70 ANALISIS KEBIJAKAN INDO-PASIFIK AMERIKA SERIKAT DAN TIONGKOK TERHADAP INDONESIA DALAM MENDUKUNG GAGASAN POROS MARITIM DUNIA
Nada Novia Puteri1, Afrimadona.2, Laode Muhammad Fathun.3
1Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, Indonesia
2,3Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, Indonesia
SUBMISION TRACK ABSTRACT Recieved: 26 January 2022
Final Revision: 8 April 2022 Available Online: 28 June 2022
The Indo-Pacific region creates a new form of dynamics in the international world order, one of the two important situations in which is the rivalry between the United State (US) and China, and Indonesia with changes in its foreign policy, named World Maritime Axis. This grand concept under Joko Widodo administration intends to make Indonesia not only a maritime country but a world maritime power. Indonesia's strategic location, which is right in the middle of the Indian and Pacific Oceans and its central role in ASEAN, makes Indonesia one of the countries prioritized by the US and China in "playing" the balance of power in the Indo-Pacific region. This study aims to analyze the Indo-Pacific policies of the US and China towards Indonesia in supporting the World Maritime Axis concept. This study uses a qualitative research method that is supported by theories and concepts used to study this research, namely a comparative study of foreign policy and international cooperation. Using qualitative research methods that are descriptive analytical and case study as the type of research.
KEYWORD
Indo-Pacific, US-China rivalry, Indonesia, World Maritime Axis.
KATA KUNCI ABSTRAK
Indo-Pasifik, rivalitas AS- Tiongkok, Indonesia, Poros Maritim Dunia.
Kawasan Indo-Pasifik menciptakan bentuk dinamika baru dalam tatanan dunia internasional, salah dua situasi penting di dalamnya adalah rivalitas antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok serta Indonesia dengan perubahan politik luar negeri nya yang dijuluki sebagai Gagasan Poros Maritim Dunia (PMD). Gagasan besar ini di bawah pemerintahan Joko Widodo bermaksud menjadikan Indonesia bukan hanya sebagai negara maritim melainkan kekuatan maritim dunia. Letak strategis Indonesia yang berada tepat di tengah-tengah Samudera Hindia dan Pasifik serta peran sentralitasnya di ASEAN, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang diutamakan oleh AS dan Tiongkok dalam “memainkan” balance of power di kawasan Indo-Pasifik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan Indo-Pasifik AS dan Tiongkok terhadap Indonesia dalam mendukung Gagasan Poros Maritim Dunia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang didukung dengan teori dan konsep dalam mengkaji penelitian ini, yakni studi kerja sama internasional. Menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif analitis, dengan jenis penelitian studi kasus.
CORRESPONDENCE Email :[email protected]
Sriwijaya Journal of International Relations Vol 2 No 1, Juni 2022 71 PENDAHULUAN
Kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok sangat berdampak di berbagai bidang Hubungan Internasional. Banyak ilmuwan yang setuju bahwa konflik Great Powers menjadi tantangan baru di era saat ini, menyebabkan realisme dan teori yang dekat dengan hubungan luar negeri mengundang banyak perhatian. Teori realisme dalam HI berpendapat bahwa setiap negara berupaya meningkatkan kekuatan dan keamanannya dengan tujuan akhir agar tidak terkalahkan.
Mungkin Amerika Serikat (AS) tidak terpacu pada upaya balancing terhadap Tiongkok, tetapi lebih kepada mempertahankan status quo atas dominasi AS selama ini. Status negara Unipolar telah dinikmati oleh AS dalam beberapa waktu dan saat ini ketika status itu terancam, maka terjadi perubahan strategi dengan implikasi global (Hansen, 2019).
Konteks persaingan dan konflik antar negara adidaya dengan kepentingan global, seperti AS dan Tiongkok, menjadi aktor utama dalam melanggengkan pembentukan interaksi antar negara. Keterlibatan negara- negara ini akan berpengaruh lebih besar dibandingkan negara lain dalam membentuk struktur politik dan keamanan internasional di berbagai wilayah regional, salah satunya Indo-Pasifik. Jika dilihat dari segi historis, kawasan Indo-Pasifik sudah diketahui sebagai jalur maritim yang strategis. Indo-
Pasifik merupakan wilayah bagi 10 dari 20 negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat.
Kawasan ini juga dijuluki sebagai jalur sutera maritim. Kawasan Indo-Pasifik meliputi dua samudera yang saling berhubungan yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Wilayah ini mencakup lebih dari sepertiga Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global serta 60 persen pertumbuhan PDB global (Davidson, 2019).
Nilai strategis Indo-Pasifik menjadikan wilayah ini tidak hanya sebagai objek kebijakan luar negeri setiap negara, tetapi juga sebagai wilayah kompetisi distribusi kekuatan antar negara. Seperti hal nya di tengah situasi hadirnya negara-negara besar di Indo-Pasifik, AS mengaplikasikan kebijakan strategisnya tidak lepas dari atas dasar kepentingan nasional di wilayah tersebut guna mempertahankan pengaruh global. Selain itu, juga menahan kebangkitan Tiongkok sebagai ancaman di wilayah Indo-Pasifik (Bhatt, 2018).
Indonesia, merupakan salah satu negara anggota organisasi regional ASEAN, sebuah institusi yang bisa dikatakan mapan mempertahankan diri dari segala guncagan politik dan diplomatik dalam cangkupan Asia Timur. Jika membicarakan tentang kawasan Indo-Pasifik, ASEAN merupakan wilayah yang sangat strategis secara geografis. Ini menyebabkan wilayah tersebut dianggap memiliki peranan yang penting serta
berpotensi besar dalam kawan Indo-Pasifik, terutama Indonesia yang secara harfiah berada di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Yahya, 2019).
Indonesia adalah negara yang melihat masa depan perkembangan geopolitik Indo- Pasifik yang akan semakin besar. Hal ini mendorong Indonesia menjadi peranan dalam menyatukan dan mempertahankan ASEAN tetap berada di jalur dan prinsip yang telah dianut oleh regional tersebut. Indonesia menggagaskan proposal Indo-Pasific Outlook dan memberikannya kepada pemimpin- pemimpin ASEAN yang pada akhirnya di tahun 2019, hasil negosiasi menciptakan sebuah ASEAN Indo-Pasific Outlook (AIOP).
Di mana hasilnya mengharapkan Indo-Pasifik tidak menjadi sebuah kontestasi regional melainkan wilayah yang berpotensi integrasi dan konektivitas, memiliki prinsip-prinsip mirip dengan ASEAN yang mana didasari dengan inklusi, pembangunan kepercayaan, dan hukum internasional. AIOP mengatakan bahwa ASEAN akan tetap melakukan kerja sama dengan negara manapun selama memiliki kepentingan yang sejalan antar pihak yang terlibat. Singkatnya, AIOP tidak berpihak ke kubu manapun dalam situasi ambisi AS dan Tiongkok di kawasan Indo- Pasifik.
Indonesia pada tahun 2014, tumbuh sebuah Visi Nawa Cita yang berarti Sembilan Cita-Cita sebagai program prioritas dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk
mewujudkan politik Indonesia yang berdaulat, perekonomian yang mandiri, serta kepribadian dalam berbudaya. Salah satu poin pokok pada sembilan visi Nawa Cita, yaitu:
mengembalikan kehadiran negara guna melindungi bangsa secara keseluruhan dan memberikan rasa aman terhadap seluruh warganya melalui politik luar negeri bebas- aktif, keamanan nasional yang dapat diandalkan, mengembangkan pertahanan Negara Tri Matra berdasarkan kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim (Presiden RI, 2015).
Indonesia telah mengalihkan fokus politik luar negeri nya yang semula beorientasi di daratan secara aktif pada ranah global, namun pada pemerintahan Presiden Jokowi, Indonesia lebih mengedepankan kebijakan inward looking yang bertujuan untuk membentuk pondasi negara yang kuat dengan mempertunjukkan identitas Indonesia sebagai negara maritim. Hal ini didorong atas letas geografis Indonesia yang kaya akan sumber daya kelautan dan berada tepat di tengah- tengah kawasan Indo-Pasifik yang saat ini menjadi kawasan dengan potensi besar.
Sehingga, salah satu situasi penting yang terjadi di kawasan, adalah perubahan politik luar negeri Indonesia, yang diberi nama dengan Gagasan Poros Maritim Dunia.
Melihat potensi-potensi yang dimiliki oleh Indonesia baik secara geografis maupun peranan dalam kawasan Indo-Pasifik di ASEAN yang merupakan wilayah strategis di
sana, AS dan Tiongkok tentu mengarahkan pandangannya dan mengutamakan kepada negara Indonesia dalam bentuk kebijakan.
Pada tahun pertama menjabat, Presiden Trump membawa strategi Indo-Pasifiknya yang bebas dan terbuka. Sedangkan Tiongkok, juga melancarkan strategi ekonomi nya melalui gagasan besar nya yaitu kebijakan BRI.
