• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ANALISIS HUKUM MASTURBASI PERSPEKTIF IBNU HAZM AL-ZÂHIRÎ

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "STUDI ANALISIS HUKUM MASTURBASI PERSPEKTIF IBNU HAZM AL-ZÂHIRÎ"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 1130

STUDI ANALISIS HUKUM MASTURBASI PERSPEKTIF IBNU HAZM AL-ZÂHIRÎ

Arfinus1), Dony Frenki2), Lidiya Fadhlah Mastura3)

1)

IAIN Batusangkar E-mail: [email protected]

2)

IAIN Batusangkar E-mail: [email protected]

3)

IAIN Batusangkar E-mail: [email protected]

Abstract: The increasing prevalence of pornography shows that many teenagers are unable to contain their lust. Masturbation and masturbation are activities that are widely criticized. However, they think that masturbation is better than adultery. Not surprisingly, this behavior is increasingly symptomatic among teenagers. The act of masturbation is considered as one way for them to overcome / avoid direct adultery (having sex). Ibn Hazm Al-Zâhirî one of the scholars of the Zahiri school said that masturbation/masturbation is makruh and not sinful (lā Isma fihi). However, according to him, masturbation/masturbation can be forbidden because it destroys commendable ethics and nobility. Ibn Hazm Al- Zâhirî took the legal argument with one statement that it is permissible for a person to touch his own private parts with his left hand by ijmā' (agreement of all scholars). With that consideration, there is no addition to the mubāh law, except for the intentional release of sperm (at-Ta'ammud li Nuzul al-Maniy) while masturbating. This act is completely forbidden. Because the Word of God in the Qur'an Surah al-An'ām: 119, that Allah has explained what He has forbidden.

While in the Qur'an there is no verse that states the prohibition of masturbation.

Although in terms of moral ethics Ibn Hazm Al-Zâhirî also considers masturbation as an act that is not commendable.

Keywords: Law, Masturbation, Ibn Hazm Al-Zâhirî

Abstrak: Semakin maraknya tayangan pornografi membuat banyak remaja yang tak kuasa menahan nafsunya. Onani dan Masturbasi memang aktivitas yang banyak dicela. Akan tetapi mereka menganggap bahwa onani itu lebih baik daripada zina. Tak heran jika perilaku ini kian menggejala di kalangan remaja.

Perbuatan masturbasi tersebut di anggap sebagai salah satu cara bagi mereka untuk mengatasi/ menghindari dari perbuatan zina secara langsung (berhubungan badan). Ibnu Hazm Al-Zâhirî salah satu ulama dari mazhab zahiri mengatakan bahwa onani/masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa (lā Isma fihi).

Akan tetapi, menurutnya onani/masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibnu Hazm Al-Zâhirî mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma (at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy) sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena Firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-An’ām: 119, bahwa Allah telah menjelaskan apa yang diharamkan-Nya. Sementara dalam al- Qur’an tidak ditemukan ayat yang menyatakan tentang keharaman dari perbuatan

(2)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 1131

masturbasi. Walaupun dari segi etika moral Ibnu Hazm Al-Zâhirî juga menganggap masturbasi sebagai perbuatan yang tidak terpuji.

Kata Kunci: Hukum, Masturbasi, Ibnu Hazm Al-Zâhirî

PENDAHULUAN

Pergaulan hidup manusia diatur oleh pelbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tenteram. Di dalam pergaulan hidup tersebut, manusia mendapatkan pengalaman-pengalaman tentang bagaimana memenuhi kebutuhan- kebutuhan pokok yang antara lain mencakup sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang, dan kasih sayang. Pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif maupun negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan harus dianuti, dan mana yang buruk dan harus dihindari. Sistem nilai-nilai tersebut sangat berpengaruh terhadap pola-pola berpikir manusia, hal mana merupakan suatu pedoman mental baginya (Soekanto, 2002: 59). Sehingga kadangkala di kalangan remaja khususnya, dalam pergaulan mereka yang sekarang ini cenderung lebih banyak pengaruh dari budaya luar (Barat) tentunya sedikit banyak akan berpengaruh pula baik dalam pola pikir ataupun dalam tingkah laku mereka. Daya berpikir merekapun terkontaminasi oleh tayangan- tayangan hiburan dari berbagai media yang ternyata lebih banyak bernuansa pornografi.

