• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.2 Analisis Comic Strip

IV.2.7 Analisis Semiotika Comic Strip Panji Koming edisi 26 Mei 2013 Tabel 7

Signifikasi Tahap Pertama (Macam Leksia) Seluruh bingkai menggunakan medium shot.

Bingkai Tanda Denotasi

1 Untuk perhelatan lomba lari, Koming mengenakan baju (bolero) putih agar membedakan dia dan Denmas yang berbaju hitam. Denmas tampak bersiap-siap dan sudah berada di depan. Koming yang baru disuruh oleh Pailul kelihatan heran.

2 Baru berlari, Koming dan Pailul malah menabrak dinding, sehingga langkahnya terhenti. Badan Pailul menempel di dinding, rasa sakit yang ia alami digambarkan oleh garis di atas kepalanya. Koming yang tepat beada di belakangnya menempel di belakang tubuh Pailul, tabrakan yang terjadi tiba-tiba diperjelas dengan garis-garis yang berada di belakang serta atas kepala Koming. Tembok batu hanya digambarkan melalui garis-garis dengan latar putih.

3 Koming kemudian terjatuh, badannya setengah terlentang di tanah. Kakinya terangkat, begitu juga tangannya. Pailul yang kini berada di belakangnya memperhatikan sambil berdiri dan menumpukan kedua tangannya di atas lutut sambil menyemangati Koming. Rupa Koming datar cenderung heran.

4 Denmas masih terus berlari, sebelah kakinya masih masuk di bingkai 3. Matanya disipitkan, alisnya melengkung ke atas terkesan culas. Giginya berjajar rapi namun besar dan menutupi mulutnya, dagunya lebih besar dan panjang dari seluruh wajahnya yang merupakan ciri khas Denmas Ariakendor. Salah satu kakinya menjejak tanah, kaki lainnya terangkat sedang mengambil ancang-ancang. Pakaiannya seperti biasa; bolero, celana dan berbagai hiasan tambahan.

5 Ciblon, kekasih Koming tampak sedih. Ia berdiri di belakang Pailul sambil menutupi sebagian wajahnya dengan tangan kanannya. Pailul melebarkan tangannya di depan Ciblon sehingga ia yang berada di

hadapan Denmas, saat Denmas lewat. Pakaian yang Ciblon kenakan ialah kain pajang yang dibebat ke seluruh tubuhnya seperti kemben dan sarung sepanjang kakinya serta tidak menggunakan alas kaki. Denmas lewat dengan mengangkat dagunya, tangannya dilipat di depan dadanya.

6 Sebuah kelapa tiba-tiba jatuh dari atas dan menimpa kepala Denmas, hingga ia mengecil seperti kurcaci. Garis-garis serta kata ‘Ding’ berada di atas kelapa tersebut. Area yang seharusnya ditempati kepala Denmas diiasi garis melingkar, sedang wajahnya digambar berulang sampai mencapai ukuran kepalanya saat itu.

7 Koming ngeri melihat Denmas yang berubah menjadi kerdil, Pailul pun merangkulnya dan mengajak Koming segera pergi. Terdapat garis-garis efek di bawah kaki Pailul dan di samping tangan Koming.

8 Koming dan Pailul duduk di atas bukit dengan latar belakang senja. Langit berwarna gelap dengan awan-awan putih di belakang mereka. Kepalan tangan kiri Koming menunjuk ke arah kirinya, kepalanya juga menegok ke arah yang sama. Di sisinya, Pailul menggosokkan kedua tangannya di depan dada sambil melihat ke kirinya.

Signifikasi Tahap Kedua (Kode Pembacaan)

1. Hermeneutika:

Koming yang biasanya menggunakan pakaian serba hitam diganti dengan warna putih sebab akan berlomba lari melawan Denmas Ariakendor yang berbusana serba hitam. “Ayo Koming, balapan dengan Denmas. Kau berbaju putih, Denmas berbaju hitam,” kata Pailul. Ariakendor tampak lebih siap dari Koming yang baru dipanggil oleh Pailul.

