• Tidak ada hasil yang ditemukan

407 728 1 SM

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "407 728 1 SM"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN DALAM PENDIDIKAN (Studi Tentang Makna dan Kedudukannya dalam Pendidikan)

Sulaiman Saat

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar Email :sulaimansaat.uinam@gmail.com

Abstrak

Pendidikan merupakan suatu sistem yang terbangun dari beberapa komponen pendidikan yang satu dengan yang lain saling berhubungan.

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa kegagalan dan keberhasilan yang dialami oleh seseorang tergantung pada apa yang mereka dapatkan melalui persekolahan. Mereka lupa bahwa pendidikan tidak hanya persekolahan, melainkan banyak faktor yang turut menentukan, seperti tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, lingkungan pendidikan, dan alat pendidikan.

Keberhasilan dan kegagalan yang dialami oleh seseorang tidask hanya melalui pendidikan di sekolah, tetapi sasngat ditentukan oleh kerjasama antara faktor-faktor pendidikan itu.

Kata Kunci: Faktor determinan, pendidikan, makna, kedudukan.

A. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan sebuah sistem. Sebagai sistem, aktivitas pendidikan terbangun dalam beberapa komponen, yaitu pendidik, peserta didik, tujuan pendidikan, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan.

Semua komponen yang membangun sistem pendidikan, saling berhubungan, saling tergantung, dan saling menentukan satu sama lain.

Setiap komponen memiliki fungsi masing-masing dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Aktivitas pendidikan akan terselenggara dengan baik apabila didukung oleh komponen-komponen dimaksud.

Fungsi pendidikan sebenarnya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan dapat berjalan lancar, baik secara struktural, maupun secara institusional. Secara struktural menuntut terwujudnya struktur organisasi yang mengatur jalannya proses kepen- didikan. Secara institusional mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk lebih menjamin proses pendidikan itu berjalan secara konsisten dan berkesinambungan mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia yang cenderung ke arah tingkat kemampuan yang optimal.1

1 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 34.

(2)

Masyarakat dalam penyelenggeraan pendidikan, kadang tidak menyadari bahwa pendidikan terbangun dalam sebuah sistem, sehingga dalam melaksanakan penilaian terhadap aktivitas dan hasil pendidikan, mereka hanya melemparkan tanggung jawab keberhasilan dan kegagalan pendidikan kepada satu kelompok, yaitu guru. Sebagian masyarakat kurang menyadari, bahwa sesungguhnya mereka adalah salah satu komponen yang turut menentukan keberhasilan atau kegagalan pendidikan. Mereka sering melempar tanggung jawab kegagalan pendidikan hanya kepada guru. Pada hal guru hanya merupakan salah satu sub komponen dari komponen dalam sistem pendidikan yang diselenggerakan. Sebagian masyarakat mengkonotasikan pendidikan dengan persekolahan, pada hal keduanya mempunyai perbedaan, walaupun tetap mempunyai hubungan.

Pemahaman tentang adanya faktor-faktor determinan dalam pen- didikan merupakan hal yang penting, karena kesalahpahaman tentang hal itu, dapat menjadikan kesalahan dalam memberikan penilaian, terutama pada hal-hal yang merupakan kegagalan pendidikan. Tidak jarang ditemukan penilaian yang kurang adil dari masyarakat terhadap sebuah pelanggaran pendidikan yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggap terpelajar, dengan mengatasnamakan kegagalan pendidikan, terutama pendidikan persekolahan (formal), tentunya yang menjadi sasaran adalah para guru. Guru/pendidik di sekolah hanya merupakan bagian kecil dari sistem pendidikan, hanya sebagai bagian dari sub sistem pendidik dalam arti luas, yang meliputi pendidik di rumah tangga, pendidik di sekolah, dan pendidik dalam masyarakat.

Melalui tulisan ini, diharapkan memberikan informasi yang lebih mendalam tentang berbagai komponen dalam sistim pendidikan dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka yang menjadi persoalan pokok dalam tulisan ini adalah “bagaimana kedudukan dan fungsi faktor-faktor determinan dalam pendidikan?”

Permasalahan pokok tersebut, kemudian dirinci dalam beberapa sub masalah sebagai berikut: (1) Apa yang dimaksud dengan faktor-faktor determinan dalam pendidikan, dan (2) Bagaimana kedudukan faktor-faktor tersebut dalam pelaksanaan pendidikan.

B. FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN DAN KEDUDUKANNYA DALAM PENDIDIKAN

Istilah faktor determinan dalam pengertian ini adalah satu faktor yang tegas menentukan atau final sifatnya dalam satu relasi sebab akibat.

