• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III NAHDLATUL ULAMA (NU), KEBERADAAN MUSLIMAT

B. Sejarah Lahir, Tujuan, dan Sikap Muslimat NU

Secara historis perjuangan kaum perempuan sudah dimulai dari era kolonial. Kesetaraan perempuan dalam bidang pekerjaan sudah teraktualisasikan di masyarakat jawa sejak dulu, sebagaimana kaum perempuan jawa bebas bertani di sawah, bakulan di pasar maupun mengenyam pendidikan.22 Fenomena ini menunjukkan adanya kebebasan perempuan dalam mengaktualisasikan diri di ranah publik. Namun secara mendalam kaum perempuan masih terdeskriditkan dengan budaya patriarki jawa yang memaksakan perempuan untuk tetap berada dibawah laki-laki.

20

Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 428.

21

Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, h. 429.

22Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa,” jurnal ilmu sosial dan ilmu politik 7 (Maret 2004): h. 283-284.

41

Budaya patriarki yang disebut sebagai konco wingking dalam jurnal perempuan yang ditulis oleh Muhadjir Darwin menunjukkan bahwa perempuan Indonesia belum terbebas dari ketimpangan gender. Pengaruh distribusi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dengan latar belakang budaya ini juga pernah dialami oleh R.A. Kartini. Sebagai simbol pejuang perempuan, Kartini juga tepat sebagai contoh dari ketidak berdayaan perempuan melawan budaya patriaki, karena ia sendiri menyerah ketika dilarang oleh ayahnya untuk sekolah ke Belanda dan dipaksa menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Bahkan perempuan yang memiliki kesemptan bekerja pun belum terbebas dari diskriminasi baik diskriminasi upah, pelecehan maupaun kekerasan di tempat kerja.23 Kenyataan seperti ini kemudian menjadi alasan perjuangan perempuan dalam mendapatkan hak-haknya dari masa ke masa bahkan hingga Indonesia mencapai puncak kemerdekaannya.

Pada era kemerdekaan organisasi perempuan sudah semakin banyak. Kesadaran perempuan akan hak-haknya dari hak bersosial hingga hak untuk berpolitik yang kemudian menjadi sorotan penting di era kemerdekaan hingga reformasi semakin luas. Perjuangan perempuan di panggung politik sendiri sudah dimulai sejak organsisai perempuan dalam kongres umum ke 3 KPI (Kongres Perempuan Indonesia) berusaha mendudukan Maria Ulfah dalam perwakilan Volksraad, meskipun usaha tersebut belum berhasil. Namun kekecewaan itu terbayar dengan terpilihnya Rasuna Said menjadi anggota Volksraad dan SK

42

Timurti terpilih menjadi anggota BPUPKI.24 Keberhasilan Rasuna Said dan SK Timurti menunjukkan bahwa pengakuan hak perempuan dalam bernegara menjadi semakin jelas.

Perjuangan organisasi perempuan semkain sulit, bahkan lebih sulit dari era penjajahan yang sudah jelas melawan musuh yang dapat terlihat secara fisik. Perjuangan perempuan di era kemerdekaan adalah kesamaan hak politik serta diskriminasi pembagian peran yang tidak adil antara laki-laki dengan perempuan.25 Melalui latar belakang persoalan yang seperti ini kemudian kaum perempuan mulai banyak yang tergugah untuk ikut memperjuangkan haknya, salah satu organisasi yang muncul kemudian ialah Muslimat NU.

Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) merupakan Badan Otonom dari organisasi NU.26 Muslimat NU merupakan organisai sosial keagamaan yang menaungi kaum perempuan dengan harapan untuk menyalurkan aspirasi perempuan NU. Kelahiran Muslimat dapat dikatakan sebagai hasil dari perjuangan kaum perempuan NU di era kemerdekaan.

Sebelumnya, kelahiran NU pada 31 Januari 1926 hanya diisi oleh kaum laki-laki. Sedangkan kaum perempuan pada saat itu masih dianggap belum perlu untuk masuk dalam organisasi atas dasar kultur patriarki jawa yang menganggap perempuan hanya konco wingking saja. Kemudian seiring berjalannya waktu terjadi polarisasi pemikiran tentang pentingnya kaum perempuan di dalam

24Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 286.

25Muhadjir Darwin, “Gerakan Perempuan di Indonesia,” h. 287.

26

PP Muslimat NU, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU, (Jakarta: PP Muslimat NU, 2012), h. 3.

43

organisasi, sehingga beberapa kaum perempuan mulai menyadari akan perannya dalam relasi publik.

