NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI:
STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Anisa Hidayati
1111112000064
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
▸ Baca selengkapnya: setelah gerakan mabadi’ khaira ummah terhenti, akhirnya dirumuskan kembali dalam musyawarah nasional ulama’ nu tahun 1992 di ….
(2)NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI:
STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Anisa Hidayati
1111112000064
Di Bawah Bimbingan :
Dra. Gefarina Djohan, MA
NIP: 1963310241999032001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 April 2015
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa : Nama : Anisa Hidayati
NIM : 1111112000064
Program Studi : Ilmu Politik Telah menyelesaikan skripsi dengan judul :
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG MUSLIMAT NU PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
... ...
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 27 April 2015
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Ali Munhanif, MA Dra. Gefarina Djohan, MA
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
NAHDLATUL ULAMA (NU) DI ERA REFORMASI: STUDI TENTANG MUSLIMAT NU
PERIODE 2011-2014 DAN KHITTAH NU 1926
Oleh
Anisa Hidayati 1111112000064
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Ilmu Politik.
Ketua, Sekretaris,
Dr. Ali Munhanif, MA M. Zaki Mubarak, M. Si
NIP. 196512121992031004 NIP.19730927200511008
PENGUJI I, PENGUJI II,
Dra. Haniah Hanafi, MA Suryani, M. Si
NIP. 196105242000032002 NIP. 197702242007102003
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 27 April 2015
Ketua Program Studi FISIP UIN Jakarta
v
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) di era reformasi berkaitan dengan keputusannya untuk kembali kepada khittah 1926 dengan studi kasus Badan Otonom NU yaitu Muslimat. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana khittah NU 1926 diimplementasikan di era reformasi seperti sekarang ini, khususnya pada Muslimat NU periode 2011-2014. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara dengan beberapa narasumber berkaitan dengan Muslimat NU. Hasil dari penelitian ini ditemukan bahwa aturan khittah 1926 secara umum masih diyakini oleh Muslimat NU. Sebagai organisasi, Muslimat NU memelihara dan melaksanakan khittah dengan tidak berpihak dalam partai politik manapun. Hal ini dibuktikan dengan tetap berjalannya program-program organisasi yang bertujuan sosial dan keagamaan, seperti YKM-NU, YPM-NU, serta masih banyak lagi yayasan-yayasan Muslimat NU yang berdiri dalam koridor pendidikan, dakwah, sosial maupun kesehatan. Namun disamping sebagai organisasi, dalam Muslimat NU terdapat orang-orang yang memiliki hak politik salah satunya ialah hak untuk menentukan pilihan politiknya. Sehingga tidak menutup kemungkinan orang-orang dalam Muslimat NU berpolitik atau memilih salah satu partai politik. Kemudian menjadi buyar nilai khittah 1926 ini dikarenakan identitas perseorangan dalam lembaga organisasi terbawa ke dalam hak berwarganegara sehingga Muslimat NU sebagai organisasi yang menjaga khittah kemudian terkikis oleh oknum-oknum tersebut. Argumen ini dirumuskan melalui hasil penelitian dari awal sejarah hingga era sekarang melalui implementasi lembaga dan orang-orang di dalamnya terhadap nilai khittah 1926. Kemudian dikaitkan dengan kerangka teori yang sudah dibuat.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirabbilaalamiin,
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad saw beserta para keluarga, sahabat serta para pengikut beliau dari dulu, sekarang hingga akhir zaman.
Ucapan terimakasih yang begitu dalam penulis sampaikan kepada berbagai
pihak yang senantiasa telah membantu dalam penulisan skripsi ini dari proses untuk meyakinkan diri hingga sampai pada tahap penulisan, wawancara, dan lain
sebagainya, baik berupa moril maupun materilnya. Ucapan terimakasih penulis sampaikan teruntuk :
1. Prof. Dr. Zulkifli selaku Dekan FISIP UIN Jakarta.
2. Dr. Ali Munhanif, MA serta M. Zaki Mubarak, M.Si sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Politik yang senantiasa membimbing
jalannya proses penulisan skripsi.
3. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Politik sebagai pahlawan intelektual
yang terus memberikan sumbangsih dalam proses kegiatan belajar mengajar.
4. Dra. Gefarina Djohan, MA yang dengan sabar membimbing penulis serta
vii
5. Bapak Armen Daulay yang selalu memberikan semangat dan bantuan dalam studi pustaka penulis.
6. Ibu Anna S. Azmi dan Mas Faghwa yang setia menjadi guru, orang tua serta sahabat penulis.
7. Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, Prof. Ismawati, Hj. Umi Azizah serta jajaran pengurus PP Muslimat NU, PW Jateng dan PC Kab. Tegal atas kerjasamanya dalam memberikan berbagai pelajaran serta informasi.
8. Bapak Fatchurrohman dan Ibu Muzayanah yang telah menjadi orang tua terbaik dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya dengan penuh
kesabaran dan kasih sayang.
9. Teman-teman seperjuangan di Ilmu Politik B angkatan 2011 Mama Riska, Wiky, Nita, Panda, Layla, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Serta semua mahasiswa FISIP UIN Jakarta yang dibanggakan. 10. Sahabat-sahabat dan adik-adik di Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat
yang sudah banyak sekali memberikan pelajaran hidup kepada penulis, para senior yang terus memberikan pelajaran dan pengalaman berharga, dan teruntuk mas yang terspesial diantara yang lain, semoga kita semua
dimudahkan segalanya.
11. Keluarga cemara yang tidak pernah bosan mengingatkan sholat, makan,
istirahat serta setia dalam satu tempat tidur tanpa ranjang (Lia, Ipat dan Nurul), seluruh warga masyarakat Indonesia yang senantiasa menjaga keutuhan Bangsa dan Negara, dan seluruh umat manusia yang saling
viii
Diharapkan dengan tersusunnya skripsi ini dapat memberikan tambahan inforamsi baru, dan senantiasa bermanfaat bagi para pembaca maupun penulis
secara pribadi. Penulis sangat menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT, dan sebagai manusia biasa masih banyak sekali kekurangan dalam diri
penulis maupun dalam penulisan skripsi ini. Sehingga demi terwujudnya kesempurnaan skripsi ini, maka penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran-saran yang bersifat membangun ke arah kesempurnaan.
Jakarta, 02 April 2015
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1
B. Pertanyaan Penelitian ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Tinjauan Pustaka . ... 7
E. Metodologi Penelitian . ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II KERANGKA TEORI A. Teori Civil Society . ... 14
B. Teori Manajemen Organisasi ... 21
C. Teori Kekuasaan ... 25
BAB III NAHDLATUL ULAMA (NU), KEBERADAAN MUSLIMAT NU (MNU) DAN KEPUTUSAN NU KEMBALI KE KHITTAH 1926
A. Sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama (NU ... 31
B. Sejarah Lahir, Tujuan, dan Sikap Muslimat NU ... 40
C. Keputusan NU Kembali ke Khittah 1926. ... 45
x
B. Muslimat NU Periode 2011-2014 dan Komitmen Tentang
Khittah 1926 ... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 71
xi
DAFTAR TABEL
Tabel III.A.1. Keterwakilan NU dalam Parlemen ...37
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Diskusi mengenai Nahdlatul Ulama (NU) sudah menjadi hal yang umum, apalagi dalam masyarakat tradisional seperti kiai, ulama dan santri. Sebagai Organisasi Sosial Keagamaan, NU sudah berkiprah di Indonesia selama 89 tahun
dari tanggal kelahirannya yaitu 31 Januari 1926. Hal ini memperlihatkan bahwa NU merupakan organisasi yang cukup tua dan matang dalam sejarah. Secara
historis NU tampil sebagai antitesa dari keresahan masyarakat Islam tradisinonal di era tersebut.
