• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Lobi dan Negosiasi Nahdlatul Ulama dalam Konflik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Strategi Lobi dan Negosiasi Nahdlatul Ulama dalam Konflik"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI LOBI DAN NEGOSIASI NAHDLATUL ULAMA DALAM KONFLIK KEBIJAKAN HARI SEKOLAH

Khuswatun Hasanah

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta

E-mail: [email protected]

Abstract: This chapter discusses how the lobbying and negotiation process between the Nahdlatul Ulama (NU) and the government in responding to the five-day school rules stipulated in Permendikbud No. 23 of 2017 concerning School Day until finally Presidential Regulation No. 87 of 2017 concerning Strengthening Character Education (PPK). NU rejects the existence of the five-day school rule because it considers it would destroy the existence of Madrasah Diniyah (Madin) which has long been maintained by NU as a bastion of morality as well as an educational institution that maintains the noble values of Indonesia. Data collection methods used are through primary and secondary data collection in the form of interviews, news analysis, books, and related journals. Various efforts were taken by NU to abolish the five-day school obligation including discussing with Muhammadiyah and lobbying and negotiating with President Joko Widodo. In the process, NU used more Direct Lobbying and Negotiation strategies compared to Muhammadiyah, which in turn led to NU's beneficial results starting from the amendment of the five-day school regulation which was then stipulated in Perpres 87/2017 until NU's success in strengthening Madin's existence through government funding for support the Character Education Program.

Keywords: Nahdlatul Ulama, , Lobbying, Negotiation, Policy

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan proses untuk menghasilkan generasi yang beradab bagi sebuah negara, terlebih lagi Indonesia saat ini pembangunan lekat dengan tema SDM Unggul, Indonesia Maju. Sebagai isu strategis, pendidikan perlu mendapatkan pengawalan khusus sehingga segala jenis kebijakannya sesuai dengan tujuan dibentuknya kebijakan pendidikan. Sirozi menyebutkan kontrol negara dan perubahan-perubahan politik dan

kependidikan sangat diperlukan untuk menjawab persoalan mengenai sistem pendidikan (Sirozi, 2005: 44).

Dalam rangka menginternalisasi Nawacita Presiden Joko Wiodo yang ke-8 mengenai revolusi mental, pada tahun 2017, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 (Permendikbud 23/2017) tentang Hari Sekolah. Aturan ini menetapkan lima hari sekolah dalam satu ALFUAD JOURNAL, 3 (2), 2019, (25-34)

(Print ISSN 2614-4786) Available Online at

http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/alfuad

(2)

minggu serta 8 jam dalam sehari (40 jam seminggu), hingga kemudian aturannya lebih dikenal dengan istilah Fullday School (FDS). Mulai berlaku pada tahun ajaran 2017/2018, aturan ini dibuat untuk mendukung proses penguatan pendidikan karakter (revolusi mental) melalui penambahan jam belajar. Dengan menambah jam belajar di sekolah, artinya siswa akan pulang lebih sore daripada sekolah enam hari seminggu. Asumsi dari adanya kebijakan tersebut yakni mengoptimlisasi peran sekolah agar lebih efektif, sehingga siswa lebih banyak menghabiskan waktu dalam lingkungan sekolah.

Penerbitan aturan ini kemudian direspon oleh sejumlah pihak mulai dari pihak guru, hingga organisasi-organisasi infrastruktur negara. Bagi guru, aturan ini memberikan kesempatan untuk memenuhi beban mengajar guru aparatur sipil negara (ASN) yang semula 24 menjadi 40 jam pelajaran sesuai UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan PP No. 19 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru.

Sementara itu, perbedaan pendapat terjadi antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah. NU menolak adanya aturan lima hari sekolah. Alasannya, aturan tersebut dapat mematikan eksistensi pendidikan nonformal yang telah lama

dikelola NU yakni Madrasah Diniyah.

Pihak NU merasa selama ini perhatian pemerintah terhadap Madin sangat terbatas, apalagi jika aturan lima hari sekolah telah diterapkan, tentu akan merugikan NU. Pasalnya, selama ini Madin menyelenggarakan proses pembelajarannya di siang hari selepas waktu dzuhur hingga sebelum maghrib.

PBNU tak tinggal diam lalu muncul instruksi unjuk rasa PBNU untuk menegaskan penolakan aturan lima hari sekolah, salah satunya dengan mendesak pemerintah di masing-masing tingkatan wilayah.