KERANGKA TEORI
Konsep Kerja sama Internasional
Penelitian ini menggunakan konsep kerja sama internasional sebagai pisau analisis penulis dalam menjawab rumusan masalah penelitian. Kerja sama antar negara merupakan hal yang sebenarnya lebih umum daripada perang. William dan Saadia mendefinisikan kerja sama sebagai keadaan atau situasi di mana adanya kesepakatan dari kedua belah pihak dalam bekerja sama untuk menghasilkan keuntungan baru bagi setiap pihak. Memiliki unsur-unsur pembentuk berupa bekerja sama, kesepakatan untuk melakukannya, terdapat anggaran atau biaya, dan adanya keuntungan baru bagi kedua pihak. Keuntungan pada kerja sama yang dimaksudkan tidak hanya berupa materi. Tapi juga berupa keuntungan untuk mencapai tujuan, seperti peningkatan keamanan, status, dan atau kebebasan bertindak baik itu kepada diri sendiri maupun yang lain seperti penerapan batasan kepada aktor lain. Definisi
kerja sama di atas melihatkan kerja sama tidak hanya dipandang sebagai lawan dari adanya sebuah konflik, namun lebih dari itu berupa aksi yang sadar, spesifik, dan tindakan yang positif (Zartman & Touval, 2010).
Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa negara tidak bersifat autarkis baik dalam pemerintahan dan ekonomi. Dalam mencapai kepentingan dan tujuan nasionalnya, negara membutuhkan bantuan secara pasif maupun aktif dari aktor lain. Dalam artian, negara membutuhkan aktor-aktor lain untuk menjadi sekutunya guna mempertahankan keamanan negara, agar mereka dapat menentukan perilaku internasional, perdagangan, sebagai mitra dalam pengelolaan hubungan ekonomi internasional, serta untuk menjaga negara dari resiko-resiko lain seperti lingkungan.
Dalam bukunya, Keohane mengatakan bahwa kerja sama merupakan suatu keadaan di mana aktor internasional dapat menyesuaikan pola perilaku mereka dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dalam tatanan internasional serta dapat beradaptasi dengan pola perilaku aktor lain melewati suatu metode koordinasi kebijakan luar negeri nya. Keohane mengatakan bahwa kerja sama jika melihat dari sudut pandang pembuat kebijakan tidak hanya dilihat dengan tujuan dari kerja sama itu sendiri melainkan kerja sama sebagai alat untuk mencapai berbagai tujuan lainnya. Kerja sama berupa aliansi juga merupakan hasil dari pengaplikasian balance of power, dan pola kerja sama yang terbentuk atas dasar untuk
mencapai suatu tujuan dapat dikatakan sebagai bagian dari perjuangan yang lebih besar untuk mendapatkan kekuasaan (Keohane R. O., 2005).
Jika dilihat dari kedua definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa kerja sama internasional dapat dipandang sebagai suatu upaya aktor internasional dalam menghasilkan keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat. Lantas alasan apa yang membuat para pihak pada akhirnya menyetujui mengeluarkan anggaran kerja sama untuk menghasilkan keuntungan baru bagi mereka? Bagi negara-negara bagian, proses kerja sama dengan negara lain dapat membantu mereka untuk mencapai tujuan nasional. Negara-negara ini akan berfikir bahwa biaya yang dikeluarkan akan lebih murah jika mereka melakukan kerja sama dibandingkan mengerjakannya secara pribadi. Sementara untuk negara-negara besar – yang memiliki tendensi untuk meningkatkan pengaruhnya di ranah internasional – akan melihat kerja sama sebagai peluang agar negara lain dapat memiliki sifat ketergantungan terhadap mereka.
Luo, Shenkar, dan Gunani menyebutkan di dalam jurnalnya mengenai tiga situasi yang dapat dikatakan bahwa suatu kerja sama menghasilkan keuntungan, (Luo, Shenkar, & Gurnani, 2008) yang dijelaskan sebagai berikut:
1. The contending or bargaining situation Merupakan situasi di manadalam melakukan kerja sama, tingkat komitmen yang dimiliki suatu negara rendah dan berpotensi memiliki resiko dalam menjalani kerja sama. Situasi ini dapat terjadi kepada negara-negara yang memiliki persaingan serta bertujuan saling lomba untuk menduduki kekuasaan, otoritas, dan kontrol terhadap sumber daya maupun situasi kompetitif nan agresif yang terjadi saat proses bekerja sama. Situasi seperti ini secara umum dilandasi atas dua hal. Pertama, hubungan dan tingkat kepercayaan antar dua negara yang rendah, maupun adanya perbedaaan penyampaian walaupun memiliki tujuan dan visi yang sama. Hal lainnya karena kerja sama dilakukan tidak atas dasar visi dan tujuan yang berkesinambungan, komitmen dalam perjanjian yang tidak terpenuhi, mengambil hak pengetahuan dan informasi, hingga menurunkan kuantitas maupun kualitas sumber daya yang menjadi sumber kerja sama itu sendiri.
2. Honeymoon state
Kondisi ini ketika dua negara yang melakukan kerja sama memiliki taraf kompetisi yang rendah demi mempertahankan hubungan yang harmonis antar kedua pihak. Hal ini didasari karena faktor sejarah yang panjang terkait pembuatan kerja sama itu sendiri, maupun kepercayaan yang telah dimiliki antar negara tersebut yang kemudian ingin dijaga. Kerja sama dapat dikatakan menyentuh honeymoon
state ketika terlihat dua negara sudah saling bergantungan sumber daya, kerap melakukan kontribusi secara mutualisme untuk mencapai keuntungan dan tujuan bersama, pembagian prosedur dan hasil yang adil, melibatkan semua pihak dalam berinteraksi, serta hubungan yang berkelanjutan.
3. Competiting state
Inilah situasi di mana dua negara yang sebenarnya bersaing tetapi tetap melakukan kerja sama. Kondisi ini mampu didapatkan bagi negara-negara yang tingkat ketergantungannya tinggi antara satu sama lain namun memiliki tujuan dan latar belakang yang berbeda. Situasi ini didapati saat pihak-pihak memiliki hubungan yang erat dan perlakuan timbal balik (mutualisme) yang jika diukur, kuantitas dan kualitasnya sama. Penjelasan ketiga situasi tersebut memperlihatkan bagaimana kerja sama itu sendiri akan dilakukan seiring dengan pencapaian masing-masing negara terhadap kepentingan nasionalnya.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, di mana kualitatif ini merupakan sebuah metode dengan pendekatan mencari dan memahami fenomena suatu individu maupun kelompok lalu mengaplikasikannya ke dalam suatu masalah sosial ataupun masalah kemanusiaan. Metode kualitatif memiliki prosedur yang konsisten. Proses
penelitiannya juga berlandaskan akan suatu pernyataan yang kemudian akan dikelola di dalam penelitian. Data-data pada metode ini dapat menggunakan partisipan atau berupa kuesioner, menganalisis data yang dibentuk dari suatu tema, maupun interpretasi peneliti terhadap sebuah data. Hingga kemudian hasil akhir dari penelitian metode kualitatif memiliki struktur tulisan yang fleksibel (Creswell J. W., 2014).
Penelitian kualitatif berisikan data-data deskriptif analitis berbentuk data dan atau dokumentasi. Data deskriptif merupakan data yang pasti. Tujuannya untuk menghasilkan laporan penelitian yang memberikan penjelaskan komprehensif dan analitis.
Pembahasan dan hasil penelitian bersifat kajian atau analisis kritis. Adapun pendekatan yang digunakan untuk analisis data adalah pendekatan kualitatif. Dimaksudkan berupa data yang benar-benar terjadi, apa adanya, memiliki makna di setiap data bukan hanya sekedar data yang terlihat maupun terucap (Sugiarto, 2017). Penelitian yang penulis kaji dalam tulisan ini mengenai kebijakan Indo- Pasifik AS dan Tiongkok terhadap Indonesia dalam mendukung Gagasan Poros Maritim Dunia dan hasil yang didapat dari penelitian ini ialah data yang deskriptif mengenai analisis perbandingan kerja sama antara Tiongkok- Indonesia dan AS-Indonesia .
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
kualitatif case study. Case study jika diartikan oleh Sugiarto merupakan jenis penelitian kualitatif tentang individu, kelompok, institusi, dan sebagainya dalam waktu tertentu secara mendalam. Studi kasus bertujuan untuk mencari makna, menyelidiki proses, dan menghasilkan deskripsi dan pemahaman yang mendalam serta utuh dari suatu situasi. Data dalam case study diperoleh dari berbagai dokumen terkait dengan topik yang sedang diteliti (Sugiarto, 2017). Dalam penelitian ini penulis menjelaskan mengenai permasalahan yang dibahas dengan mengangkat studi kasus kerja sama BALAMKA-RI dengan US Coast Guard serta sinergitas gagasan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 dengan Poros Maritim Dunia.
Selain itu penulis juga menghadirkan data- data dan melakukan analisis melalui teori dan konsep sehingga diharapkan jawaban dari perumusan masalah penelitian ini dapat dipahami oleh pembaca dengan baik.