Dalam sejarah tercatat bahwa kemunculan NU merupakan jawaban dari
beberapa peristiwa yang ada di era tahun 20-an. Peristiwa tersebut antara lain adanya globalisasi wahabi yang terjadi di Arab Saudi, kemunculan penguasa Arab
dari kelompok wahabi melahirkan keresahan tersendiri bagi kaum Islam tradisional yang kurang sepaham dengan pemikiran kelompok tersebut. Selain itu, globalisasi yang terjadi di Indonesia akibat penjajahan menjadi nilai tambah
dalam latar belakang ide pembentukan organisasi NU.1 Latar belakang tersebut diperkuat dengan kemunculan Muhammadiyah serta Syarikat Islam (SI) sebagai
organisasi keagamaan yang membawa nilai-nilai pembaruan dalam Islam, menjadi alasan yang kemudian meyakinkan para kiai tradisionalis untuk berupaya
1
2
keras mempertahankan tradisi dan budaya Islam yang dianggap bid’ah oleh kelompok Islam modernis dengan membentuk organisasi NU.2
Selain didirikan sebagai organisasi sosial keagamaan, dalam perjalannya tidak dapat dilupakan bahwa NU juga banyak terlibat dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Melalui semangat juang para kiai dan santri-santrinya, NU menjadi salah satu aktor penting dalam melawan penjajahan kolonial. Atas semangat juangnya melawan penjajah, pasca kemerdekaan Indonesia, saat Wakil
Presiden Indonesia Moh. Hatta menandatangani Maklumat No. X tanggal 3 November 1945 yang menjelaskan tentang pemberian kesempatan kepada
masyarakat untuk mendirikan partai-partai agar dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat,3 NU kemudian tertarik untuk ikut berpartisipasi kedalam partai politik. NU bergabung dengan Ormas Islam
lainnya seperti Muhammadiyah, SI, dan Perti dalam wadah partai yang diberi nama Masyumi.
Keputusan bergabung di Masyumi menjadi awal sejarah NU dalam politik praktis. Sangat disayangkan bergabungnya NU di Masyumi tidak bertahan lama karena beberapa alasan, salah satunya pembagian kekuasaan yang kurang sesuai
dengan apa yang sudah dilakukan dan diberikan oleh NU kepada Masyumi. Akibat dari kekecewaan ini, pada 3 Juli 1952 setelah kurang lebih 14 kali
2
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 58.
3
3
pergantian kabinet, NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan membuat partai baru yaitu partai NU.4
NU dalam panggung politik dengan berbagai macam pengalaman dan sejarah berlangsung hingga era Orde Baru. Pada era ini NU masih bertahan dalam
partai politik melalui fusi partai Islam yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Karena merasa masih sangat berperan dalam ranah politik, NU masih enggan untuk meninggalkan keterlibatannya dalam panggung politik.5 Baru pada
pertengahan Orde Baru, NU mulai merasa posisinya sudah tidak relevan lagi di dalam partai politik. Oleh karena itu, tahun 1979 tepatnya pada Muktamar NU di
Semarang, muncul gagasan NU untuk kembali ke khittah 1926.6
Khittah 1926 merupakan istilah yang digunakan NU dalam mengambil keputusan untuk kembali pada pembentukan awal NU sebagai organisasi sosial
keagamaan. Kata Khittah berasal dari akar kata khaththa yang artinya menulis dan merencanakan. Kata khittah kemudian diartikan sebagai garis dan thariqah
(jalan).7 Jadi dapat disimpulkan bahwa khittah 1926 ialah garis jalan NU diawal berdirinya tahun 1926, yaitu sebagai gerakan sosial dan keagamaan.
Keputusan kembalinya NU ke khittah 1926 serta penegasan bahwa NU
berada pada garis politik netral ditetapkan dalam Muktamar NU di Situbondo pada tahun 1984. Dalam upaya menunjukkan keseriusannya mundur dari
4
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 62-65.
5
Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah 1962 (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 105.
6
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 241.
7
4
panggung politik, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) direkomendasikan untuk mengeluarkan aturan yang melarang rangkap jabatan semua pengurus.8
Setelah khittah 1926 ditetapkan, maka NU seharusnya sudah tidak lagi bermain dalam praktik politik.
Namun kebiasaan NU bermain dalam politik ternyata berakibat pada generasi NU selanjutnya. Kemunculan NU dalam politik setelah ditetapkannya
khittah 1926 mulai terlihat di awal era reformasi. Munculnya Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) yang diyakini sebagai salah satu strategi NU dalam mempertahankan organisasi, menjadi awal NU kembali dalam politik. Pada
Pemilu 2004 dua tokoh NU juga tampil dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yaitu Hasyim Muzadi mendampingi calon Presiden Megawati dan Solahudin Wahid yang berdampingan dengan Wiranto. Seperti
sudah lupa dengan khittahnya, di era reformasi NU kini masih berpolitik. Bahkan nilai khittah yang menekankan persatuan dan kesatuan semakin dilupakan.
Aktor-aktor tidak bertanggung jawab membawa NU dalam politik demi mendapatkan kekuasaan. Akibatnya NU kini kembali pada era sebelum adanya ide khittah.
Penulisan skripsi ini ingin melihat relevansi nilai khittah NU di era
reformasi. Namun untuk mempersempit penelitian secara mikro, peneliti mengerucutkan penelitan pada nilai khittah 1926 dalam organisasi Muslimat NU
sebagai bagian dari organisasi NU yang sudah cukup besar dan matang dalam kancah politik. Pada Anggaran Rumah Tangga (ART) Muslimat NU tahun 2006,
8
5
nilai khittah 1926 yang disebutkan di atas tertera dalam Bab V pasal 32 ayat 1 mengenai rangkap jabatan yang menyatakan bahwa:
“Ketua Umum dan Ketua-Ketua sesuai tingkatannya tidak diperkenankan merangkap jabatan dengan Pimpinan Harian partai politik.”9
Namun pada realitanya Muslimat NU diberbagai kesempatan masih andil dalam praktek politik, bahkan Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat NU hingga saat ini masih aktif dalam pentas politik. Hal ini dibuktikan dengan keikutsertaan
Khofifah Indar Parawansa sebagai Ketua Umum Muslimat NU dalam pencalonan Gubernur di Jawa Timur. Bahkan di Pemilu Presiden 2014 Khofifah tampil
sebagai Juru Bicara pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala hingga mengantarkan ia menjadi Mentri Sosial.
Pernyataan masalah di atas menunjukkan bahwa kader NU khususnya
Muslimat NU saat ini tidak konsisten terhadap nilai khittah 1926 yang diatur pada AD/ART tahun 2006. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti lebih jauh
bagaimana saat ini (periode tahun 2011-2014) khittah diatur dan diimplementasikan dalam Muslimat NU.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah di atas, maka penelitian sekripsi ini akan mengangkat masalah berfokus pada pertanyaan berikut :
1. Bagaimana implementasi khittah 1926 dalam organisasi Muslimat NU di era reformasi khususnya di periode pengurusan tahun 2011-2016 ?
9 Pengurus Pusat Muslimat NU, “Bagian Pertama: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
Muslimat NU.” Diunduh 27 Oktober 2014
6
2. Apa dampak dari implementasi khittah 1926 terhadap organisasi muslimat NU di periode pengurusan tahun 2011-2014 ?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan :
1. Melihat bagaimana implementasi khittah 1926 di era reformasi khususnya dalam Muslimat NU.
2. Memahami dampak implementasi khittah 1926 terhadap Muslimat NU.
Manfaat :
Akademis
1. Pengembangan ilmu pengetahuan tentang implementasi khitttah 1926 dalam Muslimat NU.
2. Pengembangan ilmu pengetahuan tentang dampak dari implementasi
khittah 1926 dalam Muslimat NU. Praktis
1. Pengetahuan tentang implementasi khittah 1926 di era reformasi khususnya dalam Muslimat NU.
2. Pemahaman tentang dampak implementasi khittah 1926 terhadap
Muslimat NU.