Di sisi lain, Mendikbud Muhadjir Effendy terus meyakinkan pihak NU bahwa aturan yang dibesutnya tidak akan menghambat penyelenggaraan Madin.

Tidak hanya itu, aturan penambahan jam belajar dalam sehari dinilai akan mengganggu stabilitas pengajar Madin.

Oleh karenanya, NU tentu tidak menerima begitu saja. Konflik pendapat dan ideologi ini turut dibumbui isu sentimen NU terhadap Muhammadiyah yang termanifes serta implikasi adanya perbedaan sistem pendidikan NU dan Muhammadiyah.

Berbagai upaya dilakukan oleh NU untuk mencapai tujuannya. Mulai dari desakan oleh kader NU yang duduk di kursi DPR pada fraksi PKB. Desakan tersebut menyebutkan pihaknya takkan mendukung Jokowi kembali di Pilpres

(3)

2019 sebab tak menunjukkan sikap toleran terhadap warga nahdliyin.

Maswadi Rauf menyebutkan bahwa konflik tidak selalu merupakan kekerasan (Rauf, 2001:2). Konflik kebijakan hari sekolah dalam permasalahan ini memang tidak sampai pada tahap fisik melainkan hanya berupa pertentangan atau perbedaan pendapat antara NU dengan Muhammadiyah mengenai aturan lima hari sekolah.

Kendati demikian, konflik harus tetap terselesaikan. Pada kasus ini, NU melakukan berbagai upaya lobi dan negosiasi, bukan terhadap Muhammadiyah sebagai pihak yang bertentangan dengan pendapat NU. Bukan pula melakukan lobi terhadap Kemendikbud sebagai pihak yang melahirkan kebijakan lima hari sekolah melalui Permendikbud. NU melunncurkan strategi lobi dan negosiasinya kepada Presiden Jokowi. Hal ini dikarenakan Permendikbud tersebut digadang-gadang merupakan turunan dari Nawacita Jokowi ke-8 mengenai revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional.

Langkah NU dalam melakukan strategi lobi dan negosiasi menjadi penting untuk dibahas, sebab dari sini NU menunjukkan bahwa pihaknya memiliki kekuatan dan kiprah yang eksis dalam perpolitikan Indonesia. NU kemudian diuntungkan oleh terwujudnya

penghapusan kewajiban lima hari sekolah bahkan Madin NU mendapatkan jaminan pendanaan untuk turut menyelenggarakan penguatan pendidikan karakter di jenjang Madin yang sebelumnya tak diakui sebagai pendidikan nonformal yang juga terikat Perpres mengenai pendanaan.

Dari permasalahan tersebut, beberapa hal yang menjadi pertanyaan penulisan yakni: (1) Bagaimana gambaran konflik kebijakan Hari Sekolah? (2) Bagaimana strategi dan kekuatan NU dalam Memengaruhi Kebijakan Lima Hari Sekolah? (2) Bagaimana hasil lobi dan negosiasi NU kepada Presiden Jokowi yang tertuang dalam aturan baru?

METODE

Metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan tulisan ini yakni kualitatif eksplanatif. Menurut Creswell, penelitian kualitatif adalah sebuah penelusuran untuk mengeksplorasi gejala- gejala sentral. Untuk itu, diperlukan proses wawancara dalam penelitian. Adapun hasil wawancara merupakan data primer dalam penelitian ini.

Selain itu, terdapat untuk menunjang hasil penelitian dan mengembangkan pembahasan, pengumpulan data sekunder turut dilakukan. Data sekunder sendiri merupakan data yang telah diperoleh dari tulisan atau penelitian sebelumnya sebagai

(4)

referensi yang bersumber dari instansi lain.

Beberapa contoh data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah berita terkait, arsip-arsip undangan rapat, serta dokumen peraturan perundangan.

PEMBAHASAN

Lobi merupakan proses mempengaruhi dan mempersuasi orang lain untuk mewujudkan tujuan yang sama dan diinginkan oleh orang yang mempengaruhi. Adapun, dalam kegiatan yang merupakan komunikasi antarpribadi ini biasanya terjadi diskusi, pertukaran gagasan melalui bertatap muka langsung yang bertujuan untuk menangkap reaksi target lobi secara langsung.

Dalam studi ini, NU sebagai kelompok penekan melakukan lobi dan bernegosiasi atas nama kelompok.

