• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Jawa di Comic Strip (analisis semiotika konsep kepemimpinan dalam Budaya Jawa di Comic Strip Panji Koming di Harian Kompas periode April-Mei 2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Jawa di Comic Strip (analisis semiotika konsep kepemimpinan dalam Budaya Jawa di Comic Strip Panji Koming di Harian Kompas periode April-Mei 2013)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM BUDAYA JAWA

DI COMIC STRIP

(Analisis Semiotika Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Jawa di

Comic Strip Panji Koming di Harian Kompas Periode April-Mei

2013)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (SI) di

Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

BANIA CAHYA DEWI

080904080

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

2014

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Jawa di

Comic Strip (analisis semiotika konsep kepemimpinan dalam Budaya Jawa di

Comic Strip Panji Koming di Harian Kompas periode April-Mei 2013). Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui mitos dan konsep kepemimpinan yang ada di dalaam Budaya Jawa.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan cara pandang melalui paradigma konstruktivis. Metode ini berusaha memahami keunikan, dinamika dan hakikat holistik dari kehadiran manusia dan interaksinya dengan lingkungan. Pisau analisis yang digunakan ialah analisis semiotika yang mencoba membongkar makna dari tanda-tanda. Subjek penelitiannya adalah comic strip Panji Koming yang diambil dari Harian Kompas

periode April-Mei 2013. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik lima kode pembacaan sistem makna.

Hasil penelitian ini menunjukkan berbagai ideologi yang ada pada konsep kepemimpina Jawa. Ideologi yang paling sering muncul ialah feodalisme dan patriarki yang berlandaskan falasafah kehidupan masyarakat Jawa, yaitu mikro, makro dan meta kosmos.

Kata kunci:

(3)

ABSTRACT

Its titled is The Concepts of Java Cultural Leadership in Comic Strip (semiotic analysis of the concept of leadership in Javanese Culture in Comic Strip

Panji Koming in Kompas Newspaper period April-May 2013) . The purpose of this study was to determine the myths and concepts of leadership in carrying culture in Java.

The research method used is a qualitative research method with the perspective through a constructivist paradigm. This method seeks to understand the unique, dynamic and holistic nature of human presence and interaction with the environment. It is used the semiotic analysis that tried to dismantle the meaning of the signs. Research subject is a comic strip Panji Koming drawn from

KompasNewspaper period of April-May 2013. Data collection was performed by using a five- code system reading of meaning.

The results of this study demonstrate the various ideologies that exist in Javanese leadership concept. The most frequent ideology are feudalism and patriarchy that based of falasafah Javanese life, namely micro, macro and meta cosmos.

Keyword:

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi siapa pun yang membaca laporan ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa (YME) selalu memberkati tiap nafas yang kita hembuskan.

Ucapan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan YME. Berbagai kemudahan diberikan-Nya sehingga skripsi saya yang berjudul Konsep Kepemimpinan Dalam Budaya Jawa Di Comic Strip (Analisis Semiotika Konsep

Kepemimpinan dalam Budaya Jawa di Comic Strip Panji Koming di Harian

Kompas Periode April-Mei 2013) dapat terselesaikan.

Skripsi ini menjadi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di program sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Peneliti berharap, skripsi ini tidak hanya bermanfaat bagi peneliti. Tetapi dapat menjadi tambahan literatur pendukung untuk studi dalam bidang ilmu komunikasi, ataupun penelitian lain dengan tema yang sama.

Peneliti tentu mengalami masa pasang surut dan berbagai kendala untuk menyelesaikan skripsi ini. Akan tetapi, dukungan dalam beragam bentuk yang diberikan oleh kedua orang tua peneliti, Bambang Purnomo dan Nurdachniar Thamrin menjadi bahan bakar bagi semangat peneliti. Ketiga saudara peneliti, Nur Dachlia Kartika Dewi, Hany Novita Anggriani dan Muhammad Agung Rezki Purnomo yang telah banyak membantu dan menyemangati dengan caranya masing-masing, peneliti mengucapkan terima kasih dan mengirimkan kecup sayang.

Rasa hormat dan terima kasih yang tak terkira juga ingin peneliti sampaikan kepada para perantara kebaikan Tuhan YME, antara lain sebagai berikut:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(5)

3. Ibu Yovita Sitepu, Msi. selaku dosen pembimbing yang telah memberi arahan, masukan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf dan pengajar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi ilmu selama masa perkuliahan.

5. Miftah Munawar dan Andhika Irdianto yang sudah sebelas tahun bersahabat dengan peneliti. Geng Ramah Lingkungan, ada Ade Irma, Ade Syahputra Daulay, Fidya Afriani, Frilya Fransisca dan Muhammad Dicky Yusuf yang selalu mencerahkan hari-hari peneliti saat mendung datang. Terima kasih tak terkira pada kalian, yang sudah membentuk pribadi penelliti saat ini.

6. Shahnaz Asnawi Yusuf dan Wan Ulfa Nur Zuhra yang menemani masa-masa perkuliahan. Terima kasih telah ada dan memberi makna dalam setiap langkah.

7. Brader dan sister, Harry Yassir Elhadidy Siregar dan Viki Aprilita yang menguatkan di saat lemah, yang mengerti hal-hal tanpa perlu dikatakan. Terima kasih telah menguatkan fisik dan jiwa peneliti. Kepada perkumpulan Arisan Tante Hedon, Ridha Annisa Sebayang, Anas dan Viki, semoga kita tetap eksis sampai tua!

8. Terkhusus Angkatan 23 dan seluruh alumni dan anggota Pers Mahasiswa SUARA USU, sebagai tempat peneliti mencuri ilmu. Terima kasih sudah memberi kesempatan pada peneliti dan mengisi peneliti dengan informasi-informasi yang membuka pola pikir peneliti. Terima kasih atas pinjaman bukunya yang banyak membentu pengerjaan skripsi peneliti. Hidup SUARA USU!

9. Seluruh mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU Angkatan 2008 yang mau berbagi pengalaman dan ilmu sampai saat ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang hidupnya berkualitas! Amin.

10.Aulia Adam, Baina Dwi Bestari, Ferdiansyah, Guster C. P. Sihombing dan Renti Rosmalis. Kita lihat, kapan kalian wisuda! Hahahah, selamat skripsian, guys.

(6)

dengan apa-apa selain ucapan terima kasih. Kalian tahu siapa kalian, maaf tak bisa mencantumkannya satu per satu.

12.Pelukis Pelangi. Walau terkadang salah mencampur warna, terima kasih karena telah mengenalkannya kepada peneliti. Palet warna yang Anda lengkapi adalah hal terbaik yang pernah terjadi sampai saat ini.

Peneliti tahu laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Kesalahan pasti terselip di sana-sini. Maka dari itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kebaikan seluruh pihak yang terlibat. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan.

Medan, 21 Januari 2014 Peneliti

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR ORISINALITAS

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

ABSTRAK ... i

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma ... 8

II.6 Kartun-Karikatur-Komik ... 25

II.7 Comic Strip ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... 32

III.2 Objek Penelitian ... 33

III.3 Subjek Penelitian ... 33

III.3.1 Panji Koming ... 33

III.4 Kerangka Analisis ... 34

III.5 Teknik Pengumpulan Data ... 36

III.6 Teknik Analisis Data ... 36

(8)

IV.2.7 Analisis Comic Strip Panji Koming Edisi 26 Mei 2013 ... 85 IV.2.2 Pembahasan ... 91

BAB V PENUTUP

V.1 Kesimpulan ... 94 V.2 Saran ... 94

DAFTAR REFERENSI ... 96 LAMPIRAN

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman

1. Segitiga Makna Pierce ... 18

2. Sistem Tanda Primer ... 22

3. Contoh Jarak Pandang Utuh ... 28

4. Gambar yang Menggunakan Jarak Pandang Sangat Dekat ... 29

5. Ekspresi Wajah ... 30

6. Peta Tanda Roland Barthes ... 35

7. Panji Koming ... 39

8. Pailul ... 40

9. Gembili dan Ciblon Membawa Makanan ... 41

10. Empu Randubantal dan Tungkunya ... 42

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman

1 Tabel 1 ... 44

2 Tabel 2 ... 53

3 Tabel 3 ... 60

4 Tabel 4 ... 67

5 Tabel 5 ... 72

6 Tabel 6 ... 79

(11)

2014

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Jawa di

Comic Strip (analisis semiotika konsep kepemimpinan dalam Budaya Jawa di

Comic Strip Panji Koming di Harian Kompas periode April-Mei 2013). Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui mitos dan konsep kepemimpinan yang ada di dalaam Budaya Jawa.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan cara pandang melalui paradigma konstruktivis. Metode ini berusaha memahami keunikan, dinamika dan hakikat holistik dari kehadiran manusia dan interaksinya dengan lingkungan. Pisau analisis yang digunakan ialah analisis semiotika yang mencoba membongkar makna dari tanda-tanda. Subjek penelitiannya adalah comic strip Panji Koming yang diambil dari Harian Kompas

periode April-Mei 2013. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik lima kode pembacaan sistem makna.