Perjalanan Koming tidak mulus. Menabrak dinding, “Eh malah terbentur. Tidak apa jalan terus,” kata Pailul menyemangati. Setelah itu ia jatuh, “Eit terjatuh. Tidak apa bangun lagi,” kata Pailul yang melihat Koming terjengkang ke belakang. Berbeda dengan jalan Ariakendor yang cenderung mulus sehingga berada di depan mereka, “He he. Aku lebih duluan,” tawa Ariakendor. Kemenangan Ariakendor membuatnya

sombong dan pamer di depan perempuan yang Ni Woro Ciblon, kekasih Koming. Pailul yang menjaganya mengatakan, “Denmas jalannya memang selalu mulus walaupun suka melenceng.”

Namun tidak butuh waktu lama, Denmas Ariakendor mendapat ‘getah’nya. ‘Ding’, ia pun kejatuhan buah kelapa yang berdampak ke badannya. Koming yang sebelumnya jatuh dan sedih sebab kekalahannya, diajak untuk bangkit kembali oleh Pailul dan meninggalkan Ariakendor yang menjadi kerdil, “Hukum alam tetap berlaku, ayo Koming bangkit lagi,” tukas Pailul sambil merangkul Koming. Akhirnya, Koming dan Pailul pun menyimpulkan kejadian hari itu di sebuah bukit. “Hukum di negeri ini bisa hancur gara-gara para pokrol hitam,” kata Koming yang disambut Pailul, “Yang putih tetap lurus biar selamat.”

2. Proairetik :

Perlombaan yang terjadi diibaratkan pertandingan antara kebaikan lawan kejahatan. Kebaikan diwakili oleh Koming yang mengenakan pakaian putih dan sebaliknya, kejahatan diwakili oleh Ariakendor yang berbaju hitam. Perwakilan warna dan pemakainya ini bukan tanpa alasan. Koming dikenal sebagai pria yang jujur dan bersih hatinya. Sedang Ariakendor bersifat kikir, sombong dan selalu mencari keuntungan pribadi.

Jalan kebaikan selalu tidak lancar, ada saja halangan yang Koming dapatkan. Baik disebabkan oleh jalannya (tembok yang muncul di bingkai 2) atau kecurangan lawan mainnya (pada bingkai 3 dan 4, Ariakendor seakan menjegal Koming). Namun yang baik harus tetap semangat seperti yang disampikan Pailul, ‘terbentur, jalan terus’ dan ketika ‘jatuh, bangun lagi’.

Apa daya, Ariakendor menang karena jalannya yang lancar tanpa hambatan. Kemenangan Ariakendor, ia pamerkan di depan Ni Woro Ciblon (dikisahkan, Ariakendor menyukai gadis desa yang merupakan kekasih Koming) yang sedang dijaga oleh Pailul. Tangan Pailul yang

terbentang di depan Ciblon sebagai bentuk sikap protektif. Ciblon yang sedih dengan kekalahan Koming, bersandar pada Pailul.

Namun kecurangan Ariakendor dibalas oleh hukum alam sehingga sebuah kelapa jatuh menimpa kepalanya. Badannya menjadi kerdil merupakan stereotip bagi dirinya yang melakukan tindakan tercela. Koming yang sempat sedih karena kekalahannya, diajak untuk bangkit lagi oleh Pailul. Akhirnya, perlombaan yang memakan waktu hingga malam ini disimpulkan oleh Pailul, “Hukum di negeri ini bisa hancur gara-gara para pokrol hitam.” Hukum di negeri mereka bisa hancur karena perbuatan para pengacara yang kelakuannya seperti Ariakendor yang berbaju hitam. Hal in ditanggapi oleh Pailul, “Yang putih tetap lurus biar selamat.”

3. Simbolik :

• Warna hitam dan putih masih dipercaya sebagai simbol kejahatan dan kebajikan. Sejalan dengan konsep ini, Masyarakat Tionghoa memiliki simbol Yin-Yang, sebuah simbol keseimbangan yang bermakna, dalam sebuah kebaikan pasti ada setitik keburukan dan berlaku sebaliknya. Di sini, konsep itu digunakan dan ditunjukkan bahwa dalam kehidupan ada dua hal yang berjalan sejajar, baik dan buruk.

