Oleh: Asmal May Abstrak
Dalam perjalanan kehidupan kelompok orang-orang sufi, mereka lebih mengkhususkan diri untuk beribadah secara sistematis di bawah bimbingan seorang
mursyid. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf, berikutnya muncul metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah konsep-konsep tasawuf. Tindak lanjut dari perbincangan ini, muncullah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (al-maqomat) serta
ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hal). Demikian juga pada
periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat
metodenya sampai pada tingkat fana dan untuk ittihad. Sejak keduanya muncul
terjadi pergeseran paradigm dan muncul sikap pro kontra terhadap kedua konsep tersebut.
Di Indonesia khususnya di Aceh muncul pemaduan antara tasawuf al-Ghazali dengan al-Fansyuri, atau antara paham kesatuan wujud dengan transendentalisme. Tasawuf berkembang di Indonesia dan terkelompok kepada tiga aliran induk, yaitu:
tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi, selanjutnya membentuk lembaga pendidikan yang terformulasi dalam bentuk tarekat.
Kata kunci: corak tasawuf, akhlaki, amali, falsafi, Indonesia.
A.Pendahuluan
Istilah tasawuf dikenal secara luas di dunia Islam sejak penghujung abad kedua hijrah1 sebagai perkembangan lebih lanjut dari kesalehan
asketis atau para zahid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam perjalanannya, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan mengembangkan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup kesalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesat. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada abad kedua hijrah dan memasuki
* Dosen Fakultas Tarbiyah dan Pendidikan UIN Suska Riau
1 Al-Qusyairi, Tasawwuf Islami wa Tarikhihi, (Kairo: Jannati Ta'lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1956), p. 138.
abad ketiga hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zahid menjadi sufi.
Di sisi lain, pada kurun waktu ini percakapan para zahid sudah sampai pada persoalan hakikat jiwa yang bersih, moral dan metode pembinaannya serta perbincangan tentang masalah teoretis lainnya. Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi (
al-maqomat) serta ciri-ciri yang dimiliki seorang sufi pada tingkat tertentu (
al-hal). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang
pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana dan untuk ittihad. Bersamaan itu pula tampil para penulis tasawuf seperti Muhasibi (w. 243 H.), Kharraj (w. 277 H.) dan al-Junaid (w. 297 H.) dan penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan muncul dan berkembangnya ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagaman menjadi metodik dan ilmiah. Selama kurun waktu itu, tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf dan dzauq.2
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur keislaman, nampaknya memperoleh infuse atau motivasi dari tiga faktor,
infuse ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang
muncul: Pertama adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh umat Islam terutama para pembesar negeri dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling deras adalah sebagai reaksi terhadap sikap hidup yang sekular dan glamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Protes tersamar itu mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etika. Tokoh popular yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bashri (w. 110 H.) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khouf–al-roja, Rabiah al-Adawiyah (w. 185 H.) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H.) dengan konsepsi al-syauq sebagai ajarannya.3
Nampaknya, pada awal munculnya, gerakan ini menjadi semacam gerakan sektarian yang introversionis, pemisahan dari trend kehidupan eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
2Abu Wafa’ Ghanimi Taftzani, Madkhal Ila Tasawuf Islam, (Kairo: Dar al-Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979), pp. 80-82, Kitab karangan al-Muhasibi, al-Ri’ayah li al-Huquq al-Insan; al-Kharraj, al-Thariq ila Allah; al-Junaid, Dawa’ al-Aiwah.
3 R.A. Nicholson, The Mistic of Islam,(Routledge and Kegan Paul, London, 1974), p. 4.
Kedua timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulatan politik pada masa itu menyebabkan orang-orang yang ingin mempertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah
yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w.253 H).4 Apabila diukur dari
kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok umat yang sengaja mengambil sikap
‘uzlah kolektif yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang bebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Ketiga adalah corak kondifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etika yang menyebabkan kehilangan moralitas menjadikannya semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan
semakin kering dan menyesakkan ruhuddin dan menyebabkan terputusnya
komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptannya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu,
karena dominannya posisi moral dalam agama, para zuhhad tergugah untuk
mencurahkan perhatian terhadap moralitas sehingga memacu pergeseran asketisme kesalehan kepada tasawuf.
Doktrin al-zuhd misalnya, yang tadinya sebagai dorongan untuk meningkatkan ibadah semata-mata karena rasa takut kepada siksa neraka, bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah agar selalu
dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakkal yang tadinya
berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan kepada pengingkaran kehidupan yang profanistik di satu pihak dan konsep sentral tentang hubungan manusia dengan tuhan, yang kemudian popular dengan doktrin al-hubb. Doktrin al-hubb adalah tingkat akhir sebelum
ma’rifat yang berati mengenal Allah s.w.t. secara langsung melalui
pandangan batin. Menurut sebagian sufi, ma’rifat Allah s.w.t. adalah tujuan akhir dan sekaligus merupakan tingkat kebahagian paripurna yang
mungkin dicapai oleh manusia di dunia ini. Kondisi ini hanya dapat dicapai sesudah mencintai (al-hubb) Allah dengan segenap ekspresinya.