7
Banyak penelitian sebelumnya yang membahas tentang organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) yang berfokus pada Muslimat NU. Seringkali
penelitian tentang Muslimat NU justru berfokus pada partisipasi Muslimat NU dalam politik tanpa mengkritisi posisi Muslimat NU sebagai organisasi sosial
keagamaan itu sendiri. Sangat jarang penelitian melihat dengan kacamata yang berbeda mengenai seharusnya sikap Muslimat NU dalam politik yaitu untuk kembali pada khittah 1926. Dari berbagai penelitian yang sudah ada diantaranya
ialah :
Penelitian yang dilakukan oleh Andi Ilman Hakim tahun 2014 seorang
mahasiswa Universitas Brawijaya, yang berjudul “Komunikasi Politik Muslimat Nahdlatul Ulama Jawa Timur (Studi Partisipasi Politik Perempuan Pada
Pemilihan Gubernur Jawa Timur Tahun 2013)” menjelaskan bahwa kasus
mulimat NU di Jawa Timur berkaitan dengan komunikasi politik yang memiliki latar belakang sosial keagamaan. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat latar
belakang adanya partisipasi politik perempuan dari anggota muslimat NU Jawa Timur khususnya.
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa proses komunikasi politik
Muslimat NU dilatarbelakangi oleh kultur sosial keagamaan Muslimat NU sebagai kaum nahdliyin dan iklim Muslimat NU yang berbasis keluarga. Hal ini
8
diyakininya. Peneliti melihat penelitian ini justru menyetujui adanya unsur politik praktis dalam tubuh Muslimat NU, sehingga nilai khittah 1926 terabaikan.
Selanjutnya penelitian dari mahasiswa lulusan Universitas Negeri Semarang, Misbakhul Munir. Melihat bagaimana peran perempuan dalam
mempengaruhi kebijakan publik di Kabupaten Pemalang dengan studi kasus di Pimpinan Cabang Muslimat NU Kabupaten Pemalang. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa peran Muslimat NU dalam mempengaruhi pembuatan
kebijakan publik di Kabupaten Pemalang dilakukan dari tahapan agenda setting, formulasi serta regulasi, dan evaluasi kebijakan. Semua peran dilakukan melalui
Musrenbang, berpartisipasi aktif dalam Pemilu dan Pilkada serta dengan mencari dukungan politik dari partai politik. Faktor yang menghambat peran Muslimat NU dalam perannya mempengaruhi pembuatan kebijakan publik adalah belum adanya
kader Muslimat NU yang duduk di kursi parlemen maupun dalam pemerintahan serta masalah dana yang dapat mengganggu kelancaran setiap aktifitas Muslimat
NU dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik di Kabupaten Pemalang. Saran yang diajukan kepada PC Muslimat NU Kabupaten Pemalang agar perannya dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik di Kabupaten
Pemalang lebih maksimal.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini juga
9
dilakukan, maka tidak menutupi kemungkinan akan terulang kembali keterlibatan NU dalam politik ketika para kadernya sudah mulai mementingkan kepentingan
individu bukan kelompok.
Dari penelitian-penelitian di atas, semakin meyakinkan penulis untuk
mengkaji tentang implementasi khittah 1926 di era reformasi khususnya dalam Muslimat NU di periode 2011-2014 sebagai Badan Otonom dari NU.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya.10 Penelitian kualitatif pengumpulan datanya dilakukan melalui studi pustaka. Berbeda dengan
kuantitatif yang lebih menekankan pada penghitungan angka-angka dari hasil observasi, kualitatif lebih menguatkan kajian pada kasus-kasus aktual. Selain
melalui data primer seperti wawancara langsung dengan aktor terkait untuk memperkuat.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data menjadi salah satu bagian penting dalam metode penelitian ini. Bagaimana memilih cara pengumpulan data yang baik juga akan
10
10
sangat berpengaruh pada hasil akhir. Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini metode yang dipilih adalah dengan proses trianggulasi, proses tersebut meliputi11:
a. Wawancara
Wawancara merupakan proses yang sering digunakan oleh para peneliti.
Melalui wawancara peneliti akan mendapatkan jawaban langsung dari nara sumber yang dapat dipercaya. Sehingga hasil penelitian pun tidak jauh dari data yang ada di lapangan. Metode wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara langsung mengenai aturan khittah dan implementasinya di periode 2011-2014. Sehingga peneliti dapat menemukan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.
Dalam proses ini peneliti melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang terkait dengan penelitian, diantaranya ialah : pertama, mantan
Ketua Umum PP Muslimat NU yaitu Aisyah Hamid Baidlowi yang lebih awal mengalami berjalannya kepengurusan Muslimat NU. Melalui informasi ini
peneliti dapat melihat bagaimana implementasi khittah 1926 di era sebelum periode kepengurusan tahun 2011-2014. Kedua, Ketua VI PP Muslimat NU yaitu
Yani’ah Wardhani yang mewakili PP Muslimat NU di periode 2011-2014
sehingga penulis dapat secara langsung megetahui informasi mengenai aturan-aturan yang diberlakukan dan pengimplementasiannya, khususnya terkait khittah
1926. Ketiga, Ismawati sebagai Ketua Pengurus Wilayah Jawa Tengah mewakili kepengurusan di Wilayah untuk dapat menggali pandangan pengurus di wilayah
11
11
mengenai situasi yang ada di PP Muslimat NU. Keempat, ialah Pengurus Cabang Muslimat NU, dari PC peneliti dapat menggali informasi di tingkat yang lebih
mikro mengenai situasi di PP Muslimat NU terkait aturan dan implementasi
khittah 1926.
b. Dokumentasi
Dokumentasi ialah pengumpulan data melalui dokumen-dokumen tertulis, seperti catatan harian, buku, jurnal, karya ilmiah, surat kabar, dan lain
sebagainya. Pengumpulan data melalui dokumentasi ini sering dilakukan dalam kajian sehari-hari, melalui data-data tertulis yang berkaitan dengan penelitian ini
peneliti dapat mengkaji dalil maupun teori dari karya orang lain untuk digunakan dalam penelitiannya.
Dalam penelitian ini, buku-buku, jurnal, surat kabar, dan catatan lainnya
mengenai NU, khittah NU serta muslimat NU, sangat penting untuk dijadikan acuan. Oleh karena itu, peneliti menggunakan 26 buku, 5 jurnal dan laporan, dan
beberapa data elektronik yang dapat menjelaskan perkembangan fenomena-fenomena yang terjadi.
3. Teknik Analisis Data
Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian
12
proses-proses yang sedang berlansung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.12
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai profil perjalanan Organisasi NU. Kemudian disambung dengan profil Badan Otonomnya yaitu
Muslimat NU. Selanjutnya penulisan skripsi ini membahas lebih mendalam sejarah khittah 1926 serta kembalinya NU pada khittah yang ditetapkan pada
Muktamar tahun 1984 di Situbondo. Terakhir pemaparan terkait perjalan Muslimat NU di era reformasi yang difokuskan pada periode tahun 2011 sampai dengan 2014 untuk melihat bagaiman Muslimat NU menanggapi keputusan
khittah 1926 dan mengimplementasikannya.
Adapun sistematika penulisan ini berisi 5 bab dengan masing-masing
sebagai berikut :
Bab I menjelaskan mengenai pendahulun dari penelitian, di dalamnya membahas mengenai pernyataan masalah yang menjadi rujukan awal penelitian.
