• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK Kata Kunci: Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK Kata Kunci: Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

viii ABSTRAK

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberikan ketentuan baru yang berpengaruh terhadap sistem hukum perkawinan, khususnya perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan (perjanjian pranikah), sekarang dapat dibuat oleh suami istri setelah perkawinan berlangsung. Berdasarkan kondisi tersebut, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak?; dan (2) Bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015?

Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Jenis bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan teknik studi kepustakaan. Teknik analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan adalah teknik deskripsi, teknik interpretasi dan teknik argumentasi.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah sah menurut hukum sepanjang memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sertapengaturan keabsahan perjanjian telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata juga tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan; (2) Akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 akan membawa akibat hukum bagi para pihak (suami-stri). Dalam hal ini berlaku asas pacta sunt servanda, perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Untuk memenuhi kepastian hukum bagi pihak ketiga perlunya pendaftaran perjanjian perkawinan di Kantor Catatan Sipil.

Kata Kunci: Perkawinan, Perjanjian Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi.

(2)

ix ABSTRACT

The Constitutional Court Decision No. 69/PUU-XIII/2015 establishes some new set of rules that impact on the legal provision and system relating to marriage, in particular with respect to nuptial agreements. According to this decision, nuptial agreements between two spouses can now be made both before as well as after the marriage. Before this decision nuptial agreements could only be made before and not after the marriage.Based on this interpretation of the marriage law, the legal issues raised in this research are (1) Given the principle of freedom of contract, what is the validity of marriage agreements that are made after rather than before marriage under the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015? and (2) What are the legal consequences of an agreement made after marriage following the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015?

The type of study under taken by this Thesis follows normative legal research methods using both statute and conceptual approaches. Sources of legal materials in this research consisted of primary, secondary and tertiary legal sources. Study techninques relied on descriptive review of literature in the analysis of legal sources. Such review was then used to interpret legal documents and develop the overall argument.

The research concludes that first: a marriage agreement made after the marriage took place, following the Constitutional Court Decision Number 69/ PUU-XIII/2015 does not negate the principle of freedom of contract and is legally valid as long as it fulfills justice, benefit and legal certainty requirements and provided that the marriage agreement also complies with the provisions of Article 1320 of the Civil Code. Article 1320 of the Civil Code states not violate legal, religious, and moral boundaries as regulated in the provisions of Article 29 paragraph (2) of the Marriage Law. Second, marital agreements made after marriage (following the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015) will be fully legally binding on both parties provided the marriage agreement follows the principle of Pacta Sunt Servanda. However, agreements that seek to change the status of joint property need to ensure that such a change of status will not harm any third party.

(3)

x

RINGKASAN

Tesis ini menganalisis akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Selanjutnya putusan tersebut dikaitkan pula dengan asas kebebasan berkontrak.

Bab I, menguraikan latar belakang masalah yang dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberikan sistem hukum baru, di mana perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan, sekarang dapat dibuat oleh suami istri setelah perkawinan berlangsung. Mahkamah Konstitusi memberi tafsir konstitusional dimana pembuatan perjanjian perkawinan bisa disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing pasangan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada sub ini juga diuraikan mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian.

Bab II, menguraikan tinjauan mengenai perkawinan dan perjanjian perkawinan. Bab ini terdiri dari 2 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai Perkawinan. Sub Bab kedua tentang Perjanjian Perkawinan.

Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah yang pertama, mengenai keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsungkan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak. Bab ini dibagi menjadi 2 Sub Bab yaitu Sub Bab pertama mengenai Pengaturan Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Positif di Indonesia. Sub Bab kedua mengenai Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikaitkan dengan Asas Kebebasan Berkontrak.

Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan masalah kedua terkait dengan akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Bab ini dibagi menjadi 3 Sub Bab yang terdiri dari Sub Bab pertama membahas mengenai Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan terhadap Suami dan/atau Istri. Sub Bab kedua Akibat Hukum Terkait Harta Perkawinan. Sub Bab ketigaAkibat Hukum Terhadap Pihak Ketiga.

(4)

xi

Bab V merupakan bab penutup yaitu menguraikan tentang kesimpulan dan saran dari penulis. Penulis menyimpulkan bahwa (1) Keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak sudah sah menurut hukum sepanjang memenuhi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum serta pengaturan keabsahan perjanjian telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Frase Perjanjian lainnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dapat dimaknai perjanjian yang tidak dibatasi bentuk, serta isi yang dapat diperjanjikan, sehingga para pihak tidak hanya memperjanjikan harta perkawinan saja akan tetapi diberikan kebebasan untuk menentukan apa saja yang akan diperjanjikan kecuali perjanjian taklik-talak serta tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan; dan (2) Akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 akan membawa akibat hukum bagi para pihak (suami-stri), dimana perjanjian perkawinan yang sudah dibuat berlaku asas pacta sunt servanda dari ketentuan 1338 KUHPerdata bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Akibat hukum lainnya mengenai perubahan status harta bersama menjadi terpisah oleh karena pembuatan perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan akan berakibat terhadap status hukum harta benda yang terdapat atau diperoleh di dalam perkawinan tersebut. Perubahan status hukum harta perkawinan ini tidak boleh merugikan pihak ketiga. Pendaftaran perjanjian sangat penting bagi perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) baik suami atau istri WNI yang membuat perjanjian perkawinan mempunyai hak yang sama dengan WNI lainnya yaitu untuk memiliki Hak Milik. Sementara itu saran yang dapat disampaikan kepada pembuat undang-undang perlunya memperbaharui Undang-Undang Perkawinan agar tidak terjadi sebuah masalah dikemudian hari dan tidak terjadi tumpang tindih antara undang-undang satu dengan yang lainnya. Kepada Pasangan suami istri yang ingin membuat perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, bisa dijadikan dasar hukum dalam pembuatan perjanjian perkawinan. Putusan ini berlaku juga tidak hanya untuk Warga Negara Indonesia (WNI) tapi berlaku juga untuk perkawinan campuran dengan Warga Negara Asing (WNA).

