• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar negara

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar negara"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

BENTUK TANGGUNG JAWAB NEGARA INDONESIA TERHADAP WNI YANG BERADA DI WILAYAH KONFLIK

A. Dasar Hukum Tanggung Jawab Negara Indonesia Untuk Melindungi WNI di Wilayah Konflik

Adapun yang menjadi latar belakang tanggung jawab negara dalam hukum internasional, yaitu tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain1. Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab apabila suatu perbuatan atau kelalaian yang dipertautkan padanya melahirkan pelanggaran terhadap kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya2. Dengan kata lain, negara yang melanggar kewajiban internasional tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Keharusan untuk menghormati hak-hak negara lain dalam pergaulan internasional tersebut didasari oleh prinsip persamaan kedaulatan. Prinsip tersebut, misalnya tercermin didalam Piagam PBB, bahwa PBB sebagai suatu organisasi didasari oleh prinsip persamaan kedaulatan dari seluruh anggotanya3. Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar negara. Tanggung jawab negara timbul bila ada pelanggaran atas suatu kewajiban

1 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Rajawali, Jakarta, 1991, Hal. 173.

2 Dedi Supriyadi, Hukum Internasional (Dari Konsepsi sampai Aplikasi), Pustaka Setia, Bandung, 2013, Hal. 159.

3 Lihat Piagam PBB 1945, Pasal 2 ayat (1)

(2)

internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional4.

Komisi Hukum Internasional atau International Law Commission (ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena perbuatan yang dipersalahkan menurut hukum internasional (Draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongdful Acts) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/59/35 (2004) Majelis Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi tanggapan tentang langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan masalah itu kembali pada tahun 2007.

Hukum Internasioanal tentang tanggung jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Ia berkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC menerima seluruh artikel secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama mengutip dan menyetujui rancangan artikel yang dibuat oleh ILC, sehingga kalaupun rancangan artikel itu tidak menjelma sebagai konvensi, dapat dipastikan bahwa ia akan tetap berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional itu. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice),

4 Mieke Komar Kantaatmadja, Tanggung Jawab Negara dan Individu dalam Hukum Internasional, Makalah yang disampaikan pada Penataran Tindak Lanjut Dosen Hukum Humaniter Internasional Indonesia Bagian Barat Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 2000. Hal.3.

(3)

praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional (yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara) sebagai sumber primer hukum internasional.

Sebelum masuk kedalam hal-hal substansial yang lebih detail, ada tiga hal penting, semacam prinsip umum, yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu :

1. Bahwa artikel residual, maksudnya artikel tidak berlaku dalam hal syarat-syarat atau kondisi bagi adanya suatu perbuatan yang dipersalahkan secara internasional (Internationally wrongfull act) atau isi maupun implementasi tanggung jawab internasional suatu negara diatur oleh ketentuan hukum internasional khusus;

2. Bahwa hukum kebiasaan internasional akan tetap berlaku terhadap masalah-masalah yang tidak dicakup oleh artikel, sehingga tetap terbuka bagi perkembangan hukum internasional yang mengatur tentang tanggung jawab negara, misalnya mengenai tanggung jawab atas akibat-akibat yang merugikan atau membahayakan yang ditimbulkan oleh suatu tindakan yang tidak dilarang oleh hukum internasional;

3. Bahwa tanpa mengabaikan ketentuan dalam Piagam PBB, kewajiban- kewajiban yang tetuang dalam pasal 103 artikel diutamakan berlakunya daripa kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian- perjanjian internasional lainnya. Maksud ketentuan ini adalah menyatakan secara tegas bahwa ketentuan-ketentuan dalam artikel

(4)

tidak mengesampingkan tindakan yang diambil oleh PBB mengenai pembayaran kompensasi oleh suatu negara.

Sehubungan dengan pembahasan tentang negara yang dikaitkan dengan teori kesalahan, dalam doktrin hukum internasional terdapat dua teori tentang kesalahan negara yang membahas tentang apakah tanggung jawab negara terhadap tindakannya yang melanggar hukum atau kelalaiannya itu mutlak atau apakah perlu adanya pembuktian kesalahan atau niat/kehendak dari tindakan pejabat atau agen negara. Kedua teori itu ialah :

1. Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmfull effects of untra-hazardousz activities) walaupun kegiatan itu sah menurut hukum. Pencetus teori ini adalah Anzilotti tahun 1902. Teori ini mendapat dukungan dari Ian Brownlie, Hans Kelsen, Jimenes Arechaga, O’Connell, dan Schwarzenberger.5 Contohnya.

Pasal II Liability Convention 1972 (nama resmi konvensi ini adalah Convention on International Liability for Damages Causedby Space Objects of 1972) yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian dipermukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.

5 Huala Adolf, op, cit., Hal. 212.

(5)

2. Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirrkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikataan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur keslahan pada perbuatan itu. Pendukung teori ini misalnya Grotius, Oppenheim, Fauchille, Lauterpacht.

Negara Indonesia merupakan negara hukum modern yang demokratis, dimana rakyat adalah pemillik kekuasaan dan menempatkan rakyat pada posisi sentral.

Negara merupakan agensi atau alat dari masyarakat yang bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kenyamanan masyarakat. Menurut J.G.

Starke, arti penting status kewarganegaraan (Nationality) seseorang bagi hukum internasional adalah dalam hal pemberian hak perlindungan diplomatik diluar negeri6.

Adapun beberapa dasar hukum perlindungan warga negara Indonesia diluar negeri adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pembukaan alinea ke-4. Tanggung jawab negara dalam UUD 1945 dapat dilihat pada pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dari ketiga tanggung jawab tersebut dapat dijabarkan dalam beberapa pasal antara lain :

a) Pasal 28 ayat 4 yang berbunyi : Perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.

b) Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi : Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.

6 J.G. Starke, 2003, Hal. 459.

(6)

c) Pasal 31 ayat 2 yang berbunyi : Wajib membiayai Pendidikan Dasar.

d) Pasal 31 ayat 3 yang berbunyi : Mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan Nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlah mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

e) Pasal 31 ayat 4 yang berbunyi : Memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN.

f) Pasal 31 ayat 5 yang berbunyi : Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

g) Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi : Memajukan kebudayaan nasional Indonesia dan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

h) Pasal 32 ayat 2 yang berbunyi : Menghormati dan memelihara Bahasa daerah.

i) Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi : Mempergunakan bumi dan air dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

j) Pasal 34 ayat 1 yang berbunnyi : Memelihara fakir miskin dan anak- anak yang terlantar.

k) Pasal 34 ayat 2 yang berbunyi : Mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

l) Pasal 34 ayat 3 yang berbunyi : bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Ratifikasi Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler dan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler. Ratifikasi UU ini karena sesuai dengan UU 1945 dan Konvensi ini dalam pelaksanaan hubungan diplomatik akan dapat meningkatkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa di dunia tanpa membedakan ideologi, sistem politik atau sistem sosialnya. Pada konvensi ini menetapkan