• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong Berdasarkan Kearifan Lokal Di Kota Langsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong Berdasarkan Kearifan Lokal Di Kota Langsa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

581

PERSPEKTIF

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif

Sistem Pemerintahan Gampong Berdasarkan Kearifan Lokal di Kota Langsa

Gampong Governance System Based on Local Wisdom in Langsa City

Reza Ardiansyah, Heri Kusmanto* & Irfan Simatupang

Program Magister Studi pembangunan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Indonesia

Diterima: 28 Desember 2022; Direview: 21 Januari 2023; Disetujui: 22 Maret 2023 Abstrak

Syari’at Islam tidak terlepas dalam sistem pemerintahan di Aceh karena merupakan “ruh” dari kearifan lokal. Penerapan Syari’at Islam secara kaffahdi kota Langsa merupakan salah satu misi yang dilakukan untuk mewujudkan visi Pemerintah Kota Langsasehingga perlu diterapkan mulai dari level pemerintahan terendah (gampong). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis sistem penyelenggaraan pemerintahan gampongberdasarkan kearifan lokalbeserta hambatannya di Kota Langsa. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Kota Langsa sudah menjalankan azas keislaman di semua tatanan pemerintahan termasuk sampai pada tatanan pemerintahan gampong.

Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Qanun Kota Langsa Nomor 5 tahun 2020 tentang Pemerintahan Gampong yang merupakan penyempurnaan dari qanun sebelumnya. Dari hasil observasi, hambatan yang dijumpai dalam penerapan syariat Islam pada pemerintahan gampong di Kota Langsa adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang syariat Islam, belum adanya qanun/resam gampong untuk menyelesaikan masalah pelanggaran syariat Islam dan kurangnya dukungan dari masyarakat dalam pelaksanaan syariat Islam.

Kata kunci: Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong; Kearifan Lokal; Syariat Islam Abstract

Islamic law is inseparable from the government system in Aceh because it’s the “spirit” of local wisdom.

Kaffah application of Islamic law is one of the missions to realize the vision of Langsa City government, so it needs to be implemented from the lowest level of government (gampong). The purpose of this study is to find out and analize how the implementation and constraints of Gampong Governance System based on Local Wisdom in Langsa City. The research method used is descriptive research with qualitative approach.

Data collection techniques are done by observation, interviews and documentations. The research result it was found that the administration of government in Langsa City had carried out Islamic principles in all governmental arrangements, including up to gampong governance structure.Its proven by releasing Qanun of Langsa City Number 5 year 2020 that concerning Gampong Government which is a refinement of the previous qanun.From the results of observations, the obstacles encountered in implementing Islamic law in gampong government in Langsa City are the lack of public knowledge about Islamic law,there is no qanun/resam gampong to resolve the problem of violating Islamic law, and the lack of support from the community in the implementation of Islamic law.

Keywords: Implementation Gampong Governance; Local Wisdom; Islamic Law

How to Cite: Ardiansyah, R. Kusmanto, H. & Simatupang, I. (2023). Sistem Pemerintahan Gampong Berdasarkan Kearifan Lokal di Kota Langsa. PERSPEKTIF, 12 (2) : 581-594

*Corresponding author:

E-mail: herikusmanto@usu.ac.id ISSN 2085-0328 (Print)

ISSN 2684-9305 (online)

(2)

582 PENDAHULUAN

Setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan “rumah tangga” sendiri dalam bentuk otonomi daerah dan otonomi khusus tak terkecuali Provinsi Aceh.Hal ini sejalan dengan pasal 18 UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara memandang dan mengingati hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa (Syahputra, 2021). Hal ini juga diperkuat dengan lahirnya UU No. 44 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh juga dituangkan dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Terbitnya Undang- Undang Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15 agustus 2005 sebagai bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi serta politik di aceh secara berkelanjutan.Terwujudnya Penandatanganan Nota Kesepahaman ini juga diprakarsai akibat terjadinya peristiwa gempa bumi dan tsunami Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 (Perez, 2009). Keadaan ini mengakibatkan kedua belah pihak setuju untuk bertemu di meja perundingan yang pada akhirnya melahirkan perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM. Hal ini tentunya menjadi penawaruntuk penderitaan rakyat Aceh yang berkepanjangan akibat konflik sosial selama lebih dari 30 tahun dan hantaman bencana alam yang dahsyat.

Konflik penyelenggaraan pemerintahan di Aceh telah terjadi sejak era Orde Lama.

Sebelum kesepakatan damai berhasil disepakati melalui MoU Helsinki pada tahun 2005, Aceh selalu ‘diperlakukan’ tidak adil oleh setiap rezim yang berkuasa sehingga menimbulkan pergolakan dalam bentuk perlawanan rakyat terhadap negara. Konflik penyelenggaraan pemerintahan ini berkaitan dengan permintaan daerah kepada pemerintah pusat untuk dapat mengatur dan mengurus

urusan- urusan pemerintahan daerah itu sendiri (Ali, 2012).

Berbagai bentuk konflik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Aceh adalah sebagai berikut.

Pertama, di

era Orde Lama melalui UU No. 10 tahun 1948 tentang Pembagian Sumatra Dalam Tiga Propinsi, yaitu Propinsi Sumatra Utara, Propinsi Sumatra Tengah dan Propinsi Sumatra Selatan yang mana karesidenan Aceh termasuk kedalam Propinsi Sumatra Utara. Pemerintah pusat menggabungkan Propinsi Aceh ke dalam Propinsi Sumatera Utara yang mengakibatkan Aceh tidak memiliki wewenang untuk mengatur dan hanya memiliki wewenang untuk mengurus saja.

Keputusan ini tentu sangat mengecewakan perasaan rakyat Aceh yang selalu membantu perjuangan Kemerdekaan RI.

Meski pada akhirnya melalui terbitnya Undang-undang nomor 24 tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh Dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara, hasrat rakyat Aceh untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan lepas dari lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera Utara dikabulkan oleh pemerintah pusat.

Kedua, Presiden Soekarno merupakan seorang nasionalis sejati sehingga permintaan masyarakat Aceh untuk menerapkan syariah Islam dalam pemerintahan ditolak dan menimbulkan pergolakan DI/TII di Aceh (Perez, 2009).

Ketiga, adanya proses sentralisasi administrasi melalui Undang-Undang Nomor 5 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa oleh negara yang menyebabkan peran dan fungsi daerah semakin terpinggirkan. Hal ini menyebabkan penyeragaman struktur pemerintahan daerah yang ikut ‘menyakiti perasaan’masyarakat di daerah terutama daerah yang memiliki kekuatan sejarah, kultur, budaya, agama dan sumber daya alam seperti Aceh.

Keempat, jumlah tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang tinggi menyebabkan

(3)

583 meningkatnya kebencian rakyat terhadap negara. Intensitas konflik rakyat dengan negara yang tinggi membuat penyelenggaraan pemerintahan daerah ‘terabaikan’ dalam semua sektor pemerintahan.