Menurut David Truman, individu akan memperoleh pengakuan dan kehormatan jika mereka berhasil mendekati kelompok atau bernegosiasi dengan menggunakan nama kelompok. Sedangkan dalam suatu konflik antar kelompok yang memiliki kepentingan, keberhasilan sebuah kelompok dalam memperjuangkan kepentingannya sangat ditentukan dari kemampuan tawar-menawar, kekuatan organisasi, hingga akses kepada pembuat kebijakan dan kedekatan internal (Latham, 1952: 10). Begitupun juga, kelompok yang paling mampu bernegosiasi dan

mempengaruhi pembuatan kebijakan, maka akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sebab pembuat kebijakan akan merespon positif tekanan kelompok yang bernegosiasi.

Dalam konsep tawar-menawar, Hrebenar lebih lanjut menyebutkan bahwa terdapat dua strategi dalam lobi yakni Direct Lobbying dan Indirect Lobbying.

Direct Lobbying berarti strategi lobi dengan membawa perwakilan kelompok untuk berhubungan atau bertatap muka langsung dengan pembuat kebijakan.

Sementara Indirect Lobbying dilakukan melalui kampanye, demonstrasi, dan menggunakan sarana media massa (Hoffrening, 1995: 53).

Sementara itu, negosiasi juga merupakan proses tawar-menawar lewat perundingan dalam membangun kesepahaman suatu permasalahan (Oliver, 2011:42). Negosiasi dilakukan ketika terdapat kepentingan yang bertabrakan, lalu diselenggarakan perundingan agar tujuannya saling terpenuhi. Kendati demikian, negosiator tak selalu membawa hasil baik dari strategi dan proses negosiasi. Seperti yang dikemukakan Lasmahadi (2005:87), terdapat beberapa macam strategi negosiasi, di antaranya: (1) Win-win (integrative negotiation), merupakan strategi yang dipilih ketika setiap kelompok menginginkan hasil yang saling menguntungkan. (2) Win-lose,

(5)

merupakan strategi yang dipilih ketika kedua kelompok saling berkompetisi karena masing-masing ingin mendapatkan hasil yang seuntung-untungnya. (3) Lose- lose, merupakan strategi yang dipilih akibat kegagalan pemilihan strategi dalam bernegosiasi. Akhirnya, kedua pihak tidak mendapatkan hasil sama sekali. (4) Lose- Win, merupakan strategi di mana satu kelompok memilih sengaja kalah (lose) untuk mendapatkan manfaat dari kekalahannya.

Selain itu, Lasmahadi turut menyebutkan taktik Bluffing sebagai taktik yang kerap digunakan para negosiator untuk mengelabui kelompok lawan. Taktik ini juga menggambarkan kelompok mendistori kenyataan dan membangun opini yang tidak benar atas lawan. Dalam studi ini, akan memilih pada strategi mana lobi dilakukan serta bagaimana hasilnya.

Hal ini yang dilakukan oleh NU ketika melakukan taktik lobi dan negosiasi yakni lebih kepada taktik Bluffing yang melihat bahwa para negosiator NU berhasil mempengaruhi pembuat kebijakan mengenai tindakan pemerintah dalam memandang Madin sehingga menjadi senjata yang ampuh untuk melakukan penawaran kepada pembuat kebijakan.

Strategi Lobi dan Negosiasi NU dalam Penolakan Kebijakan

Dalam kasus kebijakan hari sekolah ini, strategi lobi dan negosiasi NU dengan Muhammadiyah berbeda. NU lebih banyak bermain peran dalam negosiasi, namun lebih banyak pula melakukan negosiasi melalui perwakilan. Hal ini disebabkan NU paling gencar melakukan penolakan atas lahirnya kebijakan lima hari sekolah pada Juni 2017, sementara Muhammadiyah terletak pada posisi aman karena mayoritas lembaga pendidikan dasarnya menganut lima hari sekolah. Di sisi lain, persoalan politik turut muncul di dalamnya, di mana terdapat isu sentimen antara NU dengan Muhammadiyah terkait kebijakan.

