• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of PENGARUH IDENTITAS POLITIK TERHADAP REGIONALISME TIMUR TENGAH: INTEGRASI ATAU DISINTEGRASI?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of PENGARUH IDENTITAS POLITIK TERHADAP REGIONALISME TIMUR TENGAH: INTEGRASI ATAU DISINTEGRASI?"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

[corresponding author: aulyafebrii@student.ub.ac.id]

PENGARUH IDENTITAS POLITIK TERHADAP REGIONALISME TIMUR TENGAH: INTEGRASI ATAU DISINTEGRASI?

Aulia Febriyanti Universitas Brawijaya

ABSTRACT

The study of political identitiy in Middle East is an uniqe one due to the challenge that offered by both sub and supra identities. Sub-state identity indicates nationalism—loyal to its boundaries—and irredentism. Supra-state identity, Pan-Arabism and Pan-Islamism, that limit the loyalty to its state. Since Arab World and Islam World emerged in Middle East, this region became more integrated. This article will examine how political identities shape the region towards the integration. The theory of constructivism will play a significant role to analyize the impact of Middle East identites to conduct their foreign policy. The result of this study shows that Middle East countries’ foreign policies are mainly influenced by their identities as Arab nation and Islam nation. Both of these identities were created through historical interaction with the involvement of the external actors. Those identities shaped regionalism in Middle East through Arab League and Islamic Conference. However, it seems that the identities are collapsing since the institutions no longer functioned recently.

Keywords: Political Identity, Regionalism, Middle East, Arab League, Islamic Conference Organization

INTRODUCTIONS

Kajian tentang identitas politik di Timur Tengah merupakan kajian yang unik karena tantangan yang ditawarkan oleh identitas sub dan supra negara. Identitas sub-negara menunjukkan nasionalisme—setia pada batas-batasnya—dan iredentisme. Identitas supra-negara, seperti Pan-Arabisme dan Pan-Islamisme membatasi kesetiaan kepada negara dan memberikan tantangan kepada nasionalisme. Ada perjuangan yang berkelanjutan di wilayah antar beberapa identitas bersaing yang dapat menyoroti proses pembentukan identitas (Hinnebusch, 2016).

Pan-Arabisme merupakan sebuah ideologi nasionalisme yang sekuler untuk menyatukan negara- negara Arab sebagai bentuk dari perlawanan terhadap musuh, yaitu Israel. Hal ini yang menyebabkan Pan- Arabisme mulai berembang Gerakan nasionalis Pan-Arab atau bisa disebut Ba’thism, lahir di Syria dan sukses berkembang di sana, termasuk Iraq dan Jordan (Hinnebusch, 2016). Awal mulanya, Partai Sosialis Ba’ath Arab (ABSP) di Suriah merupakan pilar dari Pan-Arab dan memiliki persatuan Arab sebagai salah satu tujuan esensialnya (Jillani, 1991). Namun, Presiden Mesir, Gamal Nasser, yang menjadi tokoh yang telah berjasa dalam menyebarkan identitas ini. Setelah Israel masuk ke kawasan Timur Tengah dan mendominasi wilayah di Palestina, United Arab Republic ini pun lahir untuk menekan kekuatan Israel.

Upaya Nasser untuk meluaskan pandangan Pan-Arab berakhir setelah kekalahan dalam perang enam hari Arab-Israel pada Juni 1967, yang dipandang sebagai penghinaan terhadap Arab. Pan- Arabisme mengalami keadaan yang merugikan dan berakhir disini. Konflik tidak lagi tentang keberadaan Israel, tetapi konflik sudah ada dalam internal antar-Arab, “the leading military state has for all appearances rejected the inter-Arab division of labor that asasigned it the principal obligation for a Pan-Arab cause”(Ajami, 1978). Di balik itu, filosofi Nasser ini terus bertahan di kawasan ini. Pan-Arab telah menginspirasi, Sudan, Libya, dan Yaman Selatan, serta Irak yang terus mengikuti jalan dari Nasser (Jillani, 1991). Sehingga, keberadaan identitas ini masih perlu dipertanyakan lebih lanjut.

