• Tidak ada hasil yang ditemukan

Substansi Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Substansi Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

Pengertian tersebut diberikan oleh pembentuk undang-undang yang diharapkan dapat membakukan makna perkawinan, sehingga masyarakat dapat memahami makna hakikat perkawinan.46 Berdasarkan pengertian perkawinan menurut undang-undang perkawinan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian perkawinan adalah perkawinan mempunyai 5 (lima) unsur yang meliputi. Jahja Harahap merinci unsur pengertian perkawinan dalam Pasal 1 UU Perkawinan sebagai berikut. Dalam KUH Perdata tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan perkawinan.

Penjelasan mengenai perkawinan terdapat pada Pasal 26 KUH Perdata (Burgelijk Wetboek) yang menyebutkan bahwa perkawinan pada prinsipnya hanya dapat dilihat dari segi hubungan perdata, namun kita tidak dapat menemukan pengertian atau penjelasan mengenai perkawinan dalam KUH Perdata. Pengertian perkawinan menurut KUH Perdata dapat disimpulkan sebagai suatu hubungan hukum antara subyek yang terikat perkawinan. Bagi warga negara Tionghoa Timur dan WNI keturunan Tionghoa berlaku ketentuan KUHPerdata dengan sedikit perubahan;

KUH Perdata berlaku bagi orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa serta orang-orang yang disamakan dengan mereka. Prinsip-prinsip ini akan dicerminkan dan dicerminkan sebagai asas dalam pasal-pasal Undang-Undang Perkawinan.

Tujuan Perkawinan

Keabsahan

Monogami

Usia Minimum

Hak dan kedudukan suami istri yang seimbang

Perceraian yang dipersulit

  • Syarat Keabsahan Perkawinan
  • Kedudukan Suami dan Istri dalam Perkawinan
  • Harta Benda dalam Perkawinan
  • Perjanjian Perkawinan
    • Bentuk dan Syarat Pembuatan Perjanjian Perkawinan Secara empiris, perjanjian kawin di Indonesia tidak menjadi

Berdasarkan ketentuan UU Perkawinan pasal 2 ayat 2, Hal-hal yang membuat sahnya suatu perkawinan diatur. Pasal-pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang membahas tentang syarat-syarat perkawinan dibedakan menjadi dua, yaitu syarat substantif dan syarat formil. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat UU Perkawinan.

Masa tunggu seorang janda sebagaimana ditentukan dalam alinea pertama Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan ditentukan sebagai berikut. Undang-undang Perkawinan mengatur izin melangsungkan perkawinan pada Pasal 6, yaitu seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya, jika salah satu orang tuanya mempunyai. Sesuai amanat Pasal 30 UU Perkawinan disebutkan bahwa suami istri harus bekerja sama demi kebahagiaan keluarga.

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing antara lain. Berdasarkan perjanjian tersebut, para pihak dapat membatalkan asas-asas yang berlaku terhadap harta perkawinan dengan melakukan pengaturan khusus dengan membuat perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 undang-undang tentang perkawinan.53. Terkait dengan hal tersebut, Pasal 31 ayat (2) UU Perkawinan juga menyebutkan bahwa masing-masing pihak berhak melakukan upaya hukum.

Pokoknya, Perjanjian Perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama masa perkawinannya, yang merupakan suatu penyimpangan terhadap asas dan model yang dilaksanakan oleh undang-undang.57.

Soetojo Prawirohamidjodo, berpendapat bahwa Perjanjian perkawinan merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh calon

Menurut Wirjono Prodjodikoro, akad nikah adalah suatu hubungan yang sah mengenai harta dan harta antara dua pihak, di mana satu pihak berjanji atau dianggap telah menjanjikan sesuatu, sedangkan pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut. 59. Seterusnya, menurut Komar Andasasmita, akad nikah ialah perjanjian yang dibuat oleh seorang bakal atau bakal suami isteri mengenai pengaturan (keadaan) harta atau harta hasil perkahwinan mereka.

Soetojo Prawirohamidjodo menjelaskan pula bahwa pada umumnya sebuah perjanjian kawin dibuat dengan alasan

Isi Perjanjian Perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi no. 69/PUU-XIII/2015, isi perjanjian perkawinan secara teoritis dapat ditinjau berdasarkan aturan dalam Burgerlijk Wetboek, Undang-Undang Perkawinan dan Ringkasan Hukum Islam. Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan Pasal 23 Algemene Bepalingen van wetgeving untuk Indonesia dan Pasal 1335 B.W. Tidak ada perjanjian yang dibuat bagi salah satu pihak untuk berhutang lebih besar dari bagiannya atas aset.