Jenis data berdasarkan sumbernya dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Penelitian ini akan hanya menggunakan satu jenis sumber data yaitu data sekunder. Data sekunder adalah data yang didapatkan dari sumber-sumber yang sudah ada dan didapatkan secara tidak langsung. Data sekunder dapat dipergunakan untuk memahami masalah, memperjelas masalah, memunculkan beberapa alternatif untuk mendukung dalam penyelesaian masalah yang penulis teliti, juga dapat
memunculkan solusi permasalahan yang ada.
(Sarwono, 2006) Data sekunder yang digunakan peneliti adalah dengan menggunakan kajian litearut seperti buku, jurnal pendidikan, berita, website resmi negara, dan lain lain.
Teknik pengumpulan data yang akan penulis lakukan adalah dengan menggunakan studi dokumen dan focus group discussion.
Teknik yang menggunakan dokumen dimaksud memperoleh informasi dari data- data dalam bentuk surat, dokumen resmi, arsip foto, hasil rapat, jurnal kegiatan, dan sebagainya. Creswell mengatakan bahwa studi dokumen dapat diambil dari dokumen publik seperti notulen rapat, dokumen resmi, atau surat kabar, maupun terhadap dokumen- dokumen pribadi seperti jurnal, buku harian ataupun surat. (Creswell J. W., 2014). Dalam penelitian ini menulis melakukan studi dokumen terhadap dokumen-dokumen resmi yang penulis peroleh dari website resmi seperti BRI, BALAMKA-RI, Pemerintah Indonesia, dan lain lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Kawasan Indo-Pasifik
Belum ada kesepakatan yang sah mengenai penetapan batasan pada kawasan Indo-Pasifik . Hal ini dikarenakan adanya perbedaan cara pandang terhadap di mana titik mulai dan berakhirnya kawasan ini. Rizky Hikmawan menjelaskan secara umum pembentukan kawasan Indo-Pasifik dari skala
kecil hingga besar. Pertama, Indo-Pasifik melingkupi dari sisi barat, di India, dan terus membentang hingga sisi timur di Jepang.
Perbatasan ini dilihat dari posisi negara penting yang berada di masing-masing ujung kawasan tersebut tanpa mengabaikan status negara-negara di pesisir timur Afrika dan negara Timur Tengah yang berada di antara Teluk Aden dan Teluk Oman. Kedua, bahwa Indo-Pasifik menaungi seluruh wilayah Samudera Hindia yang terdiri atas pesisir timur Afrika sampai Samudera Pasifik Barat.
Penetapan ini melihat dari pada arus lalu lintas perdagangan yang tidak menyertakan secara menyeluruh ke wilayah Pasifik.
Terakhir, kawasan Indo-Pasifik mencakup seluruh wilayah yang bertautan dengan Samudera Hindia dan Pasifik, berawal dari pesisir timur Afrika sampai pesisir barat Amerika. Hal ini dilakukan untuk mem- validasi keberadaan AS dalam kawasan tersebut, secara de facto, di mana posisi AS berada di pesisir barat pasifik. Secara de jure pun AS dapat dikatakan bagian dari Indo- Pasifik karena adanya armada laut AS di Pasifik Barat (Hikmawan, 2021).
Gambar 1. Peta Kawasan Indo-Pasifik
Sumber: Dive The World: https://www.dive- the-world.com/maps- indian-pacific- ocean.php
Namun dengan keberadaan pro kontra terhadap definisi Indo-Pasifik, negara-negara besar mulai mengeluarkan pernyataan mengenai batasan kawasan ini. Australia dalam Buku Putih Kebijakan Luar Negeri nya menyebutkan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang meliputi mulai dari sisi timur Samudera Hindia hingga Samudera Pasifik yang disambungkan oleh Asia Tenggara. Sedangkan India mengatakan bahwa kawasan Indo- Pasifik merupakan rute dari implementasi “Act East” di mana batasannya dimulai dari India melewati Asia Tenggara ke Laut Tiongkok Selatan dan Utara. Pada tahun 2017, kawasan Indo-Pasifik didefinisikan oleh Jepang dalam Buku Biru Diplomatik sebagai wilayah yang meliputi Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat, termasuk Asia Tenggara, Asia Selatan, beberapa bagian Timur Tengah, dan pesisir timur Afrika. Pada awalnya AS setuju dengan penjabaran yang dilakukan Jepang, namun hal ini berubah melihat
pernyataan pada Strategi Keamanan Nasional yang menyebutkan Indo-Pasifik merupakan kawasan yang membentang dari pantai barat India hingga pesisir barat AS (Chong, 2019).
Pemetaan Indo-Pasifik juga datang dari wilayah ASEAN melalui ASEAN Outlook on the Indo-Pasific (AOIP) yang mendefiniskan kawasan tersebut sebagai wilayah yang saling menyatu dan memiliki koneksi satu sama lain di mana institusi regional memainkan peran sentral dan strategis (ASEAN, 2019). Sedangkan dari Tiongkok, negara ini belum secara resmi mengeluarkan statement mengenai Indo- Pasifik. Kendatipun Tiongkok menunjukkan kepentingannya di wilayah tersebut melalui aktivitasnya seperti kebijakan BRI yang memerlukan kestabilan kawasan Indo-Pasifik guna melancarkan realisasi proyek-proyek mereka di kawasan. Oleh sebab itu, sulit untuk menyangkal keberadaan Tiongkok di kawasan meskipun belum ada keterangan resmi keterlibatan negara tersebut pada konsep Indo-Pasifik (He & Feng, 2020).
Dialog dan diskusi mengenai konsep Indo-Pasifik tidak dapat terlepas dari posisi AS di kawasan dan hubungan rivalitasnya dengan Tiongkok, meskipun pada dasarnya AS sendiri tidak terlibat dalam pembentukkan gagasan dan proses awal pembentukan konsep Indo-Pasifik. AS memulai keterlibatannya dalam konsep Indo-Pasifik pada saat membangun hubungan strategis dengan India sebagai respon terhadap
perkembangan ekonomi Tiongkok di Samudera Hindia.
Hubungan yang dibangun antara negara semakin penting seiring dengan pergeseran perluasan strategis dari Barat menuju Asia yang membentuk konsep Indo- Pasifik. Perluasan makna strategi serta kebijakan luar negeri baru AS pada kawasan disebabkan oleh melihat bagaimana Tiongkok memulai tatanan di kawasan yang dibuat Tiongkok secara ekspansif di wilayah kekuatan militer dan ekonomi, menjadikan sebuah ancaman bagi posisi strategi AS (de Swielande, 2014).
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Tiongkok telah menjadi ancaman bagi posisi strategis AS sebagai negara yang sudah lama berada di posisi Unipolar dan menjadikan negara lain memiliki sifat
“ketergantungan” terhadap perlindungan keamanan dna kerja sama ekonomi. Kontestasi hubungan AS dan Tiongkok menjadi sebuah bingkai perbincangan Indo-Pasifik, yang sebenernya kawasan ini memiliki makna yang lebih kompleks, sebagai suatu respon terhadap tantangan global yaitu integrasi ekonomi dan kaitannya dengan struktur keamanan di kawasan (Iriawan, 2018).
Terdapat sisi menarik dalam bingkai rivalitas AS dan Tiongkok di kawasan.
Konsepsi Indo-Pasifik memang terlihat seakan mengekslusikan Tiongkok. Bahkan muncul beberapa dialog yang mengatakan konsep Indo-Pasifik bertujuan menahan kebangkitan
Tiongkok di kawasan. Perspektif realis selalu berpendapat bahwa sebuah negara akan meningkatkan kekuatan pertahanannya dan negara pesaing akan merasa terancam sehingga mengupayakan hal yang sama atau bahkan menstrategikan yang lebih daripada itu, demi bertahan hidup. Situasi ini dikenal dalam studi realis sebagai balance of power.
Dengan pola pikir demikian, maka tidak aneh jika dunia beranggapan Tiongkok akan bereaksi negatif terhadap kawasan Indo- Pasifik di mana konsepsi tersebut dipandang menghambat gerak ekonomi dan militer Tiongkok di kawasan.
Asia Tenggara secara geografis strategis sehingga menjadi sasaranan diplomasi publik, ekonomi, dan keamanan bagi negara adidaya. Presiden Donald Trump pada tahun pertama menjabat, telah mengeluarkan Indo-Pasifik yang bebas terbuka. Diplomasi ekonomi Tiongkok di ASEAN masih sangat efektif, terlebih di Indonesia. Banyak kerja sama strategis yang dilakukan antar dua negara tersebut yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, wilayah ASEAN telah menarik perhatian aktor-aktor utama penentu interaksi kawasan Indo-Pasifik.
Asia Tenggara telah diakui merupakan wilayah paling strategis secara geografis di kawasan Indo-Pasifik. Wilayah ASEAN menjadi regional yang diperhatikan oleh negara berkekuatan utama di Indo- Pasifik. Terutama Indonesia, yang dilewati
oleh Samudera Hindia dan Pasifik.
Faktor mendasar dunia mengarahkan pandangan ke ASEAN didorong atas dasar Indonesia yang menyadari dinamika Indo- Pasifik akan semakin hebat di masa depan.
Sehingga ada keinginan untuk menyatukan ASEAN dan mempertahankan prinsip utama yang telah dianut oleh regional ASEAN.
