkapmu.
16
Kepada diri, mari berdamai. Mari menjadi utuh."
17
“Tak terhitung berapa kali kutikam diriku dengan
kekhawatiran akan masa depan yang berlebihan.
Tak terhitung berapa kali
kuhancurkan diriku dengan
ketakutan masa lalu yang terus
membayangi. “
18
Kita yang Kotor
Ini cerita lama, izinkanku menceritakannya kembali.
Sepasang suami-istri baru saja pindah rumah. Setiap pagi sembari bersenandung ria si istri memasak sarapan untuk sang suami, menghidangkannya di atas meja makan dekat jendela. Mengawali hari dengan duduk berdua, duh romantis nian.
19
Sementara menyantap makanan, pandangan si istri menatap menembus jendela, menemukan tetangga yang sedang menjemur pakaiannya.
"Ih jorok banget sih. Pakaiannya masih kotor." Komentar si istri. "Lihat deh, Pa. Masih banyak nodanya."
Sang suami melihat sekilas, kemudian kembali membaca koran. Tidak berkomentar apa-apa.
Keesokannya harinya, ritual yang sama terulang kembali. Setelah memasak, duduk berdua, melihat dari balik kaca jendela si istri kembali mengomentari
20
cucian si tetangga, betapa tidak becusnya ia.
Seperti hari kemarin, sang suami hanya diam.
Di hari ketiga, dari balik kaca jendela lagi-lagi si istri berkomentar pedas tentang si tetangga. "Jangan nyuci aja sekalian." Ucapnya ketus. "Pakaian masih kotor gitu kok dijemur!"
Karena sudah tak tahan lagi sang suami mengambil beberapa helai tisu, lantas mengusap kaca jendela, seketika berubah bening.
21
"Duhai!" Si istri berseru kaget, "Kok jadi bersih gitu jemurannya?"
Iapun tepuk jidat, sadar ternyata selama ini jendelanyalah yang kotor bukan cucian si tetangga.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering terjebak seperti si istri.
Orang-orang yang memposting kebahagiaannya di sosial media, menceritakan momen kebersamaannya, prestasi yang diraihnya, perjalanan liburannya, boleh jadi mereka hanya sekedar ingin berbagi kebahagiaan, tak ada niat sombong sedikitpun.
22
Kitanya saja yang terlalu kotor, hati dipenuhi iri, sehingga setiap yang dilihat selalu digelayuti nuansa curiga.
"Sombong banget sih! Kenapa harus diposting.
Kan bisa dinikmati sendiri? Dasar tukang pamer!"
Bukan, bukan mereka yang kotor, tapi kitalah yang kotor. Bahkan jika ia tidak menceritakan apapun, akan selalu ada celah untuk mengomentarinya, 'Ngilang, gak ada kabarlah' atau 'Buat apa main medsos kalau tidak ada postingan' dan selusin komentar lainnya.
23
Karena jendela kita yang kotor maka tak peduli seindah apapun pemandangan di luar, ia tetaplah jelek, bikin kesal dan sakit hati.
24
“Orang-orang yang menceritakan momen kebersamaannya, prestasi yang diraihnya, perjalanan
liburannya, boleh jadi mereka hanya sekedar ingin berbagi kebahagiaan, tak ada niat sombong sedikitpun.
Kitanya saja yang terlalu kotor,
hati dipenuhi iri, sehingga setiap
yang dilihat selalu digelayuti
nuansa curiga.”
25
Kaum Rebahan
Bagi orang-orang malas seperti kita, ujian adalah berkah, mungkin jika tanpanya, kita tidak akan pernah bersungguh-sungguh belajar.
Maka walaupun benci sekali ketika musim ujian datang, bahkan benci sebenci-bencinya, aku tetap bersyukur, aku tetap belajar, mempersiapkan diri, membaca buku bahkan begadang sampai malam. Anehnya, ketika musim
26
ujian usai, ada perasaan sedih, sedih karena berpisah dari versi diriku yang rajin, kembali ke rutinitas para pemalas.
Maka jika boleh berdoa, Ya Allah jadikanlah semua masa belajarku ujian.