Determinan sifatnya bisa organistik merupakan faktor penyebab yang muncul dari dalam organisme atau dari dalam individu itu sendiri. Bisa juga bersifat lingkungan (environmental), dan juga bersifat situasional yang

(3)

berperan sebagai suatu kondisi pendahuluan bagi terbentuknya suatu tingkah laku.2 John M. Echols dan Hassan Sadily member pengertian determinant yaitu hal/faktor yang menentukan.3

Dalam kajian ini akan dibahas tentang faktor-faktor determinan dalam pelaksanaan pendidikan, yang meliputi pendidik, peserta didik, tujuan pendidikan, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan.

1. Pendidik

Pendidik adalah orang yang diserahi tugas atau amanah untuk mendidik. Pendidikan itu sendiri dapat berarti memelihara, membina, membimbing, mengarahkan, menumbuhkan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab XI pasal 39 tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan dinyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.

Dengan demikian, pendidik adalah orang yang diberi amanah untuk tidak saja membuat perencanaan, melaksanakan pembelajaran, menilai, membimbing, tetapi juga melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Hal ini berarti bahwa seorang pendidik tidak hanya bertugas untuk mentranfer ilmu, melainkan harus selalu mengadakan penelitian dalam rangka menyesuaikan pengetahuannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat.

Pengertian Pendidikan, yang berarti memelihara, mengembangkan membina dan sebagainya ini merupakan terjemahan dari kata murabbi, yang berasal dari akar kata rabb. Istilah lain yang biasa digunakan adalah kata mu’allim, mu’addib, walaupun kata mu’allim lebih dekat pada pengertian pengajar atau guru, sedang kata mu’addib lebih dekat pada pengertian pembinaan budi pekerti.

Kata rabb (pendidik), dengan berbagai bentuknya, banyak ditemukan dalam Alquran, antara lain dalam QS. Al-Isra’/17: 24 sebagai berikut:

﴿ ًاﺮﯿِﻐَﺻ ﻲِﻧﺎَﯿﱠﺑَر ﺎَﻤَﻛ ﺎَﻤُﮭْﻤَﺣْرا ﱢبﱠر ﻞُﻗَو ِﺔَﻤْﺣﱠﺮﻟا َﻦِﻣ ﱢلﱡﺬﻟا َحﺎَﻨَﺟ ﺎَﻤُﮭَﻟ ْﺾِﻔْﺧاَو ٢٤

﴾ Terjemahnya:

2J.P Chaplin, Dictionary of Psychology, diterjemahkan oleh Kartini Kartono dengan judul “Kamus Lengkap Psikologi” (Cet. 13; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), h. 133.

3John M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia (Cet. XIV; Jakarta:

PT. Gramedia, 1986), h. 178.

(4)

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".4

Demikian juga dengan kata ta’lim, dari kata allama, misalnya ditemukan dalam Q.S. Al-Baqarah/2: 31 sebagai berikut:

ْﻢُﺘﻨُﻛ نِإ ءﻻُﺆـَھ ءﺎَﻤْﺳَﺄِﺑ ﻲِﻧﻮُﺌِﺒﻧَأ َلﺎَﻘَﻓ ِﺔَﻜِﺋَﻼَﻤْﻟا ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﮭَﺿَﺮَﻋ ﱠﻢُﺛ ﺎَﮭﱠﻠُﻛ ءﺎَﻤْﺳَﻷا َمَدآ َﻢﱠﻠَﻋَو

﴿ َﻦﯿِﻗِدﺎَﺻ ٣١

Terjemahnya:

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"5

Menurut Ahmad D. Marimba, pendidik adalah orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik, yakni manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang pendidikan siterdidik.6

Dalam pendidikan, pendidik dapat dikelompokkan menurut statusnya, atas; pendidik karena kodrati dan pendidik karena profesi.

Pendidik kodrati adalah orang tua dan pendidikan karena profesi yang dimaksud adalah guru.

Kelahiran anak-anak dalam suatu keluarga, merobah status orang tua menjadi seorang pendidik karena kodrat. Pendidik karena kodrat ini tidak bisa digantikan oleh siapapun. Berbeda halnya dengan pendidik karena profesi, seperti guru. Guru bisa saja digantikan oleh orang atau guru lain, tidak sama dengan orang tua, karena kelahiran tidak dapat digantikan, dan itu yang menjadikan orang tua sebagai pendidik karena kodrat.

Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa Islam memandang keluarga bukan hanya persekutuan hidup terkecil saja, melainkan juga sebagai lembaga hidup manusia yang memberi paluang kepada para anggotanya untuk hidup celaka atau bahagia di dunia dan akhirat.7

Hasan Langgulung mengemukakan bahwa orang tua mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap anaknya antara lain:

4Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya (Kerajaan Saudi Arabiah:

Mujamma’ al Malik Fahd li Thiba’at al Mush-haf Asy-Syarif Medina Munawwarah, 1924 ), h. 428,

5Ibid., h. 14.

6Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Cet. II; Bandung: PT.

Al-Ma’arif, 1964), h. 37.

7Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan islam (cet. keenam; Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 36.

(5)

a. Memilih ibu yang baik bagi anak-anaknya b. Memilih nama yang baik untuk anak-anaknya

c. Memperbaiki adab dan pengajaran anak-anaknya dan menolong mereka membina akidah yang betul

d. Memuliakan anak-anaknya, berbuat adil dan kebaikan di antara mereka e. Bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat yang

berusaha menyadarkan dan memelihara kanak-kanak dan remaja dari segi kesehatan, akhlak dan sosial.

f. Memberi contoh yang baik dan teladan yang saleh atas segala yang diajarkannya.8

Selain orang tua, guru merupakan salah satu pendidik yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Guru merupakan komponen pendidikan yang untuk beberapa saat mengambil alih sebagian tugas orang tua sebagai pendidik. Guru menjadi pendidik karena profesi. Posisinya sebagai guru, menyebabkan dia di samping sebagai pengajar, juga berfungsi sebagai pendidik.

Pada usia sekolah, untuk beberapa saat seorang anak meninggalkan rumah tangga ke sekolah. Di sekolah tanggung jawab pendidikan beralih kepada guru-guru sebagai pendidik dan pengajar. Guru adalah orang tua tua kedua di depan murid-muridnya.

Guru merupakan pendidik professional. Sebagai pendidik professional, guru harus memenuhi beberapa syarat, yaitu bertakwa kepada Allah, berilmu, sehat jasmaniahnya, baik akhlaknya, bertanggung jawab, dan berjiwa nasional.9

Sebagai orang yang menjadi teladan bagi anak didiknya, selain persyaratan yang berhubungan dengan profesi, guru juga harus memiliki akhlak sebagai guru, seperti yang dicontohkan oleh pendidik utama, Rasulullah saw., sebagai berikut:

a. Mencintai jabatan sebagai guru b. Bersikap adil terhadap semua murid c. Berlaku sabar dan tenang

d. Berwibawa e. Gembira

f. Bersifat manusiawi

g. Dapat bekerjasama dengan guru lain h. Dapat berkerjasama dengan masyarakat.10

8Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pen- didikan (cet. III; Jakarta: Al Husna, 1995), h. 380-384.

9 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 41.

10Ibid., h. 42-44.

(6)

Persyaratan tersebut di atas, terangkum dalam beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru, yakni kompetensi pedagogik, professional, keperibadian, dan kompetensi sosial, dan kompetensi kepemimpinan atau leadership. Sebagai pendidik profesional, maka guru harus dihargai secara profesional dengan memberikan tunjangan sesuai dengan profesinya, yakni tunjang melalui sertfikasi. Seperti yang dinyatakan dalam UU RI. No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 16 ayat (2) bahwa “tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggerakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

Dalam UU RI. Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Bab III pasal 7 ayat (1) dinyatakan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:

a. Memiliki bakat, minat, penggilan jiwa dan idealisme;

b. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia;

c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya;

d. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya;

e. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;

f. Memperoleh penghsilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;

g. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;

h. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesio-nalan; dan

i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyia kewenangan mengatur hal- hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.11

Demikian beberapa syarat yang sebaiknya dimiliki oleh seorang guru, karena selain dia mengajar untuk pengembangan peserta didik, baik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik, juga dia sebagai pendidik yang bertangggung jawab membina keperiadian anak didiknya, dan harus menjadi teladan bagi anak didiknya.

Selain kedua jenis pendidik yang telah disebutkan di atas, masyarakat juga merupakan komponen yang turut bertanggung jawab terhadap pendidikan. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, salah satu aspek yang turut berkembang adalah aspek sosial. Setelah

11Undang-undang Guru dan Dosen (UU RI No. 14 Th. 2005) (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 6.

(7)

mereka untuk beberapa waktu meninggalkan rumah dan sekolah, mereka mulai mengenal lingkungan sosial yang lebih luas, yakni masyarakat.

Dengan demikian, masyarakat turut memikul tanggung jawab pendidikan.

Masyarakat, terutama para tokoh, memikul tanggung jawab, terutama tanggung jawab sosial, membangun solidaritas sosial, membina, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, melarang yang mungkar, memelihara yang baik yang diperoleh di sekolah, keluarga, dan memperbaiki apa yang salah yang dibawa dari keluarga dan sekolah.

Pendidik dalam masyarakat merupakan pemegang amanah untuk membangun suatu komunitas atau masyakarat seperti yang dinyatakan oleh Allah swt. Dalam QS. Ali Imran/3: 110, sebagai berikut:

Terjemahnya:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.12

Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa selain guru di sekolah yang berfungsi sebagai pengajar dan pendidik, orang tua, dan masyarat (tokoh masyarakat) juga turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan. Jadi, baik orang tua, guru, dan masyakat merupakan orang- orang yang memikul tanggung jawab sebagai pendidik dan disebut sebagai pendidik.