Menjawab persoalan perempuan di era kemerdekaan serta pentingnya kaum perempuan dalam badan NU, maka pada Kongres NU di Menes, Pandeglang – Jawa Barat tahun 1938 menjadi Kongres NU pertama yang mempersilahkan seorang muslimat untuk tampil di atas podium dan membicarakan mengenai pentingnya kaum perempuan untuk mendapat pendidikan agama yang sama seperti apa yang diperoleh oleh kaum laki-laik.27 Nyi R. Djunaisih atas nama Muslimat menjelaskan dalam pidatonya bahwa sesuai dengan azas dan tujuan dari NU untuk mendidik umat Islam ke jurusan agama seluas-luasnya, sedangkan dalam agama Islam bukan saja laki-laki yang harus dididik mengenai soal-soal keagamaan, bahkan kaum perempuan pun harus dan wajib mendapatkan didikan yang sesuai dengan kehendak dan tujuan agama.28 Melalui pidato ini para peserta Kongres merasa mantap dan terkagum-kagum dengan adanya peran perempuan, selain karena pidatonya yang begitu mempesona, beliau juga merupakan Muslimat yang pertama kali naik ke mimbar.

Kongres ke XIII yang diadakan di Menes menjadi Kongres pertama NU yang dihadiri oleh Muslimat sebagai peserta Kongres. Oleh karena itu, di Kongres berikutnya yaitu Kongres ke XIV yang digelar di Magelang pada bulan Juli 1939 kembali dihadiri oleh kaum Muslimat yang mewakili beberapa daerah, antara lain:

1. Wakil dari NU Muslimat Muntilan

27

Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 41-42.

28

44 2. Wakil dari NU Muslimat Sukareja 3. Wakil dari NU Muslimat Kroya 4. Wakil dari NU Muslimat Wonosobo 5. Wakil dari Muslimat Surakarta 6. Wakil dari NU Muslimat Magelang 7. Wakil dari Banatul Arabiyah Magelang 8. Wakil dari Zaharatul Iman Magelang 9. Wakil dari Islamiyah Purworejo

dari jumlah perwakilan Muslimat di atas kemudin diberi ruang untuk berbicara demi menyampaikan saran dan prasarannya.29

Perjuangan kaum Muslimat waktu demi waktu terus berjalan dengan berbagai macam progres. Hingga pada kongres ke XV di Surabaya kehadiran kaum Muslimat lebih banyak lagi dari Kongres sebelumnya. Kemajuan yang ditunjukkan Muslimat saat itu bukan lagi sekedar berperan dalam Kongres, tetapi juga mengadakan rapat tertutup Muslimat yang diadakan pertamakali pada hari Selasa tanggal 10 Desember 1940 bertempat di gedung Madrasah NU Bubutan-Surabaya dengan membahas beberapa hal, diantaranya30: pertama, Pengesahan Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM) oleh kongres NU. Kedua, pengesahan Anggaran Dasar NUM oleh Kongres NU. Ketiga, adanya Pengurus Besar NUM.

Keempat, menetapkan datar pelajaran untuk tingkat Madrasah Banat. Kelima,

rencana penerbitan majalah bulanan NUM. Keenam, bertamasya keliling kota Surabaya pada hari Kamis, tanggal 12 Desember 1940.

29

Saifuddin Zuhri, dkk., Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama, h. 43.

30

45

Setelah beberapa kali Muslimat mengadakan pertemuan tertutup, tepat pada 12-26 Robiul Akhir 1365 atau pada tanggal 26-29 Maret 1946 digelar Kongres NU yang ke 16 bertempat di Purwokerto-Jawa Tengah. Pada Kongres ini kaum Muslimat memenuhi Kogres lebih banyak dari biasanya. Dalam kongres ini merupakan terakhirkalinya Muslimat duduk hanya sebagai peninjau, melalui perjuangan dan kegigihan para Muslimat, dengan suara aklamasi (suara bulat) para utusan Kongres NU menyetujui dan memutuskan bahwa31 :

“Menerima baik usul untuk menjadikan Muslimat sebagai bagian dari NU yang kemudian disahkan dan diresmikan dalam rapat pleno pada tanggal 26 Robiul Akhir 1365 atau tanggal 29 Maret 1946 suatu organisasi Nahdlatul Ulama Muslimat dengan singkatan NUM.”

Dalam putusan ini disahkan pula kepengurusan Muslimat NU yang pertama dengan diketua oleh Ny. Chadidjah Dahlan. Kelahiran Muslimat NU ini tidak lain atas budi baik dari KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Muhamad Dahlan, atas ketekunan dan dorongan merekalah Muslimat dapat berdiri di samping NU.32

Dokumen terkait