(2)

Tidak hanya Pan-arabisme saja, identitas Pan-islamisme juga muncul di tengah-tengah perkembangan masyarakat. Jika melihat kebelakang, faktor munculnya Pan-Islamisme adalah persaingan imperialistik dengan kekuatan Barat. Dalam jurnal artikel yang berjudul, The Origins of Pan-Islam, bahwa aktivitas Inggris pada masa pemerintahan Abdul Aziz dan Abdul Hamid II, Inggris Raya—penguasa masyarakat muslim saat itu—dan Ottoman terancam oleh ekspansi Rusia, sehingga orang Inggris dikatakan ikut berpartisipasi dalam upaya untuk membentuk Liga Muslim (D. E. Lee, 1942). Namun, faktor berkembangnya Pan-Islam di kawasan Timur Tengah adalah karena kegagalan negara-negara Arab dalam melindungi Palestina. Pan-Arabisme disalahkan oleh banyak orang setelah kekalahan Arab pada 1967 dan penaklukan Israel atas kota suci Yerusalem dan menghasilkan krisis identitas dalam kawasan ini. Hal ini mendorong keyakinan masyarakat Timur Tengah bahwa dengan kembali ke jalan Tuhan merupakan cara yang dapat membalikkan bencana, sehingga gerakan politik Islam berkembang (Hinnebusch, 2016).

Pan-Islam merupakan sebuah pandangan nasionalisme agama Islam yang mengecualikan budaya dan etnis—kebalikan Pan-Arab. Pada dasarnya, ideologi ini menolak ideologi sekuler yang tidak memberikan keefektivan pada aktivitas politik. Kemenangan Israel atas Arab pada tahun 1967 memicu minat baru dalam Islam, sehingga Saudi merasa diuntungkan terhadap kondisi ini dan mendorong Pan-Islamisme di kawasan Timur Tengah. Dalam perkembangannya, Revolusi Iran 1979 telah mempercepat pertumbuhan Islamisme di seluruh kawasan, meskipun Islamis di Turki lebih ke Islam Sunni, tidak mengerahkan permintaan Iran untuk persatuan Muslim di bawah kepemimpinan Syiah (R. D. Lee, 2014).

Identitas di kawasan Timur Tengah bisa dikatakan sangat unik dan berbeda dengan kawasan lainnya karena timbul perdebatan-perdebatan mengenai nasionalisme. Perdebatan itu tentunya memunculkan masalah terhadap identitas asli Timur Tengah yang telah tertantang oleh integrasi kawasan. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana identitas politik membentuk integrasi regional. Kemudian, untuk mengetahui pengaruh identitas terhadap regionalisme, pendekatan konstruktivisme dalam hubungan internasional akan dikaji terlebih dahulu. Terakhir, tulisan ini akan mengelaborasi lebih lanjut mengenai dampak yang dihasilkan akibat adanya dua identitas—yang berbeda—terhadap regionalime di kawasan ini. Secara keseluruhan, artikel ini akan menjawab apakah identitas-identitas tersebut membawa integrasi kawasan atau disintegrasi kawasan—

melalui studi kasus Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam (OKI)?

ANALYTICAL FRAMEWORK

Konstruktivisme

Pendekatan konstruktivisme ini memandang bahwa beberapa negara memiliki perilaku yang berbeda- beda dalam sistem internasional yang anarkis. Individualisme pendekatan rasionalis yang melekat pada struktur dalam pendekatan ini menjadi lebih sesuai secara substantif karena identitas dan kepentingan sebenarnya sebagian besar eksogen terhadap interaksi antar negara. Setiap negara akan berpikir bahwa mereka berperilaku rasional, tetapi bertindak dengan cara berbeda karena negara melihat realitas image yang berbeda- beda. Menurut Alexander Wandt, image tersebut ditentukan oleh sejarah, budaya, bahasa, nilai, dan identitas yang terkonstruk secara sosial (Wendt, 1992). Konstruktivis mengatakan bahwa identitas berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri suatu negara.

Perspektif konstruktivis selalu melihat perilaku negara yang selalu dinamis dan dipengaruhi oleh non- tangible factors. Identitas aktor tidak diberikan tetapi dikembangkan dan dipertahankan atau diubah dalam interaksi. Norma yang berkembang dari interaksi diperlakukan sebagai aturan dan keteraturan perilaku yang berada di luar aktor. Analisis kerja sama konstruktivis, sebaliknya, akan berkonsentrasi pada bagaimana harapan yang dihasilkan oleh perilaku memengaruhi identitas dan minat (Wendt, 1992). Sehingga, pengaruh identitas ini yang membuat anarki dibangun oleh negara, seperti yang ditulis pada jurnal Wendt yang berjudul,

“Anarchy is what states make of it: The social cnstruction of power politics”.