2. Anak Didik atau Peserta Didik

Anak didik atau peserta didik konotasinya adalah pada orang-orang yang sedang belajar. Anak didik lebih dititik beratkan kepada anak-anak yang masih dalam tarap perkembangan, baik fisik maupun psikis, belum dewasa, dan masih membutuhkan bantuan dan pertolongan dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Istilah peserta didik mengandung makna yang lebih luas, mencakup anak yang belum dewasa, dan juga orang yang sudah dewasa, tetapi masih dalam tarap mencari atau menuntut ilmu dan keterampilan.

12 Departemen Agama RI., op. cit., h. 94.

(8)

Anak didik atau peserta didik semuanya menjadi salah satu sub sistem dalam sistem pendidikan. Keberadaan peserta didik dalam sistem pendidikan merupakan hal yang mutlak untuk berlangsungnya aktivitas pendidikan. Tanpa peserta didik, pendidikan tidak mungkin berjalan, sebab tidak ada gunanya guru tanpa anak didik. Peserta didik, selain sebagai objek pendidikan, juga sebagai subjek pendidikan.

Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa dalam proses pendidikan kedudukan sebagai siterdidik merupakan sesuatu yang penting.

Si anak mempunyai banyak kebutuhan, baik jasmani maupun rohani. Hal ini tidak mungkin dapat dipenuhi oleh anak itu sendiri, malainkan membutuhkan bantuan orang lain dan mempunyai ketergantungan kepada pendidiknya, walaupun itu tidak sepenuhnya, karena sebagian dari kebutuhan itu tergantung pada siterdidik.13

Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil, melainkan suatu peribadi yang memiliki karakteristik secara individual, yang berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu, setiap anak mempunyai kebutuhan sendiri- sendiri, dan membutuhkan perhatian dari pendidiknya.

Dalam proses pembelajaran, peserta didik harus menyadari hal-hal sebagai berikut:

a. Belajar merupakan proses jiwa b. Belajar menuntut konsentrasi

c. Belajar harus didasari sikap tawadhu’

d. Belajar bertukar pendapat hendaklah setelah mantap pengetahuan dasarnya

e. Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari

f. Belajar secara bertahap

g. Tujuan belajar adalah untuk berakhlak al-karimah.14

Memahami anak didik melahirkan berbagai taksiran. Ada yang menaksir terlalu rendah dan menganggap bahwa anak sama sekali tergantung nasibnya pada pendidik. Pendidikpun menonjolkan dirinya sebagai penolong segala-galanya terhadap anak. Anak tidak mendapat kesempatan untuk mencoba kemampuannya sendiri. Hasilnya anak akan manja dan orang tua yang bersifat kekanak-kanakan. Sebaliknya ada orang tua yang menaksir anak terlalu tinggi. Pendidik merasa tidak perlu ikut campur dalam urusan anak, segalanya diserahkan kepada anak. Akibatnya anak berbuat sekehendaknya dan kenakalan di luar batas. Anak tidak akan

13Ahmad D. Marimba, op, cit., h. 32-33.

14Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Cet. II;

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 77-87.

(9)

sampai pada pengenalan nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan, dan keagamaan.

Kedua pandangan di atas besifat ekstrim. Akibatnya anak tidak akan sampai pada kedewasaan yang sebenarnya. Untuk itu, tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh pendidik adalah memahami karakteristik setiap fase pertumbuhan dan perkembangan anak, dan memberikan bantuan, pertolongan, bimbingan, arahan sesuai kebutuhannya. Memanjakan merupakan pemberian kasih sayang yang salah tempat, tetapi pendidik bersifat otoriter juga tidak akan menyesaikan masalah yang dihadapi oleh anak didik.

3. Tujuan Pendidikan

Tujuan (tujuan akhir) merupakan dunia cita yang sulit untuk diwujudkan. Ia berada di dunia sana yang hanya ada dalam angan-angan.