Kelima, kebijakan sentralisasi ekonomi dimana semua hasil-hasil di daerah

‘dikumpulkan’ ke pusat untuk kemudian baru didistribusikan kembali ke daerah juga ikut memicu konflik penyelenggaraan pemerintahan di sektor ekonomi (Argama, 2005). Daerah yang kaya akan sumber daya alam tidak menjadi sejahtera dan kesenjangan antar daerah juga tinggi.

Keenam, selama masa konflik vertikal di Aceh, kualitas dan kuantitas pelayanan publik juga sangat memprihatinkan. Pelayanan publik dasar dibidang pendidikan dan kesehatan seperti mencapai titik nadir. Banyak gedung sekolah, puskesmas, polindes dan poskesdes terutama yang berada di pedesaan menjadi sasaran pembakaran. Fasilitas publik lainnya juga tak luput dari sasaran perusakan dan pembakaran oleh pihak yang bertikai di Aceh adalah gedung perkantoran dan pemerintahan, jalan dan jembatan putus, armada transportasi dibakar, hingga perusakan jaringan penyuplai arus listrik.

Menurut Ali (2012) dampak yang paling terlihat dari konflik penyelenggaraan pemerintahan di Aceh adalah ‘lumpuhnya’

peran Pemerintah Daerah di Aceh untuk mengurus berbagai urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya. Pemerintah Daerah di Aceh tidak mempunyai wewenang untuk melakukan diskresi terkait kewajibannya untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan serta pemanfaatan sumber daya yang ada untuk menangani konflik yang terjadi. Oleh sebab itu, pelegalan Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) ini merupakan titik balik terjadinya rekonsiliasi kearifan lokal dalam pemerintahan daerah di Aceh dimana melalui UUPA ini banyak bentuk kearifan lokal yang diakui dan digunakan kembali dalam pelaksanaan pemerintahan.

Sistem pemerintahan berdasarkan kearifan lokal di Aceh pernah dipraktikkan selama ratusan tahun sebelum akhirnya pada era Orde Baru diseragamkan menjadi pemerintahan berbasis kearifan nasional.

Kearifan lokal dalam pemerintahan di sini dipahami sebagai upaya masyarakat Aceh dalam menggunakan kemampuan berpikirnya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan dalam ruang tertentu secara terus menerus sebagai suatu pengetahuan setempat (local knowledge) yang muncul dari periode panjang sebagai bentuk evolusi masyarakat dengan lingkungan dan sistem pemerintahan lokal yang sudah dialami bersama sehingga mewujud menjadi budaya daerah (local custom) yang mengakar kuat pada syariat Islam (local belief).

Istilah petuah Orang Aceh (hadih maja) yang dikenal masyarakat Aceh secara turun temurun dalam berkepemerintahan menyebutkan bahwa:

“Adat bak Poteu Meureuhom; Hukom bak Syiah Kuala; Qanun bak Putroe Phang; Reusam bak Laksamana; Hukom ngon adat lagee Zat ngon sifeut.”

“Adat berada di tangan Sultan; Hukum berada di tangan Ulama; Reusam (kebiasaan/adat istiadat suatu daerah) berada di tangan Laksamana; Qanun (peraturan) berada di tangan Putri Pahang; Hukum dan adat seperti zat (Tuhan) dengan sifat-NYA.”

Berdasarkan penjelasan hadih majah tersebut di atas menunjukan bahwasanya selama ratusan tahun yang lalu pemerintahan di Aceh sudah berjalan dan diberlakukan.

Pelaksanaan pemerintahan administrasi lokal di Aceh telah di kenal dengan kearifan lokal terbentuk dalam peran dan fungsinya yang ada serta dijalankan oleh masing – masing kalangan. Syariat Islam tidak terlepas dalam sistem pemerintahan di Aceh karena merupakan “ruh” dari kearifan lokal dengan adanya sistem hukum dan regulasi (qanun) yang di satukan dengan adat serta kebiasaan yang berlaku.

Makna tersirat dalam ungkapan hadih majaitu dijelaskan oleh Hasjmy (1983) sebagai berikut:

“...Islam dan rakyat Aceh ibarat darah dengan daging, hal itu berlaku dalam segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, keuangan, sosial budaya dan tata susila. Segala macam ajaran dan sistem kemasyarakatan tidak boleh berlawanan dengan ajaran Islam... ”

(4)

584 Lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh telah memberikan otoritas yang seluas-luasnya pada Provinsi Aceh berupa otonomi khusus sehingga Aceh memiliki wewenang untuk mengurus urusan “rumah tangga”nya sendiri kecuali urusan luar negeri, pertahanan negara, keamanan nasional, moneter, fiskal, peradilan dan kebebasan beragama yang otoritasnya masih dipegang oleh Pemerintah Pusat.Melalui pemberian otonomi khusus kepada provinsi Aceh telah membuka harapan dan peluang pada pemerintah aceh beserta masyarakat Acehuntuk menumbuhkan kreatifitas, diskresi dan kebebasan dalam menemukan kembali jati diri dan membangun wilayah nya sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, disebutkan bahwa otonomi khusus yang diberikan kepada aceh menitik beratkan pada 4 pondasi yaitu: (1) pemberlakuan Syariat Islam, (2)bagi hasil sumberdaya alam, (3)pemilihan langsung kepala daerah dan (4)penerapan budaya lokal kedalam struktur pemerintahan daerah. Sehingga setiap kabupaten/ kota di Aceh diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sendiri. Kewenangan tersebut sampai pada level pemerintahan terendah yaitu Desa.

Lahirnya Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa pada masa pemerintahan Presiden Soeharto yang mengatur tentang Pemerintahan Desa, Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa sejalan dengan terbitnya Undang–

undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang menjadi tonggak baru bagi pembangunan desa di Indonesia. Dengan paradigma baru, desa merupakan kesatuan hukum yang otonom dan memiliki hak dan wewenang untuk mengatur rumah tangga sendiri. Desa bukan lagi merupakan level administrasi dan menjadi bawahan daerah, melainkan menjadi independent community yang masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan sendiri dan tidak ditentukan dari atas ke bawah.

Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kekhasan sendiri yang

menjadi pembeda dengan daerah lain. Desa secara umum, dikenal dengan sebutan Gampong secara khusus di Aceh, dituangkan dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 pasal 115 pada ayat (1). Pembentukan Gampong di Aceh diawali dengan penghapusan kelurahan di seluruh provinsi Aceh. Hal ini turut dituangkan dalam UUPA Nomor 11 Tahun 2006 Pasal 267 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa kelurahan di Provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi Gampong atau nama lain dalam kabupaten/kota dan dilakukan selambat-lambatnya dua tahun sejak Undang- Undang ini disahkan. Berbanding lurus dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Langsa melalui Qanun No. 9 tahun 2008 tentang Peran Tuha Peuet Kota Langsa turut merealisasikan keputusan tersebut dengan pertimbangan bahwa sistem penyelenggaraan Pemerintah Kelurahan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Aceh sehingga dipandang perlu membentuk sistem Pemerintahan Gampong guna meningkatkan penyelenggaraan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat Gampong.

