• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terkait perjanjian perkawinan telah menimbulkan problematika tersendiri terkait substansi perjanjian perkawinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terkait perjanjian perkawinan telah menimbulkan problematika tersendiri terkait substansi perjanjian perkawinan"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

159

4.1. KESIMPULAN

1. Ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PU-Xlll/2015 yang terkait dengan substansi perjanjian perkawinan tersebut tidak begitu mendalam atau jelas dalam mempertimbangkan yang menentukan substansi atau isi perjanjian dapat pula mengatur selain harta benda perkawinan. Putusan a quo sekadar mempertimbangkan pengaturan perjanjian perkawinan sebagaimana dalam Hukum Islam. Di dalam Pasal 46 dan 47 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa perjanjian perkawinan dapat dalam bentuk taklik talak dan dapat dalam bentuk perjanjian lainnya yang tidak bertentangan dalam hukum Islam.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terkait perjanjian perkawinan telah menimbulkan problematika tersendiri terkait substansi perjanjian perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tersebut telah memperluas dari makna dan materi dalam perjanjian perkawinan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, berakibat hukum bahwa perjanjian perkawinan tidak lagi bermakna perjanjian yang dibuat sebelum atau saat berlangsungnya perkawinan, melainkan dapat pula dibuat selama perkawinan berlangsung, serta substansi dari perjanjian perkawinan dapat dimaknai bahwa perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan, tetapi dapat pula mengenai perjanjian lainnya termasuk hak dan kewajiban suami dan istri, berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

159 BAB IV PENUTUP

(2)

160

4.2. SARAN

a. Sebaiknya dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XII/2015 terkait perjanjian perkawinan, demi tercapainya suatu kepastian hukum, dijelaskan pula secara terperinci terkait batasan-batasan perjanjian perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi, yang berlaku final dan mengikat bagi seluruh Warga Negara Indonesia, sebaiknya Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak menimbulkan suatu multitafsir. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 PUU-Xlll/2015 terkait perjanjian perkawinan tersebut, tidak menjelaskan secara rinci mengenai Batasan-batasan substansi dari perjanjian perkawinan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kekaburan norma hukum serta problematika baru.

b. Dalam substansinya, perjanjian perkawinan seyogyanya hanya mengatur mengenai harta benda perkawinan saja, yang mana terkait harta benda perkawinan merupakan aturan yang dapat disimpangi didalam Undang- Undang Perkawinan. Substansi perjanjian perkawinan tidak dapat mengenai hak dan kewajiban suami istri. Sebab terkait hak dan kewajiban suami istri telah diatur pada Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang- Undang Perkawinan, yang sifatnya memaksa (dwingend recht). Sehingga mengenai hak dan kewajiban suami istri, tidak dapat menyimpangi dari aturan dalam pasal tersebut. Apabila didalam suatu perjanjian perkawinan substansinya adalah mengenai hak dan kewajiban suami istri, seperti yang menjadi penafsiran terhadap frasa “perjanjian lainnya” oleh Mahkamah

(3)

161

Konstitusi, maka hal tersebut akan mengakibatkan suatu problematika baru. Meskipun perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban dalam perkawinan tersebut dapat dibuat, namun apabila salah satu pihak tidak melaksanakan sebagaimana mestinya, maka perjanjian yang demikian tidak dapat ditegakkan apabila suami atau istri tidak melaksanakan hak dan kewajiban yang tercantum didalam perjanjian perkawinan tersebut. Misalnya, didalam perjanjian perkawinan tersebut mengatur “apabila suami terbukti selingkuh, maka istri berhak atas semua harta benda dalam perkawinan”. Perjanjian perkawinan yang demikianlah yang tidak dapat ditegakkan sebagaimana mestinya apabila substansi dalam perjanjian tidak dilaksanakan, sebab jika melanggar perjanjian tersebut apakah mungkin suami digugat wanprestasi sebab melanggar perjanjian perkawinan dengan substansi yang mengatur hak dan kewajiban dalam perkawinan.

Referensi

Dokumen terkait

Akibat Hukum Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 Terhadap Perkawinan Penghayat Kepercayaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 merupakan putusan

hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “Kajian Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU -XIII/2017 Terhadap Perjan

Sebagaimana kita ketahui selama ini ,perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan akan tetapi Pasca keluarnya putusan

Dengan tambahan frasa “selama dalam ikatan perkawinan” dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dikombinasikan dengan tambahan frasa “kecuali ditentukan lain dalam

Dalam amarnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu,

Dari uraian data itu penulis sudah memperoleh pandangan dari beberapa Kepala Kantor Urusan Agama Kota Malang kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUUXIII/2015 yakni: Pasal

1) Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No.69/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum perkawinan, pada saat perkawinan berlangsung dan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015