• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.2 Analisis Comic Strip

IV.2.4 Analisis Semiotika Comic Strip Panji Koming edisi 28 April 2013 Tabel 4

Signifikasi Tahap Pertama (Macam Leksia)

Bingkai satu sampai empat bergantian menggunakan medium, close up dan

medium shot. Bingkai keempat menggunakan extreme close up shot, sedang bingkai terakhir, Dwi Koendoro menggunakan long shot.

Bingkai Tanda Denotasi

1 Adipati mengenakan bolero berlengan pendek, hiasan leher, gelang, celana dengan ikat pinggang dan mahkota. Latar dibuat dramatis dengan garis-garis yang membuat efek silau atau bersinar. Sudut pandang dari atas, Adipati terlihat sedang memandang ke bawah sambil tersenyum. Posisi tangannya seperti akan merengkuh sesuatu.

2 Masih dengan latar yang sama, wajah Adipati sedikit mendongak. Tangan kiri mengacungkan jari telunjuk dan telapak tangan kanannya mengahadap ke depan.

3 Gambar latar masih sama, ruang pandang dari sebelah kiri. Adipati mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Wajahnya dibuat tanpa ekspresi.

4 Zoom in, hanya tampak kepala Adipati yang sedang tunduk. Ia memejamkan mata, mulut membentuk huruf U. Tangan dikepalkan di depan mulut sebagai tanda berdeham.

5 Panel dibuat sama panjang dengan keempat bingkai di atasnya, namun tanpa dinding pemisah. Di ujung kiri, seorang ibu lanjut usia bersama seorang perempuan yang menggendong bayi melihat Koming dan Pailul. Kedua perempuan itu berpakaian lusuh, dahinya berkerut. Mereka berdiri di pinggir jurang.

Koming yang berada di atas tangga, duduk bersila memandang ke kejauhan. Tangan kirinya diletakkan di atas matanya, wajahnya heran. Pailul menghadap ke arah pembaca. Salah satu matanya membesar, telinganya diarahkan ke arah kiri, tangan kirinya diletakkan di belakang telingannya.

Dari ujung kanan panel, ada huruf Bla Bla dituliskan berkali-kali dan ukurannya semakin ke bawah semakin kecil. Tampak siluet Adipati yang dipayungi seseorang dari belakangnya di pinggir jurang yang lain.

Signifikasi Tahap Kedua (Kode Pembacaan)

1. Hermeneutika:

Adipati sedang menyampaikan harapan-harapannya terhadap negeri yang ia pimpin. Adipati yang menyerupai SBY ini, digambarkan melalui beberapa sudut pandang, low angle, high angle, dan eye level

dengan efek garis-garis sebagai latar belakang. Kaliamatnya ialah: Bingkai 1: “Negeri ini demikian cemerlang di masa depan.”

Bingkai 2: “Negeri ini akan menjadi negri dengan ekonomi terbesar ke-tujuh di dunia!

Bingkai 3: “Negeri ini akan menjadi raksasa yang bersahabat.” Bingkai 4: “Tapi ingsun frustasi...”

Pada bingkai terakhir, Koming berusaha keras melihat ke tebing di seberangnya dengan bantuan tangannya dan ada Pailul yang berusaha mendengar perkataan Adipati yang diejawantahkan dengan tulisan ‘blabla’. Kedua perempuan di belakang mereka menjadi lambang rakyat kecil yang tidah tahu apa-apa.

2. Proairetik :

Kalimat-kalimat yang disampaikan Adipati merupakan harapan positif bagi negerinya (bingkai 1-3). Bahasa tubuhnya seperti melebarkan tangan di depan tubuh, menegaskan kalimat yang ia sampaikan, “Negeri ini demikian cemerlang di masa depan.” Lalu pada bingkai kedua mengatakan “Negeri ini akan menjadi negri dengan ekonomi terbesar ke-tujuh di dunia!” sambil mengacungkan jari telunjuk bermakna keyakinan dan keinginan yang kuat untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri dengan ekonomi terbesar. Merapatkan tangan di depan dada bermakna bahwa Indonesia akan menjadi raksasa (negara yang sangat besar dalam segala lini) namun tetap bersahabat, sederhana dan damai. Tanda-tanda tersebut menunjukkan bahwa ia sedang berpidato. Garis-garis

yang menjadi latar belakang menegaskan sudut pandang dari bawah yang memberi efek kegagahan atau kepahlawanan pada tokoh. Sedang pada bingkai keempat, gaya berdeham dengan mata dipejam menggambarkan Adipati yang sedang berpikir sekaligus kekecewaan, “Tapi ingsun frustasi.”