Berdasarkan kualitas-kualitas yang demikian, maka gerakan ini dapat dikatakan sebagai gerakan gnostisisme (ilmu ladunni, al-ma’rifat) atau barangkali dapat disejajarkan dengan manipulationist dalam filsafat. Kelompok ini kemudian mengklaim memiliki ilmu yang khusus dan tidak dapat diberikan kepada sembarang orang. Untuk memiliki kualitas ilmu yang seperti itu harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat-tingkat. Pada abad itu juga, tampil Dzu al-Nun al-Mishri (w.245 H.) dengan konsep lain mengenai metodologi spiritual menuju Tuhan
al-maqomat yang secara paralel berjalan bersama teori al-hal yang bersifat
psiko-gnostik.
Sejak diterimanya secara luas doktrin al-maqomat dan al-hal, perkembangan tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan perbedaan dengan kesalehan asketis, baik dalam tujuan maupun dalam ajaran. Di sisi lain, sejak periode ini kelihatannya untuk menjadi seorang sufi semakin berat dan sulit, hampir sama halnya dengan kelahiran kembali seorang manusia, bahkan jauh lebih berat dari kelahiran pertama. Karena kalau kelahiran pertama justru menyongsong kehidupan duniawi yang mengasyikkan, tetapi pada kelahiran kedua ini, justru melepas dan membuang kehidupan materi yang menyenangkan, untuk kembali ke alam rohaniyah, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut. Sementara itu, pada abad ketiga Abu Yazid al-Bisthomi (w. 260 H.) juga melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana, yakni beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga terjadi penyatuan manusia dengan Tuhan.5
Sejak munculnya doktrin fana dan itihad, terjadilah pergeseran tujuan akhir dari kehidupan spiritual. Kalau mulanya tasawuf bertujuan hanya untuk mencintai dan selalu dekat dengan-Nya sehingga dapat berkomunikasi langsung, maka tujuan itu telah menaik lagi pada tingkat penyatuan diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigma, bahwa manusia secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu melaksanakan transformasi atau transendensi melalui mi’raj spiritual ke alam ilahiyat. Berbarengan dengan itu, terjadi pula sikap pro dan kontra terhadap konsepsi al-ittihad yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik dalam dunia pemikiran Islam, baik intern sufisme maupun dengan teologi dan fiqh. Dua kelompok terakhir menuduh sufisme sebagai gerakan sempalan yang sesat.
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan mulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum ortodoks dengan kelompok sufi berpaham ittihad di pihak lain. Akibat lanjut dari perbenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga hijriyah tampil al-Karraj (w. 277 H.) bersama al-Junaid (w. 297 H.) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan ortodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani dan mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syari’at Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana. Hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’at sebagai suatu lembaga.
Upaya tajdid itu mendapatkan sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma, al Kalabazi dengan al-Ta’arruf li Mazhab Ahl al- tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risalah.6 Sesudah masa ketiga tokoh sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibn Munzir (w. 381 H.) dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi. Gerakan ortodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad kelima hijrah melalui tokoh monumental al-Ghazali (w. 503 H.), dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran umat Islam.
Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu adalah dengan penegasan bahwa ucapan eksatik berasal dari orang arif yang
sedang dalam kondisi sakr atau terkesima, mutlak itu menampakkan diri
dalam citra keterbatasan.7 Paham ini kembali menimbulkan suasana
ketegangan yang sebelumnya pernah meliputi kaum sufi, karena paham ini dipahami sebagai panteisme yang tidak bisa disesuaikan dengan akidah Islam. Agaknya karena itu pula sebagian ulama menuduhnya kafir. Sampai pada segmen kesejahteraan sufi fase keempat ini telah memperlihatkan adanya keterpengaruhan tasawuf dari unsur-unsur di luar Islam, setidaknya di kawasan tertentu telah mulai mempergunakan terminilogi filsafat. Namun, dari sudut pertumbuhan awalnya tetap bercorak Islam. Masalah
6 Ibid., p. 187.
ini penting diingat, karena banyak pendapat yang mengatakan tasawuf merujuk kepada sumber-sumber yang bukan ajaran Islam. Pendapat ini sebenarnya keliru.
Inti ajaran Ibn Arabi yang dikenal dengan sebutan wahdatul wujud
berkembang pula ke mana-mana pada abad ketujuh hijrah, ajaran ini berkembang di Mesir melalui sufi penyair Ibn al-Faridh (w. 633 H.) dan Ibn Saba’in (w. 699 H.) di Andalusia, serta meluas di Persia lewat syair-syair Jalaludin Rumi (w. 672 H.) seperti dinyatakan oleh Ibn Arabi bahwa doktrin wahdatul wujud tidak sama dengan inti ajaran ma’rifat. Menurut ajaran ini, Tuhan sebagai esensi mutlak yang menurut al-Ghazali dapat dikenal tidak mungkin dikenal oleh siapapun, walau oleh Nabi sekalipun. Menurut Ibn Arabi, Tuhan sebagai dzat mutlak hanya bisa dikenal melalui nama dan sifat-sifat-Nya yang mutlak itu. Unsur-unsur ajaran ini, sebenarnya sudah ditemukan dalam konsep tasawuf Abu Yazid al-Busthomi dan Hallaj, tetapi dalam bentuk yang sempurna ditemukan pertama kali di dunia Islam dalam tulisan Ibn Arabi.