Hasil penelitian ini menunjukkan berbagai ideologi yang ada pada konsep kepemimpina Jawa. Ideologi yang paling sering muncul ialah feodalisme dan patriarki yang berlandaskan falasafah kehidupan masyarakat Jawa, yaitu mikro, makro dan meta kosmos.

Kata kunci:

Kepemimpinan, Jawa, Comic Strip

(12)

ABSTRACT

Its titled is The Concepts of Java Cultural Leadership in Comic Strip (semiotic analysis of the concept of leadership in Javanese Culture in Comic Strip

Panji Koming in Kompas Newspaper period April-May 2013) . The purpose of this study was to determine the myths and concepts of leadership in carrying culture in Java.

The research method used is a qualitative research method with the perspective through a constructivist paradigm. This method seeks to understand the unique, dynamic and holistic nature of human presence and interaction with the environment. It is used the semiotic analysis that tried to dismantle the meaning of the signs. Research subject is a comic strip Panji Koming drawn from

KompasNewspaper period of April-May 2013. Data collection was performed by using a five- code system reading of meaning.

The results of this study demonstrate the various ideologies that exist in Javanese leadership concept. The most frequent ideology are feudalism and patriarchy that based of falasafah Javanese life, namely micro, macro and meta cosmos.

Keyword:

Leadership, Java, Comic Strip

(13)

KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi siapa pun yang membaca laporan ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa (YME) selalu memberkati tiap nafas yang kita hembuskan.

Ucapan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan YME. Berbagai kemudahan diberikan-Nya sehingga skripsi saya yang berjudul Konsep Kepemimpinan Dalam Budaya Jawa Di Comic Strip (Analisis Semiotika Konsep

Kepemimpinan dalam Budaya Jawa di Comic Strip Panji Koming di Harian

Kompas Periode April-Mei 2013) dapat terselesaikan.

Skripsi ini menjadi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi di program sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Peneliti berharap, skripsi ini tidak hanya bermanfaat bagi peneliti. Tetapi dapat menjadi tambahan literatur pendukung untuk studi dalam bidang ilmu komunikasi, ataupun penelitian lain dengan tema yang sama.

Peneliti tentu mengalami masa pasang surut dan berbagai kendala untuk menyelesaikan skripsi ini. Akan tetapi, dukungan dalam beragam bentuk yang diberikan oleh kedua orang tua peneliti, Bambang Purnomo dan Nurdachniar Thamrin menjadi bahan bakar bagi semangat peneliti. Ketiga saudara peneliti, Nur Dachlia Kartika Dewi, Hany Novita Anggriani dan Muhammad Agung Rezki Purnomo yang telah banyak membantu dan menyemangati dengan caranya masing-masing, peneliti mengucapkan terima kasih dan mengirimkan kecup sayang.

Rasa hormat dan terima kasih yang tak terkira juga ingin peneliti sampaikan kepada para perantara kebaikan Tuhan YME, antara lain sebagai berikut:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(14)

3. Ibu Yovita Sitepu, Msi. selaku dosen pembimbing yang telah memberi arahan, masukan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan staf dan pengajar Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi ilmu selama masa perkuliahan.

5. Miftah Munawar dan Andhika Irdianto yang sudah sebelas tahun bersahabat dengan peneliti. Geng Ramah Lingkungan, ada Ade Irma, Ade Syahputra Daulay, Fidya Afriani, Frilya Fransisca dan Muhammad Dicky Yusuf yang selalu mencerahkan hari-hari peneliti saat mendung datang. Terima kasih tak terkira pada kalian, yang sudah membentuk pribadi penelliti saat ini.

6. Shahnaz Asnawi Yusuf dan Wan Ulfa Nur Zuhra yang menemani masa-masa perkuliahan. Terima kasih telah ada dan memberi makna dalam setiap langkah.

7. Brader dan sister, Harry Yassir Elhadidy Siregar dan Viki Aprilita yang menguatkan di saat lemah, yang mengerti hal-hal tanpa perlu dikatakan. Terima kasih telah menguatkan fisik dan jiwa peneliti. Kepada perkumpulan Arisan Tante Hedon, Ridha Annisa Sebayang, Anas dan Viki, semoga kita tetap eksis sampai tua!

8. Terkhusus Angkatan 23 dan seluruh alumni dan anggota Pers Mahasiswa SUARA USU, sebagai tempat peneliti mencuri ilmu. Terima kasih sudah memberi kesempatan pada peneliti dan mengisi peneliti dengan informasi-informasi yang membuka pola pikir peneliti. Terima kasih atas pinjaman bukunya yang banyak membentu pengerjaan skripsi peneliti. Hidup SUARA USU!

9. Seluruh mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU Angkatan 2008 yang mau berbagi pengalaman dan ilmu sampai saat ini. Semoga kita menjadi orang-orang yang hidupnya berkualitas! Amin.

10.Aulia Adam, Baina Dwi Bestari, Ferdiansyah, Guster C. P. Sihombing dan Renti Rosmalis. Kita lihat, kapan kalian wisuda! Hahahah, selamat skripsian, guys.

11.Untuk berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi besar kepada hidup penulis. Dukungan moril dari kalian tak mampu penulis gantikan

(15)

dengan apa-apa selain ucapan terima kasih. Kalian tahu siapa kalian, maaf tak bisa mencantumkannya satu per satu.

12.Pelukis Pelangi. Walau terkadang salah mencampur warna, terima kasih karena telah mengenalkannya kepada peneliti. Palet warna yang Anda lengkapi adalah hal terbaik yang pernah terjadi sampai saat ini.

Peneliti tahu laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Kesalahan pasti terselip di sana-sini. Maka dari itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kebaikan seluruh pihak yang terlibat. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan.

Medan, 21 Januari 2014 Peneliti

Bania Cahya Dewi

(16)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Pembahasan mengenai kepemimpinan pasti tidak akan lepas dari cara dan perihal memimpin. Berasal dari kata ‘pimpin’ yang bermakna tuntun, secara tidak langsung, kata ‘pimpin’ mengandung dua pihak yaitu yang dipimpin dan yang memimpin. Kepemimpinan sendiri bermakna kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok (Syafiie, 2003: 1). Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan interaksi dinamis antara pemimpin dan masyarakat (yang dipimpin) untuk merealisasikan suatu tujuan yang sama.

Leluhur Bangsa Indonesia seperti Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram telah melahirkan budaya yang berakar hingga saat ini. Tidak hanya itu, kerajaan-kerajaan kecil juga memberikan kontribusi dalam membentuk budaya-budaya tersebut. Hasilnya, sejarah kepemimpinan di Indonesia memiliki banyak warna yang dipengaruhi oleh warisan budaya setiap daerah. Kebudayaan merupakan faktor yang sangat penting karena mengkaji berbagai pola perilaku seseorang ataupun sekelompok orang (suku) yang orientasinya berkisar tentang kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang berjalan, dipikir, dikerjakan dan dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan prestasi di bidang peradaban (Syafiie, 2003: 100).

Jangkar Jayabaya adalah ramalan paling terkenal dalam Budaya Jawa. Ramalan yang berisikan konsep kepemimpinan yang ideal ini, dicetuskan Prabu Jayabaya, raja Kerajaan Kediri periode 1135-1157. Di dalamnya berisikan ciri-ciri pemimpin yang akan sangat dihormati dan disegani, yang dinamakan Ratu Adil. Sosok Ratu Adil (juga dikenal sebagai Satrio Piningit) tersebut yang mengajarkan agar seorang pemimpin senantiasa mengangkat harkat kemanusiaan, selain tidak mengesampingkan kesadaran pencapaian kebahagiaan di dunia dan akhirat.