Untuk mencapai tujuan itu diperlukan usaha yang sangat maksimal. Itulah sebabnya tujuan itu dibuat berjenjang seperti anak tangga. Untuk mencapai anak tangga paling atas, harus melalui anak tangga-anak tangga di bawahnya. Sebelum melaksanakan sebuah aktivitas, termasuk pendidikan, yang pertama-tama harus ditetapkan adalah tujuan.Tujuan berfungsi untuk:

a. Mengakhiri usaha b. Mengarahkan usaha

c. Merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain d. Memberi nilai pada usaha (berhasil atau gagal).15

Jika fungsi tujuan di atas dibawah ke dalam aktivitas pendidikan, maka fungsi tujuan pendidikan adalah sebagai batas atau ukuran apakah tujuan itu sudah tercapai atau belum. Tujuan pendidikan juga mengarahkan aktivitas pendidikan, sehingga tidak salah arah. Tujuan pendidikan harus ditetapkan secara berjenjang, sehingga mudah diukur, Dalam aktivitas pendidikan ditetapkan tujuan-tujuan antara yang diarahkan untuk mencapai tujuan akhir dari pendidikan. Di akhir akvitas pendidikan itu dapat dilakukan penilaian, apakah pendidikan itu berhasil atau gagal mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Muhammad al-Toumy al-Syaibany mengemukakan bahwa secara sederhana tujuan pendidikan itu adalah:

“perubahan yang diingini yang diusahakan oleh proses pendidikan untuk dicapainya, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya, atau pada kehidupan masyarakat dan pada alam sekitar individu itu hidup atau pada proses pendidikan sendiri dan proses

15Ahmad D. Marimba, op. cit., h. 45-46.

(10)

pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara profesi-ptofesi asasi dalam masyarakat”.16

Kalau diperhatikan pengertian tersebut, tampak bahwa tujuan pendidikan itu diarahkan pada tiga bidang, yaitu tujuan yang berkaitan dengan individu, kehidupan sosial, dan proses pengajaran itu sendiri.

Tujuan pendidikan adalah perubahan yang dikehendaki atau ingin diwujudkan melalui aktivitas pendidikan. Tujuan pendidikan merupakan puncak dari segala usaha yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan, karena semua komponen pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Secara hierarki, tujuan pendidikan (pembelajaran) itu seperti anak tangga yang bersusun ke atas. Untuk mencapai tujuan berikutnya, terlebih dahulu harus mencapai di bawahnya. Apabila tujuan di bawahnya belum tercapai, maka tujuan yang lebih tinggi tidak mungkin tercapai. Misalnya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, harus dimulai dari pencapaian tujuan pembelajaran atau indikator, kemudian kompetensi dasar, lalu standar kompetensi, tujuan institusional, tujuan pendidikan nasional, dan terakhir tujuan hidup nasional.

Apabila indikator tidak tercapai, maka KD tidak akan mungkin tercapai, begitu seterusnya. Hal inilah yang menyebabkan tujuan pendidikan nasional, apalagi tujuan hidup nasional sulit diwujudkan, bahkan tidak mungkin dapat diwujudkan, karena tujuan-tujuan di bawahnya sulit untuk dicapai.

Dalam pendidikan dikenal adanya beberapa tujuan yang harus diwujudkan secara bertahap dan berjenjang.

Al-Abrasyi membagi tahapan-tahapan tujuan pendidikan kepada tiga tahap, yaitu:

a. Tujuan tertinggi atau terakhir, yakni tujuan yang tidak diatasi oleh tujuan-tujuan lain, bersifat umum dan tidak terinci, tidak dibatasi pelaksanaannya pada institusi-institusi khas, tetapi wajib dilaksanakan pada seluruh institusi dalam masyarakat.

b. Tujuan umum pendidikan, yakni perubahan-perubahan yang dikehendaki dan diusahakan oleh pendidikan untuk mencapainya. Tujuan ini dapat dikaitkan dengan institusi pendidikan tertentu atau tahap pendidikan tertentu.

16Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah (cet. IV; 1983 ), h. 282. Lihat terjemahan oleh Hasan Langgulung dengan judul “Falsafah Pendidikan Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, t. th), h. 399.

(11)

c. Tujuan khas atau khusus pendidikan, yakni perubahan-perubahan yang diingini yang bersifat cabang yang termasuk di bawah tiap-tiap cabang atau bagian tujuan dari tujuan-tujuan umum dan akhir atau terteninggi.17

Kalau dianalisis pandangan tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan akhir dari aktivitas pendidikan merupakan dunia cita, dunia idea yang hanya ada dalam pikiran setiap insan pendidikan. Misalnya terbentuknya keperibadian muslim atau terbentuknya manusia pengabdi (hamba Allah swt.). Kepribadian muslim, manusia pengabdi, merupakan kata kunci yang sulit untuk diwujudkan dan ditentukan indikatornya. Setiap orang dapat menentukan indikator bagi istilah-istilah tersebut. Tujuan yang mungkin dapat diwujudkan adalah tujuan umum dan tujuan khusus, karena perubahan-perubahan yang dimaksudkan sudah dapat diukur dan diobservasi. Indikatornya terukur, sehingga alat evaluasinya dapat dibuat untuk mengukur pencapainnya.

Tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan dapat mengalami perubahan sejalan dengan perubahan proses hidup dan kehidupan manusia sesuai dengan perubahan zaman.18 Dengan demikian, tujuan pendidikan ini harus menyesuaikan diri dengan perubahan itu, kecuali tujuan akhir yang bersifat parmanen. Tujuan akhir pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia, yaitu terbentuknya atau lahirnya manusia yang berprediket sebagai hamba Allah swt.

Setiap negara memiliki tujuan pendidikan yang berbeda. Hal ini disebabkan karena falsafah yang mendasari kehidupan setiap bangsa berbeda. Tujuan pendidikan selalu didasarkan pada falsafah yang dianut oleh masing-masing bangsa.

1. Alat Pendidikan

Alat pendidikan adalah segala sesuatu atau apa saja yang dipergunakan dalam usaha mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan sebagi usaha, juga merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi alat pendidikan dapat alat dari suatu alat, yaitu alat pendidikan. Segala perlengkapan yang dipakai dalam usaha pendidikan disebut dengan alat pendidikan.

Kalau ditinjau dari sudut pandang yang lebih dinamis, maka alat itu di samping sebagai perlengkapan, juga merupakan pembantu untuk mempermudah pencapaian tujuan pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan, perlengkapan yang akan digunakan harus benar-benar diseleksi, jangan sampai justru menjadi penghambat tercapainya tujuan.

17Ibid., h. 405-422

18Zuhairini dkk., Filsafat Pendidikan Islam (cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 160.

(12)

Jika dilihat dari segi fungsinya, alat pendidikan dapat dibagi atas:

a. Alat sebagai perlengkapan

b. Alat sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan c. Alat sebagai tujuan.

Jika dilihat dari segi penggunaannya, alat dapat dibagi atas:

a. Alat langsung, yaitu alat yang bersifat menganjurkan sejalan dengan maksud usaha. Misalnya segala anjuran, perintah, keharusan dengan segala akibat-akibatnya.

b. Alat tidak langsung, yaitu alat bersifat pencegahan hal-hal yang bertentang dengan maksud usaha, meliputi segala larangan, peringatan dan jenisnya dengan segala akibat-akibatnya.19

Alat pendidikan memiliki persamaan dengan media pendidikan, tetapi juga terdapat perbedaan. Kalau alat pendidikan merupakan segala sesuatu atau apa saja yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Alat lebih mengarah pada apa saja, termasuk segala yang digunakan, baik benda, aktivitas, metode, anjuran, larangan, hukuman, dan semacamnya yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Sedangkan media mencakup sesuatu yang digunakan untuk mengantar atau menjadi perantara pesan kepada penerima pesan.20 Jadi media pendidikan adalah apa yang digunakan sebagai perantara antara peserta didik dengan pengetahuan atau bahan ajar yang ada dalam buku-buku atau mengantar peserta didik memahami apa yang diajarkan, baik bersifat perangkat keras (hard ware), mapun perangkat lunak (soft ware).

Kalau hal itu diakui, maka alat pendidikan lebih luas cakupannya dibandingkan dengan media pendidikan. Suatu alat yang digunakan untuk mengantar pesan-pesan pendidikan atau bahan ajar agar peserta didik sebagai penerima pesan cepat memahami pesan itu, maka ia berfungsi sebagai media. Tetapi jika alat hanya digunakan sebagai alat dalam proses pembelajaran, maka itu hanya sebagai alat.

2. Lingkungan Pendidikan

Lingkungan merupakan salah satu faktor pendidikan yang ikut serta menentukan corak pendidikan yang tidak sedikit pengaruhnya terhadap peserta didik. Lingkungan dapat berupa lingkungan sosial, lingkungan nonsosial. Lingkungan sosial berupa lingkungan yang terdiri atas manusia yang ada di sekitar anak yang dapat memberi pengaruh terhadap anak, baik sikap, perasaan, atau bahkan keyakinan agamanya, misalnya lingkungan pergaulan. Lingkungan nonsosial adalah lingkungan alam sekitar berupa

19Ahmad D. Marimba, op. cit., h. 50-54

20Arief S. Sadiman et.al., Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pe- manfaatannya (Ed. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 6.

(13)

benda atau situasi, misalnya keadaan ruangan, peralatan belajar, cuaca, dan sebagainya, yang dapat memberikan pengaruh pada peserta didik.

Zakiah Daradjat mengatakan bahwa lingkungan dalam arti luas mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak yang terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang, baik manusia maupun benda buatan manusia atau alam yang bergerak dan tidak bergerak, kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang.