• Perempuan dinilai sebagai sosok yang lemah sehingga perlu dilindungi oleh pria, walau ceking sekalipun (bingkai 4). Seakn kesedihan seorang perempuan membuatnya harus bertumpu pada pria agar dapat menghadapinya.

• Hukum alam pasti berlaku, hukum alam atau karma. Yaitu konsep apa yang kita tanam itulah yang dituai sangat merasuk ke dalam kehidupan orang Jawa. Setiap perbuatan, baik atau buruk pasti akan mendapat balasan, cepata tau lambat. Hal ini menjadi falsafah kehidupan orang Jawa yang ditampilkan Dwi Koen sebagai buah kelapa yang menghantam kepala Ariakendor sehingga ia menjadi kerdil.

• Kerdil bisa dimaknai secara fisik atau sifat. Badan yang kerdil sama dengan badan yang pendek, kecil atau aneh. Sifat yang kerdil bermakna negatif, bisa dikaitkan dengan sifat pengecut atau tidak ada keberanian.

Sedang manusia kerdil dalam dongeng biasanya bersifat culas, jahat dan kejam.

• Pada bingkai 8, ada kata ‘pokrol’ yang bermakna pengacara. Kata pokrol

sendiri diserap dari Bahasa Belanda dan digunakan masyarakat Jawa untuk berkomunikasi sehari-hari. Ada juga pesan untuk selalu mengerjakan kebajikan agar selamat.

4. Kultural :

Seperti cerita-cerita sebelumnya, kebudayaan patriarki memang diterapkan oleh orang Jawa. Kaum pria banyak mengambil andil dalam setiap lini kehidupan. Seperti perlombaan antara baik dan buruk, diwakilkan oleh pria yang dianggap berbadan lebih kuat (tubuh Ariakendor dan Koming yang berisi). Segala hambatan dalam kehidupan (yang dialami oleh Koming) menjadi representasi kuatnya pria menghadapi itu semua. Setelah tertabrak, masih bisa jalan lagi. Setelah jatuh, masih dapat bangkit kembali dan setelah kalah harus bangkit lagi. Selain itu, penyemangat dari setiap kesusahan itu ialah seorang pria yang tidak lain adalah sahabat Koming. Padahal, ada Ciblon, perempuan sekaligus kekasih Koming yang juga menyayangi Koming.

Ciblon digambarkan lemah tidak berdaya saat Koming kalah, tanpa ada usaha menyemangati Koming. Buruknya, ketika Denmas Ariakendor lewat, Ciblon malah bersembunyi di balik Pailul yang kurus dan nampak ringkih.

Sebutan Pailul kepada Ariakendor menunjukkan tingkat sosial Ariakendor yang tinggi, sehingga rakyat biasa hanya boleh memanggil gelarnya saja (Denmas).

Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun telah menjadi suatu kebudayaan tersendiri. Dalam hal ini, para pemangku jabatan terlihat selalu lancar dalam pekerjaannya karena melakukan tindakan-tindakan yang melenceng (curang) untuk memuluskan usahanya (lihat bingkai 4). Kecurangan yang dilakukan menjadi budaya yang biasa dilakukan para pengacara untuk memuluskan pekerjaannya.

5. Semik :

Hitam dan putih identik dengan kejahatan versus kebaikan dan harus berjalan seimbang. Makna seimbang di sini ialah, manusia sebaiknya menerima bahwa terdapat dua sisi kehidupan yang berjalan dan seringkali mencari tujuan yang sama. Kedua sisi tersebut diejawantahkan melalui Koming (baik) dan Denmas (jahat). Dwi Koen seakan menempelkan label ‘baik’ kepada rakyat kecil; orang yang sederhana baik dari sifat maupun cara hidup dan ‘jahat’ pada penguasa, pejabat pemerintah dan orang-orang yang berada di tingkat sosial yang lebih baik.

Rakyat selalu menjadi korban kecurangan pemangku jabatan untuk memperoleh keinginannya. Untuk menang dari sebuah perlombaan, pejabat menggunakan cara-cara yang melenceng dari yang biasa sehingga jalannya mulus tanpa ada hambatan. Kata pokrol hitam yang digunakan Koming menganalogikan pengacara yang mengobrak-abrik peraturan, menggunakan cara-cara yang melenceng untuk memuluskan kasus yang ia tangani. Akibatnya, hukum di negeri tersebut bisa hancur.

Pada edisi ini, sindiran ditujukan kepada para pengacara Indonesia yang sempat menjadi perbincangan di media massa. Masalahnya ialah antara pengacara hitam dan putih yang dibedakan melalui kasus-kasus yang ditangani. Pengacara hitam digolongkan sebagai pengacara-pengacara yang membela terdakwa bermodal besar dan ‘jahat. Sebagai contoh, pengacara yang dipilih, membela dan memenangkan kasus koruptor tergolong pengacara hitam. Namun, pengacara yag dipilih oleh pengadilan untuk membela tersangka teroris tergolong pengacara putih. Oleh sebab itu setiap orang perlu waspada, sebab hukum alam pasti berlaku. Siapa yang menebar benih kejahatan, pasti menuai keburukan, dan konsep ini menjadi falsafah hidup masyarakat Jawa yang diwujudkan melalui jatuhnya buah kelapa ke kepala Ariakendor. Rakyat dan siapa pun yang melakukan kebajikan namun masih gagal, diajak untuk bersemangat dan bangkit lagi karena yang melakukan kebajikan pada akhirnya akan selamat.

IV.3 Pembahasan

Peneliti telah mengumpulkan comic strip (selanjutnya disebut komik) yang akan dianalisis dan telah dianalisis dengan lima kode sistem tanda makna seperti yang diuraikan di bagian sebelumnya. Penerapan ilmu semiotika pada komik merupakan proses yang cukup rumit untuk mengekstraksi makna-makna yang terkandung dalam komik tersebut. Komik merupakan gabungan seni visual dan sastra. Seni visual memiliki tanda-tanda tersirat dan berkomunikasi dengan pembaca secara non verbal. Sedangkan sastra yang diwujudkan melalui percakapan antar tokoh memiliki unsur komunikasi verbal yang mengandung mitos. Mitos bukanlah cerita yang bersifat takhayul, namun suatu bentuk artifisial yang berdasar kesepakatan bersama suatu anggota masyarakat.

Hadirnya komik ini di Harian Kompas Minggu menunjukkan semangat redaksi Kompas untuk selalu menyampaikan pandangan mereka atas setiap fenomena yang terjadi di Indonesia. Agar pembaca tidak bosan dengan konten yang berat, maka opini redaksi dibuat dalam bentuk komik yang identik dengan isi yang lucu dan santai.

Komik Panji Koming dipersiapkan dengan apik, setiap tokoh memiliki karakter dan watak masing-masing. Bahkan dari judul ‘Panji Koming’, kita dapat menarik bentuk opini yang dihadirkan oleh komik ini. Panji yang bermakna segala sesuatu yang berhubungan dengan kebajikan dan Koming yang berarti gila disatukan menjadi sebuah opini yang jujur dan tulus disampaikan dengan cara yang tidak biasa.

Setiap komik yang diterbitkan, membawa pesan sekaligus sindiran atas kondisi teranyar dari Negara Indonesia. Para tokoh dalam komik ini mewakili setiap kelompok yang ada di Indonesia. Pemimpin, pegawai pemerintahan, prajurit, masyarakat kecil, anak sekolah dan sebagainya. Lengkapnya pelaku kepemimpinan (pemimpin dan masyarakat) menjadikan komik ini menghibur dan menyindir di saat yang bersamaan. Beragam masalah yang menimpa Indonesia mampu dibawa ke masa lalu oleh komikus untuk ditimpakan kepada Koming dan Pailul yang menyelesaikannya dengan bijak. Alternatif penyelesaian masalah tersebut sayangnya hanya dapat dipaparkan melalui komik saja. Sampai saat ini, belum ada tindak nyata yang dilakukan oleh pemimpin untuk memperbaiki

jalannya pemerintahan yang amburadul sebab laku para pemimpinnya. Namun, pembaca Panji Koming yang ingin memaknai setiap tanda di dalamnya akan mampu melihat cerminan kepemimpinan yang dilakoni masyarakat Indonesia.