(17)

Konsep ini tertuang dalam 20 buah aksara Jawa, “ha na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga”.

Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa makna huruf Jawa mengandung nilai-nilai budi pekerti dan filosofi kehidupan yang sangat tinggi dan luhur. Simpulannya, kepemimpinan dalam konteks menuju kepada kedewasaannya, dimulai dari ’pola instruksional’ (leadership by power), berlanjut pada ’pola keteladanan’ (leadership by sample) yang mengedepankan partisipasi dan bersifat mendorong (enganging and encouraging leadership ) dan akhirnya diperlukan ’pola suportif dan simulatif’ di saat sifat keteladanan lebih mengemuka.

Menurut buku Budaya Jawa dan Masyarakat Modern, pandangan orang Jawa tentang hakikat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu dan konsep-konsep religius yang bernuansa mistis. Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Falsafah hidup masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya, agama (Budha, Hindu dan Islam) dan pada batas-batas tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya. Kosmologi orang Jawa terpusat pada peraturan-peraturan yang di-Tuhan-kan (Gauthama, dkk. 2003: 253). Kosmologi yang dimaksud ialah pandangan tentang keseimbangan antara makro kosmos, mikro kosmos dan meta kosmos.

(18)

Konsep kepemimpinan dalam Budaya Jawa (atau orang Jawa sebagai pelakunya) merupakan suatu pandangan filosofis dari seorang pemimpin yang ingin mewujudkan tujuan (cita-cita) bersama (pemimpin dan yang dipimpin) dengan berdasarkan kecintaannya pada kebijaksanaan dan senantiasa berorientasi pada prinsip-prinsip ke-Jawa-an (Achmad, 2013: 26). Seorang pemimpin yang dimaksud bukanlah keturunan Jawa atau orang yang tinggal di Pulau Jawa. Menurut buku Falsafah Kepemimpinan Jawa (2013), pemimpin yang dimaksud bersikap etis, estetis serta berperan aktif dalam turut hamemayu hayuning bawana

(peduli pada lingkungan hidup untuk menuju arah pembangunan yang berkelanjutan). Pemimpin ini merupakan wakil Tuhan yang turut menjaga keselamatan alam beserta isinya, bangsa dan negaranya.

Budaya politik kawula gusti sebenarnya dapat dikaji dari etika Jawa, yang terkenal tabah dan ulet. Mereka memang sudah sejak dahulu terpatri dalam kromo inggil yang ternukil dalam berbagai falsafah hidup. Misalnya dalam kepasrahan menghadapi tantangan hidup, mereka menyebut ‘nrimo’ (menerima dengan pasrah). Sebaliknya dalam meniadakan kesombongan bila memperoleh keberuntungan, mereka memakai istilah ‘ojo dumeh’ (jangan mentang-mentang) (Syafiie, 2003: 11).

Beragam cara digunakan untuk menyalurkan konsep tersebut kepada masyarakat. Salah satunya melalui komik. Komik dianggap sebagai sarana pengungkapan yang benar-benar orisinal, pada awal kemunculannya. Penggabungan gambar dan teks membedakan komik dengan karya lain yang mirip seperti gambar atau sinema. Francis Lacassin memperlihatkan bahwa komik menarik minat para semiotikolog dan linguis (Bonneff, 1998: 4). Komik menjadi sebuah bidang kajian yang luas dan sulit untuk dijelajahi, tetapi terbuka bagi semiotika pesan gambar.

(19)

dalam satu cerita, tidak jarang lebih dan bersambung ke edisi berikutnya. Selama 33 tahun, Harian Kompas Edisi Minggu menampilkan comic strip Panji Koming

yang memaparkan fenomena di Indonesia. Situasi politik, sosial, kebijakan pemerintah, atau hal-hal terbaru direfleksikan melalui dua tokoh utamanya, Panji dan sahabatnya Pailul yang hidup pada abad 15 di Kerajaan Majapahit.

Karya Dwi Koendoro Brotoatmojo (Dwi Koen) ini dinamakan sesuai waktu terbitnya, Kompas Minggu yang disingkat menjadi ‘Koming’ selain dapat berarti ‘gila’ atau ‘bingung’. Sedangkan nama ‘Panji’ ialah segala sesuatu yang berhubungan pada kebenaran dan segala kebaikan. Panji Koming ditampilkan sebagai rakyat kecil yang memiliki pendirian kuat, sabar dan lugu. Teman dekatnya, Pailul digambarkan konyol tapi pemberani dan terbuka. Mereka pun dipasangkan dengan Ni Woro Ciblon dan Ni Dyah Gembil yang personanya masing-masing ialah cantik, pendiam dan sabar serta seorang perempuan gemuk yang selalu berterus terang.

Karakter lain dalam komik yang lahir pada 1979 ini ialah Sang Guru yang bernama Empu Randubantal atau biasa dipanggil ‘Mbah’ sebagai pertapa tua yang pandai meramal. Sang Guru digambarkan bertubuh kurus, keriput dan hanya mengenakan sehelai kain penutup badan. Denmas Ariakendor, seorang punggawa rendahan yang bersifat tamak dan licik serta Adipati (anak dari Raja) yang digambarkan bertubuh tambun dan mudah ditipu. Keduanya menggunakan pakaian ala petinggi pada masa Majapahit. Berpakaian lengkap dengan keris dan kalung. Ada pula hulubalang keraton atau pegawai/ prajurit istana yang bermacam-macam. Selain itu, Dwi Koen juga sering menggambarkan karikatur wajah para petinggi Indonesia dalam komiknya.

(20)

yang ingin diciptakan komikus. Kehadiran tokoh-tokoh yang secara konstan dalam angan pembaca ini, menjadikannya tokoh komik yang utuh.

Misalnya comic strip Oom Pasikom, Put On, Bang Tjokril merupakan tokoh-tokoh yang tidak berperan dalam suatu cerita bersambung, namun terus hadir dalam angan-angan pembaca pada masanya sebab kehadirannya yang terus-menerus. Komik Put On bercerita tentang kehidupan sehari-hari seorang Cina peranakan yang hidup sebagai rakyat kecil di Jakarta beserta masalah-masalahnya.

Oom Pasikom malah ditampilkan sebagai tokoh yang abstrak, karena digambarkan tanpa ciri-ciri suku atau budaya tertentu. Oom Pasikom mampu menanggapi masalah berat dan aktual secara lugu. Sedangkan Bang Tjokril adalah wakil rakyat kecil yang terhimpit masalah keuangan permanen dan bagaimana ia menghadapinya. Bonnef menyebut komik-komik tersebut sebagai komik ‘intelektual’ sebab pembacaannya memerlukan interpretasi (Bonneff, 1998: 57).

Tidak jauh berbeda, komik Panji Koming kerap membuat pembaca berpikir dua kali dalam memaknai rentetan cerita tiap minggunya. Kentalnya budaya Jawa yang digambarkan oleh Dwi Koen pada Panji Koming, terlihat dari

setting tempat, nama, gelar, kata hingga rupa para tokoh di dalamnya. Hal ini dapat membingungkan pembaca dengan latar belakang non-Jawa. Selain itu, kritik yang disampaikan tidak secara gamblang. Salah satu contohnya ialah kritik yang ditujukan untuk kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kritik ini disandingkan dengan nilai-nilai budaya Jawa. Ketika ujian nasional menjadi polemik di Indonesia, Pailul berbagi cerita dengan Sang Guru. Para pemangku jabatan dianalogikan dengan undur-undur (sejenis serangga yang larvanya berjalan mundur). Sang Guru yang berada di depan Pailul pun menjelaskan bahwa kehidupan manusia harus berjalan seimbang dengan alam. “Harus jujur mengakui kesalahan, buka hati, dengarkan kebijakan alam sekitar,” terang Sang Guru. Kalimat tersebut menjadi tanda kosmologi orang Jawa.