Dari uraian ringkas di atas terlihat bahwa lima ciri arau karakteristik tasawuf yang dikemukakan terdahulu, ternyata tidak pernah tampil secara utuh pada satu fase dan di semua kawasan. Barangkali, kemunculan tasawuf yang hampir utuh dengan kelima cirinya itu hanyalah pada abad ketiga hijriah, periode di mana tasawuf mengikat menjadi ilmu tentang moralitas. Fase kejayaan dan kematangan tasawuf berlangsung sampai abad ketujuh hijiriah, sebab sejak abad kedelapan nampaknya tasawuf mulai mengalami kemunduran dan bahkan stagnasi karena sejak abad ini tidak ada lagi konsep-konsep tasawuf yang baru. Yang tertinggal hanyalah sekedar komentar-komentar dan resensi-resensi terhadap karya-karya lama.
Di sisi lain, para pengikut tasawuf sudah lebih cenderung kepada penekanan perhatian terhadap berbagai bentuk ritus dan formalisme yang tidak terdapat dalam substansi ajaran. Kemandekan tasawuf sebagai ilmu moralitas nampaknya seiring dengan situasi global yang menyelimuti dunia pemikiran Islam pada masa itu. Perkembangan tasawuf selanjutnya sudah berganti baju, yaitu dalam bentuk tarikat sufi, yang lebih menonjolkan perkembangan pada aspek substansi ajarannya. Namun bagaimanapun, tasawuf bukanlah ilmu yang statis dan penampilannya adalah dalam cara-cara tertentu yang mencerminkan masanya. Dalam tulisan Abdul Karim al-Jili (w. 832 H.) dalam bukunya al-Insan al-Kamil yang cukup popular di Indonesia sekitar abad keenam belas masehi, ternyata ajarannya sudah mengalami perubahan-perubahan tertentu, dan yang menjadi persoalan dalam tulisan ini adalah corak tasawuf setelah berkembang di Indonesia?
B.Tasawuf Masuk ke Indonesia
Banyak sarjana yang mengungkapkan bahwa tersebarnya Islam di Indonesia tidak terlepas dari pendekatan tasawuf. Sarjana yang dimaksud adalah tokoh-tokoh yang meneliti perkembangan Islam berhubungan dengan pendekatan tasawuf. Mereka antara lain: A. H. Johns. Dalam teorinya, A. H. Johns mengakui bahwa Islam datang ke Indonesia kecil sekali kemungkinannya dilakukan dengan pendekatan dagang. Ia mengajukan teori bahwa para sufi pengembaralah yang telah berhasil melakukan penyiaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil mengislamkan sejumlah besar penduduk Nusantara setidaknya sejak Abad ke-13. Faktor utama keberhasilan itu adalah kemampuan sufi mengajukan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, daripada perubahan dalam kepercayaan dan praktik agama lokal.
Teori ini juga didasarkan pada referensi-referensi lokal yang mengaitkan pengenalan Islam kekawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental, misalkan kesukarelaan hidup dalam kemiskinan dan membawa tarekat yang mereka anut. Johns berkesimpulan, sebelum para sufi menyebarkan Islam, maka Islam belum dapat menancapkan akarnya yang kuat di Nusantara. Ia mencatat setelah kelanjutan kekhalifahan Baghdad ke tangan Mongol pada 656/1258, kaum sufi memerankan perananya dalam memelihara keutuhan dunia Muslim. Pada masa inilah, tarekat sufi secara bertahap menjadi instuisi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan apliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan (thawa’if), yang turut membentuk masyarakat urban.
Tokoh lain yang melihat pentingnya pendekatan tasawuf dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah Uka Tjandrasasmita. Menurutnya, sejak abad ke-13, penyebaran Islam di Indonesia melalui tasawuf termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia, karena sifat sfesifik tasawuf yang memudahkan penerimaan masyarakat yang belum Islam kepada lingkunganya. H.A.R. Gibb mengatakan bahwa penyebaran Islam yang spektakuler di negara-negara Asia Tenggara adalah berkat sikap sufi yang dalam banyak hal cenderung kompromis dengan adat istiadat dan tradisi kebudayaan setempat. Di samping itu juga, dicatat bahwa faktor lain yang memudahkan tugas para da’i sufi adalah bahwa orang-orang Indonesia sendiri memiliki kecenderungan spiritualitas yang tinggi.
Aplikasi ini memungkinkan para guru dan murid sufi memperoleh sarana pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat dunia
Muslim ke wilayah periferi, membawa ajaran Islam melintasi batas-batas bahasa, dan mempercepat ekspansi Islam. Dengan latar belakang semacam inilah, maka sumber-sumber lokal memberi informasi tentang kedatangan berbagai syeikh, sayyid, makhdum, guru dan semacamnya dari Timur Tengah atau tempat-tempat lain kewilayah-wilayah mereka.