Dalam struktur pemerintahan di Aceh, gampong merupakan struktur pemerintahan terendah, oleh karenanya gampong merupakan pemerintahan tingkat pertama yang paling dekat secara langsung berinteraksi dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan terkait penyelenggaran urusan pemerintahan dan urusan sosial masyarakat.Dengan adanya kejelasan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan gampong, maka disatu sisi gampong bukan hanya semata – mata perpanjang tanganan dari pemerintah di atasnya, tetapi juga merupakan satuan pemerintahan yang memiliki hak otonomi dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia.

Otonomi seluas–luasnya yang di mandatkan Undang-undang nomor 11 tahun 2006 mengharuskan Pemerintahan Aceh untuk membuat 68 Qanun terkait pelaksanaan undang – undang ini. Contohnya adalah Qanun No. 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong yang dijadikan dasar pelaksanaan pemerintahan gampong di Aceh. Menurut Pasal

(5)

585 10 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, gampong terdiri dari Geuchik sebagai pelaksana tugas dan fungsi eksekutif pemerintahan, Imum Meunasahyang melaksanakan tugas dan fungsi penegakan norma dan aturan hukum, adat dan Syariat Islam serta Tuha Peut sebagai pelaksana tugas dan fungsi legislatif gampong baik perumusan Reusam Gampong maupun peraturan lain yg diperlukan gampong.

Sebagai salah satu contoh kearifan lokal pemerintahan di Aceh ialah dengan adanya Pemerintahan Mukim. Secara harfiah Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Aceh yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan berkedudukan langsung dibawah Camat yang di pimpin oleh Imum Mukim.

Pada mulanya seorang pemimpin Mukim hanya bertugas untuk memimpin shalat Jum’at.

Seiring berjalannya waktu, para pemimpin mukim ini memiliki basis kekuasaan dibeberapa gampong yang dinaunginya.

Sehingga kompleksitas urusan yang ditanganinya pun menjadi semakin luas tidak terbatas pada soal keagamaan namun juga meluas pada urusan – urusan duniawi. Seperti menjadi mediator dalam perselisihan antar gampong ataupun menjadi panutan dalam pelaksanaan adat di gampong – gampong yang di bawahinya.

Kondisi ini terlihat berbeda pada masa sekarang, karena saat ini fungsi mukim tidak diperdayakan seperti dulu. Sejak diterbitkannya regulasi pemerintahan Aceh keberadaan mukim belum memberikan pengaturan dalam posisi yang jelas. Dalam Qanun Aceh No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim sudah memuat kewenangan fungsi mukim, akan tetapi hal ini tidak didukung dengan fungsi pendanaan pada mukim. Kondisi ini mengakibatkan Mukim seolah ‘macan ompong’ yang tidak mampu melakukan apa–apa.

Dampak yang ditimbulkan dari efek game domino ini sangatlah pelik untuk moral masyarakat langsa. Beliau juga menuturkan bahwa game tersebut dapat membuat kecanduan dan banyaknya kemudaratan didalamnya seperti banyaknya pemuda- pemuda yang lalai akan pendidikan dan malas

untuk bekerja. Kemudian menurutnya apabila permainan ini terus dibiarkan maka akan berdampak buruk untuk kesenjangan moral masyarakat Kota Langsa. Tidak hanya itu, terdapat banyak juga para kaum hawa yang tidak memakai jilbab dan menggunakan pakaian ketat yang tidak mencerminkan budaya syari’at Islam.

Berdasarkan uraian fenomena dan fakta yang ditemukan dilapangan, maka tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis sistem penyelenggaraan pemerintahan gampong berdasarkan kearifan lokal dan hambatannya di Kota Langsa.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bisa didefinisikan sebagai penelitian yang dilakukan dalam setting tertentu yang ada dalam kehidupan riil (alamiah) dan penelitian kualitatif dapat dipergunakan untuk menyoroti dan memecahkan masalah.

Analisis data ini dilakukan dengan metode analisis data kualitatif. Pemilihan metode ini didasarkan pada berbagai pertimbangan, yaitu: pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep- konsep, dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Dalam penelitian data yang dikumpulkan akan dianalisis dengan menggunakan teori-teori yang dipandang relevan, sehingga bisa dirumuskan preposisi- preposisi yang menghubungkan konsep hukum yang ditemukan. Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam serta memiliki sifat dasar yang berbeda anatara yang satu dengan yang lainnya (Soleh & Rochmansjah, 2014).

Sementara itu dilihat dari bentuk dan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang lebih ditekankan pada upaya mencari berbagai pemikiran dan strategi untuk sistem penyelenggaraan pemerintahan Gampong berdasarkan kearifan lokal di Kota Langsa.

Lokasi penelitian merupakan dimana tempat peneliti melakukan penelitian terutama dalam menangkap fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti

(6)

586 dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat. dalam penentuan lokasi penelitian, Moleong (2008) menentukan cara terbaik untuk ditempuh dengan jalan mempertimbangkan teori substantif dan menjajaki lapangan dan mencari kesesuaian dengan kenyataan yang ada dilapangan.

Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer ialah data yang diperoleh peneliti secara langsung dari informan, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada. Menurut Faisal (1990) agar memperoleh informasi yang lebih terbukti terdapat beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan antara lain: Subyek yang lama dan intensif dengan suatu kegiatan atau aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian;

Subyek yang masih terkait secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran atau perhatian peneliti;

Subyek yang mempunyai cukup banyak informasi, banyak waktu dan kesempatan untuk dimintai keterangan;

Subyek yang berada atau tinggal pada sasaran yang mendapat perlakuan yang mengetahui kejadian tersebut.

Informan ialah orang yang berada pada lingkup penelitian, artinya orang yang dapat memberikan informasi, memberikan data, memberikan fakta, dan opini dari suatu objek penelitian. Subjek penelitian ini menjadi informan yang memberikan informasi yang diperlukan selama proses penelitian (Suryanto, 2018).

Informan dalam penelitian ini adalah:

Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong Kota Langsa; Bagian Hukum Kota Langsa; Majelis Adat Aceh Kota Langsa; Camat;

Mukim; Geuchik, beserta perangkat gampong;

Tokoh-tokoh masyarakat.

Selain data dari informan yang telah diuraika di atas, maka data yang dibutuhkan dalam penelititian ini diambil dari literatur, jurnal, buku, internet dan lainnya yang berkaitan dengan rumusan permasalahan dalam penelitian ini.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian ialah

mendapatkan data (Tanzeh, 2009). Dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta (participan observation), wawancara mendalam (in depth interview) dan dokumentasi (Sugiyono, 2010).

Secara teknis observasi disebut proses pengumpulan data (proses pencatatan data tentang keberadaan atas kejadian suatu fenomena yang diamati). Fungsi dari hasil pengamatan (data/informasi yang dicatat) diperuntukan bagi deskripsi dan /atau untuk menguji hipotesis (jawaban rasional) terhadap fenomena yang dipermasalahkan (Jauhari, Yahya & Darmawan, 2020).

Observasi atau pengamatan lapangan, baik terhadap objek penelitian, lingkungan, tempat tinggal dan hubungan sosial dengan lingkungan sekitar. Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Sugiyono (2010) menyatakan bahwa observasi merupakan suatu proses kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis. Dua diantaranya yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.