Penelitian mengenai Panji Koming pernah dilakukan sebelumnya. Berangkat dari rasa heran Muhammad Nashir Setiawan atas fenomena sosial-politik masa reformasi hingga orde baru yang ditampilkan secara implisit dari

(21)

Universitas Gadjah Mada yang mengkaji comic strip ini melalui semiotika. Ada tujuh buah comic strip dalam rentang Mei- Desember 1998 yang Setiawan pilih sesuai dengan tema penelitiannya. Hasil dari penelitian Setiawan ialah bahwa

Panjji Koming menjadi bentuk lain dari teknik penyajian opini redaksi Harian Kompas. Komik ini merupakan reoresentasi dari esensi berita aktual yang banyak mendapat tanggapan dari masyarakat. Dalam kajian ini, tampak bahwa alusi-alusi dalam konteks reformasi tersebut dibangun dengan mengutip kata-kata “tokoh” yang dijadikan target kritik (Setiawan, 2002: 135).

Opini, cerita satire, mural, dan lain-lain adalah sebagian kecil bentuk ide yang ingin disampaikan oleh komunikator. Namun apapun bentuknya, media massa masih dipilih sebagai media utama penyebaran informasi saat ini. Media massa dipercaya sebagai saluran paling efektif dan efisien. Nurudin, dalam bukunya Pengantar Komunikasi Massa menjabarkan pengertian media massa sebagai saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern. Kemampuan media massa menghimpun, membuat dan menyebarkan informasi telah menjadi budaya. Sadar ataupun tidak, manusia menjadi tergantung dengan kehadiran media massa.

Sampai saat ini, salah satu jenis media massa yang masih hidup dan digemari khalayak adalah surat kabar. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol sosial, konten surat kabar tidak melulu berita. Opini dan kritik disajikan dengan berbagai bentuk, bisa serius dan tidak jarang dengan cara menghibur. Nampak pada karikatur yang ditampilkan di Harian Kompas setiap harinya. Secara khusus, pada terbitan di hari Minggu, Kompas menyediakan halaman khusus untuk kritik sosial dalam bentuk comic strip yang sarat makna.

Kompleksnya makna kepemimpinan dalam Budaya Jawa tidak bisa disarikan begitu saja. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitan mengenai “Analisis Semiotika Konsep Kepemimpinan dalam Budaya Jawa di Comic Strip Panji Koming di Harian Kompas Periode April-Mei 2013”.

I.2 Fokus Masalah

(22)

1. Bagaimana makna denotasi dan konotasi yang ada pada comic stripPanji Koming?

2. Bagaimana mitos kepemimpinan Budaya Jawa yang ditampilkan oleh

comic stripPanji Koming?

I.3 Tujuan Penelitian

Hasil yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Peneliti ingin mengetahui penerapan ilmu semiotika pada komik.

2. Peneliti ingin mengetahui sistem signifikasi makna pada comic strip

menurut Roland Barthes.

3. Peneliti ingin mengetahui makna yang terkandung dalam comic stripPanji Koming.

4. Peneliti ingin mengetahui mitos dalam konsep kepemimpinan Budaya Jawa.

I.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini ialah:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber penelitian dan bahan bacaan bagi mahasiswa yang tertarik pada analisis semiotika terhadap komik.

3. Secara teoritis, peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi media penulis untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh, sekaligus memperluas wawasan penulis.

(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bungin (2003: 45), suatu penelitian yang mesti memenuhi standar ilmiah dengan menyertakan kajian teori dan perspektif teoritik yang dipandang relevan untuk membantu memahami dan menjelaskan fenomena sosial yang diteliti. Kerangka teori menjadi landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti permasalahan. Sehingga diperlukan teori yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan, berikut kerangka teori dalam penelitian ini:

II.1 Paradigma

Paradigma berasal dari Bahasa Latin, paradeigma yang diserap ke Bahasa Inggris pada 1483 yang berarti suatu model atau pola. Ialah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhi seseorang dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif) dan bertingkah laku (konatif).

Mulyana (2003: 9) mengungkapkan, paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan, kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang.

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini ialah paradigma konstruktivis. Konstruktivis hadir sebagai penolakan atas ide pandangan positivis yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Menurut paradigma ini, subjek berperan aktif sekaligus sebagai faktor utama dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151). Pembeda paradigma ini dengan yang lain dapat dilihat dari sisi ontologis, epistemologis dan metodologisnya. Secara ontologis, paradigma konstruktivis bersifat relativis. Realitas dapat dipahami sebagai bentuk konstruksi

(24)

mental yang diperoleh secara alami melalui kehidupan sosial atau pengalaman dan sering kali dipertukarkan di antara sejumlah individu.

Secara epistemologis, paradigma konstruktivis bersifat transaksional dan subjektivis. Peneliti dan objek penelitian diasumsikan terhubung secara interaktif sehingga temuan dari penelitian tersebut tercipta seiring berlangsungnya penelitian.

Sedangkan secara metodologis, paradigma konstruktivis bersifat

hermeneutical dan dialectical. Variabel dan sifat personal dari konstruksi sosial menyebabkan konstruksi individual hanya diperoleh melalui interaksi antara peneliti dan responden.

Teori konstruktivisme berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apa pun (Ardianto, 2010: 154). Oleh sebab itu, teori ini memiliki tiga tema besar antara lain (a) pentingnya makna bagi perilaku manusia, (b) pentingnya konsep mengenai diri, dan (c) hubungan antara individu dan masyarakat.

II.2 Komunikasi Massa

Komunikasi massa pada dasarnya ialah komunikasi melalui media massa (cetak dan elektronik). Awalnya, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa yang dimaksud ialah saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern. Jadi, media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalan komunikasi massa (Nurudin, 2007: 4). Sekata dengannya, Mulyana (2005: 75) memaparkan, komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara tepat, serentak dan selintas (khususnya media elektronik).

(25)

theories, kelompok kedua ialah kelompok ‘teori-teori kontekstual’ atau contextual theories. Komunikasi massa termasuk dalam teori kontekstual, selain itu terdapat pula komunikasi antarpribadi, komunikasi intra pribadi, komunikasi organisasi dan komunikasi kelompok. Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Umumnya, teori komunikasi massa memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang menyangkut struktur media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari komunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi massa terhadap individu (Bungin, 2006: 252).

Intinya, proses komunikasi yang terjadi dapat membawa pesan yang banyak yang ditujukan pada khalayak luas. Dari hal tersebut, dapat disarikan unsur-unsur penting dari komunikasi massa ialah komunikator, pesan (untuk massa), media massa, gatekeeper, khalayak dan umpan balik.

Komunikator dalam komunikasi massa adalah pihak yang mengandalkan media massa dengan teknologi telematika modern, serta berperan sebagai sumber pemberitaan yang bersifat mencari keuntungan dari penyebaran informasi. Pemberi pesan ini juga mencoba berbagi informasi, ide, wawasan dan solusi kepada massa (khalayak). Unsur berikutnya adalah pesan yang ditujukan untuk massa (publik), sehingga pesan tersebut haruslah ditujukan kepada orang banyak (tidak bersifat pribadi) (Bungin, 2006: 72).

Poin selanjutnya adalah media massa, media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi dan dapat diakses secara massal. Media massa mempunyai kekuatan dalam menyebarkan informasi kepada publik, karena merupakan suatu organisasi yang terdiri dari susunan yang sangat kompleks dan lembaga sosial yang penting dalam masyarakat. Media massa seringkali berperan sebagai wahana pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol. Hadirnya media massa, membuat setiap pesan/informasi yang akan disampaikan harus melalui

gatekeeper atau penyeleksi informasi. Gatekeeper bertugas memilah informasi yang bisa atau tidak bisa disiarkan.

(26)

pembatasan legal, batas waktu, etika, kompetisi, nilai berita dan reaksi terhadap umpan balik.

Khalayak selaku komunikan menempati posisi berikutnya. Khalayak adalah orang-orang atau masyarakat pengguna media massa yang menerima informasi. Konsep massa ini pun memiliki ciri-ciri seperti jumlah yang besar, lokasi tersebar, sulit dibedakan, sebagian besar skeptis dan bersifat negatif, sukar diorganisir dan menjadi refleksi kehidupan sosial secara luas. Lalu, ada umpan balik yang sifatnya tertunda. Namun dengan majunya teknologi, sebagian besar media massa memfasilitasi ruang interaktif antara khalayak dan komunikator.