Cerita pertama menyinggung banyaknya whistle blower yang mengungkap kebusukan pemangku jabatan di Indonesia, yang melenggang kangkung sambil membawa hasil ‘curiannya’. Dilanjutkan sikap tidak acuh SBY atas seluruh permasalahan yang terjadi di negeri yang berupa bencana alam, wabah penyakit, kemiskinan, kelaparan dan perkelahian antar kelompok yang merugikan banyak orang. Sikap cuek tersebut disebabkan hadirnya akun Twitter miliknya yang ia anggap dapat menyelesaikan permasalahan yang menimpa bangsa.

Setelah itu, ada analogi Menteri Pendidikan yang berjalan mundur seperti undur-undur atas keputusannya mengenai ujian nasional bagi siswa dan merugikan masyarakat. Cerita berikutnya ialah kebiasaan SBY berpidato yang tidak dianggap oleh rakyat yang ia pimpin. Ketika mendekati musim pencalonan diri sebagai presiden, Panji Koming bercerita tentang calon-calon pemimpin negeri yang dianggap terburu-buru menunjukkan diri pada masyarakat. Juga buruknya sifat mereka yang bisa dicermati dari tampilannya saja. Cerita terakhir mengangkat tema keseimbangan antara baik dan buruk dalam kehidupan sekaligus mengkritik kinerja pengacara yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan kasus yang ditangani.

Tema utama dari cerita-cerita Panji Koming ialah mengenai jalannya kepemimpinan di Indonesia. Kepemimpinan ialah perihal memimpin dan cara memimpin. Kebijakan yang dikeluarkan dan cara masyarakat menanggapi adalah suatu bentuk kepemimpinan. Penganut konsep kepemimpinan Budaya Jawa dapat berupa orang-orang yang lahir dan atau tinggal di Pulau Jawa, atau orang-orang yang menggunakan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep kepemimpinan Jawa berkisar pada mikro, makro dan meta kosmos. Secara sederhana berarti menyeimbangkan hubungan dengan sesama manusia, alam dan Sang Pencipta. Caranya ialah dengan mengerjakan hal-hal baik, tidak menyakiti sesama, memikirkan kepentingan kelompok/ orang banyak, tenggang rasa dan gotong royong.

Menurut peneliti, para pemimpin dengan skop besar ataupun kecil belum mampu mengimitasi konsep kepemimpinan Jawa yang baik. Sebaliknya, masyarakat kecil/ rakyat miskin lebih mumpuni dalam hal tersebut. Konsep tersebut ditampilkan dalam bentuk kata-kata yang disampaikan oleh kedua tokoh utama dan oleh Empu Randubantal (Mbah) yang dianggap pandai dan bijak.

Orang Jawa dianggap sebagai pemimpin yang baik sebab menganut patriarki, yang membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada pria untuk menjadi pemimpin. Pria dinilai capable dalam mengatasi permasalahan sebab dapat fokus pada masalah, bertanggung jawab, pantang menyerah, dan tidak memiliki kewajiban mengurus keluarga (merupakan tanggung jawab perempuan). Cara kepemimpinan ini baik diadaptasi oleh masyarakat Indonesia karena memiliki sistem yang seimbang dan menguntungkan masyarakat, khususnya masyarakat kecil yang banyak menanggung penderitaan selama ini.

Pola pikir seperti ini tentu dipengaruhi oleh daerah kelahiran dan tempat tinggal komikus, Dwi Koen. Lingkungan kerja dan harian tempatnya berkarya merupakan harian milik orang Jawa yang kini masih sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Asal usul Dwi Koen yang masih keturunan kerajaan Jawa pun memberi dampak kentalnya Budaya Jawa dalam komiknya. Patut disayangkan, penggunaan istilah yang mudah dimengerti oleh suku Jawa dipakai dalam percakapan sehari-hari yang dibaca tidak hanya oleh orang Jawa. Sebagai contoh, terdapat kata ingsun, rahayat, pokrol dan sebagainya. Kata-kata tersebut tidak dapat ditemukan di kamus Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa, sebab ada juga kata-kata yang diserap dari bahasa lain yang dijadikan bahasa pergaulan.

BAB V