Penelitian ini melakukan observasi khususnya terhadap proses perencanaan dan penyelenggaran pemerintahan gampong.

Analisa data ialah proses pengorganisasian dalam pengurutan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar.

Proses mencari menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lainnya, sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.

Analisis penelitian kualitif bersifat induktif, bergerak dari hal yang spesifik menuju ke hal yang umum. Artinya penelitian ini dimulai atau bertolak dari data-data yang berhasil dikumpulkan untuk membangun konsep dan teori. Analisis induktif pada penelitian kualitatif dapat digunakan untuk melihat pola atau hubungan dari data yang dikumpulkan secara luas berdasarkan data statistik dan matematika (Sugiyono, 2010).

Denzin & Lincoln (2009) mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau kombinasi

(7)

587 berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda.

Menurutnya, triangulasi meliputi empat hal, yaitu: (1) triangulasi metode, (2) triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok), (3) triangulasi sumber data, dan (4) triangulasi teori.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong Berdasarkan Kearifan Lokal

Sebelum pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, di Provinsi Aceh tidak atau belum mengenal sebutan Desa.

Masyarakat mengenal kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang disebut dengan Gampong yang mana Desa atau Gampong awalnya merupakan institusi kemasyarakatan yang diwariskan secara turun temurun (Kurniawan, 2006).

Sejak dahulu keberadaan gampong di Aceh sudah diakui meski hanya dalam konteks adat. Adapun tujuan keberadaan gampong, yang merupakan nama lain dari desa merupakan romantisme sejarah saja. Dalam kenyataannya, penyelenggaraan pemerintahan gampong dan desa tidak ada bedanya. Sehingga, gampong dulu hanya istilah lain dari desa.

Paradigma yang menyatakan bahwa gampong sama seperti desa tersebut haruslah diubah. Ada perbedaan substansial antara Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa beserta perangkat dan lembaga adatnya.

Gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum dan adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri pula. Gampong dipimpin oleh Keuchik dan Teungku Imeum Meunasah.

Keuchik bertugas dibidangadministrasi pemerintahan dan berjalannya hukum (adat), sedangkan Teungku bertanggung jawab atas terlaksananya kehidupan keagamaan masyarakat, berjalannya hukum (syariat), terselenggaranya pendidikan (agama dan moral), dan atas bidang-bidang lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan kemasyarakatan umat. Hal ini tentu saja

berbeda dengan desa yang menempatkan kepala desa sebagai pimpinan dan pimpinan keagamaan sebagai bawahan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas dan sengaja memuat substansi mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya, pengertian Desa atau nama lainnya dan kawasan pedesaan, pembentukan, penggabungan dan atau penghapusan desa, sistem penyelenggaraan desa dan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, perangkat desa, badan permusyawaratan desa, kelembagaan masyarakat di desa, keuangan desa, kerjasama desa, penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan serta pemberdayaan masyarakat desa. Dengan demikian, lahirlah definisi Desa berdasarkan Undang-Undang diatas sebagai berikut: Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perihal tersebut sejalan dengan cita-cita yang tertuang dalam pasal 18 UUD 1945, yang menjamin kemandirian daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri melalui otonomi dan melindungi nilai-nilai tradisional kesatuan masyarakat hukum adat. Kemudian diikuti dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh, dilanjutkan dengan pengesahan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, disebutkan bahwa otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh menitikberatkan pada 4 pondasi yaitu: (1) pemberlakuan Syari’at Islam, (2) bagi hasil sumber daya alam, (3) pemilihan langsung kepala daerah, dan (4) penerapan budaya lokal kedalam struktur pemerintahan daerah.

Sehingga setiap kabupaten/kota di Aceh diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus urusan

(8)

588 pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sendiri. Kewenangan tersebut sampai pada level pemerintahan terendah yaitu Desa.

Selanjutnya diperkuat dengan pengesahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh (UUPA).

Pelegalan Undang-Undang ini merupakan titik balik terjadinya rekonsiliasi kearifan lokal dalam pemerintahan daerah di Aceh dimana melalui UUPA ini banyak bentuk kearifan lokal yang diakui dan digunakan kembali dalam pelaksanaan pemerintahan. Lebih lanjut, lahirnya Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 ini juga memberikan otoritas yang seluas- luasnya pada Provinsi Aceh berupa otonomi khusus sehingga Aceh memiliki wewenang untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri kecuali urusan luar negeri, pertahanan negara, keamanan nasional, moneter, fiskal, peradilan dan kebebasan beragama yang otoritasnya masih dipegang oleh Pemerintah Pusat. Melalui pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Aceh telah membuka harapan dan peluang pada pemerintah Aceh beserta seluruh masyarakat Aceh untuk menumbuhkan kreatifitas, diskresi dan kebebasan dalam menemukan jati diri dan membangun wilayahnya sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Pemberlakuan otonomi khusus mengakibatkan perlunya penataan kembali tugas, fungsi dan wewenang pemerintahan gampong dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Peningkatan Pelaksanaan Syari’at Islam serta pengembangan adat istiadat. Hal ini sesuai dengan konsep Otonomi Khusus sebagai langkah yang diambil oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang responsif dan aspiratif untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat Aceh yang dilanda konflik yang berkepanjangan.

Kebijakan mengenai tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Gampong di Provinsi Aceh diatur dalam Qanun No. 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong yang kemudian tiap-tiap kabupaten/kota diberi wewenang untuk menyusun kebijakan sendiri terkait penyelenggaraan pemerintahan gampong tersebut. Ketetapan-ketetapan yang terkandung dalam susunan qanun tidak terlepas dari nuansa keislaman sebagai dasar kearifan lokal di Aceh. Sedikit berbeda dengan

kabupaten/kota yang lain di Aceh, pemerintah Kota Langsa fokus untuk meningkatkan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah dimulai dari level pemerintahan gampong dengan menerbitkan Qanun Kota Langsa No. 5 tahun 2020 tentang Pemerintahan Gampong yang merupakan revisi dari qanun sebelumnya.

Dalam qanun ini ditetapkan bahwa syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai Geuchik di Kota Langsa wajib beragama Islam dan mampu membaca Alquran.

Penerbitan qanun ini bukan tidak beralasan mengingat sebelumnya sudah ada kebijakan dalam penyelenggaraan gampong yang dimuat dalam Qanun Kota Langsa Nomor 6 tahun 2010 yang tentu saja sudah berlandaskan syariat Islam. Hanya saja fenomena di lapangan dijumpai adanya orang- orang dari golongan non muslim yang mencalonkan diri menjadi geuchik sehingga terbitlah Qanun Kota Langsa Nomor 5 tahun 2020 untuk mempertegas eksistensi nilai keislaman dengan memuat syarat yang lebih rinci azas keislamannya.

Saat ini implementasi Syariat Islam pada pemerintahan gampong di Kota Langsa sudah berjalan sebagaimana semestinya.