(3)

yang pertama, prosesnya bertahap dan lambat (Wendt, 1992). Tujuan aktor dalam proses kerjasama biasanya untuk mewujudkan keuntungan relatif, dan karena itu aktor-aktor tidak mungkin terlibat dalam refleksi substansial tentang bagaimana mengubah parameter konteks itu (termasuk struktur identitas dan kepentingan) dan tidak mungkin untuk mengejar kebijakan yang dirancang khusus untuk membawa perubahan tersebut. Kendala yang kedua adalah evolusi sejarah kerjasama mengandaikan bahwa aktor tidak memandang negatif satu sama lain. Aktor harus peduli terutama dengan keuntungan mutlak karena akan sulit untuk menerima kerentanan dalam kerja sama. Kondisi identifikasi negatif yang membuat “evolusi kerja sama” paling dibutuhkan bekerja dengan tepat melawan logika seperti itu (Wendt, 1992).

Identitas adalah konsep kunci tetapi pada saat yang sama ada hubungan (liason) berbahaya dalam konstruktivisme milik Wendt karena dia tidak tertarik pada pembentukan identitas, bahwa fokus analitisnya adalah sistem negara. Sehingga, teori ini bergantung pada konsepsi identitas yang sangat problematis.

Konstruktivisme dan identitas mungkin berada dalam hubungan yang berbahaya bukan hanya karena identitas diperlukan dan juga berbahaya bagi pendekatan. Penghubung (liason) juga membahayakan kemungkinan mempertimbangkan implikasi politik dari konstruksi dan representasi identitas. Akibatnya, konstruktivis mungkin hanya akan melewatkan dinamika politik dalam hubungan internasional (Zehfuss, 2006).

Kemudian, mengapa kontstruktivisme mungkin akan lebih relevan untuk mengkaji identitas dalam kawasan ini? Konstruktivisme ini dapat melihat identitas di kawasan Timur Tengah, “…given the excetional power of supra-state identities (Arabism and Islam) over state condusct and the near-absence o f the national-states assumed by realism,” (Hinnebusch, 2016). Identitas dalam kawasan ini tidak secara ada diberikan, melainkan melalui transformasi interaksi yang panjang. Sehingga, identitas ini sifatnya dinamis dan bahwa, “the international environment is created and re-created in processes of interaction” (Zehfuss, 2006). Namun, ketika identitas melewati proses interaksi yang panjang dan berulang, identitas dan kepentingan akan terbentuk. Sehingga, membuat mereka tidak mudah berubah karena sistem sosial menjadi fakta sosial yang objektif bagi para aktor.

RESULT AND DISCUSSION

Identitas Politik dalam Regionalisme Timur Tengah

Menurut konstruktivisme, identitas negara membentuk konsep kepentingan nasional mereka. Pan- Arabisme dan Pan-Islamisme, keduanya, memiliki kepentingan untuk mengalahkan Israel untuk membela Palestina. Selain itu, Pan-Islamisme dan Pan-Arabisme memiliki nilai untuk menolak dominasi Barat yang dapat dilihat melalui pola politik luar negeri mereka dalam membentuk aliansi. Namun, sepertinya identitas ini tidak stabil karena adanya kendala internal dalam berkomitmen terhadap identitas. Seperti, Anwar Sadat, Presiden Mesir, yang menandatangani Perjanjian David Camp dengan Israel setelah kalah dalam perang.

Sehingga, Mesir dianggap telah menusuk aliansi United Arab Republic oleh negara Arab lainnya, yang pada akhirnya berujung dengan ketidakstabilan identitas Pan-Arabisme di Timur Tengah.

Norma-norma Arabisme 'diciptakan' pada periode antar perang, diamankan selama dekade 1945–55, dan kemudian mereka menurun setelah 1963. Norma-norma Arab yang muncul dari skema Pakta Baghdad, dan yang kemudian diperkuat lagi terkait) status Israel dan masalah Palestina, hubungan dengan orang-orang Barat, serta prospek dan keinginan untuk bersatu (Barnett, 1998). Ketiga isu ini menjadi dasar dari 'dialog' Arab yang menciptakan identitas. Tetapi, hubungan antara keprihatinan khusus ini dan resonansi yang mereka miliki dengan bangsa Arab yang diduga begitu sering digunakan untuk menjelaskan kekhasan regional hanya ditegaskan dan pada akhirnya bertumpu pada generalisasi tentang pandangan masyarakat Arab.

Selanjutnya, agama memiliki peran dalam membentuk sebuah identitas dan budaya politik di Timur Tengah—yang disebut dengan Islamisme. Sebuah negara yang dibangun di atas identitas agama dan

(4)

mencerminkan elemen-elemen utama dari sejarah nasional mungkin dapat membangun institusi-institusi yang dilihat sebagai asal asli (R. D. Lee, 2014). Meskipun, monarki-monarki di kawasan tersebut mengaitkan kesuksesan mereka dengan Islam, peluang dan politik telah memainkan peran besar. Setiap monarki telah membentuk Islam agar sesuai dengan keadaan khususnya. Identitas agama—yang tidak sejalan dengan batas- batas negara—dapat menghalangi pembentukan politik yang kuat yang mampu menjamin perdamaian dan kebebasan bagi warganya. Agama telah membantu konsolidasi kekuasaan dan pengembangan legitimasi di kawasan ini, tetapi agama dapat membawa masalah buruk mengenai hak asasi manusia dalam setiap kasus.