Akhirnya, Indonesia mengajukan sebuah proposal Indo-Pasific Outlook pada tahun 2018 ke berbagai pemimpin ASEAN. Di dalamnya menggambarkan keinginan bahwa
“arsitektur regional” Indo-Pasifik akan serupa dengan prinsip ASEAN dengan “ekosistem perdamaian, stabilitas, kemakmuran”. Hal ini mengacu pada apa yang di mekanisme ASEAN, didasari oleh prinsip-prinsip kaawasan yang inklusi, pembangunan kepercayaan, dan hukum internasional (Laksmana, 2018).
Dalam forum terbuka, proposal Indo- Pasific Outlook oleh Indonesia kemudian dipresentasikan di hadapan negara-negara ASEAN pada KTT Asia Timur ke-8 pada 8 November 2018, melalui proses negosiasi, dan diklaim mendapat apresiasi positif. Setahun kemudian, usulan Indonesia berhasil diterima dan diadopsi oleh ASEAN sebagai ASEAN Outlook yang tertuang dalam poin 56 dari 57 poin yang disepakati hasil KTT ASEAN ke-34 di Bangkok (ASEAN Secretariat, 2019b). Inti dari ASEAN Outlook on Indo-Pasific (AOIP) memandang Indo-Pasifik sebagai potensi dalam beritegrasi dan konektivitas, bukan
sebuah regional kontestansi. Di dalamnya juga menjelaskan bahwa ASEAN akan secara terbuka menerima ajakan kerja sama dari negara manapun selama itu memiliki kesatuan kepentingan antar pihak. India, Jepang, dan Australia menyambut dengan baik konsep dari AIOP ini.
Rekonstruksi Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Kawasan Indo-Pasifik
Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi presiden, dari pidato pertama dia telah menjelaskan bahwa arah kebijakan luar negeri nya berorientasi ke luar dengan mengacu pada nilai-nilai demokrasi. Pola politik nya pun mencitrakan Indonesia memiliki sifat merangkul dan mengajak kerja sama negara- negara luar melalui diplomasi internasional.
Langkah tersebut diyakini SBY sebagai gerakan yang baik bagi Indonesia agar dapat kedepannya mendapatkan ruang di kancah Internasional sehingga dapat ikut berkontribusi dalam menentukan tatanan global. (Widiatmaja & Albab, 2019).
Memasuki era pemerintah Presiden Jokowi berbanding terbalik dengan orientasi SBY yang Memiliki slogan “ribuan teman nol musuh”. Presiden Jokowi pada masa pemerintahannya mengedepankan diplomasi”pro-rakyat”, berhasil menarik perhatian yang besar terkait metode Indonesia dalam menyikapi isu luar negeri. Pasalnya Jokowi menggeser orientasi luar negeri SBY
menjadi orientasi kebijakan yang fokus ke domestik atau dalam negara, menjadikan Indonesia mengalami penurunan yang lumayan signifikan atas keterlibatannya di ranah internasional.
Keputusan Indonesia menentukan perjanjian Indo-Pasifik terbaut pada setidaknya empat faktor. Antara lain yang pertama, bahwa Indonesia tetap perlu menjalankan diplomasi berbentuk kerja sama dengan negara kawasan Indo-Pasifik untuk meningkatkan aktivitas dan pembangunan ekonomi nya khususnya di bidang bahari yang saat ini merupakan fokus utama politik luar negeri. Kedua, mempertahankan dan memperkuat citra Indonesia sebagai negara maritim, hal ini dapat diraih oleh negara dengan memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya serta posisi strategis Indonesia di kawasan Indo-Pasifik demi mencukupi kebutuhan masyarakatnya. Ketiga, selaku penggagas utama perjanjian Indo-Pasifik serta posisi sentralistas Indonesia di ASEAN, negara harus mempertahankan keamanan kawasan dengan menunjukkan sikap kepercayaan dan melakukan sanksi serius bagi pelanggar seperti contoh situasi penenggelaman kapal-kapal illegal fishing pada masa pemerintahan Jokowi. Terakhir, menjaga keamanan kawasan dengan menjaga terjadinya konflik di dalam kawasan dengan cara menyuarakan sikap damai serta melakukan kerja sama yang saling menguntungkan guna berbuah terjalinnya
hubungan yang baik antar negara di kawasan (Sukmadewi).
Gagasan Poros Maritim Dunia
Indonesia pada pemerintahan setelah Soekarno cenderung memfokuskan kebijakan ke arah luar sebagai bentuk keaktifan negara di ranah internasional yang disebut sebagai bentuk kebijakan outward looking. Berbeda dengan presiden sebelumnya, pemerintahan Presiden Jokowi lebih mengedepankan kebijakan inward looking bertujuan untuk membentuk pondasi negara yang kuat dengan mempertunjukkan identitas Indonesia sebagai negara maritim. Jokowi memandang pemanfaatan aspek maritim dapat memperbaiki kondisi perekonomian negara.
Hal ini dipicu atas beberapa faktor dasar yaitu, pertama kesadaran bahwa maritim di Indonesia dengan keadaan geografis yang strategis – terletak di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik - kurang mendapatkan perhatian yang cukup di pemerintahan sebelumnya. Seperti pada masa orde lama maupun baru, pemerintah lebih banyak melaksanakan pembangunan non-maritim.
Kedua, terlihat bahwa isu-isu terkait lingkungan, masalah perbatasan, permasalahan migran, dan penyelendupan manusia kerap memiliki keterkaitan dengan maritim, juga kurang mendapatkan perhatian.
Sehingga hal-hal tersebut menjadi pertimbangan bagi negara untuk memperbaharui kembali kebijakan luar
negeri terkait permasalah di atas guna menjaga negara dari mala bahaya, meningkatkan kerja sama dengan negara-negara kawasan, serta memperkuat citra Indonesia sebagai negara maritim (Wirasenjaya, 2018). Presiden Jokowi pada masa pemerintahannya memiliki visi maritim bagi negara yaitu bukan hanya sebagai negara maritim tetapi menjadi kekuatan maritim yang berskala global. Hal ini disampaikannya melalui konsepsi atau gagasan Poros Maritim Dunia (PMD) yang secara resmi dikeluarkan pada 13 November 2014 di Naypyidaw-Myanmar pada forum East Asian Summit yang ke-9.
Joko Widodo semakin memandang lebih dekat pemanfaatan maritim negara. Pada dasarnya konsepsi ini berprinsip untuk mengembangkan kekuatan maritim Indonesia secara global dan memperkuat citra negara sebagai bangsa maritim. Dengan tujuan dan visi konsepsi tersebut, tentunya baik bagi Indonesia untuk melakukan kerja sama dengan Tiongkok di bidang ekonomi khususnya dalam sektor maritim. Untuk menjadikan Indonesia pada Poros Maritim Dunia, Indonesia memiliki 5 pilar kebijakan sebagai penopang utamanya. 5 pilar PMD antara lain Pertama, membangun kembali budaya maritim Indonesia. Kedua, berkomitmen menjaga dan mengelola kekayaan laut berfokus pada pembangunan kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama (ekonomi kelautan). Ketiga,
mengembangkan infrastruktur dan konektivitas maritim seperti mengadakan tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.
Keempat, diplomasi maritim melalui ajakan kepada semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan. Kelima, membangun kekuatan pertahanan dan keamanan maritim. (Menuju Poros Maritim Dunia, 2016). Perbedaan antara negara maritim dan kekuatan maritim antara lain negara maritim merupakan negara dengan pemahaman yang baik akan pemanfaatan sektor maritimnya dalam bidang ekonomi, politik, pertahanan, dan lainnya. Sedangkan negara yang memiliki kekuatan maritim jauh lebih kuat di mana power yang dimiliki suatu negara dapat mempengaruhi negara lain demi kepentingan maritimnya.
Program ini diyakini Jokowi dengan pandangan bahwa konektivitas laut merupakan sumber utama untuk dapat mewujudkan kemakmuran serta tercapai cita- cita negara untuk sejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Dari segi geopolitik, strategi pemerintahan Jokowi mengkampanyekan PMD ke mata dunia dengan sektor maritim sebagai acuan dan fokus utama pembangunan kabinet kerjanya. Jika dijabarkan lebis luas, konsep PMD ini merupakan konsepsi besar yang meliputi: peningkatan infrastruktur pelabuhan, menghubungkan wilayah melalui tol laut bebas hambatan yang menciptakan konektivitas jalur pelayaran internasional,
serta menghadirkan fasilitas kelautan asing seperti kapal-kapal di berbagai pelabuhan di Indonesia. Pembangunan tol laut ini akan sangat berguna dan menyumbang perubahan yang signifikan karena dikatakan dapat menghubungkan 17.504 pulau, memudahkan konektivitas antar pulau dalam berkegiatan ekonomi. Konsep PMD diimplementasikan Presiden Jokowi atas besar kecilnya doktrin Trisakti oleh Presiden Soekarno di mana menekankan pada kemandirian di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Perspektif Domestik
Berdasarkan penelitian di atas, terlihat bahwa keamanan maritim merupakan kepentingan nasional Indonesia saat ini.