Keadaan itu bisa memberi pengaruh yang bernilai positif bagi perkembangn seseorang, tetapi juga bisa merusakkan perkembangnnya.21

Pemahaman mengenai pengaruh lingkungan terhadap anak atau peserta didik merupakan keharusan bagi setiap pendidik, termasuk para guru. Dengan pemahaman hal ini, para pendidik/guru dapat memberikan penjelasan dan mempengaruhi anak secara lebih baik. Kurangnya pemahaman tentang lingkungan dan pengaruh yang ditimbulkannya, menyebabkan masyarakat selalu melemparkan tanggung jawab kepada sekolah dan guru jika terjadi hal-hal yang dianggapnya menyimpang atau tidak sesuai dengan keinginannya. Misalnya prestasi anak menurun, nakal, dan sebagainya. Tanpa berpikir panjang, para orang tua melemparkan kesalahan itu pada sekolah, tanpa menyadari bahwa mereka merupakan lingkungan yang terdekat dengan anak yang dapat memberikan pengaruh, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Di antara lingkungan yang banyak memengaruhi peserta didik adalah lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (tripusat pendidikan).

Ketiga lingkungan ini, baik sebagai lingkungan sosial atau manusia, maupun nonsosial berupa benda-benda, situasi, iklim kehidupan, semuanya dapat membentuk watak, sikap, prilaku, keperibadian, kebiasaan peserta didik.

Oleh karena itu, ketiga lingkungan tersebut harus ditata sebaik mungkin sehingga dapat memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan peserta didik. Hal ini telah disinggung secara singkat dalam uraian terdahulu tentang pendidik. Ketiga lingkungan ini harus bersinergi dalam pendidikan.

Keluarga merupakan lingkungan alamiah tempat berlangsungnya pergaulan yang khas di antara sesama anggotanya. Pergaulan yang berlangsung dalam keluarga memberikan pengaruh terhadap anak yang dapat dilihat dalam pergaulan di luar keluarga. Anak merupakan cermin mini dari sebuah keluarga. Misalnya anak yang nakal di sekolah pada umumnya di rumah/keluarga ia mendapat didikan yang kasar atau kurang kasih sayang. Di sekolah ia nakal untuk mencari perhatian dari gurunya dan teman-temannya.

21Zakiah Daradjat, op. cit., h. 63-64.

(14)

Lembaga pendidikan keluarga merupakan peletak dasar pengalaman melalui perlakuan orang tua. Di sinilah diletakkan rasa kasih sayang, kepatuhan, kewibawaan, sopan santun, kebiasaan, keteladanan, menghargai orang lain, dan sebagainya. Sebaliknya hal-hal yang bersifat negatifpun dapat diperoleh anak melalui perlakuan dalam keluarga, seperti keras hati, kasar, suka bicara kotor, dan sebagainya.

Zakiah Daradjat mengatakan bahwa pergaualan dalam keluarga berlangsung dalam hubungan yang bersifat pribadi dan wajar, maka penghayatan terhadapnya mempunyai arti yang amat penting. Suatu kehidupan keluarga yang baik, merupakan persiapan yang baik untuk memasuki pendidikan sekolah. Dalam suasana keluarga yang demikian tumbuh perkembangan afektif anak secara benar. Anak akan tumbuh dan berkembang secara wajar. Masalah pokok yang harus terbangun adalah keserasian antara ayah dan ibu yang merupakan komponen pokok keluarga.22

Selain keluarga, sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang banyak berpengaruh terhadap peserta didik. Lingkungan keluarga berbeda dengan lingkungan sekolah, baik suasana, tanggung jawab, kebebasan, dan pergaulan.

Pada dasarnya sekolah harus merupakan suatu lembaga atau lingkungan yang membantu tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat.

Di sekolah para peserta didik mempelajari apa yang tidak dapat diajarkan orang tua di rumah, berupa pengetahuan dan keterampilan. Di sini anak- anak diajarkan mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan dan diterapkan secara ketat disertai dengan sanksi terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan, penanaman disiplin, waktu belajar diatur secara terjadwal. Hal seperti ini jarang atau bahkan tidak ditemukan di dalam keluarga. Ini menyebabkan banyak anak di awal tahun pertama masuk sekolah kaget dan stress, karena suasana sekolah sangat berbeda dengan suasana di dalam keluarga.

Kenyataan ini menyebabkan perlunya hubungan antara keluarga dan sekolah sebagai lingkungan dan lembaga pendidikan perlu menjalin hubungan, kemitraan. Orang tua harus mengenal anaknya, sekolahnya, dan guru anaknya, Keadaan ini biasanya diketahui orang tua dari (a) daftar nilai, (b) surat peringatan, (c) kunjungan kepada guru di sekolah, (d) pertemuan dengan orang tua murid, dan (e) guru memahami murid-murid.23

22Ibid., h. 67.

23Ibid. h. 76.

(15)

Jadi, lingkungan keluarga dan sekolah merupakan lingkungan yang banyak menentukan perkembangan peserta didik. Orang tua dan guru merupakan faktor yang menentukan.

