• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

II.2 Komunikasi Massa

Komunikasi massa pada dasarnya ialah komunikasi melalui media massa (cetak dan elektronik). Awalnya, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa yang dimaksud ialah saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern. Jadi, media massa menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalan komunikasi massa (Nurudin, 2007: 4). Sekata dengannya, Mulyana (2005: 75) memaparkan, komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara tepat, serentak dan selintas (khususnya media elektronik).

Secara umum, teori-teori komunikasi dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Pembagian ini berdasar metode penjelasan sekaligus cakupan objek pengamatan. Kelompok pertama adalah kelompok ‘teori-teori umum’ atau general

theories, kelompok kedua ialah kelompok ‘teori-teori kontekstual’ atau contextual theories. Komunikasi massa termasuk dalam teori kontekstual, selain itu terdapat pula komunikasi antarpribadi, komunikasi intra pribadi, komunikasi organisasi dan komunikasi kelompok. Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Umumnya, teori komunikasi massa memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang menyangkut struktur media dan khalayak, aspek-aspek budaya dari komunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi massa terhadap individu (Bungin, 2006: 252).

Intinya, proses komunikasi yang terjadi dapat membawa pesan yang banyak yang ditujukan pada khalayak luas. Dari hal tersebut, dapat disarikan unsur-unsur penting dari komunikasi massa ialah komunikator, pesan (untuk massa), media massa, gatekeeper, khalayak dan umpan balik.

Komunikator dalam komunikasi massa adalah pihak yang mengandalkan media massa dengan teknologi telematika modern, serta berperan sebagai sumber pemberitaan yang bersifat mencari keuntungan dari penyebaran informasi. Pemberi pesan ini juga mencoba berbagi informasi, ide, wawasan dan solusi kepada massa (khalayak). Unsur berikutnya adalah pesan yang ditujukan untuk massa (publik), sehingga pesan tersebut haruslah ditujukan kepada orang banyak (tidak bersifat pribadi) (Bungin, 2006: 72).

Poin selanjutnya adalah media massa, media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi dan dapat diakses secara massal. Media massa mempunyai kekuatan dalam menyebarkan informasi kepada publik, karena merupakan suatu organisasi yang terdiri dari susunan yang sangat kompleks dan lembaga sosial yang penting dalam masyarakat. Media massa seringkali berperan sebagai wahana pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol. Hadirnya media massa, membuat setiap pesan/informasi yang akan disampaikan harus melalui

gatekeeper atau penyeleksi informasi. Gatekeeper bertugas memilah informasi yang bisa atau tidak bisa disiarkan.

Menurut Tubbs dan Moss (2005: 90), ada tujuh variabel yang mempengaruhi keputusan gatekeeper dalam menyeleksi informasi; yaitu ekonomi,

pembatasan legal, batas waktu, etika, kompetisi, nilai berita dan reaksi terhadap umpan balik.

Khalayak selaku komunikan menempati posisi berikutnya. Khalayak adalah orang-orang atau masyarakat pengguna media massa yang menerima informasi. Konsep massa ini pun memiliki ciri-ciri seperti jumlah yang besar, lokasi tersebar, sulit dibedakan, sebagian besar skeptis dan bersifat negatif, sukar diorganisir dan menjadi refleksi kehidupan sosial secara luas. Lalu, ada umpan balik yang sifatnya tertunda. Namun dengan majunya teknologi, sebagian besar media massa memfasilitasi ruang interaktif antara khalayak dan komunikator.

Lebih jelasnya, ciri-ciri utama komunikasi massa menurut Denis Mc Quail yaitu; sumbernya adalah organisasi formal dan pengirimnya adalah professional, pesan beragam serta dapat diperkirakan, pesan melalui proses yang menggunakan standar, pesan memiliki nilai jual dan makna simbolik, hubungan anatara komunikan dan komunikator (seringnya) bersifat satu arah, bersifat impersonal, non-moral dan kalkulatif. Proses komunikasi yang terjadi pada model komunikasi ini, lebih rumit dan kompleks dari komunikasi tatap muka. Berikut penjelasan beberapa efek komunikasi massa (Bungin, 2006: 277):

1. Stimulus-Respons. Mc Quail menjabarkan tiga elemen utama dalam teori ini, yaitu pesan (sebagai stimulus), seorang penerima atau receiver

(manusia) dan efek (respons). Secara sederhana, teori ini menjelaskan bahwa tanggapan yang diterima merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Berdasar pada teori jarum hipodermik, stimulus-respons berasumsi bahwa pesan yang sudah dipersiapkan oleh media akan didistribusikan secara sistematis dalam skala yang luas. Pesan ini ditujukan kepada masyarakat luas, yang mana sejumlah besar individu akan memberikan respon. Diharapkan, majunya teknologi memudahkan pengiriman pesan, memaksimalkan jumlah khalayak penerima serta meningkatkan respon balik.

