• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.2 Analisis Comic Strip

IV.2.1 Analisis Comic Strip Panji Koming edisi 7 April 2013 Tabel 1

Signifikasi Tahap Pertama (Macam Leksia)

Bingkai Tanda Denotasi

1 Panji Koming (Koming) dan sahabatnya, Pailul membawa ember dari kayu sambil berjalan dari arah kiri ke kanan. Keduanya tidak mengenakan alas kaki. Bingkai ini menggunakan full shot dengan

background putih.

2 Panel 1: Bayangkara Praja digambarkan secara close up, mengenakan bolero dengan hiasan di ujung bajunya, mengenakan hiasan kepala, sambil membawa kantung di punggung yang berisi panah. Saat itu, Bayangkara Praja sedang menarik busur panahnya ke arah kanan sambil memaki.

Panel 2: Full shot. Badan Pailul tunduk (ada garis gerak di atas punggung). Sebuah panah menancap di pantatnya (ada garis gerak lagi di samping panah). Kepalanya menghadap belakang untuk melihat tubuhnya.

3 Full shot. Koming bersimpuh untuk mengambil panah yang menancap di tubuh Pailul. Ember mereka diletakkan di tanah di samping mereka. Pailul setengah berdiri melihat Koming menolongnya. Ada garis gerak di bawah pipi kiri Pailul.

4 Full shot. Bayangkara Praja ditampilkan seluruh badan dan menghadap ke kiri pembaca. Walau tertutup perutnya yang tambun, tampak tangan kanannya memegang tameng. Kantung panah di punggungnya hanya tersisa satu. Garis-garis bayangan diletakkan di wajah dan di pinggir tangan kirinya.

5 Full shot. Sebuah ember kayu ditaruh di bawah talang air yang hanya meneteskan air. Talang penyalur air terbuat dari bambu yang disangga oleh kayu. Tanah tempat Koming dan Pailul berpijak sedikit berbatu. Mereka tengah berjongkok sambil mengahdap ke talang. Tangan Pailul diletakkan di atas pahanya, tangan kiri Koming berada di atas talang.

6 Full shot. Koming dan Pailul lalu bergerak ke arah kanan, tangan Pailul saling digenggamkan di belakang badan sambil melihat Koming, kaki kanannya diangkat dan satunya lagi memijak tanah.Kedua tangan Koming diangkat sejajar, tumit kanan dan jari-jari kaki kirinya menyentuh tanah, lainnya terangkat. Badan talang air digambarkan sejajar dengan lutut mereka.

7 Full shot. Denmas Ariakendor melintasi mereka, berjalan tegak sambil membawa ember, wajahnya datar. Koming dan Pailul memperhatikannya hingga kepala mereka berbalik ke arah berlawanan. Tangan kiri Koming terangkat hingga melewati talang air.

8 Medium shot. Adipati tertunduk. Adipati tersebut digambarkan setengah badan dengan bolero dan hiasan leher yang menyerupai abdi-abdi sebelumnya. Hanya saja, di kepalanya terpasang mahkota dengan ukuran lebih besar dan berukir lebih rumit. Wajahnya mirip seperti SBY.

Adipati berada di dalam lubang, tumpukan tanah yang baru digali tertumpuk di sebelah kiri badannya. Latar belakangnya merupakan tanah tandus, kering dan pecah, ditandai oleh garis-garis. Kepala Koming dan Pailul digambarkan di paling bawah bingkai dengan wajah datar memperhatikan Adipati.

Signifikasi Tahap Kedua (Kode Pembacaan)

1. Hermeneutika:

Koming dan Pailul tengah berjalan untuk mengambil air di talang sebab sedang musim kemarau. “Menjelang musim kemarau, kita tandon air bersih, yuk. Kita lihat hasil air di talang kita,” ucap Koming pada Pailul. Ember kayu yang dibawa Koming dan Pailul digunakan untuk mengambil air.

Di tengah perjalanan, Bayangkara Praja (salah satu hulubalang keraton) menarik bususr panahnya sebab mereka telah memasuki tanah milik Bayangkara tersebut, “Hai monyet! Pergi kau dari tanahku!”

Pailul terkejut, ditandai dengan badan yang tiba-tiba menunduk (dipertegas dengan garis gerak di atas punggung) oleh panah yang tiba-tiba menusuk pantatnya, “Hwarakadah! Bayangkara Praja kok memanah aku.”

Panah yang tertancap di pantat Pailul dicabut oleh Koming sambil mengeluh “Yang kuat bisa berbuat apa saja,” Pailul menjawabnya dengan, “Hukum rimba sudah diberlakukan di negeri ini. Masak aku dipanggil monyet.”

Tidak lama kemudian, Bayangkara meminta maaf kepada mereka, “Pailul, Koming, ingsun mengaku salah.” Kepalanya tunduk, dan badannya membungkuk. Garis-garis bayangan memenuhi hampir seluruh wajahnya, juga sebagian tangannya. Panahnya pun sisa satu.

Koming dan Pailul yang sudah sampai di talang air, menempatkan ember di bawah mulut talang, tetesan air turun namun tidak jatuh ke dalam ember. Koming dan Pailul memerhatikan dengan seksama sambil berjongkok, “Kok cuma ‘netes’ ya?” tanya Koming.

Koming dan Pailul berjalan ke arah yang berlawanan dari mulut talang sambil berdiskusi. Telapak kaki yang tidak memijak tanah menjadi tanda bahwa keduanya sedang melangkah, wajah yang saling berhadapan serta bentuk tangan menandakan mereka sedang berbicara serius. “Pasti ada yang membocorkan,” tutur Pailul yang dijawab Koming, “Kita cari siapa yang membocorkan talang ini.”

Lalu, Denmas Ariakendor lewat dan mengatakan kalau dialah penyebabnya, “Ingsun yang membocorkan.” Ariakendor berjalan sambil membusungkan dada, wajahnya datar namun dagunya diangkat. Ia membawa sebuah ember yang sama seperti milik Koming dan Pailul. Mendengar pengakuan Denmas, Koming terkejut, sedang Pailul tertawa kecil, “Hehe, ngaku dia.”

Bingkai terakhir, Adipati masuk ke dalam lubang galian, sambil tunduk, ia menyesali perbuatannya, “Mereka yang mengaku itu kesatria.” Sedang Pailul mengucapkan “Sang Adipati berendam di kubangan masalahnya sendiri.”

2. Proairetik :

Ember dari kayu yang dibawa Koming dan Pailul akan digunakan untuk menampung air cadangan yang telah mereka persiapkan sebelumnya sebagai langkah awal menghadapi musim kemarau. Kata tandon yang bermakna barang simpanan atau cadangan dalam Bahasa Indonesia dimaknai berbeda oleh masyarakat Jawa, “Kita tandon air bersih,yuk.” Saat Koming mengucapkannya, kata tandon berubah makna menjadi mengumpulkan atau mengambil. Selanjutnya, Koming berkata, “Kita lihat hasil di talang kita,” berarti mereka akan mengambil air di tempat yang sudah mereka buat bersama atau talang tersebut sifatnya milik bersama.

Pada bingkai selanjutnya, yang terbagi menjadi dua panel, Bayangkara Praja berusaha memanah Koming dan Pailul karena memasuki tanah miliknya. Badan tambunnya menunjukkan sifatnya yang tamak dan rakus. Pakaiannya yang berbeda dari rakyat biasa, menandakan bahwa ia seorang hulubalang keraton. Sambil memaki, ia menarik busur panahnya dan mengenai pantat Pailul. Pailul yang kaget pun balik memaki keheranan. Koming yang melihat hal tersebut membantu Pailul sambil mengeluh, “Yang kuat bisa berbuat apa saja.” Hukum rimba yang dikatakan Pailul berarti setiap orang yang memiliki ‘kekuatan’ dapat berbuat apa saja, contohnya dengan memanggil orang lain dengan sebutan ‘monyet’. Keluhan mereka, tampaknya ditanggapi oleh Bayangkara Praja yang langsung meminta maaf dan merasa sangat menyesal. Efek garis di tubuhnya memberikan kesan suram, bahasa tubuhnya yang membungkuk juga menegaskan kesan tersebut, ditambah rasa bersalah.