Dalam pernyataan masalah memperlihatkan bagaimana alur serta gambaran umum dari penelitian. Kemudian dikerucutkan dengan pertanyaan penelitian yang
menjadi unsur penting dalam penelitian. Proses penelitian ini tidak lain adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Melalui pertanyaan
12Eko Manalu, “Metodologi Penelitian.” Diunduh 02 Desember 2014
13
tersebut maka dapat ditarik tujuan serta manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian. Selanjutnya pemaparan metodeologi penelitian dan sistematika
penulisan yang menjadi dasar-dasar dari penelitian.
Bab II berfokus pada kerangka teori. Bagian kerangka teori menjelaskan
tentang teori-teori apa saja yang digunakan dalam penilitan. Peneliti dalam hal ini mengambil tiga teori dalam melihat masalah organisasi Muslimat NU dan implementasi khittah 1926. Teori-teori tersebut antara lain, teori civil society, teori
kekuasaan, dan teori manajemen organisasi.
Bab III lebih banyak membahas mengenai sejarah perjalanan Nahdlatul
Ulama (NU), Muslimat NU dan sejarah serta tujuan diputuskannya NU untuk kembali ke khittah 1926 sebagai pengantar pada titik permasalahan yang dapat membantu dalam proses penelitian.
Bab IV merupakan inti jawaban dari pertanyaan penelitian. melalui bab ini peneliti mengenalkan seperti apa khittah 1926 diatur di Muslimat NU periode
2011-2014 dan bagaimana pengimplementasiannya dan kemudian disinkronisasikan dengan fenomena-fenomena yang terjadi di pernyataan masalah sebelumnya.
Bab V menjadi penutup dari bab-bab sebelumnya. Oleh karena itu, dalam bab V peneliti memaparkan kesimpulan dari awal hingga akhir penelitian
14
BAB II
KERANGKA TEORI
Dalam melihat implementasi khittah NU di era reformasi khususnya dalam
organisasi muslimat NU ini penulis menggunakan beberapa teori, diantaranya ialah teori civil society, teori kekuasaan, dan teori manajemen organisasi.
A. Teori Civil Society
Demokrasi sebagai sistem yang diagung-agungkan banyak negara membuktikan eksistensinya melalui pemberdayaan civil society yang dipengaruhi
oleh pergeseran-pergeseran (shifting) yang terjadi. Kenyataan runtuhnya rezim totaliter di Eropa Timur, dan surutnya legitimasi rezim-rezim otoriter di negara berkembang yang kemudian disusul dengan merebaknya gerakan redemokratisasi
menjadi bukti. Sebagai konsekuensinya wacana teoritik dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu politik, semakin diwarnai oleh pencarian yang lebih relevan
dengan situasi yang baru yaitu tentang proses transisi menuju sistem politik demokratis.1
Para filusuf mulai mencari landasan filosofis melalui beberapa sumber, baik
sumber klasik maupun modern tentang civil society. Walaupun secara konseptual belum ditetapkan pemaknaannya, namun ada beberapa nilai dari civil society yang
dapat diserap, antara lain: pertama, individu dan kelompok-kelompok mandiri dalam masyarakat (politik, ekonomi, kultur). Kedua, adanya ruang publik bebas
1
15
sebagai tempat wacana dan kiprah politik bagi warga negara yang dapat menjamin proses pengambilan keputusan berjalan secara demokratis. Ketiga, kemampuan
masyarakat untuk mengimbangi kekuatan negara, walaupun tidak melenyapkan secara total.2
Para filusuf dalam lintas sejarah melihat civil society dengan pandangan yang berbeda-beda. Pemaknaan civil society melalui keragaman berfikir para filusuf sesuai dengan konteks sejarah pada saat pemikiran tersebut diterapkan,
dapat diklasifikasikan melalui lima kelompok, antara lain3:
Pertama, civil society paling awal dipahami sebagai sistem kenegaraan yang
selalu diidentikan dengan negara (state). Pemahaman ini dikembangkan oleh filusuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM) yang menyebut civil society dengan istilah koinonie politike, yaitu sebuah komunitas politik tempat warga dapat
terlibat langsung dalam pengambilan keputusan. 4 Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society itu muncul. Pemikiran Aristoteles kemudian
dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) yang memandang civil society sebagai alat peredam konflik. Oleh karena itu, civil society harus memiliki kekuatan yang mutlak, sehingga ia mampu mengawasi dan mengontrol pola-pola
interaksi politik setiap warga negara. Berbeda dengan Hobbes, John Locke (1632-1704M) berpandangan bahwa civil society ialah dilahirkan untuk
2
Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. x.
3
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi, (Jakarta: Logos, 1999) h. 21.
4
16
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.5 Oleh karena itu, civil society bukan kekuatan absolut seperti sebelumnya, sehingga masyarakat
memiliki ruang untuk memperoleh haknya.
Kedua, makna ini muncul dari Adam Ferguson (1767) yang melihat civil society melalui sejarah sosial-politik Skotlandia. Sejarah Skotlandia yang tengah
menghadapi kemunculan kapitalisme dan pasar bebas sebagai peristiwa revolusi industri membuat ia khawatir akan berkurangnya tanggung jawab sosial
masyarakat serta menguatnya sikap individualisme. Oleh karena itu, Ferguson lebih memaknai civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat
untuk memelihara tanggung jawab sosial yang identik dengan solidaritas sosial serta adanya sentimen moral dan sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah.6
Ketiga, Thomas Paine (1792) memaknai civil society dalam posisi terpisah dengan negara, bahkan civil society dinilai sebagai antitesis dari negara. Karena
keberadaan negara menurut Paine hanyalah sebuah keniscayaan buruk (necessary evil) belaka, maka Civil society harus lebih kuat dan dapat mengontrol negara demi keperluannya.7
Keempat, mengkritisi civil society Thomas Paine, George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) mengembangkan civil society yang justru subordinatif
5
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE dan Perdana Media Grup, 2008), h. 193.
6
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 23.
7
17
terhadap negara. Berangkat dari fenomena masyarakat borjuis Eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara,
menurut Hegel, civil society merupakan tempat berlangsungnya konflik pemenuhan kepentingan pribadi atau kelompok, terutama kepentingan ekonomi.
Pandangan seperti ini dikembangkan pula oleh Karl Marx (1818-1883) yang
melihat “masyarakat borjuis” bahwa keberadaannya merupakan kendala bagi
kebebasan manusia dari penindasan dan ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan
masyarakat tanpa kelas. Sedangkan Antonio Gramsci (w.1937) berbeda dengan Marx, ia tidak memaknai civil society dari segi produksi melainkan dari sisi
ideologis. Menurutnya civil society ialah tempat perebutan posisi hegemonik selain negara, yang kemudian dalam proses ini negara dapat terserap dalam civil society hingga terbentuk sebuah masyarakat yang teratur (regulated society).8
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Hegel dan Marx tidak percaya dengan adanya civil society yang mandiri. Berbeda dengan Gramsci yang justru sangat
optimis bahwa civil society dapat berdiri sendiri tanpa intervensi dari negara.
Kelima, Sebagai reaksi terhadap model Hegelian, Alex „De Tocqueille
mengembangkan teori civil society yang dimaknai sebagai entitas penyeimbang
kekuatan negara. Teori ini dikemukakan berdasar pada pengalaman demokrasi di Amerika yang dijalankan lewat civil society berupa pengelompokan sukarela
dalam masyarakat, termasuk gereja dan asosiasi profesional yang membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi dari negara. Civil society
8
18
bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan pengimbang negara, bahakan menjadi sumber legitimasi negara
untuk mengurangi derajat konflik dalam masyarakat.9
Paradigam civil society ini memberi sumbangan pemikiran yang besar
dalam perjalanan demokrasi serta menjadi sumber inspirasi bagi pemberdayaan rakyat di berbagai negara, khususnya di Indonesia. Civil society di Indonesia sesuai dengan yang didefinisikan oleh Dawam Rahardjo, ialah proses penciptaan
peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam
civil society masyarakat akan bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan
produktif, dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-negara. Azyumardi Azra mengartikan civil society lebih dari sekedar gerakan pro-demokrasi, tetapi mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas. Menurut Nurcholis Majid
makna civil society berasal dari kata civillity yang mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan
tingkahlaku sosial.10
Karakter utama dari civil society ialah „keswadayaan’ dan „kesukarelaan’.