***
Bagi orang-orang pendosa seperti kita, masalah hidup adalah berkah, mungkin jika tanpanya, kita tidak pernah kembali merukuk-sujudkan jiwa dan raga untuk Sang Pencipta.
Walaupun aku sangat benci masalah, pusing bahkan hampir-hampir kepala meledak dibuatnya, bahkan hati hampir
27
putus asa karenanya, aku sangat bersyukur dengan kehadirannya.
Aku bisa merasakan shalat yang luar biasa khusuk, tenggelam dalam doa-doa syahdu, bahkan tak terasa rinai hangat air mata mulai menetes basahi pipi.
Layaknya seorang anak yang sedang bermimpi buruk, ketika dibangunkan oleh ibunya dengan cara halus, ternyata ia tidak bangun-bangun, tapi ketika pintu digedor keras atau disiramkan air kepadanya, ia langsung tersentak lantas terbangun.
Akupun sama, mungkin selama ini aku tertidur, terlelap dalam kemaksiatan,
28
terlalaikan oleh hiruk-pikuk dunia, semua ini adalah mimpi buruk.
Lantas Allah datangkan peringatan- peringatan lembut dari orang-orang terdekat, tapi dasar aku! tak jua kunjung terbangun. Akhirnya Allah timpakan masalah yang begitu berat, serta merta membuat terbangun.
Alih-alih melihat sebuah masalah sebagai kutukan hidup aku lebih memilih mendefinisikannya sebagai tanda kasih Allah kepadaku.
Karena Allah ingin memuliakanku maka Allahpun mengujiku.
29
Karena Allah ingin memperbaiki kualitas hidupku maka Allahpun menimpakan masalah padaku.
Pada akhirnya semua ini adalah hal baik. Lantas kenapa begitu stres dan frustasi?
***
Bagi orang kekanak-kanakan seperti kita, kegagalan adalah berkah, mungkin jika tanpanya, kita tidak akan pernah dewasa-dewasa.
Hal ini mengingatkanku tentang percakapan imajiner dengan gelas keramik di dalam kamar. Motif bunga-
30
bunga menghiasinya, aduhai cantik nian.
“Suka sekali melihat keindahan sepertimu. Enak ya menjadi hal yang indah. Dipuji-puji oleh banyak orang.”
Bisikku padanya.
“Andai saja kamu tahu perjalanan hidupku tentulah kamu akan berpikir sebelum berkata seperti itu.” Jawabnya.
“Ceritakanlah. Aku adalah seorang pendengar yang baik.” Aku memperbaiki posisi duduku, siap-siap menyimak.
31
“Dulunya aku hanyalah tanah liat biasa, sampai kemudian seorang pengrajin dengan tangan kotornya mengambilku lantas mencampakkanku ke sebuah roda berputar. Ia mulai memutar- mutarkan aku, membuat pusing tiada tara. Akupun berteriak padanya,
“Hentikan! Kasihanilah aku! Aku tak tahan!”
“Masih belum.” Kata pengrajin itu.
Lantas ia mulai menghantam dan meninju-ninjuku berulang-ulang. Aku berteriak kesakitan. “Kumohon hentikanlah! Sakit!”
32
“Masih belum.” Si pengrajin tak sedikitpun menghiraukan tangisanku.
Bahkan setelahnya ia melakukan hal yang lebih buruk lagi, ia memasukkanku ke dalam tungku perapian, kemudian mulai membakarku.
Aku menjerit sesakit-sakitnya, menangis pilu, “Kumohon hentikanlah!
Kasihanilah aku! Kumohon!”
Si pengrajin kemudian mengangkatku lantas membiarkanku menjadi dingin selama beberapa waktu. Aku mulai lega, berpikir bahwa mungkin penederitaan telah usai.
33
Tapi tak berselang lama, si pengrajin membawaku kepada seorang wanita muda.
Ia mulai mewarnaiku, asap-asapnya membuat mual tiada tara. Aku lagi-lagi berteriak kesakitan, “Kumohon hentikanlah!”