Dari penjelasan tersebut dapat terlihat bahwa identitas memiliki pengaruh terhadap kebijakan luar negeri mereka, sehingga regionalisme di kawasan tersebut terjadi. Nasionalisme Islam dianggap telah berhasil, sementara nasionalisme sekular—Pan-Arabisme—telah gagal dalam konteks politik. Aktivis Islam dianggap sukses menjatuhkan kekuasaan Pahlevi di Iran dan kekuasaan Israel dengan memaksa penarikan militer Israel yang kuat dari Lebanon dan Gaza. Dalam tulisan berjudul, The Politics of Identity in Middle East International Relations, “political Islam is the main ideological competitor of globally triumphant Western liberalism”

(Hinnebusch, 2016). Sementara, Politik antar-Arab lebih dianggap sebagai tentara atau instrumen kekuatan negara yang lebih didorong oleh kepentingan material, seperti perebutan kembali wilayah yang diduduki, daripada didorong oleh keinginan untuk berintegrasi kembali (Walt, 1987). Dengan demikian, seberapa jauh perilaku kedua identitas politik dalam interaksi di politik internasional tetap menjadi kontroversi.

Muncul kontroversi dalam pengaruh identitas terhadap regionalisme di Timur Tengah ini terjadi karena adanya amiguitas, tidak hanya Pan-Arabisme saja. Disamping ada penyatuan negara Islam dalam melawan nilai Barat, sayangnya tidak ada islamisasi kebijakan luar negeri yang dihasilkan dan tidak ada blok muslim yang muncul untuk mengatasi ketidakseimbangan kekuatan global melawan dunia Islam (Hinnebusch, 2016). Sama halnya dengan Pan-Arabisme, tidak adanya saling ketergantungan ekonomi di antara negara-negara Muslim dan ketergantungan mereka hanya pada tujuan menekan kekuatan Barat, semua menghilangkan Pan-Islam yang mampu menjadikan identitas ini sebagai dasar regionalisme yang efektif.

Oleh karena itu, perlu mengajukan pertanyaan untuk kegunaan interpretasi konstruktivis 'moderat' dari Hubungan Internasional secara keseluruhan pada kasus identitas politik di Timur Tengah. Ada beberapa tradisi dalam Studi Timur Tengah yang berhubungan dengan peran ide, budaya dan identitas, dan yang didasarkan pada premis-premis teori Orientalis atau modernisasi mungkin yang paling lemah, sehingga konstruktivisme moderat secara umum tertantang (Stein, 2012). Ia lebih lanjut berargumen bahwa model dialog antarnegara mengorbankan nuansa yang cukup besar dalam upayanya untuk 'mengkonseptualisasi ulang sejarah politik antar-Arab'. Selain itu, dalam mengejar perkembangan, menutupi atau mendistorsi dinamika sosial dan politik yang lebih akurat dapat menggambarkan peran gagasan dalam Timur Tengah.

Sejauh ini, konteks identitas telah menyatukan kawasan Timur-Tengah, tetapi di sisi lain, kawasan ini telah terbagi. Hal ini terbukti dari organisasi regional, seperti Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang secara realitas, kedua regionalisme ini selalu dianggap gagal karena hubungan yang terjalin kurang mesra. Kedua organisasi pemerintah tersebut muncul akibat komunikasi jaringan yang terjalin antar-Arab dan antar-Islam. Serta, organisasi-organisasi tersebut merupakan implementasi dari kepentingan Timur Tengah yang terkonstruksi oleh interaksi-interaksi yang terjalin selama satu dekade yang lalu.

Regionalisme dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Solidaritas agama adalah salah satu pesan mendasar yang digunakan kaum Islamis untuk mengumpulkan dukungan dan membenarkan tindakan. Salah satu ancaman Negara Islam adalah seruan mereka pada identitas Islam bersama untuk membenarkan kebangkitan Khilafah mereka sebagai institusi

(5)

politik, tetapi yang terpenting, untuk menarik umat Islam secara global agar tunduk pada otoritas yang baru lahir ini (Sheikh, 2017). Sehingga, OKI ini lahir sebagai organisasi internasional yang mewakili seluruh Dunia Muslim yang bertujuan untuk meningkatkan solidaritas di antara Negara-negara Islam.