(5)

xii DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

LEMBAR PANITIA PENGUJI ... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

RINGKASAN ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 12 1.3 Orisinalitas Penelitian ... 12 1.4 Tujuan Penelitian ... 16 1.4.1 Tujuan Umum ... 16 1.4.2 Tujuan Khusus ... 16 1.5 Manfaat Penelitian ... 16 1.5.1 Manfaat Teoritis ... 16 1.5.2 Manfaat Praktis ... 16

(6)

xiii

1.6 Landasan Teoritis ... 16

1.6.1 Asas Kebebasan Berkontrak ... 17

1.6.2 Konsep Perkawinan ... 18

1.6.3 Konsep Perjanjian Perkawinan ... 20

1.6.4 Konsep Akibat Hukum ... 22

1.6.5 Teori Perjanjian ... 25

1.6.6 Teori Penafsiran Hukum ... 27

1.6.7 Teori Validitas Hukum ... 28

1.7 Tinjauan Pustaka ... 31

1.8 Kerangka Pemikiran ... 34

1.9 Metode Penelitian ... 35

1.9.1 Jenis Penelitian ... 36

1.9.2 Jenis Pendekatan ... 36

1.9.3 Jenis Bahan Hukum ... 37

1.9.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 39

1.9.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 39

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERKWINAN DAN PERJANJIAN PERKAWINAN ... 41

2.1 Perkawinan ... 41

2.1.1 Pengertian Perkawinan ... 41

2.1.2 Tujuan Perkawinan ... 43

2.1.3 Asas-Asas Perkawinan ... 45

2.1.4 Syarat Sahnya Perkawinan ... 51

(7)

xiv

2.1.6 Akta Perkawinan ... 57

2.2 Perjanjian Perkawinan ... 59

2.2.1 Pengertian Perjanjian Perkawinan ... 59

2.2.2 Syarat Sah Perjanjian Perkawinan ... 65

2.2.3 Bentuk Perjanjian Perkawinan ... 66

2.2.4 Isi Perjanjian Perkawinan ... 70

2.2.5 Waktu Untuk Pembuatan Perjanjian Perkawinan ... 73

2.2.6 Perubahan Perjanjian Perkawinan ... 74

2.2.7 Akibat Perjanjian Perkawinan ... 74

BAB III KEABSAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG PASCA PUTUSAN MK NOMOR 69/PUU-XIII/2015 DIKAITKAN DENGAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK ... 77

3.1 Pengaturan Keabsahan Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Positif di Indonesia ... 77

3.1.1 Pengaturan Perjanjian Perkawinan Menurut KUHPerdata ... 77

3.1.2 Pengaturan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan ... 82

3.1.3 Pengaturan Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 88

3.2 Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung Pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 Dikaitkan dengan Asas Kebebasan Berkontrak ... 91

3.2.1 Keadilan (Filosofis) Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 ... 99

3.2.2 Kemanfaatan (Sosiologis) Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 ... 104

(8)

xv

3.2.3 Kepastian Hukum (Yuridis) Putusan MK Nomor

69/PUU-XIII/2015 ... 112

3.2.4 Penafsiran Frase Perjanjian Lainnya pada Ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan dalam Putusan MK Nomor 69/PUUXIII/2015 ... 114

BAB IV AKIBAT HUKUM PERJANIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG PASCA PUTUSAN MK NOMOR 69/PUU-XIII/2015 ... 120

4.1 Akibat Hukum Terkait Terhadap Suami dan/atau Isteri ... 120

4.2 Akibat Hukum Terkait Harta Bersama ... 127

4.3 Akibat Hukum Terhadap Pihak Ketiga ... 128

BAB V PENUTUP ... 134

5.1 Kesimpulan ... 134

5.2 Saran ... 135

(9)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Tabel Orisinalitas Penelitian ... 12 Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran ... 35

(10)
(11)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan peristiwa sakral yang dialami setiap manusia sebagai manifestasi dari keinginan dua insan untuk membangun sebuah ikatan keluarga yang suci. Makna perkawinan bukan hanya terkait dengan urusan pribadi kedua pasangan, tetapi juga memiliki makna sosial. Kedua makna ini harus bersinergi satu sama lain. Perkawinan menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menimbulkan hak serta kewajiban antara keduanya.1 Dengan perkawinan diharapkan akan menciptakan pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat, interaksi hidup berumah tangga dalam suasana damai, tentram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga yang semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.2 Hakekat dan tujuan Perkawinan dalam Hukum Agama Hindu diatur oleh Kitab suci agama Hindu yaitu Kitab Manawa

Dharmasastra, dijelaskan dalam tahap Grehasta Asrama bahwa perkawinan atau wiwaha itu bersifat religius (sakral) dan wajib hukumnya karena dihubungkan

dengan kewajiban seseorang agar mempunyai keturunan untuk menebus segala dosa orang tuanya. Perkawinan tidak sekedar ikatan lahir bathin, tetapi jauh lebih dalam lagi sebagai implementasi bukti bhakti secara kenyataan (sekala) dan secara gaib (niskala) seseorang terhadap Tuhannya, leluhur dan orang tuanya. Perkawinan menurut umat hindu sangat dimuliakan, karena perkawinan itu merupakan suatu jalan untuk melepaskan derita orang tuanya, bahkan arwah para

1Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, HukumAdat, Hukum Agama, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 8.

2Ahmad Azhar Basyir, 2005, Hukum Perkawinan Islam, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal. 1.

(12)

2

leluhurnya, oleh karena itu kawin dan mempunyai anak laki-laki merupakan tugas mulia dalam agama Hindu.3

Perkawinan tidak hanya menyatukan seorang pria dan wanita dalam sebuah keluarga tetapi juga membawa konsekuensi hukum baik bagi sang istri maupun suami yang telah menikah secara sah. Berbagai konsekuensi hukum yang muncul akibat perkawinan itu antara lain, menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung, tanggungjawab mereka terhadap anak-anak, konsekuensinya terhadap harta kekayaan baik kekayaan bersama maupun kekayaan masing-masing, serta akibat hukumnya terhadap pihak ketiga. Hal-hal ini penting untuk dipahami oleh setiap calon pasangan suami istri guna mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.

Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP No.9 Tahun 1975). Landasan filosofis UU Perkawinan tidak dapat dilepaskan dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Landasan filosofis ini tercermin dari Sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” dan Pasal 28E ayat (1) yang

3Gde Sura, 2007, Perkawinan Menurut Agama Hindu, Yayasan Wisma Karma, Jakarta, hal. 30.

(13)

3

menentukan bahwa: “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Landasan filosofis tersebut diaplikasikan dalam ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yang menentukan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan pasal ini menandakan bahwa perkawinan bukan hanya dipandang sebagai ikatan perdata saja tetapi mengandung dimensi religi berdasarkan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya landasan filosofis ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ketentuan Pasal 28E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945 diaplikasikan ke dalam ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan yang mengatur perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Jadi dari pasal ini dapat ditarik sebuah landasan filosofis UU Perkawinan adalah dilakukan menurut hukum agamanya yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ketentuan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945.

Sementara itu landasan yuridis perkawinan adalah UU Perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975. Secara yuridis formal hukum yang berlaku adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan bagi masing-masing pemeluknya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pernyataan ketentuan Pasal ayat (2) UU Perkawinan ini menyatakan dengan perumusan pada ketentuan Pasal 2 ayat

(14)

4

(1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD NRI 1945. Maksud dari hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan berikut penjelasannya tersebut, dapat diartikan tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU Perkawinan dinyatakan tidak berlaku.4 Peraturan-peraturan lain maksudnya adalah ketentuan-ketentuan menurut hukum adat. Ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai dengan UU Perkawinan menjadi hapus, asumsi tersebut adalah asumsi secara yuridis formal (ketentuan Pasal 66 UU Perkawinan). Hukum adat yang masih sesuai dengan UU Perkawinan serta hal-hal yang belum diatur secara tertulis tetap berlaku.

Landasan sosiologis adalah hukum perkawinan mendapat pengakuan dari masyarakat. Perkawinan menyangkut kedudukan sosial. Pada umumnya suatu perkawinan berlangsung antara orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang sederajat, tetapi adakalanya perkawinan tersebut menaikkan derajat orang-orang tertentu, atau sebaliknya menurunkan derajat tersebut. Keadaan semacam itu pada umumnya tampak pada masyarakat yang sistem stratifikasi sosialnya bersifat tertutup.5 Seperti misalnya pada masyarakat Bali, laki-laki Bali yang berkasta tinggi bila mengawini perempuan dari kasta rendah akan menaikkan kasta perempuan tersebut, sebaliknya jika perempuan Bali yang berkasta tinggi

4Soerjono Soekanto, 2002, Intisari Hukum Keluarga, Edisi Revisi, PT Citra Aditya Bakti Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hal. 5.

(15)

5

mengawini laki-laki dari kasta rendah akan menurunkan derajat perempuan tersebut. Bagi kebanyakan orang yang telah melangsungkan perkawinan, mereka pada umumnya tidak memikirkan tentang akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan yang dimilikinya melainkan hanya menitikberatkan lebih kepada hukum keluarganya. Keadaan yang demikian dikarenakan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, dan untuk menjaga kehidupan kekeluargaan tetap berlangsung terus maka dibutuhkan adanya harta benda dalam perkawinan tersebut. Akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan dan penghasilan dari suami istri tergantung pada ada atau tidak adanya perjanjian perkawinan. Apabila pihak-pihak tidak memperjanjikan lain pada saat mengadakan perkawinan, maka semenjak dilangsungkannya perkawinan menurut hukum telah terjadi percampuran atau persatuan harta benda secara bulat.6

Bagi calon suami istri yang ingin menghindarkan terjadinya percampuran harta benda secara bulat dalam perkawinan yang akan dilaksanakannya, maka undang-undang telah menyediakan sarananya, yaitu dengan membuat suatu perjanjian khusus yang disebut perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta atau mengenai penguasaan (beheer) atas harta benda perkawinan. Suatu perjanjian perkawinan baru diperlukan apabila calon suami istri pada saat akan melangsungkan perkawinan memang telah mempunyai harta atau selama berlangsungnya perkawinan mereka mengharapkan adanya perolehan harta kekayaan baru.7

6J. Andy Hartanto, 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Menurut Burgerlijk

Wetboek dan Undang-Undang Perkawinan), Laksbang Grafika, Yogyakarta, hal. 17.

(16)

6

Perjanjian perkawinan di Indonesia, terutama pada masyarakat yang tidak tunduk pada hukum barat tentu tidaklah popular, karena pembuatan perjanjian perkawinan antara calon suami istri dianggap kurang pantas dan dapat menyinggung perasaan sebagai bentuk ketidakpercayaan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya, sehingga perjanjian perkawinan ini jarang dilakukan oleh kebanyakan calon pasangan suami istri. Berbeda halnya dengan masyarakat yang tunduk pada hukum barat yaitu golongan eropa dan golongan tionghoa, memandang bahwa pembuatan perjanjian perkawinan merupakan suatu hal yang lumrah untuk dilakukan, bahkan mungkin dipandang perlu untuk mencegah masalah atau sengketa yang timbul selama perkawinan berlangsung, sehingga apabila terjadi perceraian maka akan memudahkan untuk membagi harta benda perkawinan. Seiring perkembangan zaman inilah, maka perjanjian perkawinan dapat dijadikan alternatif atau solusi bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan untuk memecahkan masalah-masalah harta kekayaan dalam perkawinan jika timbul sengketa maupun perselisihan di kemudian hari antara suami dan istri.

UU Perkawinan mengatur perihal perjanjian perkawinan hanya di dalam satu pasal yaitu ketentuan Pasal 29. Berdasarkan ketentuan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Sehingga pada dasarnya bentuk perjanjian perkawinan adalah bebas, bisa dalam bentuk akta otentik maupun akta di bawah tangan.

(17)

7

Jika dilihat dalam KUHPerdata, ada perbedaan pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan. Menurut ketentuan Pasal 147 KUHPerdata, dengan ancaman kebatalan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian Perkawinan tersebut mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal 148 KUHPerdata menentukan bahwa sepanjang perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga perjanjian perkawinan tidak dapat diubah. Mengenai harta kekayaan dalam perkawinan, KUHPerdata menganut sistem kesatuan harta suami istri. Apabila suami istri ingin membatasi atau menutup kebersamaan harta kekayaan dalam perkawinan, maka dibuatlah perjanjian perkawinan.