“Masih belum.” Bisik wanita itu.
Kemudian ia memasukkanku ke tungku perapian. Untuk kedua kalinya aku dibakar. Akupun berteriak kesakitan, menjerit menangis, “Kumohon hentikanlah! Hentikanlah! Aku tak tahan lagi! Bunuh saja aku!”
34
“Masih belum.” Acuh wanita muda itu.
Tak beberapa lama kemudian ia mengangkatku kemudian menaruhku di samping cermin.
Saat membuka mata menatap cermin aku menejrit terkejut sekaligus terkagum-kagum, lihatlah!
Lihatlah!
Cermin itu memantulkan sebuah gelas keramik yang sangat indah.” Si gelas keramik menarik napas dalam-dalam, ceritanya selesai sampai disini.
“Betapa hebatnya dirimu!” Bisikku kepadanya.
35
***
Sungguh, bagi kaum rebahan seperti kita, yang hatinya lebih condong kepada kemalasan daripada kerajinan, hal-hal berat yang datang dalam hidup adalah berkah.
Lebih baik dipaksa berubah menjadi orang hebat daripada dipersilakan berleha-leha menjadi seorang pecundang.
Aku selalu percaya bahwa what doesn’t kill you makes you stronger. Jika sesuatu itu tidak cukup kuat untuk membunuhmu, maka hanya akan
36
membuatmu bertumbuh menjadi lebih kuat dan hebat.
Maka disinilah aku berteriak,
“Wahai kesulitan, wahai kegagalan, wahai keterlukaan,
Burulah aku!
Sungguh aku disini menunggu kalian.
Aku akan menyantap kalian sebelum kalian menyantapku.
Aku akan menundukkan kalian, sebelum kalian menundukkanku.
Mari bertarung!”
37
“Alih-alih melihat sebuah
masalah sebagai kutukan hidup aku lebih memilih
mendefinisikannya sebagai tanda kasih Allah kepadaku.
Karena Allah ingin
memuliakanku maka Allahpun mengujiku.
Karena Allah ingin memperbaiki
kualitas hidupku maka Allahpun
menimpakan masalah padaku.”
38
Dekat yang Jauh
Ada yang salah, jika waktu bersama teman-teman lebih menenangkan daripada waktu bersama dengan bunda.
Ada yang harus diperbaiki, jika obrolan dengan bibi, bu guru, ibunya teman lebih mengasyikkan daripada obrolan dengan bunda.
Bagaimana mungkin orang jauh lebih dekat daripada orang paling dekat?
39
Bagaimana mungkin orang paling dekat lebih jauh daripada orang jauh?
Keluh kesah kita kepada teman memang baik, tapi bantuannya hanya sebatas menepuk pundak sembari berkata, "Bersabarlah."
Tapi keluh kesah kita kepada bunda jauh lebih baik dan indah akibatnya, dipeluknya dirimu erat, dielus-elusnya kepalamu penuh kasih sayang, tak cukup dengan kata, bahkan jika harus menempuh tujuh samudera, pasti bunda akan melakukannya. Karena kamu adalah dirinya yang kedua.
40
Tidak adil sekali kita, sering sesenggukan menonton film tentang pengorbanan orang tua, tersentuh sembari menyeka ujung mata membaca cerita pengorbanan ibu, bersungut- sungut geram melihat berita tentang anak yang melukai ibu-bapaknya.
Tapi, sesunggukan dan air mata itu, tidak pernah sampai ke bunda. Tapi kegeraman itu tidak pernah sampai kepada diri sendiri yang sering melukai bunda. Kenapa kita lebih memelih tersentuh oleh kebohongan daripada kenyataan di depan mata?
41
Aneh sekali cara kita menjalani hidup, berjam-jam telponan dengan sang kekasih, bangun tidur - makan bahkan di kamar mandipun masih saling berbalas pesan, tapi tentang bunda, hanya dihubungi sekali seminggu.
Apa arti mencintai bunda? Jika tahun kemarin dan tahun ini bakti kita sama saja kepada bunda, sama-sama tidak ada peningkatan, sama-sama masih sering melukai perasaannya, sama- sama masih hanya sekedar mengucapkan di lisan.