Dengan demikian, sehubungan dengan pengaturan ini berlaku ketentuan mengenai harta perkawinan bersama, yaitu suami istri masing-masing menanggung separuh bagiannya. Calon suami istri tidak boleh mengadakan perjanjian (bedding) secara umum (and algemene bewoordingen) bahwa hukum harta perkawinan mereka akan diatur oleh hukum negara asing atau adat istiadat, undang-undang, undang-undang atau peraturan asing. peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam UU Perkawinan, pengaturan mengenai isi perkawinan hanya tercantum pada Pasal 29 ayat 2, bahwa isi perkawinan tidak boleh melanggar batas-batas perkawinan, agama, dan moral.

Dalam Syariat Islam, KHI mengatur akad nikah yang diatur dalam Pasal 45 hingga Pasal 52 KHI, yaitu kedua calon pengantin laki-laki dapat mengadakan akad nikah dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Syariat. Sekiranya syarat-syarat yang dinyatakan dalam taklik talak benar-benar berlaku kemudian, penceraian tidak jatuh secara automatik. Akad talak taklik bukanlah satu perkara yang harus disimpan dalam setiap perkahwinan, tetapi apabila talak taklik telah dipersetujui, ia tidak boleh ditarik balik.

Tujuannya agar para pihak mengetahui apa yang akan mereka terima dan apa yang akan mereka korbankan selama pernikahan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Persetujuan bahwa akad nikah harus disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak secara sukarela dan tanpa paksaan. Pejabat yang objektif, berwenang, dan bereputasi baik yang dapat menjaga objektivitasnya dalam menjamin isi akad nikah yang adil bagi semua pihak.

Notaris, dimana akad nikah tidak boleh dibuat di bawah tangan, dan harus disahkan oleh Pencatat Nikah (KUA, Kantor Pencatatan Sipil). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dalam konstruksi penafsiran Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan mengenai isi perjanjian perkawinan secara khusus menambahkan frasa “dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya”. Penambahan frasa “perjanjian lain” dalam putusan MK justru menimbulkan ambiguitas dan multitafsir karena tidak disertai batasan yang jelas mengenai perjanjian mana yang dimaksud dengan “perjanjian lain”.

Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015

Mahkamah Konstitusi menyetujui uji materi sebagian terhadap beberapa pasal Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Ike Farida tentang pengujian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UU Pokok Agraria tentang syarat-syarat kepemilikan hak milik dan hak guna bangunan yang hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, sebagai serta peninjauan alinea pertama, ketiga, dan keempat Pasal 29 UU Perkawinan mengacu pada akad nikah. Pada hakekatnya akad nikah dilakukan oleh calon mempelai dengan maksud untuk menyimpang dari hukum-hukum yang mengatur mengenai harta perkawinan.

Dalam hal ini, perkawinan ditetapkan menurut undang-undang yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan. Akad nikah sudah tentu berbeza dengan akad pada umumnya, yang biasanya dipanggil kontrak (kontrak ekonomi). Akad nikah yang dimeterai mengenai hak dan kewajipan suami isteri seolah-olah melakukan akad nikah adalah taklik talak, yang boleh dituntut cerai jika salah satu pihak melanggarnya.

Hakim tidak menerima gugatan cerai karena melanggar hak dan kewajiban perkawinan. Perceraian ini juga harus dilakukan karena alasan yang cukup, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. Jika kita menilik kembali salah satu putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa alinea keempat Pasal 29 UU Perkawinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai sedemikian rupa. sedemikian rupa sehingga “selama perkawinan, akad nikah dapat berkaitan dengan harta perkawinan atau akad-akad lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut kecuali kedua belah pihak sepakat.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dimaknai bahwa aturan-aturan dalam Undang-Undang Perkawinan pada umumnya bersifat mengikat atau berujung ganda. Dalam hal harta perkawinan, dimana perjanjian perkawinan dapat dijadikan penyimpangan, pertama-tama menunjukkan adanya regelend recht. Tentu saja perjanjian pranikah hanya bisa berkaitan dengan harta perkawinan, bukan hak dan kewajiban.

Sebab hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 30 sampai 34 UU Perkawinan yang bersifat memaksa (dwingend recht). Apabila substansi akad nikah adalah mengenai hak dan kewajiban suami istri sebagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap istilah “perjanjian lain”, maka hal ini akan menimbulkan persoalan baru. Walaupun perkawinan itu berdasarkan perjanjian, namun hak dan kewajibannya hanya diatur oleh undang-undang.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa implikasi pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap tujuan perkawinan ditinjau dari

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat dipisahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,

7 Ketentuan tentang Perjanjian Perkawinan juga diatur dalam KUH Perdata Pasal 139, yang menetap- kan bahwa dalam perjanjian kawin itu kedua calon suami isteri

Menurut Pasal 139 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat calon suami dan calon istri dengan menyiapkan beberapa penyimpangan dari

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 tidak

Hukum Perjanjian diatur dalam buku III BW (KUHPerdata). Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu “suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

Berbicara mengenai pengaturan tentang hak dan kewajiban suami istri dalam perjanjian perkawinan pisah harta bulat yang dibuat setelah perkawinan dimana tidak boleh merugikan

Dan dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan, bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat