• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan slametan: Sebuah Ritual Akulturasi Budaya Jawa dan Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Tampilan slametan: Sebuah Ritual Akulturasi Budaya Jawa dan Islam"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1SLAMETAN: SEBUAH RITUAL AKULTURASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM

KRAT. Heru Arif Pianto Widyonagoro Ariefheru84@gmail.com

Muhamad Yusuf2 Yal00996@gmail.com

Abstrak

Slametan adalah sebuah ritual yang telah lama mengakar dalam masyarakat Jawa.

Ritual ini merupakan hasil akulturasi antara budaya Jawa dan Islam. Awalnya, Slametan merupakan ritual animisme dan dinamisme yang bertujuan mencari perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan dari roh-roh yang dianggap kuat.

Namun dengan masuknya Islam ke Pulau Jawa, Slametan berubah menjadi ritual yang lebih Islami. Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji slametan sebagai sebuah ritual akulturasi budaya Jawa dan Islam. Penulis akan membahas sejarah, makna, dan perkembangannya di era modern. Dalam penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahap, yaitu heuristic, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa slametan merupakan ritual yang multifungsi. Slametan tidak hanya berfungsi sebagai ritual keagamaan tetapi terdapat aspek sosial, membangun kohesi dan menjaga keseimbangan hidup. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terkait dengan slametan sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang negatif.

Kata kunci: Slametan, akulturasi budaya, budaya Jawa, Islam

1 Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Pacitan

2 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Pacitan

(2)

A. Pendahuluan

Masyarakat jawa sebelum datangnya pengaruh hindu budha khususnya pulau jawa itu sendiri sudah kuat terkait aspek teologinya. hal itu dibuktikan dengan adanya kepercayaan animisme dan dinamisme. animisme yaitu Mereka berkeyakinan bahwa roh-roh leluhur mereka bersemayam di pohon-pohon besar, batu dan sebagainya, sedangkan dinamisme yaitu mereka berkeyakinan bahwa pusaka seperti keris, tombak, pedang dan sebagainya mempunyai kekuatan gaib yang mediaminya. Dan sebagai perwujudan keyakinan mereka menyembahnya, hal itu dilakukan agar roh-roh leluhur yang mendiami benda-benda tersebut mengayominya serta memberikan ketentraman dan kemakmuran bagi masyarakat tersebut. Sudah barang tentu, teologi yang dianut oleh mereka bercampur dengan hal mistisme yang kuat.

Dengan kuatnya aspek spiritual orang jawa tersebut kemudian melahirkan sebuah budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat jawa. Tentunya budaya dan tradisi tersebut berkaitan dengan aspek spiritualitas. Seperti halnya slametan, di dalam ritual ini terdapat aspek spiritual dan juga sosial yang kuat. Slametan ini merupakan hasil dari akulturasi tradisi animisme dinamisme dengan nilai-nilai islam yang dikemas sedemikan rupa oleh para pendakwah islam di pulau jawa.

Didalam slametan sendiri terdapat berbagai macam simbol, hal ini dikarenakan pandangan masyarakat jawa simbol merupakan media untuk dekat dengan yang kuasa. Simbol tersebut merupakan perwujudan pikiran, keinginan dan perasaan pelaku untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Simbol-simbol ritual merupakan realitas masyarakat Jawa yang mencakup pengaruh asimilasi antara Hindu dan Jawa, Budha dan Jawa, Islam dan Jawa yang diintegrasikan ke dalam wacana budaya mistis3.

Pada era modern slametan merupakan tradisi yang bernilai positif, mengingat pola hidup masyarakat yang dipengarungi oleh globalisasi. Gaya hidup beru mulai bermunculan, budaya asing dengan gampangnya merasuk dalam hidup

3Sholikhin, Ritual Tradisi Islam Jawa. Narasi: Yogyakarta, 2010, hal 49

(3)

masyarakat, pola hidup individual dan tidak sukanya bersosial mulai merambah pada masyakat. Dengan adanya tradisi ini sarana untuk menahan arus tersebut.

Selain undangan mendapatkan aspek spritual agama, seperti membaca tahlil dan yasin mereka juga dapat bersosialisasi dengan orang-orang disekitarnya yang mungkin jarang bertemu.

B. Metode Penelitian

Metode dalam Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah, secara umum penelitian sejarah melalui empat tahapan yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sedangkan Sumber referensi yang digunakan beranekaragam mulai dari sumber tertulis, lisan, hingga sumber lain yang dapat dipertahankan secara ilmiah.

Tahap pertama adalah Heuristik. Heuristik adalah pengumpulan sumber- sumber sejarah yang relevan dengan apa akan diteliti. Sumber-sumber yang dapat dipergunakan dalam penelitian sejarah diantaranya adalah dokumen tertulis, artifact, sumber lisan, maupun sumber kuantitatif 4.

Tahap kedua adalah kritik sumber, yaitu tahap verifikasi dan keabsahan serta relevansi terhadap hal yang di teliti sehingga menemukan sumber yang benar-benar berkualitas. Dalam kritik sumber ini terdapat kritik intern dan ekstern. Kritik intern merupakan cara peneliti untuk memastikan ke auntetikan sumber, sedangkan kritik ekstern yaitu memastikan kredibilitas sumber tersebut, tentunya hal ini disesuaikan dengan zamannya, pola hidupnya, demografinya dan lain-lain.

Tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu penafsiran atas sumber-sumber yang valid. Dalam penafsiran agar sumber menjadi bermakna harus melalui dua tahapan yaitu analisis dan sintesis5. Sumber-sumber yang telah didapatkan kemudian

4Kuntowijoyo, Pengantar ilmu sejarah, yogyakarta: tiara wacana edisi baru 2013, 1995, hal 73

5 Kuntowijoyo, Budaya dan masyarakat, Yogyakarta : Tiara Wacana , 1999, hal 100

(4)

diuraikan sedemikian rupa untuk mendapatkan suatu kesimpulan, kemudian setelah mendapatkan kesimpulan dari satu sumber dengan sumber yang lain dipadukan menjadi satu kesatuan yang utuh.

Tahap terakhir yaitu historiografi, tahap dimana sumber-sumber yang telah di tafsirkan di rekontruksi menjadi cerita yang runtut serta menjadi tulisan yang mempunyai esensi. Dalam penulisan sejarah aspek kronologis sangat penting, dalam hal ini penyajian penelitian mempunyai tiga bagian yaitu: pengantar, hasil penelitian, dan kesimpulan6.

C. Sejarah Slametan Sebuah Akulturasi Budaya Jawa dan Islam

Bagi keyakinan orang jawa hidup ini seperti halnya “mampir ngombe” (beristirahat untuk minum). Orang jawa beranggapan bahwa hidup itu hanya sebentar seperti halnya orang yang melakukan perjalanan sangat jauh kemudian berhenti untuk minum sebentar. Hal itu yang kemudian selaras dengan prinsip orang jawa bahwa hidup itu harus dikelilingi oleh aspek teologi. Sebagai implementasi dari kuatnya teologi orang jawa maka kehidupan orang jawa dipenuhi oleh berbagai ritual kepercayaan. Baik ritual-ritual yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan kematianya.7

Dari cara pandang hidup orang jawa tersebut selaras dengan prinsip ajaran agama islam. Agama islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik tertentu, yang dimaksud dengan ritualistik adalah melakukan kegiatan ibadah sebagaimana perintah ajarannya, seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya8. Maka dari keselarasan pandangan orang jawa dan agama islam terjadilah akulturasi budaya, bahkan kadang terjadi sinkretisasi.

Indonesia adalah negara yang penuh dengan keberagaman, hal itu dibuktikan dengan adanya berbagai suku, bahasa dan budaya yang beragam. Dari

6 Kuntowijoyo, op cit, hal 80-81

7 H. Riddin sofyan, interelasi nilai jawa dan islam dalam aspek kepercayaan dan ritual, dalam buku islam dan kebudayaan jawa, (Yogyakarta: Gama Media), hal 130-131

8 Ibid hal 130

(5)

berbagai suku ataupun wilayah mempunyai budaya dan tradisi yang berbeda-beda.

Hal itu yang patut kita syukuri, maka sebagai wujud mensyukuri tersebut kita diharuskan melestarikannya dengan cara mempelajari, menyelidiki maupun meneliti apa yang sebenarnya terjadi hingga menjadi mahakarya yang indah.

Dari berbagai keberagaman budaya di indonesia tersebut khususnya budaya jawa sendiri. Latarbelakang maupun sejarahnya hingga menjadi sebuah tradisi yang unik terkadang masih banyak yang kabur. Hal itu disebabkan karena kurangnya minat dan penelitian yang lebih intens terhadap aspek budaya. Seperti halnya tradisi slametan di lingkup jawa, kurangnya sumber yang konkret yang menjadi cikal bakal slametan menjadikan tradisi ini dipandang hanya sebagai kebiasaan masyarakat jawa yang turun-temurun tanpa tahu awal mulanya.