Lebih jelasnya, ciri-ciri utama komunikasi massa menurut Denis Mc Quail yaitu; sumbernya adalah organisasi formal dan pengirimnya adalah professional, pesan beragam serta dapat diperkirakan, pesan melalui proses yang menggunakan standar, pesan memiliki nilai jual dan makna simbolik, hubungan anatara komunikan dan komunikator (seringnya) bersifat satu arah, bersifat impersonal, non-moral dan kalkulatif. Proses komunikasi yang terjadi pada model komunikasi ini, lebih rumit dan kompleks dari komunikasi tatap muka. Berikut penjelasan beberapa efek komunikasi massa (Bungin, 2006: 277):

1. Stimulus-Respons. Mc Quail menjabarkan tiga elemen utama dalam teori ini, yaitu pesan (sebagai stimulus), seorang penerima atau receiver

(manusia) dan efek (respons). Secara sederhana, teori ini menjelaskan bahwa tanggapan yang diterima merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Berdasar pada teori jarum hipodermik, stimulus-respons berasumsi bahwa pesan yang sudah dipersiapkan oleh media akan didistribusikan secara sistematis dalam skala yang luas. Pesan ini ditujukan kepada masyarakat luas, yang mana sejumlah besar individu akan memberikan respon. Diharapkan, majunya teknologi memudahkan pengiriman pesan, memaksimalkan jumlah khalayak penerima serta meningkatkan respon balik.

(27)

masyarakat yang sedang berfkembang maupun yang sudah maju. Masih dalam buku yang sama, Bungin mengutip Everett M. Rogers yang merumuskan lima tahap dalam suatu proses difusi inovasi yaitu; pengetahuan, persuasi, keputusan, pelaksanaan dan konfirmasi.

3. Agenda Setting. Agenda setting pertama kali diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw pada 1972. Asumsi dasar pada teori ini ialah, apa yang ditampilkan secara terus-menerus oleh media dapat mempengaruhi masyarakat untuk menganggap hal tersebut, penting untuk diketahui. Dapat dilihat, selama bulan Agustus 2013 berita mengenai honor Ustaz Soleh Mahmud (yang lebih dikenal dengan nama Solmed) masih ditampilkan di berbagai media nasional. Berbagai media tersebut, seperti elektronik, cetak dan online terus memperbaharui informasi tentang batalnya kegiatan berdakwah Ustaz Solmed di Hong Kong mulai 12 Agustus hingga 28 Agustus (sumber wawancara Ustaz Solmed, tanggapan dari berbagai pihak termasuk ustaz, perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), sanggahan pihak penyelenggara acara ditampilkan (nyaris) berulang-ulang pada selang waktu tersebut.

4. Uses and Gratifications, ialah penggunaan isi media untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Pertama kali dijelaskan oleh Elihu Katz pada 1959 sebagai tanggapan atas pernyataan Bernard Berelson pada tahun yang sama, bahwa penelitian komunikasi tampaknya akan mati. Katz menegaskan bahwa bidang kajian yang tengah sekarat saat itu ialah studi komunikasi sebagai persuasi. Uses and gratifications ialah mengenai media memenuhi kebutuhan khalayak. Bobotnya ialah pada khalayak yang aktif, yang sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus (Effendy, 2000: 290).

(28)

sebagai media informasi dapat diwujudkan dengan memberikan informasi-informasi yang terbaru, terbuka dan jujur. Melalui perannya yang terakhir, sebagai media hiburan, media massa berusaha mengimbangi jumlah informasi berbentuk artikel atau berita yang cenderung berat dengan menghadirkan cerita bergambar,

comic strip, sudoku, atau berita yang bersifat human interest.

Lebih lengkap lagi, fungsi media massa secara umum terbagi dua, yaitu fungsi nyata (manifest function) adalah fungsi yang diinginkan dan latent function

ialah fungsi tidak nyata atau tersembunyi, yaitu fungsi yang tidak diinginkan (Bungin, 2008: 78). Sebagai contoh, dalam komik Detective Conan ada cara membuka pintu yang terkunci dengan perkakas yang mudah didapat. Informasi ini bisa digunakan untuk membantu seseorang yang terkunci atau bisa dijadikan ‘ilmu’ untuk melakukan tindak kriminal. Berikut paparan kelima fungsi media massa secara khusus (Bungin, 2008: 79-80):

1. Fungsi Pengawasan. Aktivitas masyarakat dapat diawasi secara umum melalui media massa sebagai salurannya. Bentuknya berupa pengawasan dan kontrol sosial serta kegiatan persuasif. Pengawasan dan kontrol sosial dilakukan sebagai tindakan pencegahan hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti bahaya penggunaan kosmetik berbahan merkuri atau zat pewarna pada makanan. Sedangkan kegiatan persuasif ialah sebagai upaya pemberian reward dan punishment sesuai hal yang dilakukan oleh masyarakat.

2. Fungsi Social Learning. Fungsi ini biasa disebut sebagai fungsi utama dari media massa, yaitu sebagai media pendidikan sosial. Melalui media massa, diharapkan proses pendidikan dapat tersebar secara efektif dan efisien di khalayak ramai.

3. Fungsi Penyampaian Informasi. Komunikasi massa memungkinkan informasi dari institusi publik tersamapaikan kepada masyarakat secara luas dalam waktu cepat sehingga fungsi informatif tecapai dalam waktu cepat dan singkat (Bungin, 2008: 80).

(29)

ditransmisikan melalui media massa sebab menyangkut bidang lainnya seperti politik, agama, hukum dan sebagainya.

5. Hiburan. Sejalan dengan keempat fungsi sebelumnya, fungsi hiburan bertujuan menyampaikan pesan yang bersifat informatif secara ‘ringan’ dengan maksud melemaskan ketegangan pikiran setelah dihidangi berita dan artikel yang berat-berat (Effendy, 2000: 94).

Dewasa ini, masyarakat terus bergerak maju. Perangkat teknologi jadi semakin modern, sehingga tantangan pun semakin berkembang. Dalam masalah berkomunikasi, terlihat pergeseran yang mencolok. Komunikasi tatap muka yang dulu paling diandalkan dapat digantikan dengan alat komunikasi yang lebih canggih. Ketergantungan masyarakat terhadap media massa meningkat, yang menjadikan media sebagai alat yang ikut membentuk apa dan bagaimana masyarakat nantinya. Media massa telah menjadi budaya. Ia diciptakan manusia, tetapi akhirnya media membentuk masyarakat itu sendiri. Media mampu mengarahkan masyarakat untuk mencapai suatu perubahan tertentu (Nurudin, 2007: 36).

II.3 Semiotika

Analisis semiotika menjadi pisau analisis pada penelitian ini. Analisis semiotika berusaha menggali bagaimana bahasa dan komunikasi memiliki makna berdasarkan asumsi-asumsi seseorang dalam pemaknaan pesan-pesan. Dikembangkan dari lingustik, awalnya semiotika diaplikasikan untuk memahami pesan-pesan kampanye. Penyelidikan atas simbol-simbol yang dilakukan oleh metode ini telah membentuk tradisi pemikiran penting dalam teori public relations

(30)

Penggunaan kata semiotika atau semiologi kadang masih membingungkan, walau sebenarnya keduanya memiliki arti yang sama. Sesungguhnya kedua istilah tersebut sama-sama ada dalam sejarah linguistik, seperti semasiologi, sememik, dan semik yang merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Perbedaannya ialah, pengguna kata semiologi adalah pengikut Saussure yang mengacu pada tradisi Eropa. Sedangkan orang-orang yang bergabung dengan Pierce atau mengacu pada tradisi Amerika menggunakan kata semiotika. Namun istilah semiologi kian jarang dipakai, ada kecenderungan istilah semiotika lebih populer dari istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya (Sobur, 2004: 12).

Secara etimologis, semiotika berasal dari Yunani, berasal dari kata ‘semeion’ yang berarti tanda. Secara terminologis, semiotika ialah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. Ferdinand de Saussure, pendiri linguistik modern menurut John Lyons (1995) yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar ‘sistem tanda’, dan bahwa tidak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk kultural apa pun (Stokes, 2006: 76).

Sepaham dengannya, Alex Sobur dalam bukunya menyebutkan bahwa semiotika dalam pandangannya adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Tanda-tanda tersebut dapat ditemukan dimana-mana. Padanan warna yang Anda gunakan, senyuman, kerlingan, dan masih banyak lagi. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari dan menemukan jalan di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur, 2004: xxi).