Akibat maraknya tayangan pornografi, banyak remaja yang tak kuasa menahan nafsunya. Sebagian di antara mereka memilih masturbasi atau onani. Mereka menganggap bahwa onani itu lebih baik daripada zina. Tak heran jika perilaku ini kian menggejala di kalangan remaja. Perbuatan masturbasi tersebut di anggap sebagai salah satu cara bagi mereka untuk mengatasi/menghindari oleh Ahmad Thabrani Mas'udi dalam bukunya

"Onani Masalah Anak Muda" menerangkan dalam bab awalnya mengenai hukum onani tersebut yang di dalamnya terdapat pendapat Imām asy-Syāfi’i yang tergabung dalam jumhur Ulama dengan tegas mengharamkan onani dengan berdasarkan firman Allah (Tamimi, 1999: 20), yaitu: dari perbuatan zina secara langsung (berhubungan badan).

Sehingga tindak seksual melalui masturbasi ini sering dilakukan secara rutin oleh kebanyakan pemuda tersebut. Banyak wanita yang lebih suka melakukan masturbasi hingga mencapai orgasme sebelum penetrasi. Masturbasi bukan hanya suatu yang dilakukan untuk menikmati kepuasan sendiri. Bahkan banyak yang merasakan kenikmatan itu tersendiri bila melihat pasangannya melakukan masturbasi. Masturbasi dapat dimanfaatkan untuk menemukan cara bagaimana pasangan mengalami orgasme.

Masturbasi bersama pasangan dapat membuat Anda berdua menjadi lebih dekat bersama pasangan. Pria dan wanita perlu mempelajari bagaiamana memperlakukan organ genital dengan sensitifitas dan kelembutan yang tinggi (al-Ghifari, 2003: 86).

Dalam hal masturbasi ini banyak bermunculan pendapat baik di kalangan ulama, kalangan kedokteran, dan masyarakat pada umumnya. Sehingga sampai sekarangpun masih terjadi pro dan kontra dalam permasalahan aktivitas masturbasi atau onani ini.

Tersebut juga Saleh Tamimi dalam kitabnya Musykilatun fi Tariq Asysyabābi yang diterjemahkan “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al- Mukminun: 5-7).

Di sisi lain riwayat dari Atha', yaitu mazhab Ibnu Hazm yang memakruhkan perbuatan onani. Ibnu Hazm Al-Zâhirî dalam kitabnya "al- Muhalla" memberikan pendapatnya mengenai istimna' seperti halnya pendapat madzhab Hambali yang mengqiyaskan onani/masturbasi bahwa mengeluarkan mani dari badan, dan mani sendiri merupakan sebagian dari (isi) anggota badan, maka tidak ada larangan/boleh mengenai hal tersebut.

(3)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 1132

Ibnu Hazm berkata, bahwa orang laki-laki dan perempuan yang menyentuh alat vital masing-masing, menurut ijma' para ulama, hukumnya boleh (mubah). Maka perbuatan onani tersebut tidak ada hukum yang mengharamkannya, sebagaimana firman Allah SWT, yaitu: pengaruhnya secara riil dalam masyarakat sekarang, penelitian ini kemudian akan dilakukan dalam bahasa dan kerangka hukum Islam (fiqh) dan ilmu kesehatan/kedokteran.

Imām asy-Syāfi’i sebagai salah satu dari jumhur ulama yang mengharamkan masturbasi dan justeru Ibnu Hazm Al-Zâhirî yang seharusnya lebih keras dalam penetapan hukumnya dibandingkan Imām asy-Syāfi’i, ternyata hanya “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang- orang yang melampaui batas”. (Al- An’am: 119).

Berdasarkan wacana yang berkembang mengenai masturbasi ini, terkesan sebagai perbuatan yang tercela dalam pandangan agama. Di sisi lain masturbasi ini merupakan perbuatan yang bisa "memperpanjang usia" jika di lihat dari segi kesehatan/medis.