Melacak sejarah slametan kapan mulainya ada, terkendala dengan sumber yang hanya berupa nukilan di setiap fase kehidupan masyakat jawa sehingga perlu dikontruksikan agar menjadi cerita yang runtut. Nukilan-nukilan tersebut berasal dari pola kehidupan orang jawa, mulai dari pola kehidupan manusia pra sejarah, masuknya Hindu-Budha, masuknya Agama Islam, hingga menjadi suatu kebiasaan manusia modern yang unik.

Adanya slametan dari nukilan-nukilan yang membahas slametan para pengkaji budaya Jawa sepakat bahwa ditandai dengan adanya kepercayaan di masyarakat Jawa. Kepercayaan bagi masyarakat Jawa adalah keniscayaan dan menjadi pandangan hidupnya. Sunyoto (2004:88), mengatakan kepercayaan dengan istilah kapitayan.

Fase pertama adalah sistem kepercayaan manusia pra sejarah atau sebelum masuknya hindu budha. Kepercayaan pada masa ini terbagi menjadi dua, animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini sudah ada sejak sebelum kedatangan agama Hindu-Buddha9. Artinya kepercayaan ini adalah asli bukan impor dari luar Jawa.

Animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh, pada benda, tumbuhan, hewan dan juga pada manusia itu sendiri. Semua yang bergerak di anggap dianggap

9 Masroer, Ch. Jb.. The History of Java. Ar-Ruzz: Jogjakarta, 2004, hal 19

(6)

hidup dan mempunyai roh baik maupun buruk10. Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan di samping roh yang ada, terdapat roh paling kuat dan melebihi roh manusia. Dan agar terhindar dari roh tersebut sekaligus mendapat perlindungan mereka melakukan berbagai ritual penyembahan maupun selamatan dengan berbagai sesaji sebagai medianya dan yang memimpin di sebut dengan sang hyang, hal itu kemudian ritual-ritual ini dianggap sebagai embrio tradisi slametan11. Pemberian sesaji itu biasanya terdapat pada pohon besar, batu besar, sendang, belik yang dianggap sebagai danyang yang mbahurekso atau melingdungi tempat tersebut. Tak hanya itu, mereka juga membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya (pepunden) sebagai tempat pemujaan untuk memuja nenek moyang, serta menolak perbuatan roh jahat12.

Selanjutnya kepercayaan dinamisme adalah kepercayaan masyakat jawa yang mempercayai bahwa setiap benda mempunyai kekuatan magis13. Pada masa itu masyarakat jawa dalam mencapai kekuatan batin untuk mempengarui alam semesta melakukan berbagai usaha seperti, mutih (makan nasi putihan, ngasrep (makan makanan tawar), pati geni (tidak makan, tidur, minum, tidak melihat cahaya apapun) dan lain-lain. Dan untuk menambah eksistensi batinnya mereka menggunakan berbagai benda-benda bertuah seperti jimat dalam bentuk keris, tombak, batu akik dan lain-lain14.

10 Kuncoroningrat, sejarah kebudayaan indonesia, penerbit jembatan: Yogyakarta, 1954, hal 103

11 Fatkur Rohman Nur Awalin, Slametan: Perkembangannya Dalam Masyarakat Islam-Jawa Di Era Mileneal, Jurnal Ikadbudi Volume 7, 2018

12 Priyohutomo, Sejarah Kebudayaan Indonesia Ii, J.B. Walters, Jakarta, 1953, Hal 10

13 Bagyo Prastyo Dkk, Religi Pada Masyarakat Prasejarah Di Indonesia, Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Proyek Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi Jakarta, 2004, Hal 11

14 Kuncoroningrat, Op Cit, Hal 341

(7)

Fase kedua adalah masa indianisasi atau masuknya agama hindu budha.

Masyakat jawa mulai mengenal sistem kepercayaan yang lebih terstruktur dari sistem kepercayaan sebelumnya. Dari kepercayaan dan tradisi sebelumnya terjadi banyak keselarasan sehingga terjadi korelasi budaya dan semakin mengakar kuat pada masyarakat jawa. Orang jawa berpandangan bahwa puncak tertinggi kebahagian adalah mukso (melebur dengan tuhan), maka dalam transformasi kepercayaan tersebut yang dulunya mencari perlindungan pada roh-roh yang bersemayam di benda-benda tertentu, berganti meminta perlindungan kepada dewa- dewa hindu budha. Orang jawa berpandangan bahwa raja adalah penjelmaan dewa, sebagai konsekuensinya raja harus mempunyai kekuatan batin yang kuat demi mendapatkan pengaruh kosmisnya15. Maka masyarakat semakin dekat dengan raja semakin tenang dan tentram pula hidupnya.

Fase ketiga adalah masuknya agama islam di pulau jawa. Pada fase ini berbarengan dengan masuknya tokoh-tokoh penyebar agama islam yang dewasa ini kita kenal dengan walisongo. Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa tokoh- tokoh ini berasal dari gujarat maupun persia. Kalau kita slidik dari asalnya tersebut maka kita akan mendapati bahwa tempat tersebut kental akan sufistik atau islam tasawuf. Secara tidak langsung agama yang dibawa ke tanah jawa tidak jauh berbeda dengan tempat asalnya yaitu islam yang bersifat tasawuf.

Beberapa ahli berpendapat seperti Johns, bahwa para sufi pengembaralah yang menyebarkan agama Islam ke wilayah tersebut. Para sufi ini berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk nusantara. Faktor kunci keberhasilan penyebaran agama mereka adalah para sufi dapat menyajikan Islam dalam bentuk yang menarik, terutama dengan menekankan kesesuaian dan kesinambungan dengan Islam dari pada perubahan dalam keyakinan dan praktik agama setempat.

Banyak sumber lokal mengklaim bahwa Islam diperkenalkan ke wilayah-wilayah jawa pada tahun tertentu oleh guru keliling yang memiliki karakteristik sufi yang

15 Djoko widagdo, Sikap religius pandangan dunia jawa, dalam buku islam dan kebudayaan jawa, Yogyakarta: gama media, hal 77

(8)

kuat16. Teori sufi ini juga didukung oleh Fatimi, misalnya, ia memberikan argumen tambahan “Secara khusus, laporan ini menunjuk pada keberhasilan serupa yang dilakukan para sufi dalam mengubah sebagian besar penduduk anak benua India menjadi Islam pada periode yang sama”17. Menjelaskan pendapat tersebut sejak awal kedatangannya islam tidak sepenuhnya menggeser kebudayaan yang telah ada, tetapi lebih pada akulturasi budaya lokal dan islam menghasilkan sebuah sinkretisasi18.

Hal ini dibenarkan oleh profesor Dr Endang dalam Pidato Pengukuhan Profesor tahun 2009 menyatakan bahwa peradaban Islam telah mempengaruhi cara hidup orang Jawa sejak Kesultanan Demak mengambil alih kekuasaan Majapahit.

Awal kekuasaan demak dan akhir kekuasaan demak membawa perubahan peradaban dari Hindu ke Islam. Proses Islamisasi di Jawa berjalan dengan aman dan damai, tanpa adanya kebingungan atau guncangan psikologis atau sosial.

Sebab, Walisongo mengambil pendekatan budaya yang sarat dengan simbol budaya lokal. Agama dan budaya bekerja sama secara harmonis, berirama, dan seimbang.

Sebelum datangnya islam di jawa ada sebuah tradisi dengan nama Upacara Molimo (Panchamakara) dan dilakukan secara melingkar di udara terbuka (ksetra), Hidangan utama terdiri dari daging (mamsa), ikan (masha), alkohol (madhya), peredaran bebas (maithuna) dan samadhi (mudra)19. Sebagai strategi dakwah walisongo khususnya sunan bonang dan sunan ampel ritual tersebut islamisasikan tanpa menghilangkan esensinya. Dengan kepiawaian sunan ampel ritual tersebut

16 Johns, A.H. “Muslim Mystics and Historical Writtings”, dalam DGE Hall (peny.). Historians of South East Asia. London: Oxford University Press, 1961

17 Fatimi, S.Q, Islam Comes to Malaysia. Singapore: Malaysian Sociological Institute, 1963. pp.: 31-32.

18 Muqoddam, F., & Maghfiroh, V. Sinkretisme Tradisi Slametan Sebagai Rukun Islam Nusantara, 2019, vol 27, 75-93.

19 Sholikhin, op cit hal 5

(9)

dibuat lebih beradap, caranya adalah posisinya tetap melingkar, hidangan yang tadinya persebahan manusia diganti dengan nasi tumpeng, daging ayam, ikan dan minuman teh manis20. Pada ritual tersebut mantra yang dilakukan pendeta digantikan dengan bacaan “Kalimah Toyyibah” dan pembacaan ayat suci Alquran.