Wilayah perairan mendominasi wilayah teritorial Indonesia, dengan total luas lautan sebesar 3,25 juta km2 dengan kekayaan bahari serta sumber daya kelautan yang sangat kaya (Pratama, 2020). Terdapat dua kategori kejahatan yang terjadi di lintas batas Indonesia. Pertama, kejahatan yang memanfaatkan laut sebagai objek (IUU fishing, illegal waste dumping, dan illegal poaching); dan kedua, kejahatan laut yang memanfaatkan laut sebagai sarana (seperti penyelundupan manusia dan perdagangan orang serta pembajakan dan perampokan bersenjata di laut) (Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan pada Organisasi Internasional, 2016).
Diplomasi Indonesia akan dijalankan
untuk melindungi kedaulatan negara, sesuai dengan apa yang disuarakan oleh Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, pada praktiknya, rencana ini berjalan melalui kerja sama yang termasuk ke dalam agenda diplomasi maritim yaitu Rencana Strategis (Renstra) pada Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia (Gunawan, 2020).
Agenda tersebut di dalamnya membicarakan antara lain bagaimana menjalin kerja sama internasional. Indonesia penting memikirkan dari banyak perspektif seperti ekonomi, kedaulatan, maupun keamanan. Perspektif ekonomi di mana Indonesia perlu mendapatkan bantuan dana dalam mendukung pembangunan infrastruktur yang berujung menunjang keamanan domestik, sedangkan perspektif kedaulatan dan keamanan, bantuan yang diperlukan Indonesia adalah bantuan dari segi patroli bersama, sumber daya/training, untuk mewujudkan perbatasan yang kuat.
Indonesia juga perlu memperhatikan peluang dalam setiap kerja sama yang terjalin, melihat dari orientasi diplomasi negara maupun pengalaman serta sejarah hubungan dengan suatu negara yang bekerja sama.
Seperti AS, sejarahnya memberikan bantuan berupa capacity building, training of trainers (ToT), institutional capacity, membuka peluang meningkatkan tekonologi serta memfasilitasi pengajaran pertahanan.
Sedangkan Tiongkok, dalam situasi China’s Rising-nya, menunjukkan bahwa bantuan
yang kemungkinan besar akan diberikan dalam bentuk dukungan ekonomi.
Perspektif Internasional
Pada Tabel 2 dan 3 pun menunjukkan AS telah menjadi mitra ekonomi yang relatif kurang penting bagi Indonesia, meskipun AS tetap menjadi salah satu sumber FDI yang paling signifikan ke Indonesia. Meskipun dalam ekosistem perekonomian AS terbukti kalah secara data, namun kekuatan lain AS yang mereka pegang terhadap Indonesia adalah dari segi pertahanan.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok telah menyebabkan eskalasi cepat hubungan perdagangan dan investasi dengan Indonesia.
Tabel 2 dan 3 menangkap perubahan struktur hubungan ekonomi. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa lima tahun terakhir Tiongkok terlihat menjadi pasar ekspor dan impor yang lebih besar untuk barang-barang Indonesia daripada AS. Pada tahun 2009, sebagai akibat dari krisis keuangan dan kemerosotan ekonomi AS, Tiongkok menjadi pasar terpenting Indonesia. Sejak itu, meskipun ekspor ke AS telah meningkat, tingkat pertumbuhan ekspor ke Tiongkok telah melampaui pertumbuhan ekspor ke AS.
Ekspor Tiongkok ke Indonesia telah melebihi ekspor AS sejak awal 2000-an. Ekspor Indonesia ke Tiongkok sebagian besar berupa bahan mentah, yang kurang terpapar langsung dengan pergeseran permintaan negara ketiga terhadap barang yang diekspor kembali dari
Tiongkok.
Data-data serta fakta di bab hubungan antara Indonesia dengan AS maupun Tiongkok menunjukkan bahwa bentuk kerja sama yang paling dibutuhkan oleh Indonesia bersama AS adalah dalam sektor pertahanan dan politik. Perwujudan bentuk-bentuk aliansi dari negara tetangga di atas menjadi salah satu faktor pendorongnya. Hal lain dikarenakan, dalam membangun kerja sama sektor ekonomi dengan AS, ada baiknya dilakukan secara business-to-business karena dampak dan peran dari mitra usaha AS kepada mitra Indonesia jauh lebih besar
ketimbang melalui pemerintahan. Tentunya sangat berbeda dengan Tiongkok di mana pemerintahnya masih sangat memegang kendali dalam bidang usaha.
Kemudian di pembahasan hubungan Tiongkok dengan Indonesia, terdapat integrasi atau kesamaan visi pada empat langkah implementasi JSM dan lima pilar PMD, kecuali pada poin diplomasi maritim.
Di mana, pilar diplomasi maritim menunjukan bahwa konsep PMD itu sendiri
bertujuan atau berwawasan ke dalam maupun luar negara. Integrasi kemudian terwujud dengan tujuan wawasan JSM yang memang diperuntukan Tiongkok ke luar karena kebijakan ini pada dasarnya merupakan perluasan kerja sama Tiongkok dengan negara kawasan Indo-Pasifik melalui sektor perekonomian.
Tabel 2: Perdagangan Barang Indonesia dengan Tiongkok dan AS
Catatan: angka dalam jutaan dolar AS
Sumber: Data IMF, “Merchandise trade by country” dari http://data.imf.org
Tabel 3: Hubungan Investasi Indonesia dengan Tiongkok dan AS
Catatan: angka dalam jutaan dolar AS Sumber: 2004–2012: UNCTAD, “FDI flows in the host economy, by geographical origin,” “FDI flows
abroad, by geographical destination” dan “FDI stock in the host country, by geographical origin”
http://unctad.org
2010–2013: BKPM, “Perkembangan realisasi investasi PMA berdasarkan laporan kegiatan penanaman modal
(LKPM) menurut negara triwulan IV 2014” dari www.bkpm.go.id
Year Ekspor ke (FOB) Impor ke (CIF) Tiongkok AS Tiongkok AS 2015 15,005 16,267 29,411 7,617 2016 16,791 16,172 30,800 7,319 2017 23,049 17,811 35,767 8,150 2018 27,121 18,462 45,538 10,212 2019 27,962 17,873 44,930 9,319 2020 31,776 18,666 39,635 8,642
Analisis Kebijakan Indo-Pasifik AS dalam Mendukung Gagasan Poros Maritim Dunia
Kepentingan AS terlihat dari pemilihan kebijakan dalam berelasi dengan negara-negara strategis, terkhususnya Indonesia. Kebangkitan perekonomian Tiongkok, dan menyadari adanya kemitraan maritim antara Indonesia dan Tiongkok, membuat posisi balance of power AS mulai terancam, sehingga AS sebagai negara pesaing memiliki keharusan untuk bertindak dengan cepat. Dengan mempertimbangkan kebijakan luar negeri Indonesia, yakni Gagasan PMD, sebuah kebijakan luar negeri Indonesia yang cenderung mengutamakan kepentingan domestik, akhirnya pada tanggal 24 Oktober 2015, AS dan Indonesia menandatangani nota kesepamahan juga terkait kemaritiman. AS kemudian melakukan pengadopsian atas kebijakan tersebut dan mengelompokan kebijakan tersebut ke dalam kerja sama kebijakan keamanan maritim yang lebih kompleks.
Menteri Pertahanan AS, James Mattis, menyampaikan sesuatu mengenai pentingnya menjalankan kerja sama dengan Indonesia.
“AS ingin bekerja sama dengan Indonesia, sebagai titik tumpu maritim Indo-Pasifik, untuk memastikan bahwa aturan hukum dan kebebasan navigasi ditegakkan di kawasan ini” (Chan, 2018).
Seiring dengan perubahan dan peningkatan kepentingan nasional AS dan
Indonesia, kerja sama bilateral dalam sektor maritim yang dilakukan AS-Indonesia juga semakin meningkat. Terlebih pada saat Indonesia mulai menyuarakan Gagasan PMD ini. Pada masa pemerintahan Jokowi, era di mana gagasan ini disautkan, AS dan Indonesia mengesahkan kerja sama Strategic Partnership Agreement. Berikut merupakan data aktivitas kerja sama maritim yang dilaksanakan Indonesia dan AS pada pemerintahan Joko Widodo.
Kebijakan-kebijakan Indo-Pasifik AS dalam mendukung Gagasan PMD selama masa pemerintahan Jokowi, meliputi CARAT, nota kesepahaman maritim, Bakamla RI-USCG, Dialog Hukum Kemaritiman, Pembahasan Isu Strategis, serta sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jauh sebelum adanya Gagasan PMD, AS telah sebelumnya menjalan kerja sama bilateral dalam sektor maritim sejak tahun 1995 yang dinamakan Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT) (Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI., 2018). CARAT merupakan pelatihan Angkatan Laut AS yang dilakukan dengan sembilan mitra di Asia Tenggara dengan CARAT Indonesia menjadi salah satu yang terbesar diukur dari jumlah lambung kapal dan badan pesawat yang terlibat, pengaruh seperti politik dalam negeri Indonesia, masalah perlindungan kekuatan, dan visi strategis yang berbeda (Quirk & Bradford, 2015). Pada tahun 2018, CARAT Indonesia melibatkan latihan meriam dan pertahanan udara (Scott, 2019).