Sebagaimana banyak disebutkan dalam hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli kedokteran. Kemudian di mana keterkaitannya masturbasi ini dalam hal kesehatan dengan perbedaan penetapan hukum kedua tokoh Ulama ahli fiqh tersebut. Maka perlu adanya suatu pemikiran dalam perkembangan fiqh dalam kejelasan hukum masturbasi dengan melihat dampak yang akan timbul dan memakruhkan perbuatan masturbasi/onani tersebut, sehingga hal ini akan menjadikan timbulnya pertanyaan bagi penulis: apa yang melatarbelakangi menjadi dasar peng"haram"an dan pe"makruh"an dari perbuatan masturbasi/onani tersebut. Pertanyaan inilah yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan ini yang walau bagaimanapun juga memerlukan jawaban melalui kajian yang komprehensip terhadap perbedaan pendapat yang mereka sampaikan.

Kajian tentang masturbasi, pada prinsipnya adalah sebuah tindakan yang berfungsi sebagai cara merangsang alat kelamin dengan tangan atau benda lainnya untuk mendapat suatu taraf orgasme. Pada umumnya masturbasi menyangkut rangsangan dan pemuasan diri sendiri, walaupun demikian masturbasi lumrah dilakukan oleh dua orang dalam kapasitas hubungan heteroseksual atau homoseksual.

Metode Penelitian

Penulisan penelitian ini didasarkan pada library research (penelitian kepustakaan), yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama (Nazir, 1988: 111-112). Atau penelitian yang penemuan objeknya dilakukan dengan menggali informasi kepustakaan, khususnya berupa teks, seperti buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah dan dokumen lainnya (Zed, 2008: 3). Kajian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif-analitis- komparatif, yakni mendeskripsikan atau menguraikan data-data yang berkaitan dengan masturbasi dalam pandangan Ibnu Hazm Al-Zâhirî yang telah diperoleh dan data-data dari segi medis untuk kemudian dianalisa guna mendapatkan suatu pandangan ataupun kesimpulan yang relevan pada saat ini.Dalam pencapaian hasil yang maksimal, maka secara metodologis penelitian ini menggunakan pendekatan usul fiqh dengan maksud untuk mendapatkan pemahaman tentang tujuan serta esensi dari pendapat dari Ibnu Hazm Al-Zâhirî serta para fuqaha yang signifikan, untuk kemudian memperoleh suatu konsep yang lebih relevan.

Data primer adalah data yang diperoleh dari objek yang diteliti (Permana, 2001; 71).

Berdasarkan data yang diperoleh untuk menyusun dan menganalisis data yang terkumpul, penulis memakai metode Deskriptif Analitik (Sudarto, 1996: 47-59). Kerja dari metode

(4)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 1133

Deskriptif Analitik adalah dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data tersebut, kemudian diperoleh kesimpulan (Arikunto, 1992: 51). Metode Deskriptif Analitik ini penulis gunakan untuk melakukan pelacakan dan analisis terhadap pembahasan penelitian. Sumber data dalam penulisan ini merujuk kepada sumber utama yang berbentuk buku, artikel dan hal-hal yang lainnya yang dapat dijadikan sandaran sebuah karya ilmiah.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian mengenai masturbasi menurut Ibnu Hazm Al-Zâhirî dan ulama lainnya dari data yang telah diperoleh adalah dengan metode deduktif- komparatif, yaitu: pengumpulan data yang kemudian diklasifikasikan dari berbagai literatur yang bersifat umum, untuk kemudian dianalisis dan diidentifikasi sehingga mendapatkan data yang lebih bersifat khusus. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis dengan data lain yang terkait dan diformulasikan menjadi suatu kesimpulan, kemudian membandingkan antara data yang satu dengan yang lain tersebut untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya, sehingga akan sampai pada suatu kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan

Pengertian Masturbasi/ Onani dan Fenomenanya dalam Masyarakat

Masturbasi (Istimna' = usaha untuk mengeluarkan mani). Pemenuhan dan pemuasan kebutuhan seksual dengan merangsang alat-alat kelamin sendiri dengan tangan atau alat lain. Istilah lain untuk masturbasi adalah onani (Dahlanm et al., 1996: 1148). Masturbasi atau onani sering di sebut rancap. Pengertian onani secara istilah, adalah "kebiasaan membangkitkan nafsu seks dan memuaskannya dengan di lakukan sendiri [dengan bantuan tangannya sendiri atau dengan bantuan busa sabun] tanpa jenis kelamin yang lain." (Amin, 1997: 75). Islam memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas dilakukan (Zuhdi, 1997: 46). Sebagai kejelasan pembatasan masalah dalam pembahasan ini, maka masturbasi disini sama juga artinya dengan onani ataupun istimna’ sebagai istilah lainnya.