2. Difusi-Inovasi. Menurut Bungin (2006: 279), persoalan empiris komunikasi massa adalah berkaitan dengan proses adopsi inovasi. Kebutuhan akan informasi-informasi baru berjalan terus-menerus dalam perubahan keadaan sosial dan tenologi, yang mana hal ini terjadi pada

masyarakat yang sedang berfkembang maupun yang sudah maju. Masih dalam buku yang sama, Bungin mengutip Everett M. Rogers yang merumuskan lima tahap dalam suatu proses difusi inovasi yaitu; pengetahuan, persuasi, keputusan, pelaksanaan dan konfirmasi.

3. Agenda Setting. Agenda setting pertama kali diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw pada 1972. Asumsi dasar pada teori ini ialah, apa yang ditampilkan secara terus-menerus oleh media dapat mempengaruhi masyarakat untuk menganggap hal tersebut, penting untuk diketahui. Dapat dilihat, selama bulan Agustus 2013 berita mengenai honor Ustaz Soleh Mahmud (yang lebih dikenal dengan nama Solmed) masih ditampilkan di berbagai media nasional. Berbagai media tersebut, seperti elektronik, cetak dan online terus memperbaharui informasi tentang batalnya kegiatan berdakwah Ustaz Solmed di Hong Kong mulai 12 Agustus hingga 28 Agustus (sumber wawancara Ustaz Solmed, tanggapan dari berbagai pihak termasuk ustaz, perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI), sanggahan pihak penyelenggara acara ditampilkan (nyaris) berulang-ulang pada selang waktu tersebut.

4. Uses and Gratifications, ialah penggunaan isi media untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Pertama kali dijelaskan oleh Elihu Katz pada 1959 sebagai tanggapan atas pernyataan Bernard Berelson pada tahun yang sama, bahwa penelitian komunikasi tampaknya akan mati. Katz menegaskan bahwa bidang kajian yang tengah sekarat saat itu ialah studi komunikasi sebagai persuasi. Uses and gratifications ialah mengenai media memenuhi kebutuhan khalayak. Bobotnya ialah pada khalayak yang aktif, yang sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus (Effendy, 2000: 290).

Tidak hanya berperan sebagai corong penyampai pesan, media massa memiliki paradigma. Sebagai intitusi pelopor perubahan, dalam menjalankan cara pandangnya, media massa berperan sebagai media edukasi, media informasi dan media hiburan. Selaku media edukasi, media massa dapat mendidik masyarakat agar menjadi maju dengan pikiran yang cerdas dan terbuka. Selain itu, perannya

sebagai media informasi dapat diwujudkan dengan memberikan informasi-informasi yang terbaru, terbuka dan jujur. Melalui perannya yang terakhir, sebagai media hiburan, media massa berusaha mengimbangi jumlah informasi berbentuk artikel atau berita yang cenderung berat dengan menghadirkan cerita bergambar,

comic strip, sudoku, atau berita yang bersifat human interest.

Lebih lengkap lagi, fungsi media massa secara umum terbagi dua, yaitu fungsi nyata (manifest function) adalah fungsi yang diinginkan dan latent function

ialah fungsi tidak nyata atau tersembunyi, yaitu fungsi yang tidak diinginkan (Bungin, 2008: 78). Sebagai contoh, dalam komik Detective Conan ada cara membuka pintu yang terkunci dengan perkakas yang mudah didapat. Informasi ini bisa digunakan untuk membantu seseorang yang terkunci atau bisa dijadikan ‘ilmu’ untuk melakukan tindak kriminal. Berikut paparan kelima fungsi media massa secara khusus (Bungin, 2008: 79-80):

1. Fungsi Pengawasan. Aktivitas masyarakat dapat diawasi secara umum melalui media massa sebagai salurannya. Bentuknya berupa pengawasan dan kontrol sosial serta kegiatan persuasif. Pengawasan dan kontrol sosial dilakukan sebagai tindakan pencegahan hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti bahaya penggunaan kosmetik berbahan merkuri atau zat pewarna pada makanan. Sedangkan kegiatan persuasif ialah sebagai upaya pemberian reward dan punishment sesuai hal yang dilakukan oleh masyarakat.