Semiotika adalah studi mengenai tanda. Tanda tersebut mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan lainnya yang berada di luar diri. Tanda diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri (Craig, 1999: 35).

(31)

cara sebuah pesan menjadi makna. Ada tiga jenis teori yang berhubungan dengan tradisi semiotika, yaitu:

1. Teori Simbol. Tanda adalah suatu stimulus yang menandai kehadiran sesuatu yang lain. Sebagai contoh, wajah cemberut menunjukkan ketidaksenangan manusia terhadap sesuatu, sendal jepit bermakna tidak formal atau santai, lampu kuning tanda hati-hati atau waspada. Dengan demikian, tanda berkaitan erat dengan makna sebenarnya. Contoh-contoh tersebut dinamakan signifikasi, yaitu makna yang dimaksudkan dari tanda (Morissan dkk, 2009: 89).

Kebalikan dari tanda, simbol merupakan suatu instrumen pikiran. Di mana manusia dapat memaknai lebih, sesuai dengan pengalaman dan perspektif masing-masing. Susanne Langer memandang makna di dalam simbol terdiri atas aspek logis dan psikologis. Aspek logis ialah hubungan antara simbol dan referennya yang dinamakan denotasi, sedangkan aspek psikologis adalah hubungan simbol dan orang yang dinamakan konotasi yang merupakan hubungan yang lebih kompleks.

2. Ferdinand de Saussure mengajarkan bahwa ‘tanda’, termasuk bahasa adalah bersifat acak. Ia menyatakan bahasa yang berbeda menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menunjukkan hal yang sama (Morissan dkk, 2009: 91). Bahasa sebagai suatu sistem terstruktur yang mewakili realitas. Menurut Saussure, peneliti bahasa harus memberikan perhatian pada bentuk-bentuk bahasa seperti bunyi ucapan, kata-kata dan tata bahasa. 3. Perilaku nonverbal. Kode nonverbal adalah sejumlah perilaku yang

(32)

tampilan fisik, sentuhan (haptics), ruang (pro-xemics), waktu (chronemics) dan objek (artifacts).

Charles Sanders Pierce menegaskan bahwa kita hanya bisa berpikir dengan sarana tanda. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda. Maka tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996: 64). Tidak pelak, banyak teori komunikasi yang berasal dari semiotika. Perbedaannya adalah, teori komunikasi menaruh perhatian pada saluran komunikasi. Sebab ‘saluran’ inilah yang menentukan sampai-tidaknya sebuah pesan atau tanda.

Untuk memudahkan penelitian semiotika, Charles Sanders Peirce mengadakan klasifikasi tanda agar tanda bisa berfungsi. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol).

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Contohnya seperti peta dan wilayah geografisnya atau lukisan dan gagasannya.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda uang bersifat kausal atau hubungan sebab-akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan (Alex Sobur, 2004: 42). Secara sederhana, Fiske mengartikan indeks sebagai tanda yang hubungan eksistensialnya langsung dengan objeknya. Misalnya asap adalah indeks api, bersin adalah indeks flu, dan jenggot seseorang merupakan indeks orang tersebut.

Secara sederhana simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

(33)

Gambar 1 Segitiga Makna Pierce

(Sumber: Wibowo, 2011: 13)

Sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain (disebut Pierce sebagai interpretant) menjadi interpretant dari tanda pertama yang secara bergilir akan mengacu pada object tertentu. Proses semiosis menurut Pierce merupakan suatu proses yang memadukan hal (berupa representamen) dengan entitas lain yang disebut object yang menghasilkan signifikasi.

Pendekatan-pendekatan Pierce kemudian dikembangkan oleh Umberto Eco yang terkenal melalui novelnya, The Name of The Rose yang berisi teori tentang tanda yang mengacu pada berbagai aspek di masa lalu dan kini. Eco khusus menyelidiki sifat-sifat dinamis tanda dengan menggunakan suatu perbandingan. Ia menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi abadi (Sobur, 2004: 75). Hadirnya Eco telah memperluas kajian semiotika yang meliputi seluruh wahana intelektual manusia, tanda alamiah dan tanda peradaban yang dikenal sebagai ranah budaya:

1. Semiotika binatang (Zoo semiotics), memberikan gambaran semiotika binatang yang berhubungan dengan perilaku komunikatif keleompok binatang.

(34)

3. Komunikasi rabaan (Tactile communication), merupakan komunikasi antara orang buta dan perilaku prosemik seperti; tepukan di bahu, tamparan, pelukan, dan sebagainya.

4. Paralinguistik (Paralinguistics), berkaitan dengan kajian tanda-tanda suprasegmental dan varian bebas yang disisfemasikan.

5. Semiotika medis (Medical semiotics), mengkaji ungkapan para pasien, psikoanalisis dan neurosis.

6. Kinesik dan Prosemik (Kinesics dan Prosemics), berhubungan dengan gerak tangan yang mengandung makna budaya.

7. Kode musikal (Musical codes), berhubungan dengan sistem tanda musikal, baik yang memiliki nilai denotatif yang jelas, maupun yang memiliki nilai konotatif prabudaya.

8. Bahasa yang diformalkan (Formalized languages), meliputi bahasa matematik, kimia, bahasa elektronik, dan komputer.

9. Kode rahasia (Secret codes), yang berhubungan dengan kode-kode rahasia, alfabet kuno dan teka-teki.

10. Bahasa alami (Natural languages), meliputi kajian bahasa secara struktural, logika, dan filsafat bahasa.

11. Komunikasi visual (Visual communication), kajian yang meliputi sistem grafis, sistem warna, tanda-tanda ikon, simbol, fenomena visual dalam komunikasi massa, komik, uang, kartu permainan, pakaian, arsitektur, peta geografi, film, dan sebagainya.

12. Sistem objek (Systems of objects), meliputi arsitektur dan objek-objek secara umum.

13. Struktur alur (Plot structure), meliputi cerita rakyat, mitologi, lelucon, permainan, cerita detektif, cerita roman populer, dan sebagainya.

14. Teori teks (Text theory), meliputi kajian tentang alur cerita dan bahasa puitis.

(35)

16. Teks estetik (Aesthetic text), meliputi psikologi kreasi artistik, hubungan estetik dengan alam, hubungan seni dengan masyarakat dan sebagainya. 17. Kode-kode cecapan (Code of taste), yaitu tanda-tanda yang terdapat dalam

kegiatan masak memasak, yang dikaji antropologi kultural.

18. Komunikasi massa (Mass communication), wilayah ini berkaitan dengan beragam disiplin, dari psikologi sampai sosiologi dan pedagogi. Studi komunikasi massa mengusung sebuah objek tunggal sejauh dia mengklaim bahwa industrialisasi komunikasi tidak hanya mengubah kondisi-kondisi dan syarat-syarat bagi penerimaan dan pengiriman pesan.

19. Retorika (Rethoric). Retorika menawarkan sarana-sarana yang dapat dimanfaatkan oleh disiplin yang mencakupnya. Daftar kepustakaan tentang aspek-aspek semiotis dari retorika terlihat mirip dengan kepustakaan retorika.

Secara sederhana simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Tiga cabang penyelidikan semiotika adalah sebagai berikut:

1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimana tanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seseorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009:29). 2. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari

(36)

3. Sintaktik, berkenaan dengan keterpaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009:29).

Kunci semiotika ialah bagaimana pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dan bagaimana kita, sebagai pembaca, mendapatkan maknanya. Walau tidak berarti setiap pembaca pasti mendapatkan makna sesungguhnya. Oleh karena itu, analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual. Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasi makna. Dampaknya, hasil penelitian semiotika sangat subjektif sehingga peneliti lain yang mempelajari hal yang sama dapat menghasilkan makna yang berbeda.

II.4 Semiotika Roland Barthes

Semiologi, sesuai istilah Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan, 2001: 53). Dalam bukunya,

Mythologies, karakteristik semiotika Roland Barthes ialah adanya dua tataran sistem pemaknaan atau dua tingkatan bahasa. Tataran pertama disebut denotatif dan yang kedua ialah konotatif.