Mengenai pengertian masturbasi ini, dalam pandangan masyarakat awam atau kalangan umum merupakan suatu perbuatan untuk menimbulkan rangsangan terhadap alat kelamin seseorang oleh dirinya sendiri, baik dengan tangan ataupun alat lain, kemudian orang tersebut akan memperoleh kepuasan biologis atas dirinya tanpa melibatkan kelamin orang lain. Onani atau disebut juga masturbasi, berasal dari bahasa latin, masturbation yang berarti pemuasan kebutuhan seksual terhadap diri sendiri dengan menggunakan tangan (mastur : tangan, batio : menodai) sehingga masturbasi berarti menodai diri sendiri dengan tangan sendiri (dhalimun linnafsih). Ada juga yang menyebut bahwa onani adalah manipulasi alat kelamin sehingga mendapatkan kepuasan seksual. Nama lain bagi onani selain masturbasi adalah zelfbeulekking (penodaan dengan tangan), auto-stimuli, autoetism, self gratification, dan ipsasi. Bahkan para psikolog sering juga menyebut dengan nama monoseks, yaitu kepuasan seks oleh diri sendiri. Para kalangan ulama di kalangan umat Islam sering menyebut dengan istimna'. Jika istimna' ini dilakukan oleh laki-laki disebut jaldu umrah atau ilthaf (Al- Ghifari, 2003: 87).

Dalam pandangan masyarakat Barat masturbasi merupakan bagian yang lazim dari perkembangan seksual, dan tidak menimbulkan dampak fisik walaupun sering dilakukan.

Satu-satunya dampak yang mungkin adalah perasaan bersalah. Ada anggapan, masturbasi membuat seseorang menjadi lemah, merusak penglihatan, dan jika berlebihan menyebabkan kelainan otak atau gila. Masturbasi tidak menyebabkan hal-hal ini, tetapi pandangan tersebut masih beredar di antara mereka yang tidak mengetahui. Masturbasi dikatakan menyebabkan pembesaran bibir vulva, pembengkakan testis, dan penyakit.

Semua pandangan ini tidak beralasan. Masturbasi dikatakan sebagai bukti dari ketidakmatangan, yang jelas-jelas tidak benar, karena orang yang matang secara seksual dapat mencapai kenikmatan seks melalui masurbasi setelah dia menikah atau semasa

(5)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 1134

lajang. Masturbasi dikatakan menyebabkan frustasi seks dan frigiditas, tetapi peneliti lain menemukan, masturbasi menyebabkan ekses seksual, sehingga jelas anggapan tadi bersifat emosional dan tidak nyata. Dikatakan, seseorang tidak dapat mencapai kepuasan emosional secara penuh melalui masturbasi (Jones, 1997: 61).

Sebagian besar pria yang onani/masturbasi cenderung lebih sering melakukannya ketimbang wanita, dan mereka tampaknya sering mengalami atau biasanya mendapatkan orgasme ketika bermasturbasi (80 persen hingga 60 persen). Ini adalah prilaku umum kedua yang paling umum (pertama adalah koitus), bahkan bagi orang- orang mempunyai pasangan seksual. Kebanyakan anak-anak sering semenjak mereka masih bayi menemukan kenikmatan pada rangsangan okasional pada alat kelamin mereka, tetapi tidak mengerti bahwa prilaku ini adalah ’’seksual’’ hingga masa kanak-kanak akhir atau memasuki masa remaja. Pada masa remaja, kecendrungan untuk masturbasi meningkat baik pada remaja pria maupun remaja putri, dan sebagian orang terus melakukan masturbasi pada masa dewasa, dan banyak juga yang melakukannya sepanjang hidup. Istilah masturbasi memunculkan banyak mitos bahwa ia memiliki sifat merusak dan membahayakan. Citra negatif ini mungkin dapat ditelusuri hingga asal kata Latin, masturbate, yang merupakan kombinasi dua kata Latin, manus(tangan) dan sturararei (kotor), yang artinya ’’berbuat kotor dengan tangan,’’. Munculnya rasa malu dan kotor yang dicitrakan oleh arti kata ini masih saja ada sampai zaman moderen meskipun para ahli medis sepakat bahwa masturbasi tidak membahayakan fisik ataupun mental. Tidak pula ada bukti bahwa anak-anak yang melakukan rangsangan pada diri sendiri akan membahayakan dirinya.