2. Fungsi Social Learning. Fungsi ini biasa disebut sebagai fungsi utama dari media massa, yaitu sebagai media pendidikan sosial. Melalui media massa, diharapkan proses pendidikan dapat tersebar secara efektif dan efisien di khalayak ramai.

3. Fungsi Penyampaian Informasi. Komunikasi massa memungkinkan informasi dari institusi publik tersamapaikan kepada masyarakat secara luas dalam waktu cepat sehingga fungsi informatif tecapai dalam waktu cepat dan singkat (Bungin, 2008: 80).

4. Fungsi Transformasi Budaya. Semakin berkembangnya teknologi, tidak dapat dipungkiri nilai-nilai budaya kemudian menjadi perhatian utama oleh banyak orang. Perubahan-perubahan budaya tersebut penting

ditransmisikan melalui media massa sebab menyangkut bidang lainnya seperti politik, agama, hukum dan sebagainya.

5. Hiburan. Sejalan dengan keempat fungsi sebelumnya, fungsi hiburan bertujuan menyampaikan pesan yang bersifat informatif secara ‘ringan’ dengan maksud melemaskan ketegangan pikiran setelah dihidangi berita dan artikel yang berat-berat (Effendy, 2000: 94).

Dewasa ini, masyarakat terus bergerak maju. Perangkat teknologi jadi semakin modern, sehingga tantangan pun semakin berkembang. Dalam masalah berkomunikasi, terlihat pergeseran yang mencolok. Komunikasi tatap muka yang dulu paling diandalkan dapat digantikan dengan alat komunikasi yang lebih canggih. Ketergantungan masyarakat terhadap media massa meningkat, yang menjadikan media sebagai alat yang ikut membentuk apa dan bagaimana masyarakat nantinya. Media massa telah menjadi budaya. Ia diciptakan manusia, tetapi akhirnya media membentuk masyarakat itu sendiri. Media mampu mengarahkan masyarakat untuk mencapai suatu perubahan tertentu (Nurudin, 2007: 36).

II.3 Semiotika

Analisis semiotika menjadi pisau analisis pada penelitian ini. Analisis semiotika berusaha menggali bagaimana bahasa dan komunikasi memiliki makna berdasarkan asumsi-asumsi seseorang dalam pemaknaan pesan-pesan. Dikembangkan dari lingustik, awalnya semiotika diaplikasikan untuk memahami pesan-pesan kampanye. Penyelidikan atas simbol-simbol yang dilakukan oleh metode ini telah membentuk tradisi pemikiran penting dalam teori public relations

khususnya. Tradisi ini terdiri dari kumpulan teori yang merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Konsep dasar dalam semiotika ialah (a) tanda yang didefinisikan sebagai stimulus menandakan atau menunjukkan beberapa kondisi lain dan (b) simbol yang biasanya menandakan tanda yang kompleks dengan banyak arti, termasuk arti yang khusus (Elvinaro, 2000: 156). Semiotika menyatukan kumpulan teori yang sangat luas dan berkaitan dengan bahasa, wacana dan tindakan-tindakan nonverbal.

Penggunaan kata semiotika atau semiologi kadang masih membingungkan, walau sebenarnya keduanya memiliki arti yang sama. Sesungguhnya kedua istilah tersebut sama-sama ada dalam sejarah linguistik, seperti semasiologi, sememik, dan semik yang merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Perbedaannya ialah, pengguna kata semiologi adalah pengikut Saussure yang mengacu pada tradisi Eropa. Sedangkan orang-orang yang bergabung dengan Pierce atau mengacu pada tradisi Amerika menggunakan kata semiotika. Namun istilah semiologi kian jarang dipakai, ada kecenderungan istilah semiotika lebih populer dari istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya (Sobur, 2004: 12).

Secara etimologis, semiotika berasal dari Yunani, berasal dari kata ‘semeion’ yang berarti tanda. Secara terminologis, semiotika ialah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda. Ferdinand de Saussure, pendiri linguistik modern menurut John Lyons (1995) yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar ‘sistem tanda’, dan bahwa tidak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk kultural apa pun (Stokes, 2006: 76).

Sepaham dengannya, Alex Sobur dalam bukunya menyebutkan bahwa semiotika dalam pandangannya adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Tanda-tanda tersebut dapat ditemukan dimana-mana. Padanan warna yang Anda gunakan, senyuman, kerlingan, dan masih banyak lagi. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari dan menemukan jalan di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur, 2004: xxi).

Semiotika adalah studi mengenai tanda. Tanda tersebut mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan lainnya yang berada di luar diri. Tanda diartikan sebagai suatu stimulus yang mengacu pada sesuatu yang bukan dirinya sendiri (Craig, 1999: 35).