Budiono (menambahkan penggantian doa kedalam Islam atas prakarsa Sunan Kalijaga.

Pada era selanjutnya ritual tersebut pada masyarakat jawa dikenal dengan

slametan”. Konsep acaranya tidak jauh berbeda dengan perkembangan sebelumnya yaitu umumnya undangan duduk melingkar kemudian membaca doa- doa seperti kalimah toyyibah tahlil dan bacaan Al-Qur’an. Dalam slametan tersebut tentunya dipimpin oleh seseorang yang diaggap pintar dalam konteks agama atau orang yang dianggap sesepuh (modin). Setelah pembacaan doa-doa tersebut kemudian diakhir sesi ditutup dengan memakan hidangan yang telah disediakan oleh shohibul hajat. Untuk memantapkan hajatnya biasanya slametan dilengkapi dengan berbagai tumpeng dan sesajen, kemudian salah satu figur yang dianggap sebagai sesepuh melakukan ujud-ujud untuk menyampai hajat tuan rumah.

D. Makna Simbol dan Nilai-nilai dalam Slametan

Slametan merupakan ritual yang telah lama mengakar dalam masyarakat Jawa.

Ritual ini merupakan perpaduan budaya Jawa dan Islam. Awalnya, Slametan merupakan ritual animisme dan dinamis yang bertujuan mencari keselamatan dan kesejahteraan dari roh nenek moyang. Namun dengan masuknya Islam ke Pulau Jawa, Slametan berubah menjadi ritual yang lebih Islami.

Dalam budaya dan tradisi masyarakat Jawa, pada hakikatnya segala sesuatu merupakan simbol kehidupan, dan setiap orang dapat membaca isinya21. Kuatnya falsafah hidup orang jawa yang segala kehidupannya direpresentasikan dengan

20 Fatkur Rohman Nur Awalin, op cit, vol 07

21 Heru Arif Pianto, Budaya Brokohan Sebagai Konvensi Tradisi Jawa dan islam Masyarakat Pacitan Jawa Timur. Jurnal Penelitian Ilmiah Rinontje IKIP PGRI Wates, Nomor 2, Volume 3 Tahun 2022, hlm. 66

(10)

berbagai simbol justru memiliki nilai unik dan khas22. Hal itu selaras dengan simbol-simbol yang terdapat pada slametan. Sesuai definisi namanya, slametan merupakan kegiatan untuk mencapai keadaan slamet (selamat), sebagaimana yang dideskripsikan Koentjaraningrat sebagai sebuah keadaan dimana peristiwa- peristiwa mengikuti alur yang telah ditetapkan dengan mulus dan tak satu pun kemalangan yang menimpa siapa saja23. Selaras dengan Yana dalam bukunya, manusia wajib memelihara kerukunan, saling menjaga dan berintrospeksi dengan masyarakat dan alam sebagai sebuah hal yang tidak dapat ditinggalkan. Apabila manusia hanya memenangkan ego sendiri maka hal yang tidak baik akan mengikuti24.

Dalam slametan terdapat warna-warni simbolisasi, hal itu menyesuaikan dengan hajat tuan rumah, tetapi inti dari simbolisasi berupa bermacam-macam tumpeng, ingkung ayam, dan ditambah ubarampe lainnya25. Dalam masyarakat jawa slametan digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan shohibul hajat , contohnya slametan tingkeban menggunakan simbol berupa :

Simbolis Makna

Tumpeng (biasa) Menghormati tempat tinggal

Tumpeng abang (merah) Menghilangkan ngget (hal buruk) Tumpeng ale tingkeb Simbol hajat tikeban

Supit-supitan (tumpeng kecil) Jenang juruh santen

Menghormati hidup bersamanya orang tua

Jenang procot Jenang klowong

Mrocotake jabang bayi (agar mudah keluarnya bayi)

22 K.R.T. Heru Arif Pianto Dwijonagoro dkk, Islam Dan Budaya Jawa Di Pacitan Jawa Timur, Jurnal Baksooka, No 2 Vol 1-6-18

23 Mulder, Niel. Mistisisme Jawa: ideologi di Indonesia. LKIS: Yogyakarta, 2011, hal 136

24 Yana, MH, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Absolut: Yogyakart, 2010, hal 48

25 H. Riddin Sofyan, op cit, hal 131

(11)