Barangkali rasa bersalah dan malu muncul karena larangan dari beberapa agama tentang masturbasi. Termasuk pula orangtua yang menghukum anaknya karena melakukan masturbasi. Namun demikian, masturbasi bisa saja membahayakan ketika ia menjadi kompulsif. Masturbasi kompulsif, seperti prilaku kompulsif lainnya, adalah tanda adanya masalah emosial dan membutuhkan perlakuan dari spesialis kesehatan mental.

Sesungguhnya, sebagian ahli menegaskan bahwa mastrubasi memperbaiki kesehatan seksual dengan meningkatkan pemahaman individual tentang tubuhnya sendiri dan tentang penerimaan diri. Pengetahuan ini selanjutnya dimunculkan untuk menciptakan hubungan seksual dengan pasanganya, melalui mansturbasi mutual karena kemampuan untuk memberitahu pasangan mana yang paling menyenangkan. Sungguh bagus bagi sepasang suami-istri untuk mendiskusikan prilaku mereka mengenai masturbasi dan meredakan rasa tidak aman yang mungkin di miliki salah satu pasangan jika yang lain kadang-kadang menyukai masturbasi mungkin dapat diterima oleh keduanya. Dilakukan sendirian atau dilakukan di hadapan pasangan, tindakan ini dapat menyenangkan dan menambah keintiman sepanjang tidak ada penolakan. Seperti kebanyakan prilaku seksual, tanpa komunikasi yang benar, tindakan masturbasi dapat dipergunakan sebagai tanda sebuah kemarahan, pengasingan atau ketidaknyamanan dengan hubungan yang sedang dibina.

Yang perlu diingat: saat pasangan suami-istri sedang menjaga hubungan seks yang aman, manstrubasi dengan pasangan dapat menyenangkan selain melakukan senggama, sepanjang anda menghindari kontak dengan seperma, atau cairan vagina pasangan anda (Gearon, 2003: 44).

Sementara itu, di kalangan agamis dalam kehidupan bermasyarakat lebih memandang perbuatan masturbasi ini dari aspek moral si pelaku. Bahwa hal tersebut merupakan cerminan seseorang yang tidak memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, meskipun perbuatan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan orang lain.

(6)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 1135

Ibnu Hazm Al-Zâhirî dan Pemikirannya

Perjalanan Hidup Ibn Hazm

Ibnu Hazm Al-Zâhirî lahir pada hari terakhir bulan Ramadhan tahun 384 H/ 994 M di Manta Lisyam (Cordoba). Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'ad bin Hazm bin Galib bin Salih bin Sofyan bin Yazid. Ibnu Hazm Al-Zâhirî merupakan keturunan Persia. Kakeknya, Yazid berkebangsaan Persia, Maula Yasib bin Abi Sufyan al-Umawi (Syararah: 35- 36). Ayahnya, Ahmad bin Sa'id, termasuk golongan orang cerdas yang memperoleh kemuliaan di bidang ilmu dan kebudayaan. Karena kecerdasannya itulah, ia merasa heran terhadap orang yang kacau dalam perkataannya, ia berkata "Sungguh saya heran terhadap orang yang kacau balau dalam khithabah (pidato)- nya, atau tidak tepat dalam penulisannya. Karenanya, jika orang tersebut ragu dalam sesuatu, ia harus meninggalkannya dan berpindah pada hal yang tidak meragukannya, karena sesungguhnya kalam lebih luas daripada ini." (Al-Hamidi, 1966: 126).

Kehidupan keluarga Ibnu Hazm

Al-Zâhirî yang berbahagia dan berkecukupan ini tidak berlangsung Zâhirî terpaksa mengungsi kediaman lamanya di Cordoba timur tempatnya desa Bilat Magis pada tahun 399 H. Dalam kondisi yang tidak menentu inilah Ahmad ayah Ibnu Hazm Al- Zâhirî dipanggil ke hadirat Allah SWT pada tahun 402 H (Abu Zahrah, 1931: 29-30).