Organisasi ini memiliki tujuan untuk melindungi kepentingan vital umat Islam dan bekerja untuk penyelesaian konflik dan perselisihan yang melibatkan Negara Anggota, seperti slogannya “the collective voice of the Muslim World”. Dalam menjaga nilai-nilai Islam dan umat Islam yang sebenarnya, OKI mengambil berbagai keputusan untuk menghilangkan kesalahpahaman dan sangat menganjurkan penghapusan diskriminasi terhadap umat Islam dalam segala bentuk dan manifestasinya. Untuk mengatasi ancaman yang semakin intens di abad ke-21, OKI melakukan KTT Islam untuk menetapkan blue paper Program Aksi 10 Tahun yang saat ini sudah diadopsi dan diimplementasikan (Organisation of Islamic Cooperation, n.d.).

Program baru OKI tersebut memusatkan pada ketentuan Piagam OKI dan berfokus pada 18 bidang prioritas dengan 107 tujuan. Bidang prioritas meliputi isu Perdamaian dan Keamanan, Palestina dan Al-Quds, Pengentasan Kemiskinan, Kontra-terorisme, Investasi dan Keuangan, Ketahanan Pangan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Perubahan Iklim dan Keberlanjutan, Moderasi, Budaya dan Kerukunan Antaragama, Pemberdayaan Perempuan, Aksi Kemanusiaan Islam Bersama, Hak Asasi Manusia dan Tata Pemerintahan yang Baik, antara lain (THE OIC - 2025 PROGRAMME OF ACTION, 2016).

Dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), terdapat dua organ penting yang merupakan instrumen dan saluran utama pengaruh ideologis dan keuangan organisasi, yaitu Islamic Solidarity Fund (ISF) dan Islamic Development Bank (IDB). Islamic Solidarity Fund, atau ISF—sebagai anak induk organisasi OKI—berdiri pada tahun 1974. ISF ini dibangun untuk meningkatkan moralitas dan tingkat intelektual umat Islam di seluruh dunia melalui kelompok pemuda, dakwah Islam, dan pendidik universitas Islam, untuk memberikan bantuan darurat, untuk mendukung perjuangan Palestina serta minoritas Muslim lainnya dengan masjid serta infrastruktur sosial (De Cordier, 2014). ISF bukanlah organ anak perusahaan OKI, tetapi lembaga khusus otonom yang didirikan selama pertemuan para menteri keuangan OKI tahun 1973. Tidak seperti ISF, Islamic Development Bank atau IDB, afiliasi utama OKI lainnya, didirikan sebagai lembaga keuangan pembangunan Selatan-Selatan pada akhir tahun 1975 (De Cordier, 2014). IDB yang, seperti Bank Dunia, lebih merupakan sekelompok lembaga telah mendanai dan mendanai berbagai proyek pembangunan, terutama di Afrika , dunia Arab dan di Pakistan dan Bangladesh, di bidang energi, kesehatan, pendidikan.

Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi yang bermula dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam pada tahun 1969. Institusi ini dijalankan karena tiga faktor, yaitu identitas Pan-Islamisme untuk memberangus dominasi kekuatan—politik dan ekonomi—Barat, melawan Pan-Arabisme dan paham sekulernya, dan terakhir melawan Israel akibat jatuhnya Yerusalem ke tangan Israel (Sihbudi, 2007).

Solidaritas Islam seharusnya terbentuk dalam organisasi, mengingat hal tersebut merupakan salah satu tujuan dari OKI. Sebaliknya, terdapat kritik dari beberap ahli mengenai institusi regional islam ini:

“At the supra-state level, the Pan-Islamic instiution, the Organisation of the Islamic Conference (OIC), is based on mutual acknowledgement of state sovereignty, has no power to co-ordinate common action, has no record in settling inter-Muslim disputes and is less an actor than an arena in which Muslim states seek legitimacy or allies on behalf of state interests.” (Hinnebusch, 2016)

Selain itu, menurut Sihbudi—sejalan dengan pendapat Hinnebusch, OKI ini dianggap kurang responsif terhadap kasus-kasus internal negara-negara Islam karena negara-negara Arab yang kaya lebih pro- Barat dan OKI hanya mengutamakan kepentingan negara tersebut (Sihbudi, 2007). Sehingga, hal tersebut menyebabkan ketidakmampuan dalam menunjukkan kekuatan sebagai aliansi negara Islam. Realitasnya, anggota OKI saat ini lebih heterogen dalam hal ideologi yang menimbulkan ketidakjelasan identitas.