Pemberlakuan Qanun No. 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan visi dan misi Walikota dan Wakil Walikota terpilih dalam Pemilukada Kota Langsa tahun 2017. Visi pembangunan yang ditetapkan Pemerintah Kota tahun 2017-2022 yakni “Langsa Kota Jasa Yang Berperadaban dan Islami”. Salah satu misi yang dibuat untuk mencapai visi tersebut adalah dengan meningkatkan pelaksanaan syariat islam secara kaffah dengan lebih mendorong inisiatif dan partisipasi warga.

Pelaksanaan syariat Islam hanya berlaku bagi masyarakat muslim dan tidak berlaku pada masyarakat non-Muslim. Bagi Non- Muslim, pemberlakuan Qanun Jinayah akan terjadi dalam tiga kondisi sebagai berikut:

Bagi Non-Muslim ketika bersama-sama dengan Muslim melakukan Jarimah; Ketika Non- Muslim boleh memilih apakah mau tunduk kepada syariat Islam yang ada dalam Qanun atau hukum sipil yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

Ketika Jarimah tidak diatur dalam KUHP,

(9)

589

Non-Muslim tetap diadili dengan menggunakan Qanun atau Syariah.

Didasari pada teori Islam Kaffah dalam surah al-Baqarah, dimana Islam adalah totalitas dalam segala aspek kehidupan, baik politik, hukum, sosial-budaya, dan ekonomi, maka diperlukan upaya rekonstruksi kembali dan lebih tepat jika dikatakan perlunya upaya reformasi total ketiga hal tersebut, yaitu konstruksi qanun syariat Islam, kewenangan penegak hukum dan juga restorasi kembali budaya masyarakat yang bersyariat. Oleh sebab itu, perlu memulai penerapan syariat islam ini dari level pemerintahan terkecil (gampong).

Sebagai sebuah institusi adat, penyelenggaraan pemerintahan gampong mengenal dengan apa yang disebut dengan tiga pilar yang di dalamnya melibatkan unsur-unsur pemerintahan, unsur agama serta unsur perwakilan masyarakat. Unsur pemerintahan diwakili oleh Keuchik, unsur agama diwakili oleh Teungku Meunasah dan unsur perwakilan masyarakat diwakili oleh Ureung Tuha (Tuha Peuet). Keuchik dan Teungku Meunasah dalam konsep birokrasi modern mungkin bisa disebut sebagai eksekutif (penyelenggara pemerintahan gampong). Sedangkan Tuha Peuet merupakan badan perwakilan dari unsur masyarakat yang berfungsi strategis sebagai badan musyawarah untuk mendampingi Keuchik dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan gampong. Dengan demikian Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong harus melaksanakan tugas gampong yang menyangkut tugas untuk menyelenggarakan pemerintahan, melakukan pembangunan, membina masyarakat dan meningkatkan pelaksanaan Syari’at Islam. Dapat dikatakan sebagai sebuah gampong apabila di dalamnya terdapat antara lain meunasah sebagai sarana tempat ibadah dan wadah kegiatan masyarakat.

Hal ini menandai bagaimana nilai-nilai adat dan agama menjadi bagian integral dari keharmonisan sosial di gampong.

Berkaitan dengan kewenangan desa atau gampong, Pemerintah Aceh melalui Qanun No.

5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam pasal 14 ayat 1 menyebutkan bahwa Keuchik memimpin penyelenggaraan pemerintahan Gampong berdasarkan kebijakan yang ditetapkannya dengan persetujuan Tuha Peuet Gampong. Pasal tersebut menjelaskan

kebijakan yang bersifat pokok, mengikat, mengatur atau membebani penduduk ditetapkan dengan Qanun Gampong, sedangkan yang bersifat dengan pelaksanaan dari Qanun Gampong ditetapkan dengan keputusan Keuchik. Selain itu, menyangkut tentang kewenangan pembentukan Qanun gampong, Kabupaten/Kota juga menegaskan dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pemerintahan Gampong dalam ketentuan umum poin 12 disebutkan bahwa Tuha Peuet Gampong adalah badan permusyawaratan gampong yang anggotanya dipilih secara langsung dari dan oleh masyarakat gampong setempat yang terdiri dari unsur ulama, tokoh masyarakat termasuk pemuda dan perempuan, pemuka adat dan cendekiawan yang ada di gampong.

Tugas dari Tuha Peuet Gampong adalah untuk mengayomi adat istiadat, membuat peraturan gampong, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan secara efektif terhadap penyelenggaraan pemerintahan gampong.

Kemudian pada poin 25 juga dijelaskan bahwa qanun gampong adalah aturan-aturan, petunjuk-petunjuk adat-istiadat yang ditetapkan oleh Keuchik setelah mendapatkan persetujuan dari Tuha Peuet Gampong.

Selanjutnya dalam pasal 21 juga disebutkan kewenangan Keuchik untuk mengajukan rancangan qanun gampong dan menetapkan qanun gampong yang telah disetujui oleh Tuha Peuet gampong. Selain itu dalam pasal 41 disebutkan bahwa Tuha Peuet gampong juga memiliki kewenangan untuk merancang qanun gampong bersama dengan Keuchik.

Dari uraian ketentuan aturan-aturan di atas sebenarnya desa/gampong sudah memiliki kewenangan untuk membentuk suatu qanun gampong, baik yang sifatnya tata tertib gampong, maupun yang sifatnya untuk penegakan syariat Islam.

Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan syariat Islam di lingkungan pemerintahan gampong, pembentukanQanun gampong yang berkaitan dengan penyelenggaraan syariat Islam di masing- masing gampong bertujuan untuk memudahkan penyelesaian pelanggaran syariat yang dilakukan masyarakat seperti perjudian, zina, khamar, pencurian, wanita

(10)

590 yang memakai pakaian ketat, tidak memakai jilbab dan lain sebagainya.

Fakta di lapangan saat ini, pembuatan qanun desa/gampong mengenai pelaksanaan syariat Islam belum terealisasi dengan baik.

Tidak hanya di Kota Langsa, bahkan ada beberapa kabupaten/kota lain di Aceh yang sama sekali belum membuat rancangan qanun yang khusus menangani persoalan syariat Islam tersebut. Selama ini persoalan pelanggaran syariat Islam diselesaikan dengan aturan tidak tertulis ataupun reusam yang berpedoman pada kebiasaan-kebiasaan orang terdahulu.

Qanun desa/gampong yang sudah dibentuk hanya qanun yang berkaitan dengan APBG (Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong) dan dalam RPJM (Rancangan Program Jangka Menengah) hanya dituangkan program-program yang sifatnya merupakan bagian dari syiar Islam. Untuk tiap-tiap gampong haruslah ada RPJM yang mengusulkan mengenai pemberdayaan, pembangunan dan syariat Islam. Usulan-usulan yang tercantum dalam RPJM yang berbentuk syiar Islam hanya sebatas pada pelaksanaan majelistaklim dan MTQ sedangkan terkait pelanggaran tindak pidana (jinayah) syariat Islam belum ada.