CARAT merupakan pelatihan pertahanan bantuan AS yang sedari dulu bekerja sama dengan Indonesia dalam meningkatkan pertahanan maritim. Selain CARAT, aktivitas kerja sama yang terus dilaksanakan terlebih saat kemunculan Gagasan PMD antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah AS sampai saat ini adalah kerja sama Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (BAKAMLA-RI) dengan US Coast Guard (USCG).
Kerja sama BAKAMLA-RI dan US Coast Guard
Salah satu langkah signifikan yang diambil pemerintah Indonesia untuk menegakkan hukum di laut adalah dengan membentuk Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) pada Desember 2014.
Sebelumnya, peran BAKAMLA dikelola oleh Badan Koordinasi Kelautan (BAKORKAMLA). BAKAMLA dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005. Tugas pokok BAKAMLA adalah mengkoordinasikan semua operasi keamanan laut, menyelesaikan semua masalah laut, dan menyelenggarakan kerja sama dengan negara tetangga untuk memastikan operasi keamanan di laut selalu terjamin dan bermanfaat secara optimal. Penyelesaian perubahan BAKORKAMLA menjadi BAKAMLA sebagai organisasi yang sama sekali baru memiliki komando multi fungsi keamanan laut, penegakan hukum, sumber
daya kelautan dan perikanan, pelayaran, bea cukai, konstruksi, SAR dan sebagainya.
Wilayah kerjanya meliputi seluruh perairan teritorial, baik pulau maupun perairan pedalaman (Kurniaty, Suryokumoro, &
Widagdo, 2021).
Fasilitas BAKAMLA RI meliputi 40 armada yakni kapal-kapal yang berfungsi menjadi kapal markas, patroli, ataupun kapal kecil yang bertujuan menindaki 70 kapal ilegal dari tahun 2017, setiap tahunnya, yang melanggar hukum laut atau melakukan kriminal di laut (Hasan S. , 2020). Hingga tahun 2021, BAKAMLA telah melakukan berbagai kegiatan dan mencapai keberhasilan dengan bersinergi dengan TNI AL ataupun lembaga lain yang bertugas menjaga wilayah laut Indonesia, melalukan tindakan dengan menangkap kapal ilegal asing ataupun yang menyelundup ke dalam negeri, menghalau kapal penjaga pantai di Tiongkok dan Vietnam, mengevakuasi kapal dan pesawat yang mengalami kecelakaan, melakukan kerja sama maupun operasi bersama dengan lembaga keamanan maritim di luar negeri baik secara regional maupun internasional, menerima dan melakukan kunjungan kepada pimpinan lembaga setingkat dari luar negeri, memberikan edukasi terhadap masyarakat terhadap ilmu pengamanan laut, serta menjadi anggota HACGAM ataupun organisasi lain yang mengacu pada kerja sama lembaga penjaga laut internasional (Iswardhana, 2021).
Kerja sama BAKAMLA RI dan USCG
disebutkan sebagai salah satu wujud nyata upaya perjalanan Gagasan PMD melalui keamanan dan penganggulangan bencana laut (Iswardhana, 2021). Ditandatanganinya nota kesepakatan kerja sama kelautan antara Indonesia dan AS juga berguna untuk memperkuat hubungan Indonesia dan AS yang sudah dijalin sejak lampau. Nota kerja sama ini merupakan perjanjian hubungan bilateral yang memfokuskan pada kerja sama kemaritiman guna mencapai kedaulatan dan taat terhadap hukum internasional. Kerja sama ini mulai ditanda tangani pada Nota Kerja sama Maritim (Memorandum of Understanding on Maritime Cooperation) dan disahkan oleh kedua negara pada tanggal 24 Oktober 2015. Di dalamnya MoU tersebut membahas usaha untuk mencegah akan terjadinya aktivitas yang tidak diinginkan/ilegal serta pembahasan mengenai ancaman kelautan di wilayah perairan Indonesia, selain itu tentu nya kerja sama ini merupakan kemitraan strategis AS dan Indonesia dalam mewujudkan Gagasan PMD (Nusantara Maritime News, 2015).
Kerja sama antara dua badan penjaga keamanan laut negara ini kemudian berlanjut dilaksanakan pada pertemuan Indonesia–
United States Ocean Law and Maritime Policy Dialogue. Pertemuan ini dilakukan setiap dua tahun terhitung dimulai dari 2016 dengan agenda di dalamnya yaitu membahas untuk kedua negara memiliki pemahaman yang setara atas konvensi hukum laut agar
tidak terjadi atau berkurangan miss- communication yang terjadi antar negara (Iswardhana, 2021). Hingga saat ini terjadi kelanjutan dari MoU dua lembaga penjaga maritim ini. Pada tahun 2016, di Washington DC terlaksana dialog hukum laut beserta dikeluarkannya kebijakan maritim yang pertama (Petro Energy, 2016) dan pada tahun 2018 dikeluarkan kebijakan maritim kedua (Maritim, 2019). Pada Agustus 2019 terlaksana latihan bersama yang dilaksanakan di Batam (Liputan 6, 2019). Tahun 2020 BAKAMLA RI-USCG menjalin berbagai kegiatan di AS, antara lain bertukar informasi, Maritime Service Code, menganalis informasi gabungan, serta melatih personil BAKAMLA di pusat pelatihan USCG (Ayo Jakarta, 2020).
Terbaru dari kegiatan mereka adalah di tahun 2020 terbentuk Maritime Security Training Center (MSTC) di Batam (CNN Indonesia, 2020) dan di tahun 2021 terjalin pelatihan Maritime Operational Threat Response (MOTR) (Radar Indonesia, 2021).
AS memutuskan mengambil tindakan untuk mengeluarkan kebijakan Indo- Pasifiknya terhadap Indonesia selain memanfaatkan pertukaran informasi, dan pengembangan pelatihan dengan penjaga laut Indonesia, tetapi juga untuk mewujudkan perluasan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara sesuai dengan strategi intermestiknya guna mencapai kepentingan nasional balance of power nya dalam situasi rivalitas dengan Tiongkok. Sehingga,
pengesahan kebijakan dengan Indonesia melalui kerja sama BALAMKA RI dan USCG ini sangat menguntungkan bagi AS.
Sedangkan, Indonesia dalam mewujudkan Gagasan PMD, juga terbantu dengan adanya kerja sama ini. USGC merupakan salah satu intitusi penjaga keamanan laut terbesar di dunia, hal ini menjadikan USGC menjadi salah satu mitra penting bagi Indonesia. Tidak hanya dapat menghadirkan pengalaman, USGC memberikan poly manfaat serta keuntungan bagi BAKAMLA RI, diantaranya mendapatkan pembinaan tehnik, pengadopsian baku keselamatan, peningkatan teknologi, menjadi acuan postur pertahanan maritim, mempelajari penanganan humanisme ataupun kriminalitas di bahari, sampai berbagi isu serta pembuatan sentra training MSTC.
Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa kerja sama antara BAKAMLA RI dengan USCG merupakan bentuk kebijakan Indo-Pasifik AS terhadap Indonesia dalam mendukung Gagasan PMD era Jokowi.
Dengan menggunakan konsep kerja sama internasional Luo, Shenkar, dan Gunani, hubungan kerja sama antara AS dan Indonesia melalui kerja sama BALAMKA RI dan USCG ini berada di situasi honeymoon state. Situasi ini berada ketika kedua negara memiliki faktor sejarah yang panjang terkait pembuatan kerja sama itu sendiri, maupun kepercayaan yang telah dimiliki antar negara
tersebut yang kemudian ingin dijaga. Bentuk kerja sama ini dapat dikatakan berada di honeymoon state ketika kedua negara memiliki taraf kompetisi yang rendah, dan menghasilkan kerja sama yang menguntungkan.
Analisis Kebijakan Indo-Pasifik Tiongkok Terhadap Indonesai dalam Mendukung Gagasan Poros Maritim Dunia
Salah satu situasi besar yang terjadi dalam dinamika kawasan Indo-Pasifik adalah perjalanan Tiongkok dalam agenda atau gagasan besarnya yaitu kebijakan Belt and Road Initiative (BRI). Kebijakan besar ini menghasilkan atau memicu sekian banyak acara, lusinan studi, ratusan pertemuan dan artikel berita, serta menjadi topik besar yang dibicarakan oleh dunia. Hal ini tentu tidak mengherankan melihat dari fitur skema dramatis yang dibuat Tiongkok terkait kebijakan ini, rentang geografis, serta jumlah negara yang terdaftar gabung pada proyek besar ini menjadikan kebijakan BRI terlihat seperti objek yang menakjubkan, khususnya dalam kawasan Indo-Pasifik. Selain itu, Tiongkok dikabarkan telah mengalokasikan lebih dari US$900 miliar kepada lembaga keuangan Tiongkok dan internasional seperti China Development Bank (CDB), Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan Silk Road Fund (SRF) untuk memasok modal yang dibutuhkan untuk skema tersebut (Blanchard, 2018). Hal ini memberikan satu
sisi kegembiraan serta kewaspadaan bagi para elit pembuat kebijakan di seluruh dunia.