(6)

Salah satu contoh kurang responsifnya OKI terhadap kasus internal dapat dilihat pada konflik Kashmir. OKI selama ini telah memberikan dukungan kuat kepada Pakistan mengenai Kashmir dan perselisihan India-Pakistan lainnya. Ini telah menjadi sumber kekuatan bagi Pakistan. Namun, OKI telah menunjukkan kecenderungan untuk mengadopsi resolusi yang terlalu bebas. Resolusi tentang Kashmir yang diadopsi oleh OKI memiliki signifikansi yang kurang dari apa yang telah diklaim oleh berbagai pemerintah Pakistan (Orakzai, 2010). Hal ini yang membuat OKI tidak memiliki peran yang krusial untuk resolusi mengurangi ketegangan di Kashmir.

Regionalisme dalam Liga Arab

Institusi regional selanjutnya adalah Liga Arab yang didirikan pada September 1944 dengan beranggotakan negara-negara Arab. Selama periode yang ditinjau, baik Dewan dan Komite Politik Liga mengadakan beberapa pertemuan untuk mempertimbangkan masalah politik seperti boikot terhadap Israel dan kemungkinan tindakan bersatu untuk melawan Federal Jerman Republik (“Arab League,” 1952). Selain itu, imperialisme banyak menyasar ke wilayah Timur Tengah dimana orang-orang Pan-Arab berusaha untuk membebaskan Suriah dari Prancis, melikuidasi Jewish National Home di Palestina, dan menciptakan Negara Arab yang bersatu dan merdeka di kawasan Hilal Subur atau Fertile Crescent (Aziz, 1955).

Pakta Keamanan Kolektif Liga Arab mulai berlaku pada 23 Agustus 1952 yang mengintegrasikan kawasan Afrika Utara, Afrika Barat, Afrika Timur, dan Asia Barat (“Arab League,” 1952). Institusi ini lahir akibat pengaruh dari Pan-Arabisme untuk membebaskan dunia Arab dari kekuatan asing, secara bersamaan menolak pembentukan negara Israel. Suksesnya pendirian Liga Arab, dengan demikian, merupakan kemenangan politik bagi Arab. Namun, manajemen konflik dan penyelesaian perselisihan dalam kawasan nyatanya ditangani oleh aktor individu di luar Liga. Hal ini yang sangat kontradiktif dengan identitas pan- Arabisme dan bahwa Liga Arab seharusnya mencerminkan kesatuan budaya Arab dengan menunjukkan konsensus antar-Arab. Selain itu, ketidakseimbangan kekuatan negara-negara di Liga Arab berdampak negatif. Hal ini dikarenakan kemenangan Amerika dalam Perang Dingin berakibat pada menguatnya negara- negara Arab yang pro-Arab dan melemahnya kekuatan negara-negara Arab ‘garis keras’(Sihbudi, 2007).

Organisasi ini memiliki peran untuk menghilangkan ketakutan bagi dunia Arab. Meskipun pendekatan ekonomi—melalui Arab Maghreb Union—merupakan langkah ke arah yang benar dan langkah maju untuk membangun persatuan Arab secara bertahap, namun dikhawatirkan organisasi regional semacam itu dapat menghambat peluang integrasi yang nyata dan aktif di antara semua negara Arab dengan menciptakan sikap dan perilaku yang secara eksklusif berfokus pada kerjasama dan prioritas dalam satu wilayah (Hamid, 1995). Selain ketakutan ini, ada kekhawatiran yang tulus bahwa regionalisme dapat membantu menciptakan identitas politik regional yang terpisah dan kepentingan ekonomi yang sempit.

Untuk menghilangkan ketakutan seperti itu, harus ada koordinasi kelembagaan di antara kelompok- kelompok Arab regional dan strategi untuk membangun hubungan yang saling melengkapi di antara mereka.

Organisasi induk Arab, Liga Negara-negara Arab, dapat berfungsi sebagai katalis dan saluran selama itu adalah payung bagi kerja sama kolektif Arab.

Liga Arab merupakan produk dilema antara kedaulatan negara dan nasionalisme Arab yang melanda tatanan regional Arab selama beberapa dekade (Dakhlallah, 2012). Tidak seperti kebanyakan organisasi regional lainnya, seperti Uni Eropa, ASEAN, African Union, kriteria utama untuk keanggotaan di Liga Arab adalah perasamaan etno-budaya daripada kedekatan geografis, yaitu identitas arabisme. Bagaimanapun juga, persamaan identitas tersebut malah menghasilkan keretakan antar negara. Hal ini dikarenakan institusi ini terperangkap antara nasionalisme Arab dan kedaulatan negara yang bersaing. Negara dan pemerintah tidak ingin menyerahkan kekuasaan kepada organisasi supra-negara yang dianggap sebagai agen integrasi.

(7)

Ketegangan ini tercermin dalam struktur organisasi Liga yang lemah meskipun memiliki agenda yang ambisius.