Penyelenggaraan pemerintahan gampong merupakan bagian yang tidak terpisahkan (subsistem) dari Provinsi Aceh dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih dari itu, gampong juga mempunyai peran dan posisi strategis, hal ini disebabkan karena Pertama, Gampong dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik, hukum perdata maupun hukum adat; Kedua, Gampong memiliki harta kekayaan, harta benda dan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut di pengadilan; Ketiga, Gampong sebagai perwujudan demokrasi, ditandai dengan dibentuknya Tuha Peuet atau sebutan lain sebagai lembaga yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta mengawasi jalannya Pemerintahan Gampong;

Keempat, Dapat membentuk lembaga kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan yang merupakan mitra kerja Pemerintahan Gampong; Kelima, Gampong memiliki sumber pembiayaan yang dapat diperoleh dari pemerintah pusat, provinsi maupun

kabupaten/kota, swadaya masyarakat, dan sumber kekayaan alam gampong; Keenam, pemerintahan Gampong mempunyai wewenang mendamaikan perkara para warganya dan sengketa adat lainnya.

Dalam konteks hukum nilai-nilai kearifan lokal tampak pada proses penyelesaian konflik dalam masyarakat. Kearifan lokal yang dipengaruhi nilai-nilai islam ini mengedepankan persaudaraan dan perdamaian sehingga penyelesaian konflik dalam masyarakat Aceh banyak ditempuh melalui jalan musyawarah dan mufakat.

Peradilan gampong dilakukan melalui jalan musyawarah dan mufakat tanpa proses peradilan dengan melibatkan lembaga peradilan sebagaimana mestinya. Penyelesaian sengketa, konflik dan berbagai macam kasus dalam gampong biasa disebut penyelesaian sengketa di luar peradilan atau ADR (alternative dispute resolution). Penyelesaian masalah dengan cara damai seperti ini dinilai lebih murah, cepat, dekat dan tidak mengintimidasi. Sebaliknya konflik dan sengketa yang diselesaikan di pengadilan cenderung memakan biaya, waktu, kaku, merugikan, dan membuat renggangnya nilai- nilai persaudaraan dan silaturahmi di antara pihak-pihak yang berkonflik.

Peradilan gampong itu sendiri dapat dilakukan oleh lembaga adat yang diatur dalam UU No.11 tahun 2006 pada Bab XIII Pasal 98.

Pada ayat (3) Lembaga Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi;

a) Majelis adat Aceh; b) Imeum Mukim atau nama lain; c) Imeum Chik atau nama lain; d) Keuchik atau nama lain; e) Tuha Peuet atau nama lain; f) Tuha Lapan atau nama lain; g) Imeum Meunasah atau nama lain; h) Keujreun Blang atau nama lain; i) Panglima Laot atau nama lain; j) Pawang Glee atau nama lain; k) Peutua Seuneubok atau nama lain; l) Haria Peukan atau nama lain; m) Syahbandar atau nama lain.

Sebagai bentuk revitalisasi kembali lembaga adat dan budaya Aceh dalam proses penyelesaian konflik, maka pemerintah Aceh juga menerbitkan Qanun No. 9 tahun 2008 tentang Peran Tuha Peuet untuk menyelesaikan 18 perkara pada tingkat gampong yaitu:

1. Perselisihan dalam rumah tangga

(11)

591 2. Sengketa antar keluarga yang berkaitan

dengan harta warisan 3. Perselisihan antar warga 4. Khalwat atau mesum

5. Perselisihan tentang hak milik 6. Perselisihan dalam keluarga

7. Perselisihan harta seuharkat (gono gini) 8. Pencurian ringan

9. Pencurian ternak peliharaan

10. Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian dan hutan

11. Persengketaan di laut 12. Persengketaan di pasar 13. Penganiayaan ringan 14. Pembakaran hutan

15. Pelecehan, fitnah, hasut dan pencemaran nama baik

16. Pencemaran lingkungan 17. Ancam mengancam

18. Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat istiadat.

Semua permasalahan tersebut dapat diselesaikan pada tingkat gampong dengan cara musyawarah dan mufakat yang tidak melibatkan pihak kepolisian. Sebagai contoh, kasus pencurian sejumlah biji kopi di Kabupaten Bener Meriah oleh seorang perempuan tua dapat diselesaikan dengan mekanisme kearifan lokal tanpa harus memperkarakannya di pengadilan. Berbeda halnya dengan kasus pencurian sendal polisi di Sulawesi, pencurian buah semangka di Jawa dan beberapa kasus tindak pidana ringan lainnya yang berakhir di pengadilan.

Penerapan penyelesaian konflik yang ada dalam masyarakat ini telah menunjukkan hasil yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Perlahan tapi pasti lembaga adat yang dahulu sempat hilang kembali direvitalisasi oleh pemerintah berbekal dukungan dari masyarakat. Karena sebelumnya, kearifan lokal terus dipelihara dan hidup dalam masyarakat, pemerintah kemudian memberikan legitimasi secara yuridis dengan membuat peraturan perundang-undangan agar lebih efektif dalam mengimplementasikannya.

Hambatan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong berdasarkan Kearifan Lokal di Kota Langsa

Dalam praktiknya, penyelenggaraan pemerintahan gampong di Aceh berdasarkan kearifan lokal yang bernafaskan Syari’at Islam

tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya.

Meskipun pemerintah telah membentuk berbagai macam kebijakan dan lembaga yang bertanggung jawab mengurusi permasalahan Syari’at Islam ini tidak serta merta menjadikan masyarakat Aceh khususnya Kota Langsa bebas dari pelanggaran Syari’at Islam. Faktanya, masih banyak masyarakat yang melakukan pelanggaran seperti meminum minuman keras, berpakaian ketat, tidak memakai jilbab, pergaulan bebas, zina atau perjudian.

Walaupun seringkali hukuman bagi pelanggar Syari’at Islam dipertontonkan ke hadapan publik namun belum juga menimbulkan efek jera.

Ditinjau dari teori yang dikemukakan Soekanto, banyak faktor yang mempengaruhi penegakan hukum di suatu daerah. Masalah pokok dalam penegakan hukum terletak pada hukumnya sendiri yaitu: (1) peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2) penegak hukum yakni pihak-pihak yang mengawal penegakan hukum, (3) sarana atau fasilitas yang mendukung penerapan hukum, (4) masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan, dan (5) budaya hukum di masyarakatnya (Soekanto, 2007).

Hambatan penegakan syariat Islam di Aceh tidak jauh dari lima hal di atas. Seperti yang dituliskan Habsah dalam hasil penelitiannya, jika ditinjau dari dasar hukum seharusnya penegakan syariat Islam tidak ada kendala dikarenakan aturan tentang syariat Islam sudah ada dalam Al-Quran dan Hadits.

Semua masyarakat muslim tentu paham karena semua hukum tersebut diberlakukan bagi setiap muslim terutama setelah dewasa atau akil baligh, terlebih lagi hukum Islam telah menjadi budaya masyarakat Aceh sejak dulu.