Menjilid kenangan buruk, itulah yang harus kita lakukan sekarang. Kenangan-
42
kenangan buruk saat kita menyakiti bunda, mengabaikan perintahnya, marah-marahan karena hal sepele, semua itu haruslah dijilid rapi lantas disimpan di hati, sebagai pengingat bahwa mulai hari ini tak boleh lagi hal yang sama terjadi.
Tidak boleh!
43
“Bagaimana mungkin orang jauh lebih dekat daripada orang paling dekat?
Bagaimana mungkin orang paling
dekat lebih jauh daripada orang
jauh?”
44
Membanding Bandingkan
Hidup kita bahagia sampai kemudian kita membandingkannya dengan orang lain.
Wajah kita indah sampai kemudian kita membandingkannya dengan orang lain.
Harta kita cukup sampai kemudian kita membandingkannya dengan orang lain.
45
Maka benar sekali kata pepatah lama itu, “Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau.”
Bagaimana tidak hijau? Sedangkan kita memandangnya dari kejauhan satu kilometer.
Seperti gunung, jika kamu adalah seorang pendaki pasti tahu betul bahwa tidak semua bagian gunung ditutupi pohon, bahkan ada yang kering kerontang, tapi kenapa dari jarak serratus kilo ia terlihat begitu hijau dan mempesona?
Karena kita melihatnya dari kejauhan!
46
Begitupun dengan orang yang kita jadikan pembanding hidup kita, semisal seorang teman yang memenangkan berbagai macam perlombaan.
Ia terlihat begitu mempesona karena kita hanya melihatnya dari kejauhan.
Kita tidak tahu berapa kali ia membenturkan kepalanya ke tembok tersebab stres mempersiapkan diri, tak terhitung berapa kali ia berniat menyerah tersebab kerasnya latihan.
Kita tidak tahu apa yang sudah ia korbankan sehingga ia bisa mencapai prestasinya yang sekarang.
47
Lantas dengan mudah dan seenak hatinya kita iri kepadanya, berharap bahwa bukan dia yang berdiri disana, tapi kitalah yang mengangkat piala- piala.
Sungguh, kita adalah makhluk yang sangat pandai merasakan sesuatu yang tidak ada, dan lupa dengan sesuatu yang ada.
Kita pandai sekali merasakan kesuksesan orang-orang terdekat, membuat dada kembang kempis marah menahan iri, tapi kita sangat tidak pandai merasakan kesuksesan sendiri.
Mensyukuri apa yang kita miliki.
48
Kita benar-benar payah dalam hal ini.
Maka bab syukur adalah salah satu bab terbesar dalam pelajaran kehidupan.
Tak terhitung berapa hari kita yang hancur tersebab dihabiskan dengan iri hati.
Seorang teman terlibat percakapan unik dengan adiknya. Si adik ingin sekali mengganti hape. “Sudah butut”, ketusnya.
Wal hasil ia uring-uringan selama beberapa hari, tidak konsentrasi sekolah dan merengek-rengek ke orang tua.
49
Maka teman ini berkata kepadanya,
“Kenapa tak mensyukuri hapemu yang sekarang saja?”
“Bagaimana akan bersyukur jika hapenya jelek seperti ini? Aku cukup yakin dengan hape baru akan bisa bahagia.”
“Belum tentu. Sebelum kamu memilikinya saja sudah membuatmu gelisah selama berhari-hari, terlebih jika nanti kamu memilikinya.” Sergah si teman.
Kita seringkali mendefinisikan kebahagiaan itu adalah tentang
50
mencari, padahal kebahagiaan adalah tentang menemukan.
Kita seringkali mendefinisikan kebahagiaan itu adalah tentang dia, padahal kebahagiaan adalah tentang kita.
Daripada bersusah-susah mencari dia, kenapa kita tidak berusaha menemukan kita saja?
Mencari belum tentu menemukan, tapi menemukan sudah tentu mendapatkan.