Terdapat kritik juga terhadap Liga Arab yang mengatakan bahwa institusi ini membawa malapetaka bagi dunia Arab dan dunia Islam, “a group run by lackey states and kingdoms that have proved to be utterly ineffective in world politics,” (Bilgrami, 2018) Liga Arab bisa dikatakan sudah tidak berfungsi lagi karena masih banyaknya konflik panjang yang sampai saat ini belum terpecahkan solusinya. Banyak aktor eksternal, seperti Amerika Serikat dan Britania Raya, mengintervensi permasalahan internal Liga Arab. Hal ini dapat dibuktikan dari perkembangan Liga Arab yang secara historis tidak stabil akibat adanya perselisihan regional yang membuat keanggotaan terpecah belah.

Dinamika pemberontakan Arab (Arab Springs) pada 2010–2011 memicu vitalisasi organisasi regional, khususnya Liga Arab, yang selama ini mulai lemah dan ada upaya Arab Saudi untuk bertindak sebagai hegemon regional (Beck, 2015). Hegemoni inlah yang menciptakan kerenggangan antara negara-negara Arab kaya dan miskin. Alih-alih bersikap reaktif, Arab Saudi mencoba untuk memainkan peran aktif di wilayah tersebut. Qatar, yang di dalam negeri sama sekali tidak terpengaruh oleh pemberontakan Arab, juga berusaha memainkan peran utama di tingkat regional, sehingga menciptakan hubungan kompetitif dengan Arab Saudi, yang pada gilirannya menghasilkan insentif tambahan bagi Riyadh—mata uang Saudi Arabia—untuk membuka landasan baru di Liga Arab.

CONCLUSION

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan luar negeri negara-negara Timur Tengah terutama dipengaruhi oleh identitas mereka sebagai bangsa Arab dan bangsa Islam. Kedua identitas ini tercipta melalui interaksi historis dengan keterlibatan aktor-aktor eksternal. Identitas tersebut membentuk regionalisme di Timur Tengah melalui Liga Arab dan Konferensi Islam. Dengan demikian, kesamaan identitas memiliki pengaruh bagi regionalisme di Timur Tengah. Hal ini dikarenakan negara berperilaku rasional akibat identitas bersaa yang terkonstruk secara sosial, sehingga mereka memutuskan untuk bekerjasama melalui OKI dan Liga Arab. Identitas ini ada melalui sejarah yang panjang selama berlangsungnya imperialisme di kawasan.

Selain itu, seperti organisasi supranasional pada umumnya, kedaulatan negara disini menjadi tantangan bagi kawasan ini, meskipun memiliki identitas yang sama. Tatanan regional menjadi tidak seimbang karena ada identitas sub dan supra negara yang bersaing. Kedua identitas tersebut dapat saling mengancam satu sama lain antara nasionalisme dan iredentisme. Hal tersebut merupakan faktor internal mengapa regionalisme di kawasan ini terjadi keretakan. Selain itu, aktor eksternal di sini juga menyumbang disintegrasi kawasan.

Regionalisme di kawasan Timur Tengah sangat lemah serta kurangnya manajemen krisis dari berbagai tantangan yang dihadapi Timur Tengah hampir tidak bisa ditangani dengan baik. Meskipun mereka memiliki identitas yang sama, namun pada nyatanya kawasan ini masih mengalami pergolakan internal yang panjang dan tidak mampu mengatasi konflik. Hasilnya, kawasan ini malah menimbulkan disintegrasi, yang seharusnya identitas menyatukan kawasan Timur Tengah. Sentimen yang muncul dalam identitas Pan-Arabisme dan Pan-Islamisme ini menghambat perkembangan demokrasi di kawasan. Sehingga, indikator demokrasi yang perlu ditingkatkan dan mengurangi sentimen agar menghasilkan konsensus bersama dalam menyelesaikan perselisihan. Namun, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perlu adanya analisis lebih lanjut mengenai apakah identitas ini menciptakan disintegrasi di kawasan Timur Tengah atau tidak.

(8)

REFERENCE

Ajami, F. (1978). The End of Pan-Arabism. Council on Foreign Affairs, 57(2), 355–373.

http://www.jstor.org/stable/20040119 .

Arab League. (1952). International Organization, 6(4), 658–660. http://www.jstor.org/stable/2704809 . Aziz, M. A. (1955). Origins of the Arab League. Pakistan Horizon, 8(4), 479–494.

http://www.jstor.org/stable/41392190 .

Barnett, M. (1998). Dialogues in Arab Politics: Negotiations in Regional Order. Columbia University Press.