Meskipun ada perbedaan pengaturan perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan dan KUHPerdata, namun dalam kedua peraturan tersebut memiliki persamaan yaitu perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan berlangsung ataupun pada saat perkawinan berlangsung. Menurut ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan dan ketentuan Pasal 147 KUHPerdata, perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat setelah terjadinya perkawinan. Kondisi inilah yang kemudian dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) melalui Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015. MK mengabulkan uji materi ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU Perkawinan.

Putusan tersebut diawali dari permohonan Ike Farida, yang merasa hak-hak konstitusinya dirampas oleh beberapa pasal dalam undang-undang (baik UU Perkawinan maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) ini mengajukan keberatannya. Ike Farida, mengatakan bahwa dirinya tak bisa memiliki bangunan

(18)

8

dengan dasar hak milik dikarenakan dirinya menikah dengan WNA dan tidak disertai dengan perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta. Ike Farida mengajukan pengajuan undang-undang terhadap ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (3) UUPA dan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUPA dan ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) UU Perkawinan dan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Meskipun Ike Farida, mengajukan 4 pasal untuk dilakukan pengujian undang-undang (judicial review) akan tetapi oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan satu pasal saja, yaitu ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU Perkawinan.

Alasan atau pertimbangan hukum hakim dalam hal ini, yaitu adanya fenomena suami isteri yang karena alasan tertentu baru merasakan kebutuhan membuat perjanjian perkawinan, sedangkan ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Alasan lain disebutkan bahwa pembuatan perjanjian perkawinan selama ikatan perkawinan berlangsung di karenakan adanya kealpaan dan ketidaktahuan mengenai perjanjian perkawinan yang hanya dapat dibuat sebelum perkawinan berlangsung.

MK memberikan tafsir konstitusional terhadap ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan. MK memperluas makna perjanjian perkawinan yang pembuatannya disesuaikan dengan kebutuhan hukum masing-masing pasangan. Amar putusan MK menyatakan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

(19)

9

pegawai pencatat perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”. Sedangkan ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan tafsir konstitusional MK tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dengan frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dan frasa“…sejak perkawinan dilangsungkan” pada ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan serta frasa “selama perkawinan berlangsung” pada ayat (4) dianggap telah membatasi kebebasan 2 (dua) orang individu untuk melakukan atau kapan akan melakukan “perjanjian”, sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E ayat (2) UUD NRI 1945. Oleh karena itu MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1); (3) dan (4) UU Perkawinan dianggap inkonstitusional.

Putusan MK terkait dengan ekstensifikasi waktu pembuatan perjanjian perkawinan, telah memberikan ketentuan hukum baru dan implikasi positif terhadap pelaku perkawinan yang pada awal perkawinan belum memiliki perjanjian perkawinan. Tidak melihat kewarganegaraan pelaku perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dilangsungkan kapanpun. Pasangan suami istri yang

(20)

10

belum memiliki perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan dapat membuat perjanjian perkawinan pada saat perkawinan telah dilaksanakan, sehingga tidak ada lagi alasan adanya kealpaan atau ketidaktahuan pasangan suami istri terkait dengan ketentuan dalam perjanjian perkawinan.

Alasan yang umumnya dijadikan landasan dibuatnya perjanjian setelah perkawinan adalah adanya kealpaan dan ketidaktahuan bahwa dalam UU Perkawinan ada ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan sebelum pernikahan dilangsungkan. Menurut ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Alasan lainnya adalah adanya risiko yang mungkin timbul dari harta bersama dalam perkawinan karena pekerjaan suami dan istri memiliki konsekuensi dan tanggung jawab pada harta pribadi, sehingga masing-masing harta yang diperoleh dapat tetap menjadi milik pribadi. Pasca putusan MK tersebut maka pasangan suami istri, yang sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan tidak membuat perjanjian perkawinan, ingin membuat perjanjian perkawinan, sepanjang perkawinan mereka tidak lagi harus meminta penetapan Pengadilan untuk keperluan pembuatan perjanjian perkawinan, seperti yang telah beberapa kali terjadi.

Pada umumnya perjanjian perkawinan memperjanjikan mengenai pemisahan harta perkawinan, karena salah satu alasan membuat perjanjian tersebut yaitu untuk menyimpangi ketentutan Pasal 35 sampai dengan ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan. Menentukan isi dalam perjanjian perkawinan tidak diatur dalam UU Perkawinan apa saja yang bisa diperjanjikan. Setelah putusan MK hal tersebut telah ditentukan yaitu dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) “perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian

(21)

11

lainnya.” Jadi memperjanjikan pemisahan harta merupakan salah satu isi yang diperjanjikan. Sedangkan perjanjian lainnya yang dimaksud dalam ketentuan pasal tersebut belum jelas apa saja yang dapat diperjanjikan selain harta perkawinan.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata orang bebas membuat perjanjian kapan saja, dengan siapa, dan bebas menentukan isi dari perjanjian dan termasuk untuk perjanjian perkawinan. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUHPerdata terhadap asas ini yang merupakan asas tidak tak terbatas. Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan terdapat norma kabur terkait dengan perjanjian perkawinan, yaitu di dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan pasca putusan MK frasa perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya. Makna ketentuan perjanjian lainnya yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak dijelaskan lebih lanjut. Isu hukum yang muncul akibat adanya norma kabur tersebut, apakah perjanjian perkawinan dapat berisi apa saja tidak hanya mengenai harta perkawinan. Apakah yang dimaksud dengan perjanjian lainnya selain harta perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan

(22)

12

judul ”Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak ?

2. Bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 ? 1.3 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan, yaitu:

Gambar 1.1 Tabel Orisinalitas Penelitian No Penulis Judul Penelitian Rumusan Permasalahan Persamaan Perbedaan 1 Natalia Ningsih, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Udayana, Bali.8 Kekuatan Mengikat Akta Notariil Perjanjian Perkawinan Terkait Harta Bersama yang Dibuat 1. Apakah yang menjadi ruang lingkup substansi dari pembuatan akta notariil perjanjian perkawinan pasca pencatatan Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang perjanjian perkawinan

Perbedaannya jika penelitian Natalia Ningsih meneliti tentang kekuatan mengikat akta notariil perjanjian perkawinan terkait harta bersama yang dibuat pasca pencatatan perkawinan, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan meneliti tentang akibat akibat hukum

8Natalia Ningsih, 2016, “Kekuatan Mengikat Akta Notariil Perjanjian Perkawinan Terkait Harta Bersama yang Dibuat Pasca Pencatatan Perkawinan”, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Udayana, Denpasar.

(23)

13 Pasca Pencatatan Perkawinan perkawinan terkait pengaturan harta bersama? 2. Bagaimanakah kekuatan mengikat akta notariil perjanjian perkawinan mengenai harta bersama yang dibuat pasca pencatatan perkawinan terhadap pihak ketiga yang terkait?

perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015. 2 Eva Dwinopianti Universitas Islam Indonesia.9 Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris 1. Bagaimana implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUUXIII/20 15 terhadap pembuatan akta perjanjian perkawinan setelah kawin yang dibuat di hadapan Notaris? 2. Bagaimana akibat hukum pembuatan akta perjanjian perkawinansetel ah kawin sebelum dan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015terhad ap status harta bersama dan pihak ketiga yang dibuat di hadapan Notaris? Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang perjanjian kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

Perbedaannya jika penelitian Eva Dwinopiantimeneliti tentang implikasi dan akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap pembuatan akta perjanjian perkawinan setelah kawin yang dibuat di hadapan Notaris, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan meneliti tentang akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015. 3 Wisda Rauyani Efa Rahmatika Analisis Yuridis Atas Perjanjian 1. Bagaimana implikasi Putusan Persamaannya kedua penelitian ini

Perbedaannya jika penelitian Wisda Rauyani Efa

Rahmatika meneliti tentang

9Eva Dwinopianti, 2017, “Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris”, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Islam Indonesia.

(24)

14 Universitas Islam Sultan Agung.10 Perkawinan Ditinjau dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Implikasi Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015 Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 terhadap perjanjian perkawinan yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? 2. Bagaimana pelaksanaan pembuatan perjanjian perkawinan di dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015? 3. Bagaimana hambatan, solusi dan peranan Notaris dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian perkawinan di dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 terhadap Notaris? sama-sama meneliti tentang perjanjian kawin pascaPutusan MK No.69/PUU-XIII/2015

implikasi, pelaksanaan, dan hambatan, solusi serta peranan Notaris dalam pelaksanaan pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan meneliti tentang akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015

Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.

10Wisda Rauyani Efa Rahmatika, 2017, “Analisis Yuridis Atas Perjanjian Perkawinan Ditinjau dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Implikasi Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015”, Tesis, Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum UNISSULA, Semarang.

(25)

15

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dimaksudkan untuk menggambarkan apa yang hendak dicapai dalam penelitian, sedangkan tujuan khusus dimaksudkan untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah:

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini sesuai permasalahan yang dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikaitkan dengan Asas Kebebasan Berkontrak.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut:

(26)

16

1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini dapat dikemukakan antara lain:

1. Memberikan manfaat dan masukan bagi pengembangan ilmu hukum perdata khususnya dalam hal pembuatan perjanjian perkawinan sebelum perkawinan, saat berlangsungnya perkawinan dan selama dalam perkawinan.

2. Memberikan manfaat dan dapat digunakan sebagai dasar pijakan bagi peneliti lainnya yang akan melakukan kajian dengan topik sejenis.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini dapat dikemukakan antara lain:

1. Bagi masyarakat dapat memberikan masukan bagi yang ingin memahami tentang perjanjian perkawinan.

2. Bagi pasangan suami istri diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat memberikan informasi dalam memahami akibat dari perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung.

1.6 Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum atau khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, dan lain-lain yang selanjutnya dipergunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam penelitian.11 Adapun teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum yang penulis gunakan di dalam landasan teori disini adalah sebagai berikut:

11Buku Pedoman Pendidikan Program studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2013, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, hal. 53.

(27)

17

1.6.1 Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah pertama. Asas kebebasan berkontrak bagi Konrad Zweight dan Hein Kotz pencetus asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dikutip Ridwan Khairandy berarti kebebasan untuk memilih dan membuat kontrak, dan kebebasan para pihak untuk menentukan isi dan janji mereka, dan kebebasan untuk memilih subjek perjanjian12. Ridwan Khairandy sendiri dalam bukunya itikad baik dalam kebebasan berkontrak menyatakan kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian memiliki makna kebebasan berkontrak yang positif dan negatif. Kebebasan berkontrak yang positif adalah bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian yang mengikat yang mencerminkan kehendak bebas para pihak. Berdasarkan prinsip tersebut, maka pembentukan suatu perjanjian dan pemilihan isi perjanjian adalah hasil kehendak bebas para pihak. Kebebasan berkontrak negatif bermakna bahwa para pihak bebas dari suatu kewajiban sepanjang perjanjian yang mengikat itu tidak mengaturnya.13

A.L. Terry sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa yang dimaksud asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui klausul-klausul dari perjanjian tersebut, tanpa campur tangan pihak lain. Campur tangan tersebut dapat datang dari negara melalui peraturan perundang-undangan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang diperkenankan atau dilarang.14

Kebebasan, menurut Immanuel Kant sebagaimana dikutip olehSutan Remy Sjahdeini, tidak mungkin dilepaskan dari hukum moral dan dalam perjanjian

12Ridwan Khairandy, 2003, Itikad baik dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pancasila, Jakarta, hal. 42.

13Ibid.

14Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang

bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta,

(28)

18

dikenal dengan itikad baik. Kebebasan yang dimiliki oleh para pihak untuk memperjanjikan hal apapun baru akan memberikan kemanfaatan yang adil bagi para pihak jika hal-hal yang diperjanjikan tersebut dilandaskan oleh itikad baik dari para pihak. Kebebasan dalam membuat perjanjian adalah nilai utama dan absolut, karena kehendak bebas tersebut mencerminkan keadilan bagi para pihak dan mengikat sebagai undang-undang. Nilai kebebasan tersebut akan kehilangan keutamaan dan kemutlakannya jika ternyata perjanjian tersebut menimbulkan ketidak adilan atau menindas salah satu pihak.15