Mencari kebahagiaan pada barang ini atau itu, orang ini atau itu, tempat ini atau itu, belum tentu kita menemukan
51
kebahagiaan itu. Tapi ketika kita melihat ke diri sendiri, menghitung- hitung yang kita punyai,
tentang mata, telinga, juga lisan yang masih baik-baik saja,
tentang orang tua, kerabat juga teman- teman yang selalu peduli,
tentang hal-hal sederhana lainnya, masih bisa menghirup udara, merasakan hangat mentari, juga teduhnya hujan,
maka sungguh kita akan menemukan diri tertakjub-takjub, ternyata apa yang
52
kita miliki jauh lebih banyak daripada yang belum kita memiliki.
Perasaan ini membuat kita bersyukur.
Rasa syukur ini terus-terusan membesar, kemudian membesar dan terus membesar, sampai-sampai tidak ada waktu lagi untuk membandingkan diri dengan orang lain.
Karena tidak ada waktu untuk membandingkan diri dengan orang lain, kitapun bisa lebih fokus dengan pekerjaan kita. Wal hasil pekerjaan menjadi cepat tuntas dan kualitasnya sangat memuaskan. Perlahan tapi pasti, kehidupan kita mulai melesat.
53
Kehidupan kita baik-baik saja sampai kemudian kita membanding- bandingkannya dengan orang lain.
Mengcopy-paste standar kesuksesan mereka. Wal hasil kita tidak puas diri!
Dan diantara ribuan cara untuk menikmati hidup kita malah memilih untuk menikmatinya dengan cara menyiksa diri!
54
“Kita pandai sekali merasakan kesuksesan orang-orang terdekat, membuat dada kembang kempis marah menahan iri,
tapi kita sangat tidak pandai merasakan kesuksesan sendiri.
Mensyukuri apa yang kita miliki.”
55
Terlalu
Keras Kepala
Jika kamu menatap laki-laki muda itu belakangan ini, kamu akan dapati pelangi membentang di matanya.
Senyum selalu merekah di bibir.
Bawaannya selalu bahagia. Coba tebak kenapa?
Akhir-akhir ini ia sedang dekat dengan seorang mahasiswi sekampus tapi beda fakultas. Lima hal yang membuat hatinya kesemsem tidak karuan,
56
pertama, dia begitu cantik. Kedua, ia cerdas, saat diajak diskusi bahkan tentang politik masyarakat planet plutopun bakal nyambung. Ketiga, solehah, agamanya bagus sekali.
Keempat, alhamdulillah belum ada yang mengkhitbah. Kelima, dan ini yang paling penting, sepertinya dia juga memiliki rasa yang sama. Tolong garis bawahi kata "sepertinya".
Siang-malam, pagi-petang pikiran lelaki muda itu dipenuhi tentang sang mahasiswi. Perlahan tanpa disadari, mulai tumbuh keyakinan bahwa dialah jodohnya, bahkan sangat pasti dialah jodohnya. Dibayangkannya sebuah
57
rumah sederhana, tempat mereka tinggal bersama, melarungi bahtera rumah tangga.
Setelah mengumpulkan semua keping keberanian, akhirnya lelaki muda itu mengungkapkan semuanya, dari Alif sampai Ya'. Sebuah iktikad baik untuk menjejaki jenjang keseriusan.
Seperti ini kurang-lebih jawaban sang perempuan, " Maaf, saya masih ingin sendiri."
Bagai meteor yang menghujam bumi, luluh lantah hati lelaki muda itu. Ia lebur selebur-leburnya, hancur berkeping-keping. Bagai tenggelam
58
jauh ke dasar samudera, tiba-tiba dunia begitu gelap. Sungguh menyedihkan.
Jadinya, apa yang salah dari kisah ini?
Jawabannya mudah, lelaki muda ini tidak menyertakan Allah dalam harapannya. Seolah-olah dia memiliki kuasa mutlak untuk menentukan jodohnya. Sehingga ketika tidak berjalan sesuai yang diharapkan, iapun melebur hancur.