Terdapat beberapa strategi lobi dan negosiasi yang dilakukan oleh NU dari mulai direct hingga indirect lobbying. (1) NU mengeluarkan pernyataan sikap resmi

pada Juni 2017 bernomor

1460/C/I.34/08/2017 yang berisi instruksi unjuk rasa penolakan kebijakan lima hari sekolah tersebut. Sebagai organisasi masyarakat yang besar, tak dipungkiri NU memiliki kekuatan massa yang besar pula untuk bersama-sama menolak kebijakan lima hari sekolah. Hal ini kerap muncul ke permukaan media, kemudian menimbulkan opini publik bahwa yang dilakukan oleh pemerintah adalah bentuk represi terhadap Madin. (2) Dalam konteks elektoral, PKB sebagai partai afilial NU mengeluarkan

(6)

pernyataan bernada ancaman. Selain itu, Macchendra Setyo Atmaja, wakil Sekretaris Jenderal Pemuda Muhammadiyah turut menjelaskan bahwa PKB dapat dikatakan memiliki motif politik terlihat ketika fraksi DPR menjadi fraksi yang paling keras menolak kebijakan lima hari dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi X DPR RI. Selain itu, sejumlah pemberitaan menyebutkan bahwa Maman Immanulhaq sebagai salah seorang kader NU menyebutkan tak akan mendukung Jokowi sebab aturan tersebut intoleran terhadap nahdliyin sebagai salah satu konstituen setianya. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa NU memiliki kekuatan lain yang penting untuk diperhatikan dalam peninjauan kembali aturan lima hari sekolah. (3) NU tidak mengikuti sejumlah rapat koordinasi (rakor). Adapun jika mengikuti sebuah rakor, NU lebih banyak diwakili oleh aktor-aktor di dalam tubuh Kemenag, MUI, dan pihak Madrasah yang telah bekerja sama dengan Kemendikbud.

Pasalnya, Madin minim diturutsertakan dalam program penguatan karakter, padahal NU mengharapkan arah rapat koordinasi lebih kepada sinkronisasi 8 jam belajar di seluruh Madin. (4) NU memilih untuk tidak hadir dalam sejumlah pertemuan sebab bagi NU, semua gelaran rapat koordinasi hanya untuk mengesahkan aturan lima hari sekolah, bukan mengenai

bagaimana membangun penguatan karakter yang baik melalui bangku sekolah. Bagi NU jelas bahwa penguatan karakter sangat jauh kaitannya dengan kewajiban lima hari sekolah. Dalam ketidakhadirannya, NU justru melakukan demonstrasi penolakan kebijakan lima hari sekolah. (5) Strategi mogok hadir dalam sejumlah gelaran rapat diskusi tejawab, Presiden Jokowi memanggil NU ke istana kepresidenan. Menurut Sekretaris Jenderal PBNU bidang Pendidikan, Baidlowi, sikap demikian menegaskan bahwa NU memiliki sikapnya tersendiri serta menjadi konsep kekuatan NU dalam melakukan penekanan. Dalam pertemuannya dengan presiden, NU diwakili oleh Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil, Rois Aam, dan Ma’ruf Amin dari MUI (sebagai tokoh NU). (6) Masih dalam pertemuan dengan presiden, NU melakukan direct lobbying dengan menyampaikan pesan kyai pesantren di Indonesia mengenai kebijakan lima hari sekolah sebab dapat menggusur eksistensi 76 ribu Madin NU. Said Aqil memberikan penekanan dan penegasan bahwa Madin merupakan cara yang lebih masuk akal dalam rangka mewujudkan penguatan karakter siswa dan memenuhi Nawacita Presiden Jokowi yang ke-8, dibandingkan dengan pelaksanaan lima hari sekolah. (7) Presiden dan Mensesneg melakukan pendekatan kepada NU sehingga NU akhirnya mau hadir dalam

(7)

rapat koordinasi menjelang disahkannya draft Peraturan Presiden pengganti Permendikbud. Sebelumnya, menurut Arifin Junaidi (Wasekjend PBNU bidang Pendidikan), pihak Mensesneg telah dua kali mendatangi PBNU untuk mengakomodasi catatan penting aspirasi dari NU. Draft Perpres turut dibahas di PBNU dan di Kemensesneg sebelum diharmonisasikan oleh lima kementerian yang berkaitan dengan kabijakan lima hari sekolah (Kemendikbud, Kemenag, Kemenko PMK, Kemenkumham, dan Kemensesneg). Dalam peristiwa ini, tercatat bahwa NU memiliki strategi yang kuat hingga akhirnya suaranya didengar dan dipertimbangkan.

Kekuatan NU dalam Mempengaruhi Kebijakan

Seperti telah dijelaskan, sikap NU yang kerap tidak menghadiri rapat koordinasi merupakan sikap yang diambil sebagai strategi komunikasi untuk mencapai tujuan, dalam hal ini menghapuskan kebijakan lima hari sekolah serta mengupayakan kebijakan-kebijakan baru lain demi pengembangan Madin NU.