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai asas kebebasan berkontrak di atas dapat disimpulkan bahwa para pihak dalam membuat perjanjian diberikan kebebasanuntuk memilih pihak dengan siapa ingin membuat perjanjian, kapan perjanjian tersebut dibuat, kebebasan menentukan bentuk suatu perjanjian. Kebebasan tersebut harus dilandasi dengan itikad baik serta dapat mencerminkan keadilan, memberikan manfaat, tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang, kesusilaan dan kepentingan umum. Kebebasan berkontrak akan berlaku

asas pacta sunt servanda sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang berarti

para pihak terikat pada kesepakatan dan harus melaksanakan janji-janji yang sudah dibuat. Sahnya perjanjian tersebut berlaku seperti berlakunya undang-undang sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata

1.6.2 Konsep Perkawinan

Pengertian perkawinan dalam konsep perkawinan ini, yang pertama dilihat dari UU Perkawinan dan KUHPerdata. UU Perkawinan merupakan peraturan hukum yang mengatur secara khusus tentang perkawinan menyebutkan dalam Pasal 1 UU Perkawinan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan

(29)

19

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.16 KUHPerdata, tidak memuat suatu ketentuan mengenai arti atau definisi tentang perkawinan, akan tetapi pemahaman perkawinan dapat dilihat dalam Pasal 26 KUHPerdata. Ketentuan pasal tersebut ditetapkan bahwa undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan perdata. KUHPerdata, perkawinan hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Pengertian perkawinan lainnya bisa didapatkan dari para ahli yang walaupun memiliki pendapat masing-masing dari arti sebuah perkawinan namun kurang lebih memiliki arti dan inti yang sama. Subekti dan Scholten misalnya, keduanya menguraikan pendapat berbeda namun terdapat kesamaan diantara keduanya. Subekti berpendapat bahwa suatu ikatan perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Scholten menguraikan bahwa menurutnya perkawinan adalah suatu hubungan antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan yang diakui oleh negara.17

Berdasarkan definisi perkawinan yang dikemukakan di atas, maka dipilih definisi berdasarkan UU Perkawinan untuk digunakan dalam penelitian ini. Alasan dipilih definisi dari UU Perkawinan karena penelitian ini akan membahas akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pascaputusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 dalam perkawinan nasional, sehingga peraturan yang digunakan yaitu UU Perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya, karena UU Perkawinan merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

16Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Syarif, 2004, Hukum Perkawinan Dan

Keluarga Di Indonesia, Ed.1.Cet.1, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Jakarta, hal. 71.

17Soedharyo Soimin, 2004, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata

(30)

20

1.6.3 Konsep Perjanjian Perkawinan

Pengertian perjanjian perkawinan dalam konsep perjanjian perkawinan ini, yang pertama dilihat dari UU Perkawinan dan KUHPerdata. Selanjutnya, yang kedua dikemukakan pengertian perjanjian perkawinan menurut para ahli. Berdasarkan pengertian perjanjian perkawinan menurut UU Perkawinan, KUHPerdata dan para ahli tersebut, kemudian peneliti memilih pengertian perjanjian perkawinan yang mana yang digunakan dalam penelitian ini.

Ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan tidak menguraikan secara spesifik mengenai pengertian dari perjanjian perkawinan. Pasal 29 UU Perkawinan menentukan perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Jadi, pada dasarnya bentuk perjanjian perkawinan adalah bebas, bisa dalam bentuk akta otentik maupun akta di bawah tangan. Demikian juga dengan KUHPerdata yang tidak memberikan definisi tentang perjanjian perkawinan. Pasal 139 KUHPerdata menentukan bahwa: “Dengan mengadakan perjanjian perkkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini.” Pasal 147 KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan perjanjian perkawinan harus dibuat dihadapan Notaris. Jika perjanjian perkawinan tidak di buat dihadapan Notaris maka perjanjian itu batal demi hukum. Pengertian ketentuan Pasal 139 KUHPerdata dapat disimpulkan

(31)

21

bahwa perjanjian perkawinan sebenarnya merupakan persetujuan antara calon suami istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

Tidak adanya pengertian yang jelas tentang perjanjian perkawinan menurut UU Perkawinan dan KUHPerdata seperti disebutkan di atas, maka diantara para ahli terdapat juga perbedaan dalam memberikan pengertian tentang perjanjian perkawinan dan pengertian perjanjian perkawinan. Pengertian umumnya mengarah kepada ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Happy Susanto berpendapat sebagai berikut:

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah. Perjanjian perkawinan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan dan isinya mengatur bagaimana harta kekayaan suami istri akan dibagi jika terjadi perceraiaan, kematian dari salah satu pasangan. Perjanjian ini juga bisa memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga akan diatur atau ditangani selama pernikahan berlangsung.18

Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo perjanjian perkawinan merupakan perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri, untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.19 Perjanjian perkawinan sebagai suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan untuk dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian perkawinan dilakukan secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak. Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum bahwa para pihak telah bersepakat mengikatkan diri dan tidak boleh melanggar perjanjian tersebut.

18Happy Susanto, 2008, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraiaan, Visimedia, Jakarta, hal. 35.

19R. Soetojo Prawirohamidjojo, 2006, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan

(32)

22

Sudikno Mertokusomo memberikan pengertian perjanjian perkawinan sebagai berikut: “Pengertian perjanjian kawin sebagai suatu perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan.”20 Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa kata perjanjian kawin diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana salah satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.21

Berdasarkan pengertian perjanjian yang dikemukakan di atas, maka dalam penelitian ini dipilih pengertian perjanjian seperti yang diatur dalam UU Perkawinan yaitu perjanjian perkawinan adalah sebuah perjanjian yang dibuat, sebelum, atau pada saat dilangsungkannya perkawinan, oleh calon suami istri. Perjanjian perkawinan bisa berisi mengenai hal-hal kesepakatan mengenai harta ataupun kesepakatan lainnya yang dirasa perlu diperjanjikan oleh kedua pihak calon suami istri. Alasan memilih pengertian perjanjian perkawinan seperti yang diatur dalam UU Perkawinan karena penelitian ini akan membahas akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 dalam perkawinan nasional, sehingga peraturan yang akan digunakan yaitu UU Perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya, karena UU Perkawinan merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

1.6.4 Konsep Akibat Hukum

Akibat hukum menurut R. Soeroso adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang

20Sudikno Mertokusomo, 2009, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertukusomo I), hal. 97.