Parahnya, dalam banyak episode kehidupan, kita sering berlaku seperti lelaki muda diatas. Seolah-olah memiliki kekuasaan untuk menentukan akhir sebuah cerita. Menjadi saingan
59
dari tuhan. Betapa congkak dan sombong.
Maka bijak sekali apa yang Rasulullah ajarkan kepada kita dalam doa istikharoh, "Jika ia baik maka mudahkanlah, jika ia buruk maka jauhkanlah."
Terjawab sudah, kenapa kita kecewa?
Bukan karena berharap agar sesuatu itu terjadi tapi meyakini bahwa harapan itu pasti terjadi
60
“Parahnya, dalam banyak episode kehidupan, kita sering berlaku seperti lelaki muda diatas. Seolah- olah memiliki kekuasaan untuk menentukan akhir sebuah cerita.
Menjadi saingan dari tuhan.
Betapa congkak dan sombong.”
61
Sebelum- Meminta
Teduh laki-laki itu berbisik kepada perempaun yang paling ia sayangi itu,
“Sebelum kamu memintaku untuk menerima masa lalumu, bersediakan kamu terlebih dahulu menerima masa lalumu?
Sebelum kamu memintaku untuk menerima lebih dan kurangmu, bersediakan kamu terlebih dahulu menerima lebih dan kurangmu?
62
Sebelum kamu memintaku untuk memahamimu, maukah kamu terlebih dahulu untuk memahami dirimu sendiri?
Sungguh, mudah bagiku untuk menerima masa lalumu, juga kurang dan lebihmu, apalagi memahamimu, tapi
selama kamu sendiri tidak berdamai dengan masa lalumu, juga kurang dan lebihmu, serta memahami dirimu sendiri, maka setulus dan seteguh apapun cinta dan penerimaanku tidak akan memberi manfaat apa-apa, hanya menjadi sia-sia.
63
Sungguh, cintaku bisa membuatku ikhlas menerimamu, tapi apakah cintamu pada dirimu sendiri cukup mampu membuatmu mau menerima dirimu?”
***
Benar sekali apa yang dibisikkan laki- laki ini, dalam banyak kasus kita sering meminta untuk dipahami, nyatanya kita sendiri tidak memahami diri sendiri.
Dalam banyak kasus kita menuntut orang-orang sekitar untuk mau ikhlas menerima kegagalan kita, tapi di satu sisi kita sendiri masih stres karenanya, kepikiran terus menerus.
64
Dalam banyak momen kita menuntut orang-orang untuk tidak terlalu mempedulikan masa lalu kita, update quote-quote bijak di sosial media, nyatanya kita sendiri masih menangisinya, masih trauma, masih berkabung kesedihan.
Sungguh, orang-orang terdekat kita sangat menyayangi kita. Sangat bisa menerima apa adanya kita.
Tapi apakah kita juga seperti mereka?
Cobalah curhat kepada ayah dan ibu tentang betapa kamu sangat tidak bisa menjadi manusia yang membanggakan, maka serta merta mereka akan
65
menjawab seperti ini, “Mungkin kamu memang tidak cukup membanggakan bagi semua orang, tapi percayalah di hati kami kamulah yang paling membanggakan.”
Cobalah curhat kepada sahabat terbaikmu, tentang betapa gagalnya dirimu, maka serta merta ia akan berbisik seperti ini, “Mungkin kamu tidak cukup hebat untuk semua orang, tapi percayalah di hatiku kamulah sehabat terhebatku.”
Cobalah curhat kepada pasangan hidupmu tentang betapa tidak percaya dirinya kamu dengan wajah
66
sederhanamu, maka serta merta ia akan berbisik lembut seperti ini, “mungkin kamu tidak cukup cantik bagi semua orang, tapi percayalah, di mataku kamulah yang tercantik.”
Akhirnya kamupun tersadar bahwa selama ini, kitalah yang telah menistakan diri kita sendiri, kitalah yang terlalu takut dengan perkataan orang-orang. Padahal mereka fine-fine saja.
Maka sebelum menuntut orang-orang untuk berdamai dengan kita, mari terlebih dahulu berdamai dengan diri sendiri.