Sumber-sumber Hukum Ibnu Hazm Al-Zâhirî dan Pemikirannya

Menurut Ibnu Hazm Al-Zâhirî sumber hukum Islam ada 4 macam yaitu: al-Qur’an, Hadis Sahih, Ijma’ dan dalil Al-Qur’an bagi Ibnu Hazm Al-Zâhirî merupakan pesan dan perintah Allah kepada manusia untuk diakui dan dilaksanakan kandungan isinya diriwayatkan secara benar, tertulis dalam mushaf dan wajib dijadikan pedoman. Hadis sahih sebagai sumber kedua menurut Ibnu Hazm Al-Zâhirî bersifat saling melengkapi dengan al-Qur’an. Kedua sumber ini merupakan satu kesatuan yang wajib ditaati (Hazm, 1928: 70-95). Hal ini didasarkan pada firman Allah, yaitu: lama. Sebab ketika itu ayahnya sebagai salah seorang menteri pada akhir pemerintahan umayyah yang pertama di Andalus.

Bencana tak menimpanya ketika terjadinya pergantian penguasa. Sebagai seorang pemangku kekuasaan khalifah Umawiyah, Hisyam, Abu Mansur al-Amiri telah bertindak sedemikian jauh. Khalifah tidak lebih dari sebuah boneka belaka. Karena itu, tidak aneh bila di sana-sini sering terjadi pemberontakan, yang dimulai sejak tahun 398 H hingga waktu yang tidak ditentukan. Para pemberontak menyerang, merampok dan mengobrak- abrik Cordoba barat. Akibatnya, terjadi pengungsian besar- besaran. Keluarga Ibnu Hazm Al-“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah- perintah-Nya)”. (QS.

Al-Anfal: 20).

Dengan demikian al-Qur’an tidak berperan sebagai pemutus terhadap as-Sunnah dalam arti untuk diterimanya suatu hadis harus terlebih dahulu dihadapkan pada al-Qur’an.

Sebaliknya as-Sunnah tidak berlaku sebagai pemutus terhadap al-Qur’an dalam arti as- Sunnah adalah satu- satunya jalan untuk mengerti dan memahami al-Qur’an. Keduanya adalah dua bagian dari wahyu yang saling melengkapi dan tidak terpisah antara satu dengan yang lain. Sumber hukum yang ketiga adalah ijma’ seluruh umat Islam. Maksudnya adalah ijma’ sahabat. Sebab mereka telah menyaksikan tauqif dari rasulullah padahal ijma’ hanya bisa terjadi melalui tauqif. Juga karena mereka adalah semua orang mukmin dan tidak ada manusia mukmin selain mereka saat itu. Jadi, ijma’ orang- orang yang seperti ini adalah ijma’ seluruh orang-orang mukmin. Adapun ijma’ semua masa sesudah mereka hanyalah ijma’ sebagian orang mukmin bukan ijma’ seluruhnya. Adapun obyek atau sandaran ijma’

menurut Ibnu Hazm Al-Zâhirî adalah berasal dari nass. Tidak boleh terjadi ijma’ tanpa disandarkan pada nass, sebab usaha manusia dalam rangka menemukan illat tidak mungkin sama dikarenakan perbedaan tujuan dan tabiat mereka (Hazm, 1928: 553-554).

(7)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 1136

Ibnu Hazm Al-Zâhirî tidak menjelaskan arti ijma’ secara definitive tetapi membaginya dalam dua bagian. Pertama; segala sesuatu yang tidak diragukan lagi keberadaannya sekalipun hanya oleh seorang muslim, seperti dua kalimat syahadat,kewajiban menjalankan sholat lima waktu, keharaman bangkai, darah dan babi, pengakuan terhadap al-Qur’an dan kuantitas zakat. Kedua ; sesuatu yang telah disaksikan oleh seluruh sahabat tentang perilaku rosul atau suatu keyakinan bahwa rasul telah memberitahukan sikap beliau kepada orang- orang yang telah hadir di hadapan beliau.