Tumpeng tulak Jenang tulak

Menolak hal yang buruk

Jenang towo Nyirep sekathahing broholo

Tumpeng ambengan Menghormati leluhur

Berbagai polo pendem Pelengkap

Tabel 126

Simbol dan makna dalam slametan

Dan untuk slametan nyepasari (kelahiran) ditambah menggunakan punar (nasi kuning). Begitupun slametan sunatan, slametan perkawinan simbolisasinya menyesuaikan dengan hajatnya tersebut. Dan pada slametan kematian biasanya dilengkapi dengan sesajen yang tidak diminum undangan, sesajen tersebut berupa minuman yang disukai keluarga yang dislameti entah itu pada slametan 40 hari, 100 hari dan 1000 hari27. Hal itu dimaksut untuk menghormati arwah yang sudah meninggal karena orang jawa berkeyakinan jika keluarga mengirim doa, arwah tersebut akan pulang kerumah.

Di dalam slametan sendiri terdapat nilai-nilai positif. Nilai-nilai tersebut mencangkup nilai spiritual dan sosial yang tinggi. Bernilai spiritual karena didalam slametan terdapat upaya diwujudkan dengan doa untuk memohon keselamatan kepada yang kuasa, di samping itu mereka berupaya untuk dekat dengan zat yang telah menciptakannya yaitu Allah SWT. Nilai-nilai ini sudah ada sejak pra Hindu Budha, yang dimana mereka memberikan sesajen kepada roh-roh yang dianggap kuat untuk mendapatkan perlindungan dan terhindar dari roh jahat. Sikap religius ini ditunjukkan juga dengan beberapa kebiasaan yang mereka untuk tapa brata agar mereka dapat mengendalikan alam manusia dan alam adikodrati, sebagai tambahannya mereka menggunakan berbagai jimat dan benda pusaka untuk

26 Hasil wawancara dengan Bapak Mistam, tokoh masyarakat Desa Tamanasari pelestari tradisi ujud-ujud, tanggal 5 januari 2023

27 Ibid bapak mistam

(12)

mengusir roh jahat28. Dalam perkembangannya pandangan ini disesuaikan dengan agama yang dianut sekarang.

Aspek selanjutnya adalah sosial, di mana konsep slametan menuntut untuk semua undangan yang hadir untuk berkumpul dan berbaur menjadi satu tempat tanpa memandang jabatan, pekerjaan, strata sosial dan lain-lain. di dalam ritual ini mereka dapat bertegur sapa saling mengabarkan satu sama lain. Hal ini kemudian menguatkan ukhuwah islamiyah, rasa empati dan menetralisir sikap individualistik.

Tetapi dalam perkembangannya tak dipungkiri terkadang slametan ini digunakan sebagai ajang pamer kekayaan, hal itu disebabkan oleh rasa ketidakpuasan manusia itu sendiri.

Jenis-jenis slametan

Koentjaraningrat (1999: 247-349), Colleta, Umar, dan Sasongko (1987:59) menyepakati klasifikasi macam slametan selaras dengan Geertz (2014: 31), yaitu :

1) Slametan siklus kehidupan

Misalnya: tingkeban, nyepasari, sunatan, pernikahan, dan kematian meliputi 7 hari kematian, 40 hari, 100 hari serta 1000 hari.

2) Slametan berkaitan dengan hari-hari besar.

Misalnya: Peringatan 10 Muharram, muludan, dan Peringatan nisfu Sya’ban.

3) Slametan berkaitan dengan tradisi

Misalnya: merti desa, rasulan dan nyadran.

4) Peristiwa penting sepanjang lingkaran hidup seseorang misalnya pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit, dan sebagainya.

Dinamika Slametan di Era Modern, Adaptasi dan Tantangan

Slametan merupakan ritual yang telah lama mengakar dalam masyarakat Jawa.

Ritual ini masih menjadi ritual penting dalam masyarakat Jawa hingga saat ini.

28 Koentjaraningrat, manusia dan kebudayaan di indonesia, Djambatan, jakarta, 1975, hal 332.

(13)

Slametan di era modern ini merupakan sebuah pertaruhan, dimana setiap aktivitas masyarakat selalu berdampingan dengan hal-hal berbau tegnologi. Di era ini tentunya slametan mengalami kikisan oleh pola hidup manusia modern, yang secara tidak langsung merubah esensi dari slametan itu sendiri, antara lain: Perubahan hakikat Slametan, perubahan makna Slametan, dan perubahan pelaksanaan Slametan.