67
“Dalam banyak momen kita
menuntut orang-orang untuk tidak
terlalu mempedulikan masa lalu
kita, update quote-quote bijak di
sosial media, nyatanya kitas
sendiri masih menangisinya,
masih trauma, masih berkabung
kesedihan.”
68
Hanya Karena Kamu Gagal
Hanya karena kamu gagal pada tanggung jawab itu, bukan berarti kamu pasti akan gagal pada tanggung jawab kali ini.
Hanya karena masa lalumu gelap, bukan berarti masa sekarangmu juga pasti gelap. Lebih-lebih takut berlebihan bahwa masa depanmu juga akan tak kalah pekatnya.
69
Jangan biarkan hal-hal yang tidak bisa kamu ubah mempengaruhi hal-hal yang bisa kamu ubah.
Bukankah kemarin hari yang berdiri sendiri, dan hari ini juga hari yang berdiri sendiri?
Kenapa bersikeras menggabungkan dua hari yang memang terpisah, yang memang berdiri sendiri?
Bukankah ini tindakan konyol?!
Seperti seseorang yang pergi ke teater kemudian membeli dua tiket dengan jam tayang yang sama. Apakah mungkin baginya untuk menonton
70
kedua pertunjukan dalam waktu bersamaan?
Mustahil!
Semustahil kita yang berusaha untuk hidup di dalam dua masa: masa sekarang dan masa lalu?
Apapun yang terjadi di masa lalu, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, jangan sampai kegagalan di masa lalu terbawa-bawa di masa sekarang, wal hasil kita tidak berani untuk melangkah, merasa berat untuk mengambil tanggung jawab.
71
Memang ada trauma yang masih membekas, membuat ragu, tapi keraguan dan kekhawatiran ini bukan malah menjadi sebab kita tidak berani mengambil kesempatan itu. Justru ini menjadi senjata terkuat kita.
Seorang teman tiga kali mendaftar untuk masuk ke kampus yang sama, tapi ia tak kunjung-kunjung jua lulus.
Bukannya melemah, ia malah bertambah semangat, karena pada percobaan yang keempat kali ia memiliki apa yang tidak dimiliki oleh pendaftar lain, pertama, ia paham seluk- beluk soal. Kedua, ia tidak grogi karena
72
sudah terbiasa tiga kali di posisi dan momen yang sama. Ketiga, ia memiliki persiapan yang jauh lebih matang daripada yang lain.
Dan benar saja, pada percobaan keempat kali ini iapun berhasil lulus.
Kini wajahnya berbinar-binar menikmati menjadi mahasiswa di kampus favoritnya itu.
Kita juga sama, kegagalan kita bukanlah sebuah kejatuhan, tapi pembelajaran, membuat kita sadar kekurangan-kekurangan yang kita miliki.
73
Trauma yang membekas, yang menciptakan kekhawatiran bukan agar kita berhenti melangkah, melainkan agar kita bisa berhati-hati melangkah.
Kehati-hatian yang tidak dipunyai oleh pesaing kita, wal hasil kita bisa melesat jauh lebih cepat dan jauh lebih jauh.
Atau semisal seorang teman yang stres melihat nilai ujiannya yang sangat tidak memuaskan. Bukannya malah menyerah, ia bertambah gila dalam belajar.
Inilah yang membedakan orang besar dengan orang kerdil, orang besar melihat sebuah kegagalan sebagai
74
dorongan untuk memecut diri agar maju, sedangkan orang kerdil melihat sebuah kegagalan sebagai siksaan untuk memcut dirinya agar mati.
Maka seperti kuda, semakin kencang pecutannya semakin cepat ia berlari, maka bagi orang berjiwa besar semakin besar sebuah kegagalan semakin ia bersemangat untuk bangkit dan mencoba lagi.
Bukankah kamu sendiri sering melihatnya, di televisi-televisi atau kanal-kanal youtube tentang orang- orang terkaya di dunia yang bercerita
75
sejarah hidup mereka, hampir tak ada satupun yang tak pernah gagal.