Artinya bahwa organisai memiliki tujuan untuk menyalurkan kepentingan
bersama, satu visi, serta gagasan, dan tidak untuk kepentingan individu atau perorangan saja. Civil society mampu melaksanakan kiprahnya sendiri dengan
keterbukaan serta tanpa ada ketergantungan kepada negara.11
9
Asrori S. Karni, Civil Society dan Ummah, h. 29.
10
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan, h. 193-197.
11
19
Akar-akar sejarah civil society di Indonesia dapat diruntut semenjak terjadinya perubahan keadaan sosial ekonomi pada masa kolonial, tepatnya ketika
kapitalisme mulai diperkenalkan oleh Belanda. Civil society telah ikut mendorong terjadinya pembentukan masyarakat lewat proses industrialisasi, urbanisasi dan
pendidikan modern. Oleh karena itu, muncul kesadaran baru di kalangan elite pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern di awal abad ke-20.12
Pertumbuhan civil society di Indonesia sempat mengalami kejayaan pasca revolusi tahun 1950-an, yaitu pada saat organisasi-organisasi sosial dan politik
dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari masyarakat yang baru saja merdeka. Namun sangat disayangkan, situasi seperti ini tidak berlangsung lama sesuai dengan yang diharapkan. Civil society yang sedang
berkembang di Indonesia mulai mengalami penyusutan terus menerus akibat dari krisis-krisis politik pada level negara, ditambah dengan kebangkrutan ekonom.
Hal ini kemudian menjadi penghalang untuk berlangsungnya perkembangan civil society, bahkan ormas-ormas serta lembaga-lembaga sosial justru berubah menjadi alat bagi merebaknya politik aliran dan pertarungan berbagai ideologi.
Pada era ini, sekitar tahun 1960-an civil society di Indonesia mengalami kemunduran yang sangat pesat.13
12
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996) h. 4.
13
20
Situasi terparah dari kemunduran civil society ialah munculnya rezim Orde Baru dibawah kuasa Soeharto. Pada era ini, politik Indonesia didominasi oleh
penggunaan mobilisasi masa sebagai alat legitimasi politik. Akibatnya, setiap usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai sebuah kemandirian akan
dicurigai sebagai kontra-revolusi. Rezim Orde Baru berupaya untuk memperkuat posisi negara dalam segala bidang, akibatnya kemandirian sosial serta partisipasi masyarakat dibungkam oleh negara.14
Perkembangan LSM dan ormas di Indonesia saat ini tidak diragukan lagi, jumlahnya yang mencapai lebih dari 10.000 menjadi kegembiraan tersendiri.
Namun, LSM dan ormas yang begitu banyaknya dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi LSM dan ormas sangat lemah ketika harus berhadapan dengan kekuatan negara. Karena berbagai hal, LSM dan ormas di Indonesia masih harus
bergantung pada negara. Bagi orams-ormas sosial dan keagamaan adanya campurtangan dan intervensi negara menjadi sebuah ancaman, namun ormas atau
LSM yang ingin survive dengan cepat terpaksa harus masuk dalam jaringan kooptasi negara.15 Melihat kondisi di atas, dapat disimpulkan bahwa civil society
di Indonesia sudah baik dari segi kuantitas namun msaih sangat jauh menuju
sempurna dari segi kualitasnya. Oleh karena itu, masih sulit kiranya civil society
di Indonesia dijadikan sebagai kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara.
Muslimat NU sebagai civil society aktif dalam kegiatan demokrasi seperti pembangunan ikatan sosial Muslimat NU dapat dilihat melalui sifat organisasinya
14
Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, h. 4-5.
15
21
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang bersifat keagamaan. Jaringan-jaringan produktif sudah mulai terbangun di era kepemimpinan Mahmudah
Mawardi dengan membuka peluang kerjasama dengan banyak pihak khususnya organisasi perempuan di Indonesia seperti KOWANI dan lain sebagainya, bahkan
jaringan tersebut mampu menembus hingga kancah internasional (PBB) sampai sekarang. Solidaritas kemanusiaan dalam Muslimat NU tertuang dalam berbagai perangkat Muslimat NU sebagai pelayanan langsung untuk masyarakat diluar
pemerintah.
Selain itu, karakter utama dari civil society yang dipaparkan oleh Hikam
diterapkan dalam Muslimat NU melalui program maupun perangkat-perangkatnya seperti Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (YKM NU), Yayasan Pendidikan Muslimat NU (YPM NU), Yayasan Haji Muslimat NU (YHM NU), Induk
Koperasi An-Nisa Muslimat NU (Inkopan MNU), Yayasan Himpunan Da’iyah
dan Majlis Ta’lim Muslimat NU (HIDMAT), dan masih banyak lagi perangkat
Muslimat NU lainnya yang aktif bahkan tersebar luas ke seluruh penjuru baik kota maupun pelosok desa.16 Seperti YKM NU saja saat ini telah berkembang menjadi 148 Wilayah Kerja yang terdiri dari 27 Wilayah Kerja I di tingkat Provinsi dan
121 Wilayah Kerja II pada tingkat Kabupaten/Kota.17
16
PP Muslimat NU, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU, (Jakarta: PP Muslimat NU, 2012), h. 13.
17 Laporan YKM NU Pusat Periode September 2014 – Maret 2015. Jakarta 1 April 2015, h.
22
B. Teori Manajemen Organisasi
Meninjau pemahaman terkait definisi manajemen, terdapat banyak penulis
yang mendefinisikannya. Manajemen dapat diartikan bahwa para manajer mengelola upaya pencapaian tujuan atau sasaran organisasi. Manajemen juga
dapat diartikan sebagai proses kerja sama dengan dan melalui orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan definisi dari organisasi itu sendiri ialah merupakan sistem sosial yang terdiri dari sub-sub sistem yang
saling berkaitan dan salah satu sub sistem tersebut ialah sub sistem sosial.18 Suatu rumusan juga sering dikemukakan mengenai manajemen bahwa itu adalah suatu
proses pencapaian tujuan organisasi lewat usaha orang-orang lain. Disini manajer ialah sebagai orang yang memikirkan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Agar organisasi dapat berhasil mencapai tujuan maka diperlukan
manajemen atau dengan kata lain untuk mencapai sutau tujuan organisasi harus melalui proses kegiatan kepemimpinan, kegiatan inilah yang dinamakan
manajemen organisasi.