Pada bingkai kelima, Koming dan Pailul telah sampai di talang air mereka. Sayangnya, air yang keluar dari talang hanya berupa tetesan yang untuk jatuh ke dalam ember mereka pun, sudah tidak bisa lagi (karena saking sedikitnya). Mereka pun mencari tahu siapa yang membocorkan talang air tersebut (lihat balon kata pada bingkai 6). Di perjalanan, mereka bertemu dengan Denmas Ariakendor yang jalan berbalik arah dengan congkaknya dan membawa ember seperti mereka.

Ariakendor mengaku kalau dia yang membocorkan talang air tersebut. Panji tampak kaget sebab Ariakendor merupakan orang yang terpandang di kalangan keraton. Sedang tawa Pailul seakan ia telah lama mengetahui bahwa Ariakendor pelakunya, “Hehe, ngaku dia.”

Koming dan Pailul masih melanjutkan perjalanannya hingga terhenti saat mereka bertemu Adipati. Adipati saat itu merasa malu hingga menenggelamkan dirinya di dalam lubang (yang disebut Pailul sebagai kubangan). Penyebabnya karena ia telah memercayai Ariakendor yang dulunya merupakan orang yang memiliki posisi penting atau strategis, “Mereka yang mengaku itu ksatria.”

3. Simbolik :

• Talang air dan ember dari kayu menunjukkan waktu yang digunakan oleh Dwi Koen pada cerita ini, yaitu pada zaman dahulu sebab perkakas yang ada masih tradisional.

• Panah berarti ancaman bagi masyarakat kecil namun dijadikan sebagai alat perlindungan bagi masyarakat dengan tingkat sosial yang lebih tinggi.

• Tingkat sosial bisa dilihat dari pakaian seseorang, perbandingan jelas dapat dilihat dari cara berpakaian Koming dan Pailul versus

Bayangkara Praja dan Denmas versus Adipati. Semakin banyak dan rumit pernik busana di tubuh seseorang, maka semakin tinggi tingkat sosialnya.

4. Kultural :

Budaya yang digunakan dalam comic strip ini, ialah Budaya Jawa yang terlihat jelas dari pakaian, penggunaan gelar (Adipati, Denmas, Bayangkara,) dan kata-kata. Penyandang gelar Adipati ialah putra raja, diikuti kata Denmas yang disingkat dari kata Raden Mas yang diberikan kepada cucu lelaki dari garis keturunan laki-laki lain, lalu gelar Bayangkara diberikan kepada prajurit keraton. Kata ingsun yang digunakan berasal dari Bahasa Jawa Krama (halus) dan bermakna ‘saya’.

Kata ‘hwarakadah’ merupakan bentuk makian yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Sedangkan backgorund dan penggambaran unsur-unsur lain tidak begitu berpengaruh.

Masyarakat Jawa menganut patriarki, ditandai dengan pejabat-pejabat istana yang ditampilkan serta tokoh utama yang kesemuanya berkelamin laki-laki. Peran serta pria dalam kehidupan sosial-politik di tengah masyarakat Jawa sangat berarti. Pria bertugas sebagai pengambil air, prajurit, pemangku jabatan, dan pemimpin kerajaan.

Kebiasaan gotong-royong masyarakat Jawa pun dapat dilihat dari bingkai 1, saat Koming dan Pailul bersama-sama akan mengambil air di talang milik bersama. Untuk menghadapi musim kemarau, mereka bersama-sama berusaha untuk menyediakan air bersih bagi masyarakatnya.

5. Semik :

Dalam cerita Panji Koming, tongkat kepemimpinan tertinggi dipegang oleh Adipati. Selain sosok wajah raja yang tidak pernah ditampilkan, wajah Adipati pun dibuat semirip wajah SBY, Presiden Republik Indonesia yang menjadi pemimpin tertinggi di Indonesia. Sebagai bentuk opini redaksi koran tempatnya bernaung, hal ini menjadi jelas bahwa cerita di komik ini merupakan cerminan kepemimpinan di Indonesia.

Perjalanan Koming dan Pailul dapat diartikan sebagai masyarakat yang mencari sumber daya alam (tidak hanya air) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara sederhana (ember kayu, berjalan kaki, talang air milik sendiri). Ketika rakyat kekurangan sumber daya yang dibutuhkan untuk melanjutkan hidup (air), jalannya tidak dimudahkan sebab air berada di tanah milik pejabat (prajurit yang bernama Bayangkara Praja).