Teori sufi di atas cukup beralasan, hal ini bisa dilihat, mengapa pemikiran keislaman yang berkembang di Aceh pada Abad ke-17-18 lebih berbau pemikiran tasawuf. Bahkan kebanyakan di seluruh Nusantara sampai sekarang dipelajari kitab-kitab tasawuf. Di samping itu, acara-acara tahlilan, syukuran, ratiban, marhaban, sakaten, dan yang lainnya banyak dipraktikkan di beberapa wilayah di Indonesia. Acara-acara ini cenderung mengikuti tradisi kesufian dan ketarekatan yang ditinggalkan oleh tokoh sufi terdahulu.
Menurut Reynold A.Nicholson, kata mistik berasal dari agama Yunani, yang kemudian merembes ke dalam kepustakaan Eropa; dan ke dalam bahasa-bahasa Arab, Persia dan Turki, yang merupakan bahasa utama dalam Islam disebut dengan istilah sufi. Istilah ini sedikit berbeda makna, karena istilah sufi memiliki konotasi religius yang lebih khusus dan biasa digunakan secara terbatas hanya untuk menyebut mistik bagi para penganut ajaran Islam. Kata dalam bahasa Arab tersebut, meskipun ketika memperkenalkan pertama kalinya harus berhadapan dengan istilah Yunani yang untuk mengucapkanya, lidah terselubungi oleh misteri suci, mata tertutup, dengan pandangan yang memukau, namun ternyata mengandung
makna yang lebih luhur dan memancarkan kebersahajaan.8
Secara umum, sufi adalah filsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah.9
Meskipun tasawuf sudah begitu terkenal, namun bersamaan dengan itu, pengertian pada kata ini masih kabur dalam makna yang beragam, ada kalanya malah bertentangan. Ini disebabkan karena tasawuf atau mistisisme telah menjadi milik bersama berbagai agama, filsafat dan kebudayaan dalam berbagai kurun waktu.
Bertrand Russel menerangkan bahwa di antara para filosof pun ada yang mampu memadukan kecenderungan mistis dan kecenderungan intelektual. Menurutnya, perpaduan kedua kecenderungan itu merupakan pendakian akal, sehingga orang yang melakukannya pun dipandang sebagai filosof dalam pengertian yang sebenarnya. Para filosof
8 R.A. Nicholson, The Mistic of Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1974), hlm. 3.
9 Abu al-Wafa’ al-Taftazani, Madkhal Ila Tasawuf al-Islam, (Cairo: Dar al-Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979), p. 3.
memerlukan ilmu pengetahuan dan mistisisme, sebab intuisi mistis adalah semacam pemberian ilham dari berbagai problema besar yang terdapat pada setiap manusia, sebagai contoh tokoh-tokohnya ia menyebut: Heraclitus, Plato dan Paramenides.10
Tasawuf, seperti kata Reynold A.Nicholson, merupakan salah satu unsur yang vital dalam Islam sehingga tanpa adanya pemahaman dari gagasan dan bentuk-bentuk sufistik yang mereka kembangkan, sangat susah ditelusuri kehidupan keagamaan Muhammad yang tampak di
permukaanya saja.11 Titus Burckhardt mengatakan bahwa tasawuf sebagai
sesuatu yang ditambah-tambahkan kepada Islam, karena yang demikian akan bersifat sesuatu yang bersifat pinggiran (pheriferal) dengan hubunganya dengan sarana-sarana rohani Islam.12
Khan Sahib Khaja Khan menegaskan, kalau Islam dipisahkan dari aspek esoterismenya (tasawuf), maka ia hanya menjadi rangka formalitas saja yang akhirnya akan menghilangkan keindahan Islam itu sendiri.13
Menurut Max Weber, citra umum tasawuf yang dimiliki Islam melahirkan pertanyaan tentang hidup yang secara sufi berarti ”melepaskan diri dari dunia”? Menurutnya, orang-orang sufi memang mempunyai orientasi ke arah dunia lain, bukan dunia sekarang ini, inilah yang disebut asketisme yang mendunia. Jawaban terhadap pertanyaan ini secara implisit dapat diambil dari peryataan Nasr pada uraianya tentang kedudukan tasawuf dalam Islam. Antara lain dia mengatakan bahwa tasawuf serupa dengan nafas yang memberikan hidup. Tasawuf telah memberikan semangatnya kepada struktur Islam, baik dalam perwujudan sosial maupun intelektual.14
Ibrahim Madkur dengan nada antusias mengungkapkan bahwa tasawuf adalah hubungan perimbangan antara kecederungan duniawi dan ukhrawi. Islam katanya, tidak melapangkan dada bagi kependetaan Masehi dan kesederhanaan Hindu. Islam selalu mengajak berkarya demi meraih dunia
dan menikmati segala kenikmatan hidup yang memang diperbolehkan.15
Tasawuf, menurut Abu al-Wafa’ al-Taftanzani, tidak berarti suatu tindak pelarian dari kenyataan hidup sebagaimana telah dituduhkan kepada mereka yang anti, tetapi ia adalah yang akan mensenjatai diri
10 Bertrand Russell, Mysticism and Logic, (New York: The Modern Library, 1927), pp. 16-55.
11 R.A. Nicholson, Studies in Islamic Mysticim, (London: University Press, 1921), p. vi.
12 Titus Burckhard, An Introduction to Sufi Doctrine, (Lahore: t.p., 1973), pp. 4-5. 13 Khan Sahib Khaja Khan, Studies in Tasawuf, (New Delhi: Darah-i Adabiyat-i, 1978), pp. ix-x.