Inti dari pembicaraan mengenai manajemen tertuang dalam fungsi-fungsi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemotivasian
(motivating), dan pengendalian (controlling). Seluruh fungsi tersebut memang relevan dengan setiap jenis organisasi atau level manajemen. Harold Koontz dan
Cyril O’Donell dalam buku Paul Hersey dan Ken Blanchard menyatakan “Dengan
bertindak dalam kapasitas manajerial mereka, semua direktur, kepala departemen,
18
23
mandor, supervisor, dekan fakultas, bishop dan kepala lembaga pemerintahan melakukan hal yang sama. Sebagai manajer untuk sebagian mereka terlibat dalam
upaya mencapai hasil dengan dan melalui orang lain. Sebagai seorang manajer setiap orang harus, pada suatu saat atau saat yang lain, melaksanakan semua tugas
yang merupakan tanggung jawab manajer,” bahkan dalam lingkup rumah tangga
sekalipun menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam banyak hal.19
Organisasi itu sendiri memiliki pengertian yang sangat luas. Organisasi
adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus
menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Dalam pengertiannya dapat dijelaskan secara rinci, pengertian organisasi yang dikoordinasikan dengan sadar mengandung arti manajemen. Kesatuan sosial
berarti bahwa unit tersebut terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi ini tidak semata-mata muncul,
melainkan melalui proses pemikiran . Oleh karena itu, mengingat organisasi merupakan kesatuan sosial, maka pola interaksi para anggotanya harus diseimbangkan dan diselaraskan untuk meminimalkan keberlebihan, namun juga
memastikan bahwa tugas-tugas yang kritis telah diselesaikan. Sebuah organisasi memiliki batasan yang relatif, batasan dalam organisasi dapat berubah dalam
kurun waktu tertentu dan tidak selalu jelas. Namun sebuah batasan yang nyata harus ada agar dapat membedakan antara anggota dan bukan anggota. Batasan ini
19
24
biasanya dihasilkan dari kesepakatan eksplisit maupun implisit dari anggota di dalamnya. Pada umumnya dalam organisasi sosial atau sukarela para anggota
memberi kontribusi dengan imbalan prestise, interaksi sosial, atau keputusan dalam membantu orang lain. Namun dalam organisasi terdapat batasan yang
membedakan antara siapa yang menjadi bagian dan siapa yang tidak menjadi bagian dari organisasi tersebut.20
Teori manajemen organisasi sendiri merupakan disiplin ilmu yang
mempelajari struktur dan desain organisasi. Teori ini menjelaskan bagaimana organisasi sebenarnya distruktur dan menawarkan tentang bagaimana organisasi
dapat dikonstruksi guna meningkatkan keefektifan. Organisasi adalah bentuk lembaga yang dominan dalam masyarakat. Hampir setiap saat dan setiap sudut dalam kehidupan manusia menggunakan organisasi, dari manusia lahir hingga
dimakamkan fungsi organisasi tekait erat didalamnya. Organisasi meresap dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh baik dari segi ekonomi hingga
kehidupan pribadi. Oleh karena itu, teori organisasi secra tidak sengaja sudah sering kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan Muslimat NU, teori ini melihat bahwa terdapat kelompok
masa yang terorganisir dengan tata sistem kepengurusan terstruktur didukung oleh proses kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan bersama. Struktur
kepengurusan ini yang di dalamnya terdapat cabang hirarki yang menunjukkan adanya posisi manajer atau Ketua sebagai penanggung jawab penuh terhadap
20
25
kelompok di dalamnya. Adanya tanggung jawab yang besar ini menunjukkan bahwa posisi manajer atau ketua memiliki pengaruh yang dominan terhadap
anggota lainnya dalam kelompok tersebut.
C. Teori Kekuasaan
Kekuasaan merupakan sebuah kata yang sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Kata ini mudah dipahami oleh banyak orang, namun jarang sekali untuk didefinisikan. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu
kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku.21 Kekuasaan mengacu pada suatu jenis pengaruh yang dimanfaatkan oleh salah satu objek, individu atau kelompok terhadap individu
atau kelompok lainnya. Seperti dalam tulisan Roderick Martin mengutip artikel penelitian Robert Dahl pada International Encyclopedia of the Social Sciences
yang menyebutkan bahwa: “istilah kekuasaan dalam ilmu sosial modern mengacu
pada bagian perangkat hubungan diantara satuan-satuan sosial seperti pada
perilaku satu atau lebih satuan yang dalam keadaan tertentu tergantung pada perilaku satuan-satuan yang lain.”22
Kebanyakan teori sosiologi mendefinisikan kekuasaan dalam pengertian
yang lebih sempit, yaitu sebagai sebuah hubungan yang khas diantara para objek, antara pribadi-pribadi dengan kelompok. Definisi yang paling berpengaruh dalam
hal ini ialah yang dikemukakan oleh Weber bahwa: “kekuasaan adalah
21
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) h. 18.
22
26
kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada, termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan
yang menjadi pijakan kemungkinan itu.” Dalam penelitian Martin, psikologi
sosial Michigan, French dan Raven menggunakan definisi yang sama dalam
membahas teori lapangan Lewin mengenai kekuasaan, kekuasaan adalah kemampuan potensial dari seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi yang lainnya di dalam sistem yang ada.23
Dahrendorf dan Blau berhasil menemukan kelemahan tertentu dari teori Weber yang kemudian menjadi dasar Dahrendorf dalam mengemukakan bahwa
kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu-individu dari pada milik struktur sosial. Perbedaan terpenting antara kekuasaan dengan otoritas terletak pada kenyataan bahwa kalau kekuasaan pada hakikatnya dilekatkan pada
keperibadian individu, maka otoritas selalu dikaitkan dengan posisi atau peran sosial. Blau mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan seeorang atau
sekelompok orang untuk memaksakan keinginannya pada yang lain meski dengan kekuatan penangkal, baik dalam bentuk pengurangan secara tetap ganjaran-ganjaran yang digunakan maupun dalam bentuk hukuman , keduanya sama-sama
bersifst negatif. Kemampuan untuk memproduk pengaruh melalui kekuatan telah memberikan cara kepadanya untuk menggunakan sanksi-sanksi yang negatif.24
Berbeda dengan sebelumnya, Parsons memandang kekuasaan sebagai suatu sumber sistem, yaitu bahwa kekuasaan merupakan sebuah bentuk kemampuan
23
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 69.
24
27
yang mampu menjamin pelaksanaan kewajiban yang mengikat sesuai dengan tujan-tujuan kolektif yang telah disepakati dari satuan-satuan yang ada dalam
suatu sistem organisasi kolektif. Jika terdapat perlawanan didalamnya, maka lembaga yang berkuasa dapat menegakkannya dengan sanksi-sanksi situasional
yang sifatnya negatif.25 Serta masih banyak lagi definidi sosoiologis mengenai kekuasaan yang kurang lebih dapat dijadikan sintesis maupun antitesis dari definisi di atas.
Dalam organisasi sendiri, kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kepemimpinan. Pemimpin memperoleh alat untuk dapat mempengaruhi perilaku
para pengikutnya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam kutipan Miftah Thoha dari Hersey, Blanchard, dan Natemeyer menegaskan bahwa para pemimpin seharusnya tidak hanya menilai perilakunya sendiri agar mereka dapat mengerti
bagaimana mereka dapat mempengaruhi orang lain, namun mereka juga perlu meniti posisi serta bagaimana cara menggunakan kekuasaan yang tepat.26
Bentuk dari kekuasaan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua, yaitu seperti pernyataan Machiavelli yang dikemukakan pada abad ke-16 bahwa hubungan yang baik itu tercipta jika didasarkan atas cinta (kekuasaan pribadi) dan ketakutan
(kekuasaan jabatan). Berangkat dari pernyataan tersebut, maka Amitai Etziomi membahas bahwa bentuk dan sumber dari kekuasaan ialah kekuasaan jabatan
(position power) dan kekuasaan pribadi (personal power). Menurut Etziomi,
25
Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan, h. 75.
26
28
perbedaan kedua bentuk kekuasaan ini ialah konsep kekuasaan itu sendiri sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi perilaku. Seseorang yang mampu untuk
memperngaruhi perilaku orang lain untuk melakukan kerja sesuai jabatannya, maka orang tersebut memiliki kekuasaan jabatan. Sebaliknya, apabila seseorang
memperoleh kekuasaan dari para pengikutnya dapat dikatakan sebagai kekuasaan pribadi.27
Sumber kekuasaan lain ialah yang dikemukakan oleh French dan Roven.