Di sini, para prajurit, yang dianggap sedikit lebih ‘berada’ dari rakyat disindir sebab mampu memiliki tanah pribadi. Selain itu, orang dengan tingkat sosial yang lebih tinggi biasanya bersifat kasar, tidak sopan

dan berkata semaunya, “Hai monyet!” untuk menegur orang yang di bawahnya. Memanggil manusia dengan nama hewan, ‘monyet’ misalnya merupakan sikap yang tidak beretika. Prajurit yang notabene orang dalam kerajaan seharusnya tidak berperilaku seperti itu. Dari kalimat itu, peneliti menyimpulkan terjadinya penurunan moral yang dialami oleh para pemangku jabatan.

Panah merupakan lambang kemauan yang keras dalam perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur. Tapi pada kenyataannya, panah tersebut digunakan untuk menyakiti rakyat yang seharusnya dilindungi, demi kepentingan pribadi pemiliknya. Orang yang kuat yang akan menang ialah makna dari hukum rimba, diperjelas oleh kata Koming, “Yang kuat bisa berbuat apa saja.” Kata kuat bisa bermakna kuat yang sebenarnya (kekuatan), bisa juga kuat dalam hal uang, relasi, dan lain-lain. Koming menyindir Praja yang berbadan besar dan memiliki senjata serta pangkat ‘Bayangkara’ sebagai orang kuat yang menyusahkan rakyat kecil yaitu Koming dan Pailul.

Akhirnya Praja mengakui kesalahannya dengan terpaksa setelah rakyat berani bicara (bingkai 3) dan nyaris kehabisan panahnya seperti di bingkai 4. Kehabisan panah berarti ia telah kehabisan alat untuk melindungi dirinya sendiri. Pengakuan yang terpaksa itu terlihat dari wajahnya yang digambarkan seakan menggerutu. Garis-garis bayangan juga menambah kesan kesal dan suram dari Praja. Kurangnya sumber daya (bingkai 6) membuat masyarakat berasumsi bahwa ada yang membocorkan talang tersebut dan berusaha mencari tahu pelakunya.

Dapat diasumsikan, kejadian bocornya talang air milik rakyat mirip dengan korupsi Century yang mendapat banyak atensi dari masyarakat agar kasus tersebut segera diselesaikan. Ketika rakyat sudah banyak berkicau dan informasi mengenai sebuah kasus banyak dan sering ditampilkan di media massa, barulah sebuah masalah itu dianggap penting dan diperhatikan oleh orang-orang yang bersangkutan. Permohonan maaf Bayangkara Praja pun menjadi gambaran para pelaku korupsi yang mengatakan mereka sangat menyesal atas perbuatan mereka.

Akhirnya, kebocoran itu disebabkan oleh salah satu bawahan/ tangan kanan/ kerabat Adipati (Denmas Ariakendor) yang mengaku. Pengakuan itu dilakukan sambil lalu, tanpa perasaan malu. Dilihat dari bingkai 7, Ariakendor jalan begitu saja melewati Koming dan Pailul (representasi masyarakat) sambil membawa embernya. Ember tersebut dimaknai sebagai ‘bagian’nya, atau keuntungan yang dia ambil dari bocornya talang milik rakyat.

Hal tersebut yang membuat Adipati malu. Sebab, dahulunya, bawahan itu adalah orang penting (kesatria) bagi Adipati. Kesatria yang dimaksudkan dalam cerita ialah orang yang mau berjuang demi kepentingan Adipati baik positif maupun negatif. Penyesalan Adipati menjadi pelajaran agar berhati-hati dalam memilih orang kepercayaan (kesatria) agar tidak berakhir dalam tumpukan masalah yang dibuat dan tidak mengalami malu teramat sangat. Lihat posisi Adipati di bingkai terakhir yang berada di dalam lubang yaitu di bawah tanah atau lebih rendah dari tempat Koming dan Pailul berpijak dalam keadaan menunduk. Posisi Adipati yang lebih rendah menunjukkan kastanya menurun drastis, lebih rendah dari rakyat miskin yang ia pimpin.

IV.2.2 Analisis Semiotika Comic Strip Panji Koming edisi 14 April 2013