Teori semiotika memiliki peran penting dalam memahami bagaimana membuat pesan dan menyusun struktur pesan, juga membantu untuk memahami

cara sebuah pesan menjadi makna. Ada tiga jenis teori yang berhubungan dengan tradisi semiotika, yaitu:

1. Teori Simbol. Tanda adalah suatu stimulus yang menandai kehadiran sesuatu yang lain. Sebagai contoh, wajah cemberut menunjukkan ketidaksenangan manusia terhadap sesuatu, sendal jepit bermakna tidak formal atau santai, lampu kuning tanda hati-hati atau waspada. Dengan demikian, tanda berkaitan erat dengan makna sebenarnya. Contoh-contoh tersebut dinamakan signifikasi, yaitu makna yang dimaksudkan dari tanda (Morissan dkk, 2009: 89).

Kebalikan dari tanda, simbol merupakan suatu instrumen pikiran. Di mana manusia dapat memaknai lebih, sesuai dengan pengalaman dan perspektif masing-masing. Susanne Langer memandang makna di dalam simbol terdiri atas aspek logis dan psikologis. Aspek logis ialah hubungan antara simbol dan referennya yang dinamakan denotasi, sedangkan aspek psikologis adalah hubungan simbol dan orang yang dinamakan konotasi yang merupakan hubungan yang lebih kompleks.

2. Ferdinand de Saussure mengajarkan bahwa ‘tanda’, termasuk bahasa adalah bersifat acak. Ia menyatakan bahasa yang berbeda menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menunjukkan hal yang sama (Morissan dkk, 2009: 91). Bahasa sebagai suatu sistem terstruktur yang mewakili realitas. Menurut Saussure, peneliti bahasa harus memberikan perhatian pada bentuk-bentuk bahasa seperti bunyi ucapan, kata-kata dan tata bahasa. 3. Perilaku nonverbal. Kode nonverbal adalah sejumlah perilaku yang

digunakan untuk menyampaikan makna. Sesuai penggambaran Jude Burgoon, teori kode nonverbal bercirikan berkesinambungan, pada sebagian kode memiliki kemiripan, menyampaikan makna universal, memungkinkan transmisi secara serentak, dan seringkali menghasilkan tanggapan serta ditujukan secara spontan. Dari kode nonverbal inilah dihasilkan dimensi semantik, sintaktik dan pragmatik. Sistem tanda ini biasanya dikelompokkan menurut kegiatan yang digunakan dalam tanda tersebut. Ketujuh tipe tersebut diambil dari situs yaitu bahasa tubuh (kinesics), suara (vocalisc atau paralanguage),

tampilan fisik, sentuhan (haptics), ruang (pro-xemics), waktu (chronemics) dan objek (artifacts).

Charles Sanders Pierce menegaskan bahwa kita hanya bisa berpikir dengan sarana tanda. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda. Maka tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996: 64). Tidak pelak, banyak teori komunikasi yang berasal dari semiotika. Perbedaannya adalah, teori komunikasi menaruh perhatian pada saluran komunikasi. Sebab ‘saluran’ inilah yang menentukan sampai-tidaknya sebuah pesan atau tanda.

Untuk memudahkan penelitian semiotika, Charles Sanders Peirce mengadakan klasifikasi tanda agar tanda bisa berfungsi. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol).

Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon adalah tanda yang mewakili sumber acuan melalui sebuah bentuk replikasi, simulasi, imitasi, atau persamaan. Contohnya seperti peta dan wilayah geografisnya atau lukisan dan gagasannya.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda uang bersifat kausal atau hubungan sebab-akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan (Alex Sobur, 2004: 42). Secara sederhana, Fiske mengartikan indeks sebagai tanda yang hubungan eksistensialnya langsung dengan objeknya. Misalnya asap adalah indeks api, bersin adalah indeks flu, dan jenggot seseorang merupakan indeks orang tersebut.

Secara sederhana simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (representamen), objek dan interpretan. Berikut gambar elemen makna Pierce:

Gambar 1 Segitiga Makna Pierce

(Sumber: Wibowo, 2011: 13)

Sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain (disebut Pierce sebagai interpretant) menjadi interpretant dari tanda pertama yang secara bergilir akan mengacu pada object tertentu. Proses semiosis menurut Pierce merupakan suatu proses yang memadukan hal (berupa representamen) dengan entitas lain yang disebut object yang menghasilkan signifikasi.