21Wirjono Prodjodikoro, 2011, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Perseujuan

(33)

23

diatur oleh hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum.22 Lebih jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.23

Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subyek-subyek hukum yang bersangkutan. Misalnya, mengadakan perjanjian jual-beli maka telah lahir suatu akibat hukum dari perjanjian jual jual-beli tersebut yakni ada subyek hukum yang mempunyai hak untuk mendapatkan barang dan mempunyai kewajiban untuk membayar barang tersebut. Begitu sebaliknya subyek hukum yang lain mempunyai hak untuk mendapatkan uang tetapi di samping itu dia mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang. Jelaslah bahwa perbuatan yang dilakukan subyek hukum terhadap obyek hukum menimbulkan akibat hukum.24 Akibat hukum itu dapat berujud:

1. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contoh:

a. Usia menjadi 21 tahun, akibat hukumnya berubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap hukum, atau

b. Dengan adanya pengampuan, lenyaplah kecakapan melakukan tindakan hukum.

22R. Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. VII. Sinar Grafika, Jakarta, hal. 295. 23Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cet. I. Sinar Grafika, Jakarta, hal. 53. 24Pipin Syarifin, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, CV. Pustaka Setia, Bandung, hal. 71

(34)

24

2. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum, antara dua atau lebih subyek hukum, di mana hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Contoh: A mengadakan perjanjian jual beli dengan B, maka lahirlah hubungan hukum antara A dan B. Setelah dibayar lunas, hubungan hukum tersebut menjadi lenyap.

3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum. Contoh: seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan si pencuri tersebut ialah mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.

4. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam keadaan yang wajar tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum. Misalnya, dalam keadaan kebakaran dimana seseorang sudah terkepung api, orang tersebut merusak dan menjebol tembok, jendela, pintu dan lain-lain untuk jalan keluar menyelamatkan diri.

Perbuatan hukum itu merupakan perbuatan yang akibat diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu) maupun yang dilakukan dua pihak (bersegi dua). Apabila akibat hukumnya (rechtsgevolg) timbul karena satu pihak saja, misalnya membuat surat wasiat diatur dalam ketentuan Pasal 875 KUH Perdata, maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum satu pihak. Kemudian

(35)

25

apabila akibat hukumnya timbul karena perbuatan dua pihak, seperti jual beli, tukar menukar maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum dua pihak.25

Berdasarkan pendapat tersebut di atas, menurut peneliti perbuatan hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu perbuatan hukum bersegi satu dan perbuatan hukum bersegi dua. Perbuatan hukum bersegi satu merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) orang saja dan akibat hukumnya hanya berlaku terhadap orang yang bersangkutan. Contoh perbuatan hukum bersegi satu antara lain membuat surat akte kelahiran, surat keterangan domisili, dan sebagainya. Sementara itu perbuatan hukum bersegi dua merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) orang atau 2 (dua) pihak yang akibat hukumnya juga berlaku untuk 2 (dua) pihak yang bersangkutan. Contohnya antara lain perbuatan hukum dalam perjanjian sewa menyewa, perjanjian perkawinan dan sebagainya. 1.6.5 Teori Perjanjian

Alasan digunakan teori perjanjian dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah kedua yaitu akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015. Van Dunne sebagai pencetus teori perjanjian yang dikutip dari buku Salim H.S mengartikan perjanjian sebagai berikut:

Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori hukum baru, yaitu:

1) tahap pracontraktual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan,

2) tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak,

3) dan tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.26

(36)

26

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah hubungan hukum, hubungan hukum itu timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan dalam lingkup harta kekayaan.27 Mengenai pengertian perjanjian ini, J. Satrio mengemukakan pendapatnya bahwa, perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain bahwa perjanjian berisi perikatan.28 Scanlon menyatakan bahwa perjanjian merupakan janji antara para pihak yang membuatnya yang mempunyai aspek moral dan aspek kekuatan memaksa sebagai kekuatan mengikatnya.29 Sudikno Mertokusumo berpendapat dalam bukunya bahwa perjanjian tidak merupakan suatu perbuatan hukum, akan tetapi merupakan hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.30

Berdasarkan pendapat para sarjana di atas, maka teori ini berfungsi untuk menganalisa perihal akibat hukum dari perjanjian perkawinan pasca putusan MK, yaitu adanya hak dan kewajiban para pihak yang ditimbulkan karena adanya suatu hubungan hukum dimana adanya kesepakatan para pihak yang mana dari kesepakatan tersebut akan menimbulkan akibat hukum. Begitu pula dengan perjanjian perkawinan yang memiliki akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya.

26Salim H.S, 2011, Hukum Kontrak Teori & Tehnik Penyusunan Kontrak, Cet. VIII, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim H.S I), hal. 26.

27Abdulkadir Muhammad, 2014, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 199.

28J. Satrio, 2005, Hukum Perjanjian, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5.

29T. M. Scanlon, 2001, Promise and Contracts, dalam Peter Benson, (ed) The Theory of Contract Law, Cambridge University Press, New York, hal. 99.

30Sudikno Mertokusumo, 2005, Hukum Perjanjian. Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal. 110.

(37)

27

1.6.6 Teori Penafsiran Hukum

Teori penafsiran hukum digunakan untuk membahas rumusan masalah pertama yaitu keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak. Teori penafsiran hukum ini digunakan untuk menganalisa masalah mengenai adanya norma kabur tentang isi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan.

Teori penafsiran dicetuskan oleh J.A Pontier yang mengatakan bahwa agar dapat mengatur masyarakat hukum harus ditafsirkan. Penafsiran dilakukan melalui metode interpretasi yaitu cara penafsiran suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna. Apabila hakim dalam putusannya memberikan makna sangat menentukan (yang melakukan terobosan) pada perkembangan hukum yang terjadi setelah (kemunculan atau keberlakuan) aturan-aturan hukum tertentu. Penafsiran hukum menurut J.A Pontier dapat diartikan di mana hakim menetapkan apa tujuan, rentang jangkauan atau fungsi dari suatu kaidah hukum, kepentingan-kepentingan apa yang hendak dilindungi oleh kaidah hukum itu, dan apakah kepentingan tersebut benar terlindungi apabila kaidah hukum itu diterapkan ke dalam suatu kasus konkret dalam konteks kemasyarakatan yang aktual.31

Boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan lebih dulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi

31J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Jendela Mas Pustaka, Bandung, hal. 94.