Tak hanya itu, jenis-jenis slametan di era modern juga semakin beragam, hal itu didorong oleh pola kehidupan dan kebutuhan masyarakat modern. Yang sebelumnya slametan ini hanya di gunakan pada siklus kehidupan manusia berupa, kehamilan, lahiran, kematian, pernikahan, bersih desa dan merayakan hari-hari tertentu. Pada era ini slametan digunakan lebih luwes menyesuaikan dengan kebutuhan shohibul hajat. Slametan digunakan sarana untuk merayakan peristiwa penting seperti hari ulang tahun. Tak hanya itu. Slametan di era ini khususnya umat islam juga sebagai sarana untuk berdoa kepada tuhan yang maha esa agar urusannya diperlancar, hal itu dibuktikan banyak dikalangan masyarakat jawa ketika ingin melakukan sesuatu seperti ingin ujian, ingin pergi naik haji, umroh dan lain-lain mereka mengadakan slametan.

Dalam perkembangannya slametan diberbagai wilayah jawa berbeda-beda terkait dengan namanya, tapi secara esensi dan konsepnya tidak jauh berbeda.

Slametan di era ini bisa disebut dengan kenduri atau genduren, tahlilan, yasinan dan lain-lain. Tahlilan dan yasinan biasanya identik dengan pengiriman doa terhadap roh leluhur. Dalan acara ini biasanya mereka bersama-sama membaca kalimah toyyibah tahlil serta surah yasin. Setelah selesai tuan rumah menyediakan berbagai makanan yang dihidangkan, hal itu diniatkan sebagai shodakohnya orang yang meninggal agar mendapatnya amal jariyah dan dihindarkan dari siksa kubur29.

Secara tidak langsung slametan di era yang serba invidualistik ini terdapat nilai positif. Dengan gempuran arus alat komunikasi pada genggaman kita

29 Andi Warisno, Tradisi Tahlilan Upaya Menyambung Silaturahmi, Ri’ayah, Vol.

02, No. 02, 2017.

(14)

mendorong manusia untuk bersifat malas-malasan jika bertemu secara langsung.

Dengan adanya slametan mau tidak mau shohibul hajat mengundang lingkungan sekitarnya untuk meminta bantuan mendoakan hajatnya. Dengan seperti itu, bukan hanya terdapat nilai spiritual tetapi slametan digunakan sebagai media bersosial dengan orang disekitarnya.

Di era ini pelaksanaan slametan terkait dengan tempat pelaksanaan dan konsep pelaksanaan juga mendapat perubahan. Yang dahulunya slametan ini hanya dilakukan dirumah sekarang bisa dilakukan di tempat-tempat umum untuk mendapatkan efiesiensi seperti di masjid, surau, bahkan di hotel. Untuk konsepnya terkadang masyarakat zaman sekarang juga lebih mengutamakan kemudahan, yang dahulunya makanan sajian untuk undangan terdapat uborampe yang lengkap dan cenderung mengutamakan kesopanan seperti menggunakan wadah yang baik, jamuan yang lengkap, bahkan mengundangnya saja terkadang langsung didatangi ke masing-masing rumah. Lain dengan di era ini masyarakat terkadang menyajikan makanan berupa makanan dan minuman yang dipesan ditoko, seperti chatering nasi kotak, berbagai minuman yang dibeli di toko, bahkan terkadang mereka mengganti uborampe yang sudah turun temurun dari dahulu dengan makanan yang disinyalir sama seperti apem diganti dengan roti bolu.

Kesimpulan

Slametan bagi orang jawa merupakan tradisi yang sudah mengakar kuat dimasyarakat. Hal itu dibuktikan dengan embrionya yang merupakan tradisi animisme dinamisme kemudian agama hindu budha tidak mampu untuk menghilangkan secara sempurna, kemudian oleh para pendakwah islam ritual ini diubah menjadi ritual yang islami.

Dalam slametan terdapat nilai-nilai yang positif meliputi nilai religius, sosial dan spiritual sebagai sarana untuk mencari keselamatan dari yang maha kuasa. Didalam slametan juga terdapat berbagai uborampe dan sesajen yang mempunyai makna-makna tertentu. Simbol-simbol ini sejak dahulu merupakan media untuk dekat yang dengan yang menguasai kosmos atau zat yang terkuat. Di

(15)

era modern slametan mengalami perubahan yang signifikan, hal itu disebabkan oleh pola hidup dan kebutuhan dari shohibul hajatnya.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Adiansyah, R. (2017). Persimpangan Antara Agama dan Budaya (Proses Akulturasi Islam dengan Slametan dalam Budaya Jawa), Jurnal Intelektualita, 6 (2).