Selain itu pemerintah juga telah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat aturan yang dapat melancarkan penegakan syariat Islam di Aceh. Hanya saja Wilayatul Hisbah hanya diberikan kewenangan sebatas melakukan pengawasan terhadap penegakan syariat Islam sekaligus melakukan pembinaan terhadap para pelanggar syariat Islam di Aceh.

Beberapa hambatan selanjutnya berasal dari para penegak hukum. Pertama, masih kurangnya pembinaan terhadap petugas Wilayatul Hisbah sehingga masih banyak petugas yang kurang memahami eksistensi dari

(12)

592 tugasnya. Kedua, masih ada oknum petugas yang melakukan pelanggaran. Hal ini tentu mengakibatkan kurangnya rasa percaya masyarakat kepada petugas. Ketiga, tidak meratanya upgrading ilmu atau peningkatan mutu petugas yang mana kegiatan diksar hanya diperuntukkan bagi petugas yang berstatus PNS saja sedangkan masih banyak petugas Wilayatul Hisbah yang berstatus kontrak.

Keempat, adanya kebijakan penggabungan antara lembaga WH dengan Satlpol PP.

Mengingat adanya perbedaaan kewenangan antara kedua lembaga tentu tingkat pengetahuan dan kemampuan petugas WH dan Satpol PP berbeda dalam hal penegakan syariat Islam sehingga penegakan syariat Islam menjadi kurang efektif.

Kemudian hambatan terbesar dalam penegakan syariat Islam terletak pada anggaran. Penegakan dan pengawalan aturan syariat Islam membutuhkan biaya yang tidak sedikit mulai dari peembiayaan untuk peningkatan kapasitas aparatur Wilayatul Hisbah seperti kebutuhan diklat maupun biaya insentif ataupun honor petugas, biaya operasional, biaya pengadaan sarana prasarana pendukung, penyelenggaraan program kerja, sosialisasi dan kebutuhan lainnya. Pemerintah memang menyediakan anggaran, namun hanya sedikit sehingga menyebabkan penegakan syariat Islam belum bisa maksimal.

Masyarakat juga menjadi salah satu penghambat pelaksanaan penegakan syariat Islam. Banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat bukan karena mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh agama dan qanun syariat Islam, hanya saja masyarakat acuh dan terus melakukan pelanggaran. Sikap masyarakat yang demikian tentu menjadi hambatan besar bagi Wilayatul Hisbah, bahkan jika aturan mengenai syariat Islam sudah mumpuni dan petugas pelaksana juga sudah kompeten, pelaksanaan syariat Islam tetap tidak akan efektif jika tidak ada kerjasama dan dukungan dari masyarakat yang diatur (Habsah, 2020).

Lebih lanjut Al Yasa’ Abubakar (Ketua Dinas Syariat Islam Periode 2000-2007) turut menjelaskan beberapa hambatan-hambatan yang dihadapi dalam rangka menegakkan syariat Islam di Aceh. Pertama, sebagian masyarakat menimbulkan persepsi yang salah

tentang syariat Islam. Boleh jadi sesuatu yang tidak Islami dan tidak ada kaitannya dengan Islam atau dilabelkan dengan Islam, dengan alasan begitulah praktik masa lalu. Sebagai contoh kurangnya pengetahuan dan salahnya persepsi tentang bagaimana syariat Islam, pada akhir tahun 1999 munculnya “pengadilan rakyat”. Pada saat itu, banyak komentar dan pendapat tanpa alasan dan bukti yang menyatakan bahwa “peradilan rakyat” yang digelar di berbagai tempat tersebut adalah model atau tiruan atas pelaksanaan syariat Islam pada masa lalu. Walaupun pendapat yang membantah dan tidak setuju cukup banyak, bahkan domain dari pendapat yang pertama, tetapi pendapat ini tidak mampu menghalangi segelintir orang yang tidak sabar dan memaksakan kehendak, tanpa mau bertanya kepada mereka yang dianggap mengetahui dan berkompeten untuk melaksanakan aspek atau bagian-bagian dari syariat dengan kekerasan dan paksaan.

Kedua, di Aceh belum ada daerah-daerah atau masyarakat yang telah berhasil melaksanakan syariat Islam yang dapat dijadikan model atau contoh dalam upaya melaksanaka syariat Islam di Aceh. Gambaran yang telah disebutkan di atas, syariat Islam telah ditafsirkan dan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Wilayah atau daerah yang telah melaksanakan syariat Islam (misalnya;

Arab Saudi, Sudan, Irak, Pakistan dan Nigeria) pada umumnya mempunyai lingkungan dan keadaan yang sampai batas tertentu berbeda dengan keadaan dan lingkungan di Aceh saat ini.

Ketiga, masih adanya kekeliruan dalam pemahaman serta pengetahuan syariat Islam yang relatif tidak memadai di kalangan pemimpin, baik formal maupun non-formal, yang bergerak dalam organisasi sosial dan partai politik, termasuk para pemimpin dan pembuat keputusan di kalangan pemrintah.

Pemahaman yang tidak sempurna ini bersumber dari kesalahan dalam memilih aspek syariat yang akan dijadikan prioritas utama.

Keempat, kekurangan tenaga dan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menangani syariat Islam di Aceh, baik yang akan menjadi pemikir ataupun yang akan bertindak sebagai penggerak pelaksanaan

(13)

593 syariat Islam. Ketika ada penawaran untuk penulisan qanun tertentu, sebagian pihak yang dianggap layak dan memenuhi syarat untuk merancangnya menyatakan keberatan dengan alasan tidak mampu atau pengetahuan mereka rendah. Dalam hubungan ini, hakim, jaksa dan kepolisian akan bertugas menegakkan syariat Islam (qanun) pun harus dibekali dan dilatih terlebih dahulu. Karena sebagian besar dari mereka, penegakan syariat Islam merupakan barang baru yang relatif tidak diketahui apalagi dilaksanakan.

Kelima, adanya perbedaan pemahaman dari kalangan sarjana dan ulama sendiri tentang makna dan cakupan syariat Islam yang dijalankan, serta tanggung jawab pelaksanaannya. Ada syariat Islam yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemerintah, ada yang menjadi tugas masyarakat dan ada yang menjadi tugas individu. Jika hal ini tidak dijelaskan dan dirumuskan secara jelas maka akan menimbulkan kesulitan dan perbedaan pendapat yang sulit diselesaikan. Akan muncul kesulitan dalam pelaksanaannya, karena hal yang sebetulnya bersifat pribadi akan diurus oleh pemerintah, sehingga orang-orang akan terus merasa diawasi dan tidak mempunyai kebebasan lagi. Sebaliknya, hak yang semestinya diurus oleh pemerintah akan diurus oleh pribadi sehingga tidak berjalan dengan baik pula.

Berdasarkan uraian di atas, begitu banyak faktor penghambat yang mengakibatkan tidak maksimalnya pelaksanaan penegakan syariat Islam di Aceh.

Perlu dukungan dan partisipasi dari berbagai pihak untuk mengoptimalkan pelaksanaan syariat Islam itu sendiri sehingga hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga menjadi tugas masyarakat Aceh.