Beck, M. (2015). The end of regional middle eastern exceptionalism? The arab league and the gulf cooperation council after the arab uprisings. Democracy and Security, 11(2), 190–207.

https://doi.org/10.1080/17419166.2015.1037390

Bilgrami, M. P. (2018, Mei 29). The Arab League: A disaster for both Arabs and Muslims | Daily Sabah.

Daily Sabah. https://www.dailysabah.com/op-ed/2018/05/29/the-arab-league-a-disaster-for-both- arabs-and-muslims

Dakhlallah, F. (2012). The League of Arab States and Regional Security: Towards an Arab Security Community? British Journal of Middle Eastern Studies, 39(3), 393–412.

https://doi.org/10.1080/13530194.2012.726489

De Cordier, B. (2014). “Identity as a framework for alternative regionalism? An examination of the Organization of Islamic Cooperation and the pan-Islamic idea.” Studia Diplomatica, 66(4), 17–36.

Hamid, A. M. (1995). Sub-Regionalism and Pan-Arabism in Arab World. The Journal of International Issues, 4(1), 58–60.

Hinnebusch, R. (2016). The Politics of Identity in Meiddle East International Relations. In International Relations of Middle East (hal. 151–170). Oxford University Press.

Jillani, A. (1991). Nasser, Saddam, and Pan-Arabism. Pakistan Institute of International Affairs, 44(2), 75–

88. http://www.jstor.org/stable/41392206%5Cnhttp://about.jstor.org/terms

Lee, D. E. (1942). The Origins of Pan-Islamism. The American Historical Review, 47(2), 278–287.

Lee, R. D. (2014). Religion and Politics in the Middle East: Identitiy, Ideology, Institutions, Attitude. In Religion and Politics in the Middle East (2 ed.). Westview Press.

https://doi.org/10.4324/9780429494765

Orakzai, S. B. (2010). Organisation of The Islamic Conference and Conflict Resolution : Case Study of the Kashmir Dispute. Pakistan Horizon, 63(2), 83–94.

Organisation of Islamic Cooperation. (n.d.). History. Diambil 9 Desember 2021, dari https://www.oic- oci.org/page/?p_id=52&p_ref=26&lan=en

Sheikh, F. (2017). Who Speaks for the Islamic World? Religion, Identity and the Organisation of Islamic Cooperation. Politics, Religion & Ideology, 18(1), 117–121.

https://doi.org/10.1080/21567689.2017.1298296

Sihbudi, R. (2007). Menyandera Timur Tengah. Penerbit Mizan.

Stein, E. (2012). Beyond Arabism vs. sovereignty: Relocating ideas in the international relations of the Middle

(9)

East. Review of International Studies, 38(4), 881–905. https://doi.org/10.1017/S0260210511000465

THE OIC - 2025 PROGRAMME OF ACTION. (2016). https://www.oic-

oci.org/page/?p_id=302&p_ref=106&lan=en

Walt, S. M. (1987). The Origins of Alliances (R. Jervis & R. J. Art (Ed.)). Cornell University Press.

Wendt, A. (1992). Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics. International Organization, 46(2), 391–425. https://doi.org/10.2307/2706858

Zehfuss, M. (2006). Constructivism and identity: A dangerous liaison. In S. Guzzini & A. Leande (Ed.), Constructivism and International Relations: Alexander Wendt and his Critics (hal. 94). Routledge.

https://doi.org/10.4324/9780203401880

Referensi

Dokumen terkait

Imajinasinya(pengarang).. dibangun melalui unsur instrisik dan di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan yang tersirat maupun tersurat. Nilai – nilai pendidikan itulah yang

The Second National Development Plan with an allocation of BND$543 million, aims at strengthening, improving and further developing the economic, social and cultural

Seiring dengan peningkatan peranan Poktan, Pemda dan LSM, pendapatan petani, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan kesempatan kerja merupakan tujuan yang harus terpenuhi

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa ragam dari setiap shift di setiap ruang, baik yang dilakukan secara manual maupun Model 1 atau Model 2, memiliki ragam taknol

Secara umum, ideologi merupakan kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan- keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh serta sistematis yang menyangkut dan mengatur

Peserta berbentuk badan usaha harus memperoleh paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia pengadaan Pemeliharaan Gedung Kantor (Eksterior)/Jasa Kebersihan

Budi Utomo merupakan organisasi yang lahir pada tanggal 20 Mei 1908. Sebagian besar anggota Budi Utomo adalah para pemuda Jawa. Meskipun demikian, semangat para pemuda tersebut

Penyair bebas berkreasi di ruang alam bawah sadar atau mimpi mereka, sehingga mereka terkadang menulis puisi dalam bentuk larik bebas (tidak terikat