14 Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), p. 11.
(manusia) dengan nilai-nilai rohaniah baru yang akan menegakkannya saat menghadapi kehidupan untuk merealisasikan keseimbangan jiwa, sehingga timbul kemampuanya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup.16
Dalam tasawuf, terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mampu menumbuhkan perkembangan masa depan masyarakat. Antara lain manusia dituntut selalu mawas diri demi meluruskan kesalahan-kesalahan serta menyempurnakan keutamaan-keutamaanya. Bahkan tasawuf mendorong wawasan hidup menjadi moderat. Ia juga membuat manusia tidak terjerat hawa nafsunya ataupun lupa pada diri dan Tuhannya, yang akan membuatnya terjerumus dalam penderitaan yang amat berat. Dalam tasawuf, diajarkan bahwa kehidupan ini adalah sekedar sarana, bukan tujuan; dan hendaklah seseorang sekedar mengambil apa yang diperlukannya serta jangan terperangkap dalam perbudakan cinta harta ataupun pangkat; dan hendaklah tidak menyombongkan diri pada orang lain. Dengan semua itu, barulah manusia dapat sepenuhnya bebas dari nafsu dan syahwatnya.17
Ibrahim Hilal mendefinisikan tasawuf sebagai memilih jalan hidup secara zuhud, menjauhkan diri dari segala perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu adalah bermacam-macam ibadah, wird dan lapar, berjaga di waktu malam dengan memperbanyak sholat dan wirid, sehingga lemahnya unsur jasmaniyah dalam diri seseorang dan semakin kuatnya unsur rohaniyahnya. Tasawuf dengan kata lain, menundukkan rohani dengan jalan yang disebutkan di atas sebagai usaha mencapai hakikat kesempurnaan rohani dan mengenal zat Tuhan dengan segala kesempurnaanya.18
Ibrahim Basyuni telah memilih 40 defenisi tasawuf yang diambil dari rumusan-rumusan ahli sufi yang hidup pada abad III, yaitu antara tahun 200-334 H. Meskipun demikian, banyaknya defenisi tersebut belumlah mendapat sebuah definisi yang mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Hal ini, kata Basyuni, disebabkan karena para ahli tasawuf tidak ada memberikan definisi tentang ilmunya sebagaimana para ahli filsafat. Ahli tasawuf hanya mengambarkan tentang suatu keadaan yang dialaminya dalam kehidupan rohaninya pada waktu tertentu.
16 Abu al-Wafa' Al-Taftazani, Madkhal, p. 7. 17 Ibid.
18 Ibrahim Hilal, Al-Tasawuf al-Islami Baina al-Falsafah, (Cairo: Dar Nahdiah al-‘Arabiah, 1979), p. 1.
C.Corak Tasawuf Indonesia
Tujuan mempelajari tasawuf pada dasarnya adalah mengajarkan cara menyembah Tuhan dalam suatu kesadaran penuh dan merasa berada di dekat-Nya sehingga dapat melihat-Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi manusia dan manusia senantiasa berdiri di hadapan-Nya.19 Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di dalam sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Tasawuf secara umum merupakan falsafah hidup, yaitu tingkah laku
manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral,
pemahaman tentang hakikat realitas dan kebahagiaan rohaniah. Meskipun tasawuf sudah begitu terkenal namun bersamaan dengan hal itu pengertian terhadap hal ini kabur dalam beragam makna yang kadang-kadang bertentangan. Hal ini terjadi karena tasawuf telah menjadi semacam milik bersama berbagai agama, filsafat, dan kebudayaan dalam berbagai kurun waktu yang masa. Dalam kenyataanya, setiap sufi selalu berusaha mengungkapkan pengalamanya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat. Dari sini, seorang sufi dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengalaman para sufi adalah sama. Perbedaan di antara mereka hanyalah karena ketidaksamaan interpretasi atas pengalaman itu sendiri, karena pengaruh kebudayan pada masa seorang sufi berafiliasi. Menurut berbagai pandangan, terdapat dua bentuk tasawuf:
1. Bercorak religius. Tasawuf relegius adalah semacam gejala yang sama dalam semua agama baik dalam agama langit dan agama bumi. Tasawuf religius adakalanya terpadu dengan filsafat. Hal ini dapat dilihat pada beberapa sufi Muslim atau banyak mistikus Kristen. Karena itu, pada diri seorang terjadi perpaduan antara kencenderungan intelektual dan kecenderungan mistis dan hal itu adalah suatu yang tidak asing.
2. Bercorak filosofis. Tasawuf sejak lama telah dikenal di Timur sebagai warisan filsafat orang-orang Yunani. Di Eropa modern yang mempunyai kecenderungan mistik ialah Bradley di Inggris dan Bergeson di Perancis.