Mereka mengemukakan enam bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh seorang manajer atau pemimpin. Keenam bentuk kekuasan itu ialah kekuasaan legitimasi,
kekuasaan imbalan, kekuasaan paksaan, kekuasaan ahli, kekuasaan referen, dan kekuasaan informasi.28
Kekuasaan legitimasi (legitimate power) merupakan kekuasaan yang berasal
dari kedudukan seseorang dalam hirarkhi organisasi. Seseorang mampu mempengaruhi karena ia memiliki posisi atau jabatan tertentu dalam organisasi.
Karena jabatan tersebutlah menyebabkan bawahannya patuh kepadanya. Bawahan di sini memegang peran penting dalam pelaksanaan kekuasaan legitimasi. Jika bawahan menganggap, bahwa pengguna kekuasaan tersebut sah sesuai kedudukan
seseorang maka mereka akan patuh.
Kekuasaan imbalan (reward power) bertitik tekan pada kemampuan
seseorang untuk memberikan imbalan kepada orang lain dalam hal ini bawahan
27
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi, h. 292.
28
29
atau pengikut, dan mereka menganggap imbalan tersebut mempunyai nilai atau mereka membutuhkan imbalan tersebut. Imbalan itu dapat berupa gaji, upah,
jaminan sosial, promosi, kesempatan jam lembur dan penugasan pada pekerjaan yang disenanginya.
Kekuasaan paksaan (coercive power) ialah kekuasaan atau kepatuhan seseorang terhadap orang lain karena mereka takut akan hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Kekuatan dari kekuasaan paksaan tergantung pada implikasi negatif
dari hukuman tersebut dan apakah ada kemungkinan hukuman tersebut dapat dihindari atau tidak.
Kekuasaan ahli (expert power) merupakan kekuasaan yang dimiliki seseorang karena ia memiliki kemampuan khusus, keahlian atau pengetahuan tertentu. Kekuasaan referen (referent power) ialah kekuasaan yang bersumber dari
sifat seseorang yang memiliki daya tarik tertentu atau karisma tertentu. Karisma merupakan istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan tokoh
masyarakat, politisi, artis, dan lain sebagainya.
Kekuasaan informasi (information power) merupakan kekuasaan yang dipunyai seseorang karena ia memiliki informasi-informasi penting yang
berhubungan dengan organisasi.
Pandangan teori kekuasaan menjadi pilihan dalam penelitian karena
30
praktis dan pemerintahan. Khususnya dalam melihat khittah NU 1926 dalam Muslimat NU menunjukkan bahwa faktor kekuasaan menjadi salah satu alasan
penting sikap Muslimat dalam pilihan panggung politik yang justru mengakibatkan tidak terimplementasinya khittah NU 1926.
Kekuasaan jabatan yang terbangun dalam Muslimat NU seperti yang dijelaskan dalam teori manajemen organisasi bahwa posisi tertinggi dapat mempengaruhi posisi lain. Unsur ini muncul karena dilatar belakangi oleh adanya
keinginan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih luas dari Muslimat NU yaitu dalam politik. Melalui organisasi, seseorang mampu mendapatkan kekuasaan
31
BAB III
NAHDLATUL ULAMA (NU), KEBERADAAN MUSLIMAT NU (MNU)
DAN KEPUTUSAN NU KEMBALI KE KHITTAH 1926
A. Sejarah Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU)
Latar belakang berdirinya sebuah organisasi sosial keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU) tidak lain karena kebutuhan para kiai dan santri akan
legitimasi legal formal. Kebutuhan ini muncul atas dorongan lahirnya berbagai macam organisasi sosial yang memiliki corak berbeda-beda. Seperti Budi Utomo
(BU) pada tahun 1908 sebagai organisai yang berfokus pada pendidikan dan budaya serta menjadi pelopor awal munculnya organisasi-organisasi di Indonesia.1
Selain kemunculan organisai BU sebagai pelopor awal, dalam organisasi sosial keagamaan, Sarekat Islam (SI) tahun 1912 menjadi yang pertama
mendirikan organisasi yang berfokus pada kelompok saudagar Islam di Indonesia. Kemudian disusul dengan munculnya Muhammadiyah tahun 1912, Al Irsyad tahun 1915, dan Persatuan Islam (PERSIS) tahun 1913.
Kehadiran dari berbagai macam organisasi di atas, kiranya organisasi Muhammadiyah memiliki pengaruh paling besar terhadap latar belakang
didirikannya NU. Muhammadiyah sebagai organisai sosial keagamaan yang
1
32
menawarkan bentuk pembaruan dalam Islam memiliki perbedaan tujuan yang besar dengan NU yang sangat menjaga erat tradisi dan budaya tradisional Islam di
Indonesia.
Lembaga yang memiliki corak Islam seperti NU pada dasarnya merupakan
sebuah fenomena pedesaan. Ziarah ke makam orang yang dihormati seperti keluarga dan leluhur, guru, wali dan raja dianggap sebagai perbuatan yang berpahala besar. Bahkan pahala yang diperoleh dari membaca doa-doa atau
ayat-ayat suci al-Qur’an, tahlilan, serta selametan dapat dipersembahkan bagi arwah-arwah orang yang sudah meninggal.2
Berbeda pandangan dengan organisasi pembaru seperti Muhammadiyah, mereka melihat fenomena di atas sebagai kegiatan bid’ah dan tidak sesuai dengan ajaran asli Islam. Oleh karena itu, pada abad 20-an ketika Muhammadiyah telah
memperluas jaringan organisasinya hingga wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah sebagai basis ulama tradisional, menjadi ancaman tersendiri bagi para ulama dan
kiai.3 Disini ulama-ulama tradisional merasa penting untuk membentuk organisasi baru demi menjaga posisi mereka yang terancam dengan munculnya Islam reformis.
Pada belahan bumi yang lain, hadir sosok Ibn Sa’ud dan pengikutnya yang merupakan kaum Wahabi menentang keras adanya pemujaan pada wali dan
pemujaan kepada orang yang sudah meninggal. Selama mereka menduduki kota
2
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru. Diterjemahkan oleh Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994) h. 17-18.
3
33
Mekkah beberapa waktu sebelumnya, kaum Wahabi telah menghancurkan banyak makam di dalam dan sekitar kota tersebut dan membrangus berbagai praktek keagamaan populer. Bahkan Sa’ud telah merencanakan pembongkaran makam
Rasullah SAW serta Makam Sayidina Umar. Bagi kaum tradisionalis Indonesia
yang sangat terkait dengan praktik keagamaan merasa kecemasan yang luar biasa dengan adanya penaklukan Ibn Sa’ud atas Mekkah.4
Sebagai bentuk perjuangan kaum tradisionalis dalam mempertahankan
tradisi dan budaya Islam, maka kaum tradisionalis memutuskan untuk mengirim utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan masalah Madzhab dengan Ibn Sa’ud. Demi terlaksananya tujuan tersebut, maka mereka membentuk komite
Hijaz. Bertemu di Surabaya pada 31 Januari 1926, kaum tradisionalis menentukan siapa yang akan diutus. Agar berkesan kuat di pihak luar, komite ini memutuskan untuk mengubah diri menjadi sebuah organisasi dengan nama Nahdlatul „Oelama
(NU). Inilah menjadi alasan paling kuat dibeberapa masa awal tahun
kehadirannya.5
Proses panjang pendirian NU ini tidak lain karena peran tokoh-tokoh pendiri NU seperti K.H. Hasyim Asy’ari dan kyai muda Abdul Wahab. Sebelum
terbentuknya NU, kiyai Abdul Wahab sepulangnya dari Makkah merasa perlu adanya tindakan untuk melakukan pergerakan dalam mendidik para kader dalam
bentuk tashwir al-afkar yaitu sebuah pertukaran gagasan, maka ide ini kemudian dijadikan sebagai sebuah kursus perdebatan untuk anak-anak muda dan kiai-kiai
4
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 32.