Pendekatan-pendekatan Pierce kemudian dikembangkan oleh Umberto Eco yang terkenal melalui novelnya, The Name of The Rose yang berisi teori tentang tanda yang mengacu pada berbagai aspek di masa lalu dan kini. Eco khusus menyelidiki sifat-sifat dinamis tanda dengan menggunakan suatu perbandingan. Ia menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi abadi (Sobur, 2004: 75). Hadirnya Eco telah memperluas kajian semiotika yang meliputi seluruh wahana intelektual manusia, tanda alamiah dan tanda peradaban yang dikenal sebagai ranah budaya:

1. Semiotika binatang (Zoo semiotics), memberikan gambaran semiotika binatang yang berhubungan dengan perilaku komunikatif keleompok binatang.

2. Tanda bebauan (Olfactory signs), berkaitan dengan bau-bauan yang memiliki nilai acuan yang pasti.

3. Komunikasi rabaan (Tactile communication), merupakan komunikasi antara orang buta dan perilaku prosemik seperti; tepukan di bahu, tamparan, pelukan, dan sebagainya.

4. Paralinguistik (Paralinguistics), berkaitan dengan kajian tanda-tanda suprasegmental dan varian bebas yang disisfemasikan.

5. Semiotika medis (Medical semiotics), mengkaji ungkapan para pasien, psikoanalisis dan neurosis.

6. Kinesik dan Prosemik (Kinesics dan Prosemics), berhubungan dengan gerak tangan yang mengandung makna budaya.

7. Kode musikal (Musical codes), berhubungan dengan sistem tanda musikal, baik yang memiliki nilai denotatif yang jelas, maupun yang memiliki nilai konotatif prabudaya.

8. Bahasa yang diformalkan (Formalized languages), meliputi bahasa matematik, kimia, bahasa elektronik, dan komputer.

9. Kode rahasia (Secret codes), yang berhubungan dengan kode-kode rahasia, alfabet kuno dan teka-teki.

10. Bahasa alami (Natural languages), meliputi kajian bahasa secara struktural, logika, dan filsafat bahasa.

11. Komunikasi visual (Visual communication), kajian yang meliputi sistem grafis, sistem warna, tanda-tanda ikon, simbol, fenomena visual dalam komunikasi massa, komik, uang, kartu permainan, pakaian, arsitektur, peta geografi, film, dan sebagainya.

12. Sistem objek (Systems of objects), meliputi arsitektur dan objek-objek secara umum.

13. Struktur alur (Plot structure), meliputi cerita rakyat, mitologi, lelucon, permainan, cerita detektif, cerita roman populer, dan sebagainya.

14. Teori teks (Text theory), meliputi kajian tentang alur cerita dan bahasa puitis.

15. Kode-kode budaya (Cultural codes), meliputi kajian semiotik pada sistem nilai, kebiasaan, adat tipologi kebudayaan, model kebudayaan, model organisasi sosial, sistem kekeluargaan hingga jaringan komunikasi dari suatu kelompok masyarakat tertentu.

16. Teks estetik (Aesthetic text), meliputi psikologi kreasi artistik, hubungan estetik dengan alam, hubungan seni dengan masyarakat dan sebagainya. 17. Kode-kode cecapan (Code of taste), yaitu tanda-tanda yang terdapat dalam

kegiatan masak memasak, yang dikaji antropologi kultural.

18. Komunikasi massa (Mass communication), wilayah ini berkaitan dengan beragam disiplin, dari psikologi sampai sosiologi dan pedagogi. Studi komunikasi massa mengusung sebuah objek tunggal sejauh dia mengklaim bahwa industrialisasi komunikasi tidak hanya mengubah kondisi-kondisi dan syarat-syarat bagi penerimaan dan pengiriman pesan.

19. Retorika (Rethoric). Retorika menawarkan sarana-sarana yang dapat dimanfaatkan oleh disiplin yang mencakupnya. Daftar kepustakaan tentang aspek-aspek semiotis dari retorika terlihat mirip dengan kepustakaan retorika.

Secara sederhana simbol adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan atau aturan. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Tiga cabang penyelidikan semiotika adalah sebagai berikut:

1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimana tanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seseorang individu dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009:29). 2. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari

bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia, dengan kata lain adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009:29).

3. Sintaktik, berkenaan dengan keterpaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara tanda. Tanda dilihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009:29).

Kunci semiotika ialah bagaimana pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dan bagaimana kita, sebagai pembaca, mendapatkan maknanya. Walau tidak berarti setiap pembaca pasti mendapatkan makna sesungguhnya. Oleh karena itu, analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual. Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasi makna. Dampaknya, hasil penelitian semiotika sangat subjektif sehingga peneliti lain yang mempelajari hal yang sama dapat menghasilkan makna yang berbeda.