Bertrand Russel dalam bukunya Mistiscism and Logic, mengatakan bahwa di antara para filosof ada yang mampu memadukan kecenderungan
19 Nurcholis Madjid, “Pasantern dan Tasawuf”, dalam Pasantren dan Pembangunan, (Jakarta: LP3ES, 1985), p. 98.
mistis dan intelektual. Menurutnya, pemaduan mistis dan intelektual merupakan pendakian akal, sehingga orang yang mampu melakukannya dipandang sebagai seorang filosof dalam pengertian sebenar-benarnya. Para tokoh besar filosof sangat memerlukannya, baik itu ilmu pengetahuan maupun mistisisme, sebab intuisi mistis adalah semacam pemberi ilham bagi berbagai problem besar yang terdapat pada setiap manusia.
Berbeda dengan ragam tasawuf yang berkembang di Indonesia. Tasawuf oleh kaum Orientalis Barat disebut sufisme, dalam istilah Orientalis khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Tasawuf mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dengan Allah, sehingga seseorang berada di hadirat Allah. Intisarinya merupakan kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah. Kesadaran berada dekat dengan Allah dapat mengambil bentuk ittihad yaitu bersatu dengan Allah s.w.t.
Harun Nasution menggambarkan bahwa orang sufi adalah orang
yang rela mencurahkan jiwa raganya hanya untuk Allah.20 Ia
menambahkan bahwa aliran tasawuf dapat juga berakibat baik dan berakibat sesat. Baik dan sesat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Aliran tasawuf adakalanya membawa orang jadi sesat, dan musyrik bila
seseorang bertasawuf tanpa bertauhid dan bersyariat. Tauhid menimbulkan Iman. Syariat menimbulkan taat. Dengan tauhid dapat mengetahui bahwa Allah itu ada. Dengan syariat dapat menuruti peraturan-peraturan dalam ibadat. Tasawuf dapat merasa dan mengenal Allah, untuk siapa dipersembahkan amal ibadat ini.
2. Aliran tasawuf dapat juga membawa orang jadi fanatik buta. Dia menganggap bahwa wali-wali itu lebih mulia dari Rasulullah. Orang-orang miring otaknya disangka wali. SeOrang-orang sufi, bila memulai menyatukan ingat (tawajjuh) dalam berzikir atau beribadah, lebih dahulu menghubungkan diri dengan guru tarekatnya. Hal ini sangat bertentangan dangan ajaran Islam, sebab menyembah Allah tidak boleh berperentara.
3. Aliran tasawuf juga merupakan dasar pokok kekuatan batin, pembersih
jiwa, memupuk iman, penyubur amal shaleh semata-mata mencari keridhaan Allah, memperkuat daya juang dalam latihan jiwa dan kunci untuk mengenal Allah.
4. Aliran tasawuf dapat juga membina tata hidup dan penghidupan atas dasar-dasar tauhid, maka Islam dapat lebih mampu membangun
20 Harun Nasution, Falsafat dan Misitis Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), pp. 56-57.
kemajuan dunia untuk kebahagian umat manusia di dunia dan di akhirat.
Jika dilihat lebih dalam, tasawuf mempunyai segi-segi perbedaan yang sangat mendasar perkembangannya di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk mendekati makna itu, tasawuf diharapkan dapat menjelaskan secara utuh dan menyeluruh. Misteri tasawuf di Indonesia memang tidak jauh berbeda. Karena sama-sama berasal dari Islam. Namun demikian, berbeda jika dibandingkan dengan tasawuf di luar Indonesia. Dalam arti luas, tasawuf sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal yang disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.21
Demikian pula dengan konsep-konsep tasawuf di Indonesia khususnya di Aceh abad ketujuh belas masehi sebagaimana terlihat dalam tasawuf Raniri, adalah pemaduan antara tasawuf Ghazali dengan al-Fansyuri, atau antara paham wahdatul wujud dengan transendentalisme. Hal ini berarti, tasawuf selalu dalam kesejahteraannya, karena memang ia bersifat dinamik, bukan statis. Akan tetapi satu hal perlu diingat, bahwa tidak setiap orang yang mengerti tasawuf dapat disebut sufi, karena seseorang tidak mungkin dapat disebut sufi, kalau ia tidak benar-benar memahami dan merasakan apa yang dilihat dan dirasakan oleh seorang sufi dalam mi’raj spritualnya. Menjadi seorang sufi berati menjadikan ajaran itu sebagai penggerak hidupnya, it is to become and not to learn second
hand. Manusia sempurna adalah idola sufi, manusia yang telah dapat
melepaskan ke-aku-annya sehingga ia adalah cermin yang merefleksi setiap aspek Realitas Absolut.
Berdasarkan penjelasan di atas, tasawuf berkembang di Indonesia terkelompok kepada tiga aliran induk, yaitu: tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spiritual dalam beribadah,
dan tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisik. Apabila tasawuf
diartikan sebagai upaya agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, maka tasawuf dapat dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau ”jarak” antara manusia dengan Tuhan, maka muncullah apa yang disebut tasawuf transendentalisme, dan tasawuf union mistisisme. Aliran pertama masih memberikan garis pemisah atau pembeda antara manusia dan Tuhan, sedangkan aliran kedua berpendapat bahwa garis pemisah itu dapat dihilangkan sehingga manusia dapat mengenal dengan Tuhan karena ada kesamaan esensi antara keduanya.
21 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), pp. 1-2.
Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf Syi’i dan tipe pertama di sebut tasawuf Sunni penggolongan ini didasarkan kepada sumber atau landasan ajaran tasawuf itu. Apabila konsepnya dipandang telah
menyimpang dari prinsip-prinsip Islam,22 maka ia dikelompokkan kepada
tasawuf Syi’i. Sebaliknya, apabila ajaran tasawuf itu masih berada dalam garis-garis Islam dikelompokkan ke dalam tasawuf Sunni, dan corak terakhir yang mewarnai tasawuf yang berkembang di Indonesia.
Alternatif ketiga dalam upaya pembidangan tasawuf dapat ditempuh melalui pendekatan geografis, yaitu melihat daerah asal munculnya tasawuf itu. Berdasarkan pendekatan ini, tasawuf dapat dicirikan kepada aliran Khurasan atau Persia yang didominasi konsep al-fana ajaran Abu Yazid al-Busthami dan tasawuf aliran Mesopotamia atau Iraq yang bermula dari ajaran al-Junaidi dan kemudian diperluas oleh al-Ghazali.23 Tetapi ternyata Fazlur Rahman—cendekiawan Muslim kontemporer—menempatkan tarekat sebagai aliran atau orde tasawuf 24 Kesimpulan Rahman itu dapat
diterima apabila tarekat diartikan sebagai metode, tetapi kalau tarekat dimaksudkan sebagai lembaga, maka pendapat ini masih perlu di pertanyakan atau diteliti lebih lanjut.
Dalam ilmu tasawuf, terminologi tarekat tidak hanya berarti sebagai metode tertentu atau jalan yang dapat mengantarkan seseorang agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, tetapi ia juga bermakna segenap ajaran Islam adalah tarekat menuju perjumpaan dengan Tuhan. Dengan kata lain, tarekat dalam terminologi tasawuf adalah gaya yang ditempuh seorang sufi dalam memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh aspek ajaran Islam agar ia selalu berada dekat dengan Tuhan, keberadaan ini akan mendatangkan kepuasan spiritual yang tidak terucapkan. Tarekat sebagai lembaga atau pranata keagamaan adalah suatu sistem atau satu jalinan yang integral dari berbagai unsur.
Unsur-unsur dimaksud tidak berbeda jauh dari apa yang terdapat dalam sistem pendidikan formal: kecuali dalam hal kurikulum atau silabusnya serta metode belajar-mengajar yang dianut dan seluruhnya bersumber dari kiprah seorang guru tasawuf. Yang dimaksud dengan
22Adanya anggapan bahwa kesatuan wujud sudah menyimpang dari ajaran Islam, umumnya berasal dari ulama Ahlusunnah dan kelompok tasawuf Sunni, yang hampir dalam segala hal berbeda pendapat dengan kaum Syi’ah. Oleh karena itu, nampaknya anggapan itu ada hubungannya dengan sikap anti Syiah itu, Sebab dalam kenyataannya penganut paham kesatuan wujud adalah pengikut Syi’ah. Ini pulalah salah satu alasan utama mengapa tasawuf yang berpaham kesatuan wujud disebut juga tasawuf Syi’i di samping tasawuf filsafi yang identik dengan tasawuf yang sesat
23 J.S. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (London: Oxford University Press, 1971), p. 31.
kiprah adalah kristalisasi dari pemahaman, penghayatan, pengamalan, dan pengalaman seorang guru tasawuf dalam mengajarkan tasawuf kepada peserta didiknya. Kiprah seorang syeikh sufi merupakan trade merk bagi suatu tarekat dan hak patennya mutlak milik guru tasawuf itu.
Dengan demikian, maka unsur kiprah syeikh sufi sangat dominan dalam kelembagaan tarekat sehingga penamaannya didasarkan pada nama penemu sistem itu dan ia disebut syeikh tarekat. Tumbuhnya berbagai nama tarekat di berbagai kawasan adalah akibat logis dari tingginya otoritas syekh dalam lembaga tarekat. Sebab setiap alumnus yang memperoleh sertifikat guru yang disebut khalifah membuka padepokan di daerah yang berbeda dengan nama yang berbeda pula (sesuai dengan nama pendirinya). Dalam kenyataan, dapat dilihat betapa banyaknya nama-nama tarekat yang pada mulanya hanya ada dua induk, yaitu dari Mesopotamia dan Khurasan.25 Berdasarkan kode etik keilmuan dan penyajian yang lebih bersifat akademik, maka penulis membedakan tasawuf kepada dua aliran, yaitu tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafi, karena tulisan ini tidak bermaksud mengadakan penilaian secara normatif terhadap konsep-konsep tasawuf yang ada.
D. Penutup
Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf Sunni dengan tasawuf Falsafi, ditemukan sejumlah persamaan yang prinsipil di samping perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari al-Quran dan Sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsisten. Memang semua sufi—yang benar-benar sufi—dari aliran manapun, adalah orang-orang yang zahid dan ‘abid
serta mementingkan kesucian rohani dan moralitas. Demikian juga dalam proses perjalanan menuju arah yang ingin dicapai, kedua aliran ini sama-sama berjalan pada prinsip-prinsip al-maqomat dan al-ahwal. Perbedaan yang jelas di antara kedua aliran ini nampaknya terletak pada tujuan "antara" yakni maqom tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi, sedangkan pada aspek tujuan akhirnya, kedua aliran tersebut sama-sama ingin memperoleh kebahagiaan yang bersifat spiritual. Yang dimaksud dengan tujuan “antara”adalah terciptanya komunikasi langsung antara sufi dengan Tuhan dalam posisi seakan-akan tidak ada jarak lagi antara keduanya.