Agun Farhan, Nurul Qolbi Kurniawati. (2017). "Slametan: Upacara Ritual dan Upacara Sosial", UIN Sunan Kali Jaga.

Awalin Nur, Fatkur Rohman. (2018). "Slametan: Perkembangannya dalam Masyarakat Islam-Jawa di Era Milenial". Jurnal IKADBUDI Volume 7.

Boogert, J. (2017). Peran slametan dalam wacana Islam Jawa. Indonesia dan Dunia Melayu, 45.

Fatimi, S.Q. (1963). Islam Comes to Malaysia. Singapore: Malaysian Sociological Institute, pp.: 31-32.

Gafur Abdul ,dkk. (2021). Agama, Tradisi Budaya dan Peradaban. Tamaddun:

Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam, Vol. 21 No. 2.

Johns, A.H. (1961). “Muslim Mystics and Historical Writtings”, dalam DGE Hall (peny.). Historians of South East Asia. London: Oxford University Press.

Karim Abdul. (2017). Makna Ritual Kematian Dalam Tradisi Islam Jawa. Sabda Volume 12, Nomor 2.

Kuntowijoyo. (1995). Pengantar ilmu sejarah, yogyakarta: tiara wacana edisi baru 2013.

Kuntowijoyo. (1999). Budaya dan masyarakat, Yogyakarta : Tiara Wacana.

Mulder, Niel. (2011). Mistisisme Jawa: ideologi di Indonesia. LKIS: Yogyakarta R.P Suyono. (2007). Dunia mistik orang jawa: roh, ritual, benda magis.

Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

(17)

Satimin. (2021). Nilai Filosofis Upacara Kematian Dalam Tradisi Jawa Ditinjau Dari Perspektif Sosial. Tesis. Program Studi Aqidah Dan Filsafat Islam Pascasarjana (S2) Institut Agama Islam Negeri (Iain) Bengkulu.

Sumarto. (2019). Budaya, Pemahaman dan Penerapannya aspek Sistem Religi, Bahasa, pengetahuan, sosial, kesenian dan tegnologi. Jurnal Literasiologi.

Volume 1, No. 2.

Susilo, S., Syato, I. (2016). Kerangka Identitas Umum Pengetahuan Budaya Dan Praktik Islam Jawa. Jurnal Islam Dan Masyarakat Muslim Indonesia, No.

6.

Suwito, dkk. (2014). Tradisi Kematian Wong Islam Jawa. JPA, Vol. 15, No. 2.

Syamsuatir, Ahmad Mas’ari. (2017). Tradisi Tahlilan: Potret Akulturasi Agama dan Budaya Khas Islam Nusantara. Jurnal Penelitian Sosial dan Keagamaan Vol. 33 No. 1.

V. Maghfiroh, Muqoddam, F. (2019). Sinkretisme Tradisi Slametan Sebagai Rukun Islam Nusantara.,No. 27.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep kepemimpinan dalam Budaya Jawa (atau orang Jawa sebagai pelakunya) merupakan suatu pandangan filosofis dari seorang pemimpin yang ingin mewujudkan tujuan (cita-cita)

Sebagai bagian penting dari agama Islam, akulturasi yang terjadi antara Islam dan budaya Jawa pada akhirnya juga berakibat pada akulturasi antara nilai-nilai pendidikan

Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya merupakan hasil karya manusia yang memadukan unsure Arab, China, lokal Jawa, dan Timur Tengah dalam konsep bangunan Masjidnya..

Kedua, pengaruh ajaran Islam terhadap tradisi masyarakat Lereng Merapi adalah kemunculan paham masyarakat setempat yang memadukan antara tradisi Jawa dan ajaran Islam,

Penelitian agama yang demikian banyak memberikan makna terhadap kompleksitas dan nuansa agama Jawa yang penuh dengan campur aduk dengan kebudayaan lokal, simbolisme

Antropologi Meneropong Ritual Maulid Nabi ...> By Niha | 15 Menurut gagasan tersebut dapat disimpulkan bahwa upacara peringatan maulid Nabi di Kota Pekalongan merupakan

Konsep kepemimpinan dalam Budaya Jawa (atau orang Jawa sebagai pelakunya) merupakan suatu pandangan filosofis dari seorang pemimpin yang ingin mewujudkan tujuan (cita-cita)

Hal tersebut didukung dengan penelitian terdahulu bahwa pandangan masyarakat terhadap individu yang menderita epilepsi merupakan hal memalukan, pada penelitiannya didapatkan bahwa