Dalam proses perumusan draft Perpres PPK, NU menekankan beberapa hal yang perlu dilakukan di sekolah ketika ingin menyelenggarakan penguatan pendidikan karakter, yakni: (1) Sarana dan prasarana yang memadai. Misalnya ruang kelas agar

tidak bergantian karena jam pelajaran yang penuh, lalu tempat ibadah yang perlu ada karena siswa akan menjalani hingga 2 kali sholat wajib di sekolah. Hal ini yang kemudian menarik, pasalnya melalui masukan ini NU kembali membujuk pemerintah untuk turut menunjang pembangunan sarana dan prasarana pada Madin sebagai salah satu lembaga yang memberikan pengaruh besar bagi proses penguatan karakter siswa. (2) Terdapat tenaga didik dan kependidikan yang cukup sehingga pengajar yang dibutuhkan mencukupi, jangan sampai siswa ditinggal oleh guru di tengah jam pembelajaran karena guru harus mengajar di sekolah lain. (3) Memperhatikan kearifan lokal.

Artinya, penguatan pendidikan karakter melalui lima hari sekolah perlu memperhatikan faktor psikologi siswa apakah nyaman dengan lamanya 8 jam pelajaran perhari, kemudian perlu mempertimbangkan apakah keadaan lingkungan tempat tinggal siswa mendukung jika siswa pulang lebih dari jam 3 sore setiap harinya.

Pada akhirnya, NU membujuk presiden bahwa penguatan pendidikan karakter mustahil untuk hanya digelar dalam sekolah formal biasa, melainkan perlu dukungan dari Madin sebagai lembaga pendidikan agama yang akan memperkuat nilai relijius siswa tanpa menghilangkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air,

(8)

serta peduli terhadap lingkungan dan sosial. Setelah meyakinkan hal dmikian, NU mulai membujuk presiden untuk turut memberikan anggaran baik APBN maupun APBD untuk madrasah. Arifin Junaidi menyebutkan pihaknya berulangkali menyampaikan permohonan dana pengembangan Madin sehingga posisi Madin tidak lagi terdiskriminasi dan dapat mengembangkan diri sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang layak. Hingga saat itu, pendanaan terhadap madrasah memang telah ada tetapi hanya bagi madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah, bukan untuk madrasah diniyah (kemudian tertuang dalam Pasal 4 butir C dan Pasal 15 Perpres 87/2017) yang berbicara bahwa pendanaan diperuntukkan untuk semua sekolah yang melaksanakan penguatan pendidikan karakter, termasuk Madin.

Melalui proses ini tergambar bagaimana NU sebagai organisasi dengan jumlah massa besar, dan berbagai pertemuan mengemukakan pendapat langsung melibatkan pimpinan besarnya (pendekatan kultural) dan direct lobbying

mampu memengaruhi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, di samping memang terdapat motif politik lain yakni kebutuhan dukungan dari konstituen NU bagi pemerintahan mendatang. Jalur kultural juga dilakukan untuk menjabarkan bagaimana NU membutuhkan kehadiran negara bukan untuk mematikan Madin melainkan menguatkannya. NU turut mengeluarkan strategi indirect lobbying- nya melalui upaya demonsttrasi dengan menggiring aksi massa secara masif di sejumlah wilayah melalui kekuatan instruksi ketua PBNU langsung.

Kalau saja NU hanya mengambil jalur formal tanpa menerobos ke jalur kultural, yang terjadi adalah keterbatasan kapasitas dan daya jangkau NU yang berkedudukan sebagai ormas sangat terbatas. Hal ini disebabkan Ormas memang memiliki peran dalam penjaringan aspirasi, namun intervensinya tidak maksimal ketika sudah masuk ke dalam proses pembahasan aspirasi. Sebab proses demikian telah menjadi domain dinas atau kementerian yang terlibat saja.

Hal menarik lainnya adalah keterikatan antara NU dengan Kemenag sangat besar sehingga kader NU di tubuh Kemenag bisa lebih fleksibel memainkan perannya.

KESIMPULAN

Minimnya perhatian pemerintah terhadap Madin yang merupakan lembaga pendidikan keagamaan milik NU menyebabkan NU geram atas adanya aturan lima hari sekolah. Pasalnya, aturan tersebut dinilai merugikan Madin bahkan

(9)

menggerus eksistensi Madin, baik dalam terganggunya proses pembelajaran Madin, maupun dalam kesejahteraan para pengajar Madin. Di pihak lain, Muhammadiyah yang lebih dulu mengimplementasikan lima hari sekolah sangat mendukung kebijakan tersebut, ditambah lagi Mendikbud merupakan kader terbaik Muhammadiyah yang perlu didukung menurut mereka. Hal ini kian membuat NU melakukan penolakan dan perjuangan untuk menghapuskan kebijakan lima hari sekolah tersebut, alih-alih mewujudkan pendidikan karakter.