Sumber keempat adalah Dalil. Dalil adalah kesimpulan yang diambil dari pemahaman terhadap dalalah ijma’dan nass. Adapun dalil yang diambil dari nass menurut Ibnu Hazm Al-Zâhirî ada 7 macam sebagai berikut, yaitu: Konklusi dari 2 premis yang tidak dinasskan pada salah satunya, Penerapan syarat yang digantungkan dengan satu bentuk perbuatan tertentu, Peredaksian satu makna dengan berbagai ungkapan, Pemberlakuan hukum asal berdasar keumuman nass ketika terdapat peristiwa hukum yang tidak dinasskan kehalalan dan keharamannya. Putusan-putusan bertingkat dalam arti yang lebih tinggi berada di atas yang berikutnya walaupun tidak ada nass tentang hal itu.

Kesimpulan yang diambil dalam logika pemutarbalikan setara. Konsekwensi logis dari makna lafal suatu nass. Semua ini pada dasarnya menurut Ibnu Hazm Al-Zâhirî hanyalah makna-makna nass sendiri dan pemahaman terhadapnya. Ini semua berada di bawah batas-batas nass belum keluar darinya. Sebab dalil-dalil ini adalah perincian dari nass yang masih global atau pengungkapan satu makna dengan berbagai redaksi yang berbeda. Sedangkan dalil yang diambil dari ijma’ ada 4 macam, yaitu; Istishab al-haal, Aqallu ma qila, Ijma’ para sahabat untuk meninggalkan pendapat yang dipertentangkan, Ijma’ para sahabat bahwa hukum yang berlaku bagi seluruh kaum muslimin adalah sama.

Pendapat Ibnu Hazm Al-Zâhirî Tentang Masturbasi/Onani/ Istimna’

Berbeda dengan pendapat Imām al-Syāfi’i mengenai masturbasi ini, Ibnu Hazm Al- Zâhirî mengatakan bahwa onani/masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa (lā Itsma fihi). Akan tetapi, menurutnya onani/masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibnu Hazm Al-Zâhirî mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’ (kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma (at-Ta’ammud li Nuzul al-Maniy) sewaktu yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang- orang yang melampaui batas”. (Al- An’am: 119).

Sebagaimana diriwayatkan juga oleh Atho’, yaitu madzhab Ibnu Hazm yang memakruhkan perbuatan onani/ masturbasi. Ibnu Hazm berkata, bahwa orang laki-laki dan perempuan yang menyentuh alat vital masing- masing, menurut ijma’ para ulama, hukumnya boleh (mubah). Maka perbuatan onani/masturbasi tersebut tidak ada hukum yang mengharamkannya, sebagaiaman firman Allah SWT dalam ayat di atas. Dan karena Allah tidak menjelaskan bahwa perbuatan onani/masturbasi sebagai hal yang haram, maka perbuatan itu merupakan/ termasuk yang dibolehkan. Firman-Nya: melakukan masturbasi.

Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena dalam al-Qur’an Allah berfirman: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”. (Al-Baqarah: 29). Akan tetapi, walaupun berdasarkan ayat- ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa perbuatan

“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan

(8)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 1137

kepada kamu apa onani/masturbasi tidak haram, kita tetap membencinya, mengingat perbuatan itu tidak terpuji dan tidak tergolong akhlakul karimah (Hazm: 404). Sementara jika kita menelitinya maka tidak ditemukan satu keterangan pun dari firman Allah yang menerangkan keharaman masturbasi itu. Logikanya, bila demikian, maka masturbasi atau onani diperbolehkan, sebagaimana penegasan umum Allah bahwa segala sesuatu yang ada di bumi ini memang telah diperuntukkan manusia. Khalaqa lakum mā fiy al-ardhi jami’a.

Meski begitu, masturbasi dihukumkan Makruh karena tidak termasuk ke dalam perbuatan yang terpuji. Jelasnya, bukan perbuatan yang mencerminkan al-Akhlāq al- Karimah (Sabiq, 1983: 437). Abdurrahman al-Jaziry menyebutnya sebagai telah keluar dari fitrah kemanusiaan [al-Fitrah al-Insāniyyah] (Al-Jaziri: 152).