Kedua hal tersebut menjadi kunci penting dari semiotika Bhartes. Ia mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content (atau

(37)

Gambar 2 Sistem Tanda Primer

E

2

= (E

1

R

1

C

1

) R

2

C

2

(Sumber: Wibowo, 2011: 16)

Tanda denotatif terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Akan tetapi, pada saat yang sama, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Sehingga, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sebagai sifat asli tanda, tanda konotatif membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Peran pembaca dalam semiotika Barthes merupakan penemuan terpenting dari perkembangan semiotika.

Ada perbedan mendasar antara penegertian denotasi dan konotasi secara umum dengan pengertian yang dimaksud oleh Bhartes. Pengertian umum denotasi mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti sesuai apa yang terucap/tertuliskan. Sedangkan makna konotasi berarti sebaliknya. Namun dalam semiotika Bhartes, denotasi menjadi sistem signifikasi tingkat pertama, yang merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Bhartes mengatakan bahwa entitas ini ialah makna paling nyata dari tanda. Denotasi diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis (Sobur, 2004: 70).

Budiman (2001: 28) memaparkan, dalam kerangka Roland Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai ‘mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalamnya juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos adalah suatu pemaknaan tataran kedua.

(38)

kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam (Wibowo, 2011: 17). Mitos hadir melalui anggapan berdasar pada observasi kasar yang digeneralisasikan. Salah satu contohnya ialah pemaknaan pita kuning (yellow ribbon) bagi Warga Amerika.

Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Buku S/Z

Barthes menjelaskan bahwa ideologi ada selama kebudayaan ada. Ideologi tersebut mewujudkan dirinya melalui kode-kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk tokoh, latar, sudut pandang dan lain-lain. Secara etimologis, ideologi berarti melihat kata-kata, yang mana kata-kata tersebut dapat berarti pengetahuan atau teori. Utamanya, ideologi bermaksud mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi antar anggota kelompok menyediakan dasar bagaimana maslah harus dilihat.

S/Z (1970) adalah buku yang berisikan salah satu contoh cara kerja Barthes. Di sini ia menganalisis sebuah novel berjudul Sarraisine dengan meninjau lima kode sebagai sistem makna yang ketiga yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda. Kelima kode tersebut adalah kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik dan kode gnomik.

II.5 Komunikasi Visual

Komunikasi visual merupakan sebuah rangkaian proses penyampaian kehendak atau maksud tertentu kepada pihak lain dengan menggunakan media penggambaran yang hanya terbaca oleh indra penglihatan. Mengutip dari situs Wikipedia (id.wikipedia.org), komunikasi visual adalah kombinasi seni, lambang, tipografi, gambar, desain grafis, ilustrasi dan warna dalam penyampaiannya. Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri dari gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout.

(39)

Penyebabnya adalah perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas dengan fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari sebuah pengirim pesan (sender) kepada para penerima

(receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah komunikasi namun juga mempunyai fungsi signifikasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009: xi).

II.5.1 Tanda Verbal dan Nonverbal

Ada dua tanda yang dihasilkan oleh manusia dalam berkomunikasi, ialah tanda verbal dan nonverbal. Tanda yang bersifat verbal adalah tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, dalam hal ini berbentuk tulisan. Dalam prosesnya, tanda verbal ini memiliki tiga fungsi, seperti yang dipaparkan Larry L. Barker:

1. Penamaan (naming atau labelling), merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalamkomunikasi.

2. Interaksi, berfungsi menekankan berbagai gagasan dan emosi yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan.

3. Transmisi informasi, dengan menggunakan bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Menurut Mulyana (2005: 242-243), keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi informasi yang lintas waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa depan, memungkinkan berkesinambungan budaya dan tradisi kita.

(40)

termasuk tubuh dan pakaian, untuk mengkomunikasikan pesan (Hanafi, 1984: 217).

Pateda (2001) menjelaskan empat poin mengenai tanda nonverbal yaitu:

1. Tanda yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang seperti; “Ayo!”

2. Suara, misalnya siulan atau membunyikan “ssst..,” sebagai tanda memanggil seseorang.

3. Tanda yang diciptakan manusia dengan maksud menghemat waktu, tenaga, dan menjaga kerahasiaan. Contohnya, lampu lalu lintas dan bendera.

4. Benda-benda yang bermakna kultural dan ritual. Misalnya keris menandakan tingkat sosial masyarakat Jawa sekaligus benda yang mangandung unsur mistis (Sobur, 2004: 122).

Tanda-tanda tersebut, sayangnya tidak berlaku universal seperti laiknya kata-kata (tanda verbal). Melekatkan jempol dan telunjuk hingga membentuk lingkaran dan menjarangkan jari-jari lainnya berarti “oke” atau “sepakat” bagi orang Amerika juga di Indonesia. Namun ini merupakan isyarat “jorok” di Brazil.

II.6 Kartun-Karikatur-Komik

(41)

ringan, oleh sebab itu terdiri dari gambar dan teks. Sedangkan kartun dan karikatur berfungsi untuk menyindir atau memperingatkan.

Kartun dan karikatur ibarat binatang dan gajah. Kartun adalah binatang, sedangkan karikatur adalah gajah (Sobur, 2004: 139). Kartun memiliki banyak bentuk, gag cartoon atau kartun murni, kartun animasi, strip carton, kartun opini, dan lain-lain. Karikatur yang berasal dari kata caricare ialah foto atau potret seseorang yang digambar berlebihan, misal hidung, mata, kepala, telinga dan anggota tubuh lain dibuat lebih besar dari bagian yang lain. Sedangkan pengertian komik secara umum menurut Setiawan (2002: 22) adalah cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku, yang pada umumnya mudah dicerna dan lucu.

Kadar kelucuan tersebut dibagi lagi ke dalam tiga bagian yaitu, comical,

satire dan cynical. Pada tingkatan pertama, comical, cerita dalam komik biasanya berupa lelucon ringan yang membuat orang senang, tertawa serta menghadirkan berbagai kejutan lucu tanpa maksud menyinggung orang. Tingkatan kedua, satire, ialah komik yang menyampaikan sindiran, mengungkap masalah sosial, atau komik politik (editorial). Permasalahan diramu sedemikian rupa sehingga masih terasa lucu. Terakhir, komik cynical ialah komik yang isinya bersifat menghina/melecehkan yang biasa ditampilkan saat ada perseteruan antar golongan, perselisihan politik, dan lain-lain. Berdasar peredarannya, komik juga mempunyai klasifikasi tersendiri. Berikut jenis-jenis komik yang beredar menurut www.jagoancomic.com:

1. Komik potongan (comic strip), penggalan-penggalan gambar yang disusun/dirangkai menjadi sebuah alur cerita bersambung/berseri. Biasanya terdiri dari tiga hingga enam panel atau sekitarnya. Comic strip

ini biasanya dimuat dalam tampilan harian atau mingguan di sebuah surat kabar, majalah maupun tabloid/buletin. Penyajian isi berita juga dapat berupa humor/banyolan atau cerita yang serius, yang asyik untuk disimak setiap periodenya hingga tamat.

(42)

buku komik berisikan 32 halaman, pada umumnya, dan ada juga yang 48 hingga 64 halaman, di mana di dalamnya berisikan isi cerita, iklan dan lain-lain.

3. Komik Novel Grafis (graphic novel), biasanya isi ceritanya lebih panjang dan komplikasi serta membutuhkan tingkat berpikir yang lebih dewasa untuk pembacanya. Isi buku bisa lebih dari 100 halaman. Bisa juga daalam bentuk seri dan cerpen.

4. Komik Tahunan (annual comic), bila pembuat komik sudah dalam lembaga penerbit yang serius, penerbit akan secara teratur/berkala menerbitkan buku-buku komik baik itu serita putus maupun serial panjang. 5. Album Komik (comic album), para penggemar bacaan komik baik itu

komik karikatur maupun comic strip dapat mengoleksi (hasil guntingan dari berbagai sumber media bacaan), di mana hasil koleksinya dikumpulkan dan disusun rapi/dikliping menjadi sebuah album bacaan. 6. Komik Dalam Jaringan (online comic), selain media cetak seperti surat

kabar, majalah, tabloid dan buletin, media internet juga dapat dijadikan sarana dalam mempublikasikan komik-komik. Dengan menyediakan

website maka para pengunjung/pembaca dapat menyimak komik. Dengan menggunakan internet, jangkauan pembacanya lebih luas (seluruh dunia dapat mengaksesnya) daripada media cetak. Komik online bisa dijadikan langkah awal untuk mempublikasikan komik-komik dengan biaya relatif lebih murah dibanding media cetak. contoh: www.kaptenbandung.com 7. Buku instruksi dalam format komik (intructional comic), sebuah panduan

atau instruksi sesuatu dikemas dalam format komik, atau tampilan lainya. Pengguna/pembaca akan lebih mudah cepat mengerti bila melihat aluran gambar dari pada harus membaca prosedur-prosedur dalam bentuk tulisan., selain lebih menarik dan menyenangkan.