Banyak spekulasi bahwa Tiongkok memandang negatif ide keberadaan regional Indo-Pasifik karena dinilai ide konsepnya sedari awal untuk menghadang proses kebangkitan Tiongkok di kawasan. Mengacu pada teori realisme yang beranggapan ketika suatu negara sedang mengalami kenaikan kekuatan pertahanan, maka negara lain akan merasa terancam dan berupaya melakukan hal yang dapat menyamakan atau bahkan mengalahkan posisi tersebut. Namun asumsi ini ternyata tidak sepenuhnya benar mengingat terdapat juga yang beranggapan bahwa kebijakan BRI ini merupakan agenda liberal Tiongkok, di mana juga Tiongkok selalu mempromosikan perdamaian, dan bertujuan untuk menciptakan serta meningkatkan jalur perdagangan dunia dengan bekerja sama dengan negara-negara di kawasan. Kawasan Indo-Pasifik pun menjadi sangat penting bagi Tiongkok, agar negara tersebut dapat mengamankan jalur penyediaan energi guna memenuhi target pertumbuhan ekonominya di mana Samudera Hindia dan Selat Malaka menjadi wilayah utama jalur penyediaan energi bagi Tiongkok.
Jalur maritim di Indo-Pasifik menjadi salah satu koridor perdagangan dan ekonomi utama bagi Tiongkok, terkhusus pada bidang energi (Miracola, 2018).
Kebijakan BRI mengacu pada pembangunan infrastruktur kawasan yang
terbagi dalam dua: yaitu Sabuk Ekonomi Jalur Sutra yang berjalan di wilayah daratan seperti proyek jalan raya dan kereta api, serta Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (JSM) yang berjalan di wilayah laut seperti pembangunan pelabuhan disertai fasilitas pendukungnya.
Dalam konsep Jalur Sutra Maritim (JSM), Presiden Xi Jinping mengindikasi berbagai hubungan kerja sama yang dapat menghubungkan pelabuhan Tiongkok dengan aktivitas maritim dan jalur pertumbuhan ekonomi dunia.
JSM juga memiliki peranan dalam membantu perkembangan blok perdagangan RCEP yang merupakan pesaing dari TPP yang didukung oleh AS. Dalam mewujudkan implementasi JSM yang maksimal, dengan melihat dari pendapat politisi Tiongkok, Liu Cigui, negara ini memiliki empat langkah pengimplementasian JSM (Montratama, 2016, pp. 41-42), yaitu:
1. Tiongkok membangun konektivitas laut dengan lebih baik sesuai dengan kepentingan nasional Tiongkok,
2. Tiongkok berinvestasi dengan negara- negara kawasan di Indo-Pasifik seputar ekonomi dan industri kelautan,
3. Dengan melakukan berbagai kerja sama di bidang keamanan maritim, khususnya mengenai ancaman non-tradisional, 4. Selain dalam bidang keamanan maritim,
Tiongkok juga melakukan kerja sama dalam bidang budaya kelautan dengan meningkat ilmu dan kesadaran terhadap
laut, yang dapat juga meningkatkan nama baik Tiongkok di kawasan
Selain itu, JSM juga menjadi fasilitator perkembangan blok perdagangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang merupakan pesaing dari blok perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP) pegangan AS. Diusulkan oleh Presiden China Xi Jinping pada Oktober 2013 di Indonesia, JSM mencakup setiap negara Asia Selatan kecuali India, Afghanistan, Bhutan dan Nepal, dan semua negara Asia Tenggara. Partisipasi negara- negara ini dalam JSM bervariasi dalam tingkat formalitas diplomatik, luas dan kedalaman dengan partisipasi yang melibatkan nota kesepahaman (MoU), interaksi bilateral di tingkat pemimpin dan menteri, dan diskusi dalam forum multilateral resmi dan tidak resmi seperti 2015 KTT Asia Timur ke-10, Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-48 2015, dan Pertemuan Menteri Transportasi ASEAN dan China ke-15 2016 (Blanchard, 2018). Asia Tenggara secara harafiah merupakan garis besar proyek JSM Tiongkok, serta adanya kemungkinan Tiongkok mengutamakan negara-negara maritim di dalamnya, khususnya Indonesia (Blanchard, 2018). Pda tanggal 23 Oktober 2013, Presiden Xi Jinping memberikan pidatonya di parlemen Indonesia yaitu
“Constructing Jointly the China-ASEAN Community of Common Destiny” yang di dalamnya menyampaikan keinginannya
memperluas kerja sama ekonomi dengan negara-negara maritim (Liangyu, 2017).
Kerja sama Jalur Sutra Maritim Abad ke- 21 dengan Poros Maritim Dunia
Indonesia menjadi yang sangat penting bagi pengembangan JSM di Asia Tenggara mengingat bobot ekonomi dan lokasinya, membutuhkan infrastruktur yang lebih baik, pengurangan peraturan pemerintah, peningkatan produktivitas pekerja, dan pembukaan sektoral (International Monetary Fund, 2017). Melihat konsepsi dan perencaan JSM serta kemajuan Tiongkok dalam bidang ekonomi dan industri, politik luar negeri Indonesia sangat memiliki potensi besar untuk memanfaatkan Tiongkok di bidang perekonomian dalam mewujudkan kepentingan nasional. Visi PMD merupakan sebuah konsepsi menarik yang dapat menjadi gerakan awal dalam rekonstruksi pemanfaatan kembali faktor-faktor maritim negara.
Pemerintah Indonesia dapat memfokuskan kerja sama bersama Tiongkok, mengingat pilar PMD dengan konsep implementasi JSM memiliki poin-poin yang selaras di mana kedua negara sama-sama memfokuskan kerja sama di bidang maritim. Kedua kebijakan ini, PMD dan JSM, di dalamnya memiliki kesinergian yang menginginkan untuk memperkuat sektor maritimnya seperti menjalankan program tol laut yang bagi Tiongkok, proyek ini merupakan bisnis yang besar (Koboević, Kurtela, & Vujicic, 2018).
Kedua negara, Tiongkok dan Indonesia sama- sama memiliki pandangan terhadap pentingnya budaya maritim. Dalam hal ini, Indonesia membutuhkan Tiongkok untuk menghasilkan perubahan terhadap pola pikir serta perilaku masyarakat terhadap budaya bahari.
Melihat kebutuhan dan kepentingan nasional masing-masing negara, di tengah- tengah kawasan Indo-Pasifik sebagai faktor pendorong negara memanfaatkan konsepsi tersebut, akhirnya pada tahun 2015, kedua negara melakukan musyawarah yang lebih serius untuk meningkatkan hubungan bilateral yang lebih komprehensif untuk bekerja sama secara nyata demi menguntungkan kedua belah pihak. Presiden Jokowi dan Xi Jinping menyepakati untuk menjadikan Kemitraan Strategis Komprehensif dalam kerja yang nyata sebagai manfaat bagi masyarakat Indonesia maupun Tiongkok, dengan mengambil tema kemitraan untuk perdamaian dan kesjhteraan.
Pertemuan bilateral ini dilakukan kedua pemimpin memfokuskan pembicaraan terhadap upaya peningkatan kerja sama di bidang perdagangan, keuangan, infrastruktur, perindustrian, pariwisata, dan hubungan antar masyarakat. Akhirnya mencapai kesepakatan dari kedua negara untuk mensinergikan kedua kebijakan besar yang mereka miliki, yakni kebijakan JSM dan gagasan PMD. Sinergi dari kedua kebijakan ini bertujuan sebagai realisasi konektivitas maritim di kawasan
Indo-Pasifik melalui pembangunan infrastruktur. Hasil pertemuan bilateral tersebut tertuang dalam Statement Bersama Kemitraan Strategis Komprehensif antara Indonesia dan Tiongkok, yang selanjutnya ditandatangani pada delapan dokumen kerja sama, yang terdiri atas (Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2015):
1. MoU Kerja sama Ekonomi antara Menko Perekonomian Indonesia dengan Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi Tiongkok;
2. MoU Kerja sama Pembangunan Industri dan Infrastruktur antara Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi Tiongkok dengan Menteri BUMN;
3. MoU antara Menteri BUMN dengan Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi Tiongkok Untuk Proyek Pembangunan Kereta Cepat Jakarta- Bandung;
4. MoU antara Badan SAR Nasional (BASARNAS) Indonesia dengan Menteri Transportasi Tiongkok;
5. Perjanjian Kerja sama antara Pemerintah Indonesia Tiongkok untuk pencegahan pajak berganda;
6. MoU antara Lembaga Pengembangan Antariksa Nasional (LAPAN) dengan Badan Antariksa Nasional Tiongkok;
7. Mou Kerja sama antara Menteri BUMN dengan China Development Bank Corporation (CBDC).
Seperti yang sudah penulis jabarkan
perihal kebijakan JSM memiliki tujuan yang sama dengan lima pilar utama gagasan PMD salah satunya adalah memperkuat konektivitas maritim dan meningkatkan kapasitas keamanan untuk mengatur pengelolaan sumber daya laut yang efektif, seperti yang dilakukan Tiongkok menandatangani perjanjian khusus kesepakatan pada KTT Asia-Afrika (KAA) yang ke-60 di Jakarta pada 22 April 2015, serta Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping yang menandatangani nota kesepahaman kerja sama pembangunan infrastruktur di Indonesia termasuk pembangunan tol laut dengan 24 pelabuhan internasional, 15 pembangunan bandara, jalan, rel kereta api dan pembangkit listrik yang memakan biaya pembangunan senilai US 35 miliar yang mana setara dengan 465 triliun rupiah (Amalia, 2018). Sejumlah proyek yang dijalankan, antara lain pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara dan Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara. Pembangunan pelabuhan ini bertujuan mendukung infrastruktur jalur laut dan meningkatkan infrastruktur juga logistik dalam kegiatan ekspor dan impor melalui jalur laut (Berita Kompas, 2021). Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menyebutkan terdapat setidaknya 16 perusahaan asal Tiongkok dari sepanjang tahun 2020 telah merelokasi investasi di Indonesia (Santoso, 2021).