Dalam perjuangannya, NU banyak melakukan Direct Lobbying dibandingkan dengan Muhammadiyah. Adapun kegiatan lobi yang dilakukan oleh NU yakni langsung menemui Presiden Jokowi ketika berbagai rapat dinilai tak memberikan jalan keluar yang adil bagi NU dan Madinnya. Dalam negosiasinya, NU berhasil memenangkan beberapa poin kebijakan yang menguntungkan bagi keberlangsungan Madin NU dan tercantum dalam aturan pengganti Permendikbud 23/2017 yakni Perpres 87/2017. Poin kebijakan tersebut menyebutkan bahwa pendanaan program penguatan pendidikan karakter diperuntukkan pula bagi Madin.

Selain itu, dalam mendukung penguatan pendidikan karakter perlu memuat 18

karakter dalam aturannya, yang beberapa di antaranya tidak mungkin diwujudkan hanya di sekolah formal, sehingga Madin perlu dilibatkan sebagai lembaga pendidikan nonformal untuk mewujudkan ke-18 karakter tersebut.

Poin-poin yang menguntungkan tersebut merupakan hasil dari adanya negosiasi yang dilakukan oleh NU langsung kepada Presiden Jokowi melalui sejumlah aktor penting NU. Hal ini menjawab teori yang dikemukakan oleh Truman bahwa individu akan memperoleh pengakuan dan kehormatan jika mereka berhasil mendekati kelompok atau bernegosiasi dengan menggunakan nama kelompok.

Faktor lain yang membuat NU cemerlang dalam proses negosiasi dibandingkan dengan Muhammadiyah yakni, selain NU berani mengambil sikap melalui Direct Lobbying, NU juga memiliki kedekatan internal yang baik dengan pembuat kebijakan (dalam hal ini Presiden sebagai Pembuat Perpres). NU sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia juga memanfaatkan kekuatan organisasinya, termasuk dalam wacana pemberian dukungan oleh nahdliyin bagi kepemimpinan Jokowi di periode mendatang.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Daniel J. B., & Hoffrening. (1995). In Washington But Not of It: The Prophetic Politics of Religious Lobbyist. Philadelphia: Temple University Press.

Latham, E. (1952). The Group Basis of Politics. New York: Cornell University Press.

Oliver, D. (2011). How to Negotiate Effectively 3rd ed. United Kingdom:

Kogan Page.

Prastowo, A. (2017). Urgensi Waktu Belakar dalam Pendidikan Karakter di SD/MI: Studi Analisis Isi

Terhadap Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017. Al-Ibtida: Jurnl Pendidikan Guru MI, 4 (2).

Rahim, A. (2013). Nahdlatul Ulama:

Peranan dan Sistem Pendidikannya.

Jurnal Al-Hikmah, 14 (2).

Rauf, M. (2001). Konsensus Konflik dan Konflik Politik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.

Sirozi, M. (2005). Politik Pendidikan:

Dinamika Hubungan Kekuasaan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dijelaskan bahwa jika strategi komunikasi dari Komunitas Hijabers Semarang mampu 39,4 % mempengaruhi sikap mahasiswa dalam menggunakan jilbab, dengan pesan

[r]

Pada kondisi tingkat intensitas komunikasi manajemen yang tinggi maka partisipan akan menerima informasi bahwa manajer selalu menyampaikan dalam rapat koordinasi bahwa

menghabiskan waktu luang, sikap hidup, sikap terhadap produk/jasa. 3) Perilaku, yaitu pola konsumsi, pola belanja. 4) Faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi

126 Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwasanya yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah keterkaitan antara kultur organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama

Warga NU merasa keberatan dengan materi dan metode pendekatan yang dilakukan MTA dalam melaku- kan dakwah karena MTA tidak menghormati perbedaan fiqhiyah , cenderung melecehkan

Agar pembahasan dapat diuraikan lebih dalam dan tidak meluas, maka permasalahan yang diambil dalam penelitian adalah bagaimana proses komunikasi negosiasi dalam pengambilan keputusan

Strategi komunikator yang dilakukan oleh divisi Koordinasi dan Komunikasi Kebijakan Bank Indonesia Provinsi Riau yaitu semua pegawai pada umumnya bisa menjadi komunikator dalam program