Lingkungan masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang ketiga sesudah keluarga dan sekolah. Pendidikan dalam masyarakat boleh dikatakan pendidikan secara tidak langsung, pendidikan yang dilaksanakan secara tidak sadar oleh masyarakat. Anak didik sendiri secara sadar atau tidak mendidik dirinya sendiri, mencari pengetahuan atau pengalaman sendiri. Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa sebagian dari pengalaman yang diperoleh di masyarakat tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori pendidikan, hanya dapat dimasukkan ke dalam kategori pergaulan.24 Hal ini dapat dipahami, jika pendidikan diartikan sebagai usaha sadar. Pengaruh dalam masyarakat, kadang dialami secara tidak sadar, dan berlangsung tanpa perencanaan dan tujuan yang jelas.

Kalau dilihat secara saksama, memang ada aktivitas dalam masyarakat yang direncakan, berupa pendidikan luar sekolah (nonformal), dikelola secara professional dengan tujuan yang jelas, tetapi ada yang hanya sebatas pergaulan dalam masyarakat yang berlangsung spontan tanpa disadari. Namun demikian, apakah itu pendidikan yang dilakukan secara sadar oleh masyarakat ataukah itu hanya dalam bentuk pergaulan, semuanya bisa memberikan dampak bagi perkembangan anak didik.

Dengan demikian, lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat), merupakan tiga pusat pendidikan (tripusat pendidikan) yang harus membangun kemitraan. Apa yang sudah terbangun dalam keluarga yang dianggap sudah baik, dilanjutkan di sekolah dan yang dianggap salah diluruskan oleh sekolah. Demikian pula apa yang sudah diletakkan dasar- dasarnya oleh keluarga dan dilanjutkan oleh sekolah, hendaknya dipelihara oleh masyarakat.

Pencitraan anak akan sangat ditentukan oleh hubungan kemitraan yang baik dan saling melengkapi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai bagian dari lingkungan pendidikan.

Selain faktor-faktor tersebut di atas, masih banyak faktor lain yang merupakan faktor determinan, misalnya faktor ekonomi, politik, dan lain- lain, namun dalam tulisan ini faktor-faktor tersebut tidak menjadi bahan kajian.

C. PENUTUP

Mengingat bahwa pendidikan merupakan sebuah sistem, maka hendaknya semua unsur yang terlibat di dalamnya membangun kemitraan

24 Ahmad D. Marimba, op. cit., h. 64.

(16)

untuk mewujudkan pencapaian tujuan pendidikan. Tanggung jawab pendidikan lebih banyak diemban oleh para pendidik, baik orang tua di dalam keluarga, guru di sekolah, dan para tokoh masyarakat, hendaknya menyadari fungsi dan tugas-tugas masing-masing agar peserta didik tidak dihadapkan pada kebingungan untuk menentukan sebuah pilihan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor determinan dalam pendidikan meliputi antara lain;

pendidik, peserta didik, tujuan pendidikan, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan yang merupakan suatu sistem.

2. Faktor-faktor tersebut mempunyai peranan masing-masing dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan merupakan puncak dari seluruh aktivitas pendidikan, karena semua aktivitas pendidikan diarahkan pada tujuan tersebut.

3. Dalam pelaksanaan pendidikan, keterkaitan dan kemitraan antara faktor- faktor penentu pendidikan tersebut perlu dipelihara dalam mewujudkan tujuan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy. Falsafah al-Tarbiyah al- Islamiyah. Cet. IV; 1983 .

Arifin, H.M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Chaplin J.P, Dictionary of Psychology, diterjemahkan oleh Kartini Kartono dengan judul “Kamus Lengkap Psikologi” .Cet. 13; Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2009.

Daradjat, Zakiah . Ilmu Pendidikan Islam . Cet. keenam; Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Echols, John M. dan Hassan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia. Cet. XIV;

Jakarta: PT. Gramedia, 1986.

Ibnu Rusn, Abidin Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Cet. II;

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Langgulung, Hasan. Falsafah Pendidikan Islam., Jakarta: Bulan Bintang.

t.th.

---. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Cet. III; Jakarta: Al Husna, 1995.

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Cet. II;

Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1964.

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya . Kerajaan Saudi Arabiah: Mujamma’ al Malik Fahd li Thiba’at al Mush-haf Asy- Syarif Medina Munawwarah, 1924 .

(17)

Undang-Undang RI. No. 20 Th. 2003. Undang-Undang Sisdiknas (sistem Pendidikan Nasional) 2003.Cet. II; Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Sadiman, Arief S. et.al., Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Ed. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.

Zuhairini dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1992

Referensi

Dokumen terkait

f. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”.. Ada beberapa panduan dalam menggunakan media sosial. 1) Menyampaikan Informasi dengan Benar Menyampaikan informasi dengan benar