(43)

kecil-kecilan, sebagai langkah awal seorang komikus. Contoh: Kakek Bejo (kakekbejo.blogspot.com).

Menurut Dwi Koen, pengetahuan akan multimedia dapat digunakan dalam pembuatan komik. Peneliti dapat berpikir secara sinematografis untuk memudahkan proses analisis komik sebab sinematografi merupakan salah satu kerangka yang menghidupkan komik (Brotoatmojo, 2008: 59). Secara etimologis, sinematografis berasal dari kata sinema atau gambar hidup, dan grafika atau ilmu cetak. Paduan dari kedua ilmu tersebut, akan memudahkan penelitian mengenai komik yang dibuat dalam kotak-kotak yang membatasi setiap cerita. Namun, kotak tersebut tidak hanya berguna sebagi pembatas, kotak dalam komik membantu pembaca menentukan fokus pandangan. Terdapat berbagai jarak pandang yang digunakan oleh komikus untuk mendapatkan gambar subjeknya, berikut penjelasannya:

1. Jarak pandang jauh (Long distance, Long shot). Jarak pandang ini lebih banyak menggambarkan suasana, biasanya ada subjek di latar depan atau di latar belakang. Terdapat konteks perbedaan dengan publik.

2. Jarak pandang utuh (Full shot) yaitu subjek yang digambarkan utuh dari kepala hingga kaki. Bisa seorang, dua orang atau lebih. Dengan menggunakan jarak pandang ini, komikus ingin menandakan suatu hubungan sosial.

Gambar 3

Contoh Jarak Pandang Utuh

(44)

3. Jarak pandang menengah (Medium shot). Ialah jarak pandang dari pinggang ke atas atau ke bawah, namun lebih fleksibel. Dalam satu kotak bisa terdapat satu sosok atu lebih, tergantung kebutuhannya untuk menggambarkan hubungan personal dengan objek.

4. Jarak pandang dekat (Close up) yakni fokus pandang pada mimik wajah ataupun gerakan lain yang menggambarkan kegiatan dari dekat dan ada kesan intim.

5. Jarak pandang sangat dekat (Big close up, Extreme close up). Jarak pandang terdekat untuk memperlihatkan detil kepada pembaca, misal fokus ke mata hingga iris terlihat. Menggambarkan emosi, dramatik atau suatu momen penting.

Gambar 4

Gambar yang Menggunakan Jarak Pandang Sangat Dekat

(Sumber: Brotoatmojo, 2008: 61)

Selain itu, penentuan sudut pandang juga memberikan kesan tersendiri bagi subjek atau cerita di dalamnya. Masih dari buku Yuk, Bikin Komik (2008), ada empat sudut pandang dalam cerita:

1. Sudut pandang dari bawah (Low angle), digunakan untuk menggambarkan kegagahan, kepahlawanan. Apa pun yang layak kita lihat.

2. Sudut pandang sejajar (Eye level), yaitu sudut pandang yang setinggi mata kita, memberi kesan sejajar, sama rata.

(45)

4. Sudut pandang burung (Bird’s eye level), adalah sudut pandang yang lebih ekstrim dari sudut pandang atas.

II.7 Comic Strip

Penggunaan kata comic strip dalam bahasa aslinya memang jarang digunakan di literatur lain. Kebanyakan, comic strip langsung dialihbahasakan ke komik strip yang mana strip pada Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris tidak bermakna sama. Comic strip atau ‘komik potongan’ (jika ingin diartikan seperti itu) terdiri dari panel-panel yang berisi gambar-gambar berkesinambungan yang saling berkomunikasi melalui balon kata. Berger (dalam Setiawan, 2002: 28) mendefinisikan ciri-ciri comic strip: (1) Mempunyai karakter tetap, (2) Bingkai/frame menunjukkan tahapan atau aksi, (3) Terdapat dialog dalam balon kata.

Untuk mempelajari komik, ada tujuh hal yang perlu diketahui oleh peneliti (Setiawan, 2002: 30-31).:

1. Cara menggambarkan karakter merupakan penunjuk apakah comic strip

termasuk lelucon atau wacana serius. Hal ini dapat dilihat dari gambar tokoh yang menonjolkan suatu bagian, misal perut atau hidung.

2. Ekspresi wajah yang digunakan untuk menunjukkan perasaan atau pernyataan emosi dari berbagai karakter.

(46)

(Sumber: Brotoatmojo, 2008: 99)

3. Balon kata, digunakan untuk menunjukkan dialog tokoh komik, kadangkala kata-kata tertentu diberi tekanan dengan dicetak tebal atau dengan bentuk tipografi khusus.

4. Garis gerak, merupakan petunjuk suatu gerakan atau kecepatan. Untuk kesan gerakan yang lebih cepat, maka garis akan bertambah banyak. Kadanng ditambah gambar debu atau angin.

5. Panel di bawah atau di atas bingkai. Gunanya agar menjaga kontinuitas sekaligus menjelaskan kepada pembaca apa yang diharapkan atau kelanjutan cerita.

6. Setting, penggunaan setting bermaksud untuk menuntun pembaca pada konteks wacana yang sedang diceritakan. Contohnya, pada comic strip Panji Koming, komikus menggunakan setting Kerajaan Majapahit. Lebih khususnya lagi ialah mengenai kehidupan masyarakat biasa di ambang kehancuran Kerajaan Majapahit.

(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Metode Penelitian

Neuman mengatakan, “Social research can be used to raise children, reduce crime, improve public health, sell product, or just understand one’s life.” Penelitian sosial dapat digunakan untuk membesarkan anak-anak, mengurangi tindak kriminal, meningkatkan kesehatan publik, penjualan produk, atau untuk memahami kehidupan seseorang. Secara luas, penelitian sosial bertujuan untuk mengungkap dan memahami realitas sosial. Metode-metode yang digunakan dalam penelitian tersebut haruslah efektif dan efisien untuk mencapai tujuan penelitiannya dengan tepat.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan cara pandang melalui paradigma konstruktivis. Penelitian kualitatif berangkat dari ilmu perilaku dan ilmu-ilmu sosial yang beresensi sebagai metode pemahaman atas keunikan, dinamika dan hakikat holistik dari kehadiran manusia dan interaksinya dengan lingkungan (Ardianto, 2010: 59).

Karakteristik dari penelitian kualitatif yaitu: (a) ilmu-ilmu lunak, (b) fokus penelitian: kompleks dan luas, (c) holistik dan menyeluruh, (d) subjektif dan perspektif emik, (e) penalaran: dialektik-induktif, (f) basis pengetahuan: makna dan temuan, (g) mengembangkan/membangun teori, (h) sumbangsih tafsiran, (i) komunikasi dan observasi, (j) elemen dasar analisis: kata-kata, (k) interpretrasi individu, (l) keunikan (Ardianto, 2010: 59).

Metode yang digunakan adalah metode analisis semiotika, yaitu metode analisis yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku pada tanda. Menurut paradigma konstruktivis, subjek berperan aktif sekaligus sebagai faktor utama dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara (Ardianto dan Q-Anees, 2007: 151).

Gambar

Gambar 1 Segitiga Makna Pierce
Gambar 3 Contoh Jarak Pandang Utuh
Gambar 4 Gambar yang Menggunakan Jarak Pandang Sangat Dekat
Ekspresi WajahGambar 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perubahan budaya dalam pengelolaan pertanian tanaman padi pada masyarakat Melayu dan Jawa di

Hasil penelitian yang ditemukan bahwa konsep sehat menurut Informan yang berlatar belakang budaya Jawa adalah kondisi manusia dalam siklus kehidupan mulai dari