5
34
muda. kursus perdebatan ini sudah diupayakan dari datangnya kiai Abdul Wahab dari makkah pada tahun 1914, tapi hingga tahun 1918 kegiatan ini berlangsung
lebih fokus membahas soal-soal yang membelah kelompok yang lebih dekat dengan salafiyah dan kelompok madzhab dari kiai pesantren. Inti dari diskusi ini
adalah untuk membuka cakrawala pengetahuan dan memperluas ilmu bagi kalangan pesantren. Kursus ini terus berjalan hingga berdirinya NU pada 31 Januari 1926.6
Setelah melakukan kursus-kursus perdebatan di Surabaya, kiai Wahab bersama dengan Mas Mansur yang kala itu baru kembali dari Mesir bekerja sama
untuk membentuk Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dan mendapat pengakuan dari pemerintah Belanda pada tahun 1916. Tujuan dibentuknya
Nahdlatul Wathan adalah untuk memperluas dan memperdalam mutu
madrasah-madrasah yang ada. Pada tahun 1922, Mas Mansur keluar dan bergabung dengan Muhammadiyah yang lebih cocok dengannya. Inti dari Nahdlatul Wathan ini ialah
tidak hanya sekedar mendidik calon-calon kiai dan mendirikan sekolah-sekolah. Hal ini juga menjadi fondasi awal untuk memberi pengertian bahwa para pendiri NU yang legendaris ini sejak awal telah memberikan semangat bahwa perlunya
orang pesantren bukan hanya menjadi santri namun juga mampu berpartisipasi dalam kebangkitan bangsa.7
Selain perhatian Abdul Wahab Hasbullah terhadap perkembangan sosial dan pendidikan, para ulama pesantren juga pernah merintis usaha perdagangan dalam
6
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 33-35.
7
35
bentuk koperasi dengan istilah sjirkah al-„inān yang diberi nama Nahdlatut Tujjar
(kebangkitan usahawan) dengan restu penuh oleh K.H. Hasjim Asj’ari pada tahun
1918. Diangkat ketua koprasi yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dan Abdul Wahab sebagai manajer yang menjalankan koperasi. Inti dari dibentuknya Taswirul Afkar
kemudian Nahdlatul Watan dan Nahdlatut Tujjar merupakan bentuk perhatian para ulama pesantren untuk menghimpun kegiatan bersama serta mengembangkan kaum muslimin pada masa itu. Himpunan para ulama inilah yang sudah dijelaskan
sebagai pelopor penting lahirnya organisasi NU.8
Setelah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926, NU mulai
menata organsisainya dengan manajemen organisai yang lebih baik. Penataan manajemen organisasi NU dimulai dengan pembentukan Anggaran Dasar 1926 yang disusun pada tahun 1929 dan disahkan oleh pemerintah pada tahun 1930.
Berdasarkan Anggaran Dasar yang telah dibentuk sebagai tujuan berdirinya organisai, NU menetapkan tujuannya untuk mengembangkan Islam berlandaskan
ajaran keempat mazhab sebagai berikut9 :
1. Memperkuat persatuan diantara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab.
2. Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran ahlusunnah wal jamaah.
3. Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
4. Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya.
8
M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, h. 45.
9
36
5. Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.
6. Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota. Melalui berbagai macam upaya dan strategi NU ikut berperan dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan ikut serta melawan para penjajah. Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan, NU menutup periodenya
sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan gemilang dan mengeluarkan Resolusi Jihad (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22 Oktober 1945.10
Maklumat No. X tanggal 3 November 1945 yang menjelaskan tentang pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai-partai agar
dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat.11 Disambut baik khususnya oleh NU dengan mengkoordinir organisasi Islam dalam
satu wadah partai. Muktamar Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 7-8 November 1945 memutuskan untuk dibentuk kembali Masyumi dengan wajah baru, yaitu yang dianggap sebagai partai politik Islam dan
bukan lagi organisasi bentukan Jepang.12
Awal mula dukungan NU terhadap Masyumi sangat menggelora, namun
kemudian perbedaan kepentingan kelompok dalam Masyumi mulai muncul. NU dalam keterlibatannya di Masyumi tidak benar-benar terwakili di kepengurusan.
10
Einar Martahan Sitompul, Nu dan pancasila, h. 93.
11
Deliar Noer, Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa (Bandung: Mizan, 2001), h. 135.
12
37
Langkanya anggota NU yang mempunyai tingkat pendidikan umum modern yang memadai, menyebabkan tidak ada satupun jabatan eksekutif yang jatuh kepada
anggota NU. Situasi seperti ini menjadi awal munculnya problem antara NU dengan kaum pembaru dan modernis yang mendominasi Masyumi.13 Selain dalam
pengurusan internal partai, di dalam kabinet pun NU merasa berkurang dalam peranannya. NU hanya mendapat kursi Departemen Agama (dapat dilihat di tabel I).14
Tabel III.A.1. Keterwakilan NU dalam Parlemen
sumber : Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan, h. 62-65.
13
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 62.
14
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 63. No. Nama Kabinet Tahun Periode Keterwakilan NU
1. Sjahrir I 14 November 1945 –
April 1951 Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama
38
Akibat kekecewaan NU terhadap Masyumi, dalam Muktamar NU ke 19 tahun 1951 di Palembang NU menyatakan keluar dari Masyumi. Pelaksanaan
pendirian partai NU baru terjadi pada 3 Juli 1952, ketika NU secara resmi keluar dari federasi Masyumi.15 Setelah Muktamar Palembang dan berdirinya partai NU,
orang-orang NU maupun orang yang merasa dekat dengan NU mulai menarik diri dari Masyumi. Hanya ada beberapa orang muslim tradisionalis yang bertahan di Masyumi.16
Pada pemilu yang diselenggarakan tahun 1955 merupakan pemilu bersejarah bagi partai NU. Perolehan suara partai NU pada saat itu sangat
mengejutkan, yaitu 18,4 % dari seluruh suara yang sah, bahkan tidak jauh dari Masyumi dengan prolehan suara 20,9 %. Seperti yang dapat kita lihat di tabel berikut :
Tabel III.A.2. Perolehan Suara Pemilu 1955
Sumber : Kacung Marijan, Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah, h. 74.
Perolehan suara ini merupakan kemenangan yang sangat menentukan untuk
NU, dari perolehan 8 kursi meningkat tajam menjadi 45 kursi. Partai besar lainnya
15
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa, h. 110.
16
39
pun memperoleh suara cukup banyak, namun tidak sedramatis partai NU.17 Demikian keterlibatan NU dalam politik praktis. Secara pengalaman, NU dapat
dikatakan lebih maju dibanding Muhammadiyah yang tidak pernah menjadi partai politik. Meskipun dalam Masyumi, Muhammadiyah memiliki peranan lebih besar
dibanding dengan NU.
Memasuki periode Presiden Soeharto sebagai langkah pemerintah dalam program penataan kehidupan politik yang dirancang Ali Mustopo, NU terpaksa
bergabung dengan tiga partai Islam lainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang diresmikan pada 5 Januari 1973. Partai politik lainnya
yang berasaskan sosial, nasional, dan kristen disatukan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Jadi hanya ada dua parati disamping Golkar.18 Fusi partai ini diresmikan dalam keputusan pemerintah bersama dengan DPR yang berusaha
menyederhanakan partai politik dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.19 Kasus ini menjadi penutup terhadap kegemilangan
Partai NU di kancah politik.
Memasuki era reformasi kekhawatiran muncul dari generasi muda NU yang dekat dengan Gus Dur, dalam hal ini mereka yang senang dengan garis “non -politis” NU merasa resah dengan adanya pembentukan partai politik NU yang
baru yaitu PKB. Kemunculan PKB dalam daftar nama partai politik di era
17
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 69.
18
Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencari Wacana Baru, h. 102.
19