Kemudian dalam kerja sama keamanan dan pertahanan maritim, Tiongkok dan Indonesia sepakat untuk bersama-sama mengelola stabilitas kawasan guna menyelesaikan konflik di Laut Tiongkok Selatan (LCS) di mana Indonesia merupakan mediator dialog damai seperti negara-negara lain, selain itu adanya kesepakatan untuk bekerja sama mengirimkan teknologi jitu yang berfokus pada teknologi industri pertahanan pembuatan rudal dikarenakan Indonesia membutuhkan alat utama sistem pertahanan untuk mencegah dan mengatasi gangguan dan pelanggaran hukum laut (Amalia, 2018). Dari segi pariwisata, terjalin kerja sama internasional dalam unsur sosial dan budaya maritim untuk meningkatkan relasi dan konektivitas antar rakyat Indonesia dan Tiongkok, hal ini dilakukan dengan peningkatan pariwisata di kedua negara untuk memajukan devisa kedua negara (Jani, 2019).
Data-data di atas menunjukkan bahwa kebijakan JSM merupakan bentuk kebijakan Indo-Pasifik Tiongkok terhadap Indonesia dalam mendukung Gagasan PMD era Jokowi.
Sesuai dengan teori penelitian yang penulis gunakan, bahwa orientasi Tiongkok mengeluarkan kebijakan terhadap Indonesia dalam mendukung gagasan PMD ini meskipun terdapat bantuan pertahanan, namun lebih fokus mengacu pada bantuan perekonomian melalui kian banyak jalur seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan pariwisata, dan bantuan dana lainnya. Hal ini
sangat didorong atas kesinergian gagasan antara kedua negara, serta upaya kedua negara untuk menjaga hubungan atau relasi satu sama lain. Indonesia membutuhkan Tiongkok untuk mewujudkan gagasan PMD, karena negara ini jelas memiliki kekuatan ekonomi yang utama di dunia. Sedangkan kepentingan Tiongkok bekerja sama dengan Indonesia juga guna merealisasikan kebijakan BRI nya, sehingga hal ini vice versa bagi kedua negara. Selain itu, sesuai dengan konsep kerja sama internasional yang penulis gunakan, bahwa kerja sama jika melihat dari sudut pandang pembuat kebijakan tidak hanya dilihat dengan tujuan dari kerja sama itu sendiri melainkan kerja sama sebagai alat untuk mencapai berbagai tujuan lainnya (Keohane R. O., 2005). Dalam hal ini Tiongkok melakukan kerja sama dengan Indonesia juga sebagai alat untuk mewujudkan tujuannya yang lain yaitu menjaga balance of power nya dibandingkan dengan AS dengan menjalani China’s Rising nya.
Dengan menggunakan konsep kerja sama internasional Luo, Shenkar, dan Gunani, hubungan kerja sama antara Tiongkok dan Indonesia melalui sinergi dua kebijakan JSM dan PMD, juga terletak di dalam situasi honeymoon state. Situasi ini didukung karena adanya keinginan dan kepentingan nasional yang setara dari kedua negara untuk melakukan kerja sama. Selain itu, walaupun kedua kebijakan ini pada
dasarnya memiliki tujuan yang sama, namun Tiongkok Indonesia tetap menjalani kerja sama ini demi menjaga hubungan diplomasi nya. Bentuk kerja sama ini dapat dikatakan berada di honeymoon state ketika kedua negara memiliki taraf kompetisi yang rendah, dan menghasilkan kerja sama yang menguntungkan.
KESIMPULAN
Penelitian ini mendapat hasil analisa utama yang jika ditarik kepada kesimpulan bahwa kebijakan Indo-Pasifik AS dalam mendukung Gagasan PMD lebih kuat dari segi pertahanan salah satunya melalui kerja sama antara BALAMKA-RI dengan USGC. Hal ini dibuktikan dengan menganalisis orientasi kebijakan yang biasa dijalani AS-Indonesia, kekuatan AS di ranah internasional, serta hubungan sejarah yang terjalin antara AS dan Indonesia. Sedangkan analisis bentuk dukungan Tiongkok terhadap Gagasan PMD menghasilkan bahwa Tiongkok mendukung sangat kuat dari segi perekonomian, jauh meninggalkan AS dari segi investasi, melalui sinergi kebijakan JSM dengan Gagasan PMD.
Hasil penelitian ini juga melihat dari orientasi kebijakan luar negeri yang sedang dijalankan Tiongkok, serta kepentingan dua negara yang saling berintegrasi. Adapun hasil penelitian tambahan yang juga penulis dapatkan saat melakukan penelitian adalah bahwa walaupun terdapat rivalitas AS-Tiongkok di kawasan, dengan kekuatan dukungan masing-masing
negara terhadap impian atau cita-cita bangsa, Indonesia dapat berteguh pada landasan kebijakan luar negeri yang bebas-aktif.
Sehingga Indonesia tetap tidak beraliansi ke Tiongkok maupun AS dan tetap membuka peluang kerja sama di kawasan.
Strategis Indo-Pasifik menghasilkan bentuk permainan baru dalam tatanan dunia internasional. Istilah Indo-Pasifik secara natural membuat negara-negara wilayah merencanakan strategi kebijakan jitu sebagai pemanfaatan serta persiapan kemungkinan ancaman yang terjadi. Dalam dinamika Indo- Pasifik, terdapat situasi-situasi besar yang terjadi. Dua di antaranya rivalitas yang terjadi antara Tiongkok dan AS serta Indonesia yang menyuarakan gagasan yang cukup berbeda dengan pemerintahan Indonesia sebelumnya, yaitu Gagasan Poros Maritim Dunia.
Indonesia dengan peran sentralitasnya di ASEAN, dan yang terpenting wilayah strategis negara ini yang berada tepat di tengah-tengah kawasan Indo-Pasifik, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi yang besar. Tiongkok dan AS yang sedang mempertahankan balance of power sudah dipastikan mengutamakan Indonesia di dalam kawasan.
Gagasan Poros Maritim Dunia. Pada penelitian ini terbukti bahwa kebijakan Indo- Pasifik yang dicanangkan AS terhadap Indonesia dalam mendukung gagasan PMD melewati sektor pertahanan melalui kerja sama BALAMKA RI dengan US Coast
Guard yang memberikan bantuan pelatihan ketahanan laut, menganalisis informasi gabungan, meningkatkan kualitas sumber daya laut di Indonesia. Sedangkan Tiongkok, berinisiatif mensinergikan gagasan PMD dengan kebijakan JSM nya yang sama-sama bertujuan untuk peningkatan sektor maritim.
Bantuan Tiongkok berupa dana-dana investasi, pembuatan kapal dan pelabuhan, serta pembangunan infrastruktur seperti jalan tol.
Keduanya menciptakan manfaat besar bagi Indonesia menuju tujuan utama sebagai kekuatan maritim dunia.
Sebagai negara yang sedang mengalami “kenaikan”, Indonesia menganut kuat kebijakan luar negeri yang fleksibel dengan sebutan kebijakan luar negeri “bebas- aktif”, memposisikan negara untuk tetap dapat terlibat secara produktif kerja sama dengan AS maupun Tiongkok. Pandangan strategis Indonesia saat ini dipengaruhi oleh kebangkitan Tiongkok dan bagaimana Tiongkok dapat mempengaruhi peningkatan perekonomian kawasan maupun Indonesia.
Walaupun secara historis Indonesia dengan AS memiliki hubungan yang positif, pada penelitian ini juga menghasilkan pemandangan bahwa Indonesia tetap menghindari memasuki aliansi manapun dan tetap mempertahankan relasi yang baik kepada dua negara, Tiongkok dan AS.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, R. (2018). Kerja Sama Maritim Indonesia-Tiongkok Menuju Visi
Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia.
Journal Ilmu Hubungan Internasional, 1275-1276.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
ASEAN. (2019). ASEAN Outlook on the Indo- Pasific.