(38)

28

penjelasan gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.32

Satjipto Rahardjo mengemukakan, salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam bentuk tulisan atau litera scripta itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan sesuatu ide atau pikiran. Ide atau pikiran yang hendak dikemukakan itu ada yang menyebutnya sebagai “semangat” dari suatu peraturan. Usaha untuk menggali semangat itu dengan sendirinya merupakan bagian dari keharusan yang melekat khusus pada hukum perundang-undangan yang bersifat tertulis. Usaha tersebut akan dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi atau konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan.33

Analisis hukum terkait dengan kekaburan norna hukum dalam penelitian ini, adanya ketidak jelasan ketentuan Pasal 29 ayat (4) pasca putusan MK terkait isi yang dapat diperjanjikan dalam kata frasa “perjanjian lainnya”. Untuk menganalisa kekaburan norma tersebut akan dilakukan dengan tehnik interpretasi dengan jenis penafsiran gramatikal dan sistematikal.

1.6.7 Teori Validitas Hukum

Teori validitas hukum digunakan untuk membahas rumusan masalah yang pertama yaitu mengenai keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung pasca putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 dikaitkan

32Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan

Manusia dan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, (selanjutnya disingkat Satjipto Rahardjo I),

hal. 93-95.

(39)

29

dengan asas kebebasan berkontrak. Teori validitas hukum ini dicetuskan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa suatu norma adalah valid apabila diakui eksistensinya atau dengan kata lain norma tersebut mengandung kekuatan yang mengikat bagi mereka yang perbuatannya diatur oleh peraturan tersebut.34 Hal ini berarti bahwa norma hukum dapat dikatakan valid selama tidak ada yang membantah validitasnya melalui cara yang ditentukan oleh tatanan hukum itu sendiri. Teori validitas hukum mengajarkan bagaimana dan apa syarat-syaratnya agar suatu kaidah hukum menjadi legitimate dan sah (valid) berlakunya, sehingga dapat diberlakukan kepada masyarakat, bila perlu dengan upaya paksa, yakni suatu kaidah hukum yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1) Kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan ke dalam berbagai bentuk aturan formal, seperti dalam bentuk pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar, undang-undang dan berbagai bentuk peraturan lainnya, aturan-aturan internasional seperti dalam bentuk traktat, konvensi, atau setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan;

2) Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam bentuk undang-undang harus dibuat oleh parlemen (bersama dengan pemerintah);

3) Secara hukum, aturan hukum tersebut tidak mungkin dibatalkan;

4) Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis lainnya. Misalnya tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi;

5) Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan penerap hukum, seperti pengadilan, kepolisian, kejaksaan;

6) Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat; 7) Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang

bersangkutan.35

Berdasarkan pendapat J.W. Haris, validitas suatu norma hukum diukur dari terpenuhi tidaknya suatu elemen-elemen sebagai berikut:

1) Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian (conformity) dengana aturan tertentu yang tingkatnya lebih tinggi. Jadi, aturan hukum tersebut tidak dalam keadaan di luar jalur (ultra vires).

34Hans Kelsen, 2016, Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai

Empirik-Deskriptif, Rimdi Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Hans Kelsen I), hal. 47.

35Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 109.

(40)

30

2) Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian yang konsisten (subsistem) dalam bidang pengaturan yang sudah ada saat ini.

3) Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian dengan kenyataan sosial dalam masyarakat (aspek sosiologis), sehingga berlaku efektif dalam masyarakat. 4) Apakah dalam aturan hukum tersebut terdapat kecenderungan internal

untuk dihormati (atas dasar moral dan politik).

5) Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian dari kenyataan normatif yang transedental (aspek ontologis).36

Menurut Hans Kelsen, suatu aturan harus dalam keadaan valid terlebih dahulu baru diketahui apakah aturan tersebut dapat menjadi efektif. Setelah valid, dan diterapkan ternyata peraturan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat secara meluas dan/atau secara terus menerus, maka ketentuan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid.37 Memenuhi suatu kriteria tertentu adalah salah satu karakteristikdari validitas, dimana dalam konsep validitas tercakup juga pengertian kekuatan memaksa. Suatu kaidah hukum tidaklah valid jika kaidah hukum tersebut tidak diterima dan dipatuhi oleh masyarakat, meskipun aturan-aturan hukum tersebut telah dibuat melalui proses yang benar dan dibuat oleh yang berwenang secara hukum. Untuk dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat aturan hukum tersebut harus memenuhi tiga kriteria yaitu telah terpenuhinya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Relevansi rumusan masalah pertama dengan teori validitas hukum yaitu di dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan merupakan norma hukum yang bersifat fakultatif atau dengan kata lain bersifat pilihan, dimana tidak ada suatu keharusan bagi calon pasangan suami istri untuk membuat perjanjian perkawinan. Kaitannya dengan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan

36Munir Fuady, op.cit, hal. 111. 37Hans Kelsen, op.cit, hal. 52.

Gambar

Gambar 1.1 Tabel Orisinalitas Penelitian
Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Penciptaan karya seni grafis yang bersumber dari ekspresi wajah manusia, diciptakan tidak hanya memenuhi fungsi estetik, akan tetapi juga mengandung makna, pesan

Melihat beberapa realitas sebagaimana yang telah dipaparkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa restrukturisasi birokrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten

Sjafri dan Aida (2007 : 153) tiap manajemen perlu mengelola dan mengetahui kinerja pegawainya, apakah sudah sesuai dengan standar kinerja perusahaan atau

Untuk mengelola data, agar mendapatkan hasil yang komparatif, penulis menganalisa dokumen – dokumen program tahfidz al-qur’an di MTs N 9 Sleman Yogyakarta, mengamati hasil

Peluang ini juga didukung oleh produk suku cadang kendaraan bermotor Indonesia yang mampu bersaing dengan produk dari negara berkembang lainnya serta daya beli pasar

Area penyimpanan, persiapan, dan aplikasi harus mempunyai ventilasi yang baik , hal ini untuk mencegah pembentukan uap dengan konsentrasi tinggi yang melebihi batas limit

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa perlakuan berenang 10 menit/hari dan puasa makan selama 5 hari dapat menyebabkan stres oksidatif

Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar HDL pada mencit setelah diberi pakan diet tinggi lemak selama 28 hari, kemudian diberi perlakuan selama