Kedua tebing yang ditempati Koming, dkk. dan Adipati bersama abdinya bermakna mereka berada di tempat yang sangat jauh dan dipisah sebuah jurang di antaranya. Walau berada di tempat tinggi (adanya awan di tengah gambar), Koming tetap harus menggunakan tangga untuk melihat siap yang sedang berbicara. Pailul pun tidak dapat mendengar suara Adipati meski tangannya ditempelkan dekat telinga yang berarti ia berusaha untuk fokus terhadap suara yang datang. Perempuan-perempuan di belakangnya menjadi wakil beragamnya jenis masyarakat; muda, tua, pria dan perempuan.

Kata “Bla Bla” yang semakin mengecil dari arah kiri ke kanan merupakan pidato yang disampaikan Adipati pada kolom sebelumnya, yang tidak bermakna apa-apa. Blabla sering diidentikkan dengan omong kosong, kata yang tidak perlu didengar atau diketahui.

3. Simbolik :

• Mahkota yang digunakan Adipati menandakan tingkat sosialnya yang tinggi. Sehingga patut diperhatikan atau dikagumi.

• Jurang yang memisahkan tebing antara Adipati dan Koming bermakna kehidupan antara pemimpin dan yang dipimpin (rakyat) berbeda jauh, pakaian yang digunakan pun tampak jelas berbeda.

• Kumpulan awan menunjukkan suatu tempat yang sangat tinggi, atau berada di ketinggian.

• Kata ‘Bla Bla’ yang dituliskan dengan berbeda ukuran. Dari paling besar sampai mengecil menandakan suara yang semakin lama semakin kecil atau tidak terdengar. Kata ‘blabla’ itu sendiri bermakna omongan atau cerita yang tidak penting.

4. Kultural :

Kebiasaan SBY ‘curhat’ pada masyarakat, digambarkan sangat apik oleh Dwi Koen. Curahan hati yang berbentuk harapan dan keluhan yang terlalu sering disampaikan oleh pemimpin malah menjadi suatu budaya tersendiri di Indonesia, khususnya. Sayangnya, curhat yang tersurat dalam pidato-pidato tersebut tidak dapat didengar dan dilihat dengan baik oleh masyarakat sebab para pemimpin seringnya membuat jurang antara dirinya dengan masyarakat. Baik dari cara hidup, penyelesaian masalah serta berbagai problem sosial-ekonomi-politik lainnya.

Tidak diterimanya suatu pidato mungkin disebabkan oleh gaya bicara dan bahasa yang berbelit-belit. Kebiasaan berbicara berbelit-belit, tidak langsung ke tujuan menjadi ciri khas masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa menganggap berbicara to the point merupakan hal yang tidak sopan sehingga selalu berbasa-basi untuk menyampikan keinginannya.

5. Semik :

Pada cerita ini, Koming dkk. mengkritik kebiasaan Presiden Indonesia, SBY yang sering berpidato untuk menumpahkan uneg-unegnya dalam pidato kenegaraan. Sosoknya yang seharusnya dihormati dan dibanggakan (lihat efek yang digunakan dalam bingkai 1-3) malah tidak diperhatikan sama sekali sebab isi pembicaraannya dianggap tidak penting oleh rakyat (ucapan Adipati dari jauh hanya terdengar ‘Blabla’ saja).

Belum lagi presiden yang dinilai ‘jauh’ dari masyarakat yang digambarkan berada di ujung tebing di seberang tebing di mana rakyat berdiri. Keduanya dipisahkan jurang yang dalam (sebab ada awan di antaranya). Jarak itu berupa gaya hidup, kemampuan dalam bidang ekonomi, pendidikan dan lainnya. Secara jelas, Dwi Koen menggambarkan perempuan lusuh dan kurus (sakit atau miskin, tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari) serta Koming dan Pailul yang berpakaian seadanya. Tampilan Adipati dan abdinya terlihat menggunakan hiasan kepala walau digambarkan hanya siluetnya saja. Payung yang

menutupi kepala Adipati pun bertujuan membedakan posisinya dengan masyarakat biasa.

SBY dikenal dengan kemampuannya berbahasa Inggris, dan sering menyelipkan istilah-istilah sulit dalam Bahasa Inggris di pidato kenegaraannya. Buruknya, SBY pernah berpidato di hadapan anak-anak Sekolah Dasar untuk menyambut Hari Anak Nasional namun menggunakan istilah dalam Bahasa Inggris yang sudah pasti tak dapat dimengerti oleh mereka. Hal serupa terjadi pada pidatonya kali ini, yang berisi harapan-harapannya untuk Indonesia.

IV.2.5 Analisis Semiotika Comic Strip Panji Koming edisi 5 Mei 2013