Simpulan

Hukum Masturbasi atau Onani menurut salah satu pendapat Ulama adalah haram, sedangkan Ibnu Hazm Al-Zâhirî salah satu ulama dari mazhab zhahiri mengatakan bahwa onani/masturbasi itu hukumnya makruh dan tidak berdosa (lā Isma fihi). Akan tetapi, menurutnya onani/masturbasi dapat diharamkan karena merusak etika dan budi luhur yang terpuji. Ibnu Hazm Al-Zâhirî mengambil argumentasi hukum dengan satu pernyataan bahwa orang yang menyentuh kemaluannya sendiri dengan tangan kirinya diperbolehkan dengan ijmā’

(kesepakatan semua ulama). Dengan pertimbangan itu maka tidak ada tambahan dari hukum mubāh tersebut, kecuali adanya kesengajaan mengeluarkan sperma (at- Ta’ammud li Nuzul al-Maniy) sewaktu melakukan masturbasi. Perbuatan ini sama sekali tidak dapat diharamkan. Karena Firman Allah dalam al-Qur’an Surat al- An’aam: 119, bahwa Allah telah menjelaskan apa yang diharamkan-Nya.

Sementara dalam al- Qur’an tidak ditemukan ayat yang menyatakan tentang keharaman dari perbuatan masturbasi. Walaupun dari segi etika moral Ibnu Hazm Al-Zâhirî juga menganggap masturbasi sebagai perbuatan yang tidak terpuji.

Dari pendapat ulama tersebut dapat kita ambil satu pandangan bahwa hukum masturbasi atau onani itu cenderung mengikuti motif pelaksanaan dan akibat yang ditimbulkannya. Sehingga hukum yang akan munculpun sangat kondisional dan situasional. Elastisitas hukumnya ini didukung oleh kenyataan bahwa perbuatan masturbasi atau onani oleh syari’at tidak digolongkan sebagai tindak pidana (jarimah) atau perbuatan yang terkena hukum ta’zir. Perbuatan ini semata-mata urusan etika, muru’ah, dan kehormatan belaka. Untuk itu tentunya perbuatan ini akan kembali kepada masing-masing pelakunya.

Daftar Pustaka

Abd al-Latif Syararah, Ibnu Hazm Al- Zâhirî Raid al-Fikr al-Ilmi, t.k : Al- Maktab at-Tijari, t.t.

Abdul Azis Dahlan, dkk. (1996). Ensklopedi Hukum Islam. cet I. Jakarta: PT.

Ichtiar Baru Van Hoeve.

Abu al-Ghifari. (2003). Remaja korban Mode, Bandung: Mujahid Press.

Abu Zahrah, Ibn Hazm, Kairo:

Mathba’ah al-Yusufiyyah, 1931

Al-Hamidi. (1996). Jazhwah al-Muqtabis, Dar al-Qawmiyyah.

Christopher J. Gearon. (2003). Sexual Health A–Z, The Sinclair Intimacy Institute.

(9)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022) 1138 Derek Llewellyn-Jones. (1997). Setiap Wanita Buku Panduan Lengkap Tentang

Kesehatan, Kebidanan, dan Kandungan, Judul asli: Everywoman, alih bahasa: Dian Paramesti Bahar, Jakarta:

Delapratasa.

Ibn Hazm, Al-Muhalla , XII (t.t.p.: Dar al-Fikr, t.t.).

Ibnu Hazm. (1928). al-Ihkam fi Ushul al- Ahkam, Mesir: Maktabah al Kinaji.

Masjfuk Zuhdi. (1997). Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Jakarta: PT.

Toko Gunung Agung.

Mestika Zed. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moh Nazir. (1988). Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Muh. Kasim Mugi Amin. (1997). Kiat Selamatkan Cinta Pendidikan Seks Bagi Remaja Muslim, Cet. I, Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Sayyid Sabiq. (1983). Fiqh al-Sunnah, Juz III, Beirut, Daar al-Fikr.

Shaleh Tamimi. (1999). Musykilatun fi Tariq Asysyabābi, diterj: Ahmad Tharani Mas'udi, Onani Masalah Anak Muda, Jakarta : Gema Insani Press.

Soerjono Soekanto. (2002). Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Referensi

Dokumen terkait

Năm 2008, Nicholson và nhóm nghiên cứu của mình đã tổng quát khái niệm phủ xạ ảnh và đã đưa ra khái niện I-phủ xạ ảnh và từ đó các tác giả đã thu được một số kết quả đặc trưng cho lớp