Dalam memberi makna terhadap posisi “dekat tanpa jarak” inilah terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini. Tasawuf Sunni berpendapat bahwa antara makhluk dengan Khaliq tetap ada jarak yang tidak terjembatani sehingga tidak mungkin tumbuh karena keduanya tidak
seesensi. Lain halnya dengan tasawuf Falsafi, dengan tegas mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia tercipta dari esensi-Nya. Oleh karenanya, keduanya dapat berpadu apabila kondisi untuk itu telah tercipta.
Untuk lebih memperjelas pengertian tentang tasawuf sebagai ilmu kerohanian maupun sebagai mistisisme dalam Islam nampaknya masih perlu dilihat dari tipe-tipenya atau mazhab-mazhab tasawuf. Apabila merujuk pada literatur tasawuf yang berasal dari Timur Tengah, ternyata masih ditemui keragaman pola yang ditempuh untuk menentukan aliran-aliran tasawuf, karena terjadinya keragaman itu bermula dari perbedaan dasar pengklasifikasiannya. Salah satu cara yang telah dilakukan adalah berdasarkan objek, dan sasaran dari tasawuf itu.
Nampaknya, terjadinya perbedaan itu bersumber dari perbedaan kecenderungan dan minat terhadap pemikiran-pemikiran spekulatif filsafat. Tasawuf Sunni kurang memperhatikan ide-ide spekulatif karena
mereka sudah merasa puas dengan argumentasi yang bersifat naqli
agamawi. Barangkali karena sikap ortodoksi dan kesederhanaan berpikir kelompok ini, kehadirannya dapat diterima oleh umumnya ulama Ahlus Sunnah, hal ini menjadi salah satu sebab penamaan aliran ini dengan tasawuf Sunni. Apabila dilihat dari aspek materi kajian dan proses
pencapaian sasaran antara, tasawuf Sunni dapat dibedakan kepada tasawuf
akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi ketiga corak inilah yang
Daftar Pustaka
’Arabi, Ibn, Fusus al-Hikam, edisi syekh Abd Razaq al-Kasyani, Cairo: Mustafa al-babi al-Halabi wa auladih, t.t.
_______, Futuhat al-Makkiyah, Vol 1, Kairo: t.p., 1977.
al-Gazali, Imam, Mukasyafah al-Qulub, Cairo: Abdul Hamid Ahmad Hanafi,
t.t.
al-Gazali, Muhammad, Khuluq al-Muslim, Kuwait: Dar al-Bayan, 1970. al-Jilli, Abd al-Karim, Al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail,
Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
al-Qusyairi, al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, Kairo: Jannati Ta'lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1956.
al-Taftazani, Abu al-Wafa’, Madkhal Ila Tasawuf al-Islam, Cairo: Dar al-Saqafah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1979.
al-Tusi, Abu Nasr al-Sarraj, Al-luma’, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960.
Arberry, A.J., Sufism, An Account of The Mystics of Islam, London: Unwin Paper Backs, 1979.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1994.
Badi, Luthfi ‘Abd, Islam fi Isbaniya, Cairo: al-Nahdah al-Misriyah, 1996. Burckhard, Titus, An Introduction to Sufi Doctrine, trans. By D.M. Matheson,
Lahore: SH. Muhammad Asharf, 1973.
Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1979). Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurnianya, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984.
Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al- Islam, Juz I, Cairo: Maktab Nahdah al-Misriah, 1979.
Hilal, Ibrahim, al-Tasawuf al-Islami Baina al-Falsafah, Cairo: Dar Nahdiah al-‘Arabiah, 1979.
James Hastings, ED.,”Mysticism” dalam encylopaedia of relegion and ethics, vol. IX, New York: Charles Scribner’s, t.t.
James, William, TheVarieties of Religious Experience, New York: The New American Library, 1958.
Khaja Khan, Khan Sahib, Studies in Tasawuf, New Delhi: Darah-i Adabiyat-i, 1978.
Lewis, B., et.al (Eds.), The Encyclopedia of Islam, vol. III, Leiden: E.J. Brill, 1971.
Madjid, Nurcholis, “Pasantren dan Tasawuf”, Pesantren dan Pembangunan,
Jakarta: LP3ES, 1985.
Madkur, Ibrahim, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, I, Cairo: Dar al-Ma’arif, 1976. Nasr, Sayyid Husein, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM.,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Nasution, Harun, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Nicholson, R.A., Studies in Islamic Mysticism, London: University Press, 1921.
_______, The Mistic of Islam, London: Routledge and Kegan Paul, 1974. Russell, Bertrand, Mysticism and Logic, New York: the Modern Library,
1927.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, et.al., Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Solihin, KamusTasawuf, Pengantar: Ahmad Tafsir, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002.
Syarif, Muhammad Jalal, al-Tasawuf al-Islami Wamadarisuhu, Iskandariah: Dar Matba’ah Al- Jamiah, 1974.
Trimingham, J.S., The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press, 1971.