Hambatan politis bukan hanya yang digambarkan di atas tadi melainkan banyak lagi, ganjalan-ganjalan yang sengaja dihembuskan pihak oposisi yang bertujuan politis juga, bahkan topik-topik yang dihembuskan mereka tidak masuk akal, bahkan kekanak-kanakan, hanya sekedar informasi negatif bukan informasi benar dan bisa dipertanggung jawabkan.

SIMPULAN

Kearifan lokal sudah diterapkan di seluruh tatanan pemerintahan Kota Langsa sampai pada level pemerintahan gampong.

Legalitas pelaksanaan kearifan lokal di Aceh ditetapkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa kemudian disusul dengan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang semakin membuka kesempatan kepada pemerintah Aceh menjalankan roda pemerintahannya berdasarkan kearifan lokal masyarakat Aceh. Dengan munculnya UUPA dan Permintaan dari masyarakat Aceh kemudian di akomodir oleh peraturan yang diatasnya dengan menilai bahwa kearifan lokal itu adalah hal yang baik untuk diterapkan di sistem penyelenggaraan pemerintahan maka kearifan lokal kembali menjadi dasar dalam melaksanakan sistem pemerintahan itu sendiri.

Sehingga diaturlah kembali kebijakan- kebijakan yang berlandaskan kearifan lokal itu masing-masing wilayah di Kabupaten/ Kota yang ada di Aceh termasuk Kota Langsa. Ada pun untuk pelaksanaan kearifan lokal di Aceh yang bernafaskan syariat Islam ini secara otomati sparalel dengan pelaksanaan Wilayatul Hisbah tersebut Karena pada dasarnya teori hisbah bisa berkembang dan berakar di Aceh dikarenakan Aceh menerapkan hukum Islam.

Nilai-nilai kearifan lokal yang ada mempengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh termasuk pada tatanan pemerintahan. Untuk mengakomodir pelaksanaan landasan keislaman tersebut maka Walikota Langsa mengatur beberapa kebijakan untuk mengatur jalannya pemerintahan di Kota Langsa. Dengan komitmen menegakkan Islam secara kaffah di Kota Langsa salah satu langkah yang diambil adalah dengan merumuskan Qanun Kota Langsa Nomor 5 tahun 2020 tentang Pemerintahan Gampong yang mana qanun ini merupakan penyempurnaan dari qanun sebelumnya. Dalam qanun ini ditegaskan bahwa bakal calon geuchik di wilayah kerja Kota Langsa harus beragama Islam dan wajib mampu membaca Al-Quran.

Selain itu, untuk memaksimalkan pengimplementasian nilai-nilai kearifan lokal pemerintah kota Langsa juga membentuk Satuan Kerja Perangkat Kota (SKPK) seperti

(14)

594 Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah, Dinas Syariat Islam, Majelis Permusyawaratan Ulama, Majelis Adat Aceh dan Majelis Pendidikan Daerah yang mana SKPK ini hanya ada di Provinsi Aceh.

Dalam penyelenggaraan kearifan lokal yang berazaskan Islam ini juga terdapat beberapa hambatan yang sering dihadapi.

Secara umum hambatan yang sering dihadapi

muncul dari ada tidaknya

hukum/aturan/kebijakan itu sendiri, penegak hukum yang tidak berpengetahuan, sarana dan prasarana yang tidak mendukung kegiatan pelaksanaan syariat Islam, dana yang tidak mencukupi untuk melakukan kegiatan dan masyarakat yan acuh dan tidak mau diatur.

Secara khusus hambatan dalam penegakan syariat Islam di Kota Langsa dikarenakan akibat kurangnya sosialisasi mengenai syariat Islam mengakibatkan masyarakat tidak paham mengenai apa itu syariat Islam. Sehingga masyarakat tidak dapat mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian banyak juga masyarakat yang sudah mengetahui namun tetap tidak acuh dikarenakan sedikitnya bekal ilmu agama yang didapat dari rumah ataupun sekolah sehingga menganggap remeh persoalan syariat ini. Secara otomatis persoalan yang disebabkan oleh masyarakat ini menyebabkan hilangnya dukungan dari masyarakat untuk melaksanakan syariat Islam di Kota langsa.

Kemudian hambatan lain adalah pada sebagian gampong belum atau tidak membuat qanun syariat untuk menertibkan atau menindak pelaku pelanggaran syariat di gampong sehingga petugas yang berwenang dalam hal ini petugas Wilayatul Hisbah dan Satpol PP kesulitan dalam melakukan penertiban dan tindak lanjut pelanggaran syariat yang terjadi. Sebagian gampong menyelesaikan masalah pelanggaran syariat dengan hukum adat setempat bukan dengan hukum syariat.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, D.M. (2012). PENYELENGGARAN PEMERINTAHAN DAERAH BERBASIS BERBASIS KEARIFAN LOKAL. Universitas Brawijaya.

Argama, R. (2005). PEMBERLAKUAN OTONOMI DAERAH DAN FENOMENA PEMEKARAN WILAYAH DI INDONESIA. Jakarta.

Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Putra Grafika.

Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (2009). Handbook of Qualitative Research. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Faisal, S. (1990). Penelitian Kualitatif (dasar-dasar dan aplikasi). Malang: Ya3 Malang.

Habsah, S. (2020). Hambatan Penegakan Syariat Islam Terkait dengan Penggabungan Wilayatul Hisbah dalam Satuan Polisi Pamong Praja.

Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

Hasjmy, A. (1983). Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah.

Jakarta: Penerbit Beuna.

Jauhari, I., Yahya, A. & Darmawan. (2020). Filsafat Ilmu.

Yagyakarta: DeePublish.

Kurniawan, A. (2006). Upaya peningkatan keaktifan belajar bidang pokok bahasan bangun segi 4 melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT. UMS.

Miles, M.B. & Habermann, A.M. (1992). Analisa Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.

Moleong, L.J. (2008). Metode Penelitian Kualitatif.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Perez, J.G. (2009). Lessons of Peace in Aceh:

Administrative Decentralization and Political Freedom as a Strategy of Pacification in Aceh.

Qanun Aceh No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

Qanun No. 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong.

Qanun No. 9 tahun 2008 tentang Peran Tuha Peuet.

Soekanto, S. (2007). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Soleh, C. & Rochmansjah, H. (2014). Pengelolaan Keuangan Desa. Bandung: Fokus Media.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suryanto, R. (2018). Peta Jalan BUMDES Sukses. PT.

Syncore Indonesia.

Syahputra, D. (2021). Gampong Dalam Struktur Pemerintahan Aceh. Penerbit Yayasan Daarul Huda Kruengmane: Aceh Utara.

Tanzeh, A. (2009). Pengantar Metode penelitian.

Yogyakarta: Teras.

Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa.

Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Undang-Undang Nomor 5 (1960).

Undang-undang nomor 23 tahun 2014.

UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Referensi

Dokumen terkait

Sedang Kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu : kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat, kearifan lokal (local wisdom) yang juga disebut

Menurut konstruktivisme, identitas negara membentuk konsep kepentingan nasional mereka. Pan- Arabisme dan Pan-Islamisme, keduanya, memiliki kepentingan untuk mengalahkan Israel