Bahkan sebagian mereka bangkrut, dililit hutang milyaran. Tapi alih-alih menyerah, mereka memilih berdiri tegar melawan. Mencoba membalikkan keadaan, berjuang memenangkan pertandingan.
Ketika kita sukses besok lusa, kegagalan kita bukan lagi kegagalan, tapi sebuah proses yang akan menginspirasi jutaan manusia.
Tapi coba bayangkan jika mereka memilih untuk berhenti, menyerah karena trauma, akankah mereka bisa
76
sampai di posisi mereka yang sekarang?!
Maka lepaskanlah!
Lepaskanlah dirimu. Biarakan hal-hal yang bisa kamu lakukan menghapus hal-hal yang tidak bisa kamu lakukan.
Biarkan suksesmu memenangkan kegagalanmu.
Biarkan masa sekarangmu memenang- kan masa lalumu!
77
“Lepaskanlah dirimu. Biarakan hal-hal yang bisa kamu lakukan menghapus hal-hal yang tidak bisa kamu lakukan.
Biarkan suksesmu memenangkan kegagalanmu.
Biarkan masa sekarangmu
memenangkan masa lalumu!”
78
Tidak Baik- Baik Saja
Kapan aku tahu kehidupanku tidak sedang baik-baik saja?
Pertama, saat aku iri terhadap seseorang. Kita tak pernah iri dengan seseorang yang mendapatkan bagian lebih sedikit dari kita. Kita selalu iri kepada yang lebih hebat, lebih cerdas dan lebih maju. Dari sini aku belajar, sejatinya aku jauh tertinggal, aku lebih bodoh dan payah darinya. Dan ini
79
sangat tidak baik-baik saja. Ada kualitas yang harus diperbaiki.
Maka daripada menyibukkan diri menjatuhkannya, aku lebih memilih untuk belajar darinya, memintanya jika berkenan mengajarkan prinsip dan gagasan yang ia terapkan. Aku harus lebih baik darinya.
Kedua, saat aku dikritik oleh orang- orang. Sekotor-kotornya mulut pengkritik pasti ada satu-dua yang benar. Karena jika tidak benar, mengapa kita berlelah-lelah marah meladeninya? Bukankah kita tersinggung karena ada bagian dari
80
kritiknya yang seolah melukai harga diri kita? Dan ini berarti ada yang kurang dari pekerjaan atau sikapku. Ini tidak baik-baik saja.
Maka daripada menyibukkan diri membalas dan berdebat, walau perih aku lebih memilih mengambil kritiknya, mengevaluasi diri. Bukankah di luar sana ada orang yang membayar mahal untuk mengevaluasi perusahaannya, syukur-syukur disini ada yang mau bermurah hati melakukannya.
Ketiga, saat aku jatuh dan gagal. Aku tak pernah menyalahkan keadaan atau
81
kesempatan yang kurang bersahabat.
Aku gagal karena usahaku yang kurang maksimal. Aku jatuh karena ketidak hati-hatian dalam melangkah.
Bukankah anak panah harus ditarik ke belakang baru ia bisa melesat menuju papan bidikan? Begitupun filosofi kegagalan.
Maka daripada menyibukkan diri dengan mengutuki pribadi, aku lebih memilih untuk mengobarkan semangat, mengaung sekali lagi. Bukankah singa yang terluka lebih dahsyat terkemannya daripada yang santai-santai saja?
Bukankah potensi kita akan maksimal saat kita di ambang batas kehancuran?
82
Bukankah setiap kebangkitan superhero terjadi justru ketika sangat terpuruk?
Kapan aku tahu kehidupanku tidak sedang baik-baik saja? Saat momen terburuk dan terberat dalam hidup. Aku selalu yakin mereka datang bukan untuk melemahkanku, tapi untuk melecut lantas kembali bergerak menuju kejayaan.
83
“Kapan aku tahu kehidupanku tidak sedang baik-baik saja? Saat momen terburuk dan terberat dalam hidup.
Aku selalu yakin mereka datang
bukan untuk melemahkanku, tapi
untuk melecut lantas kembali
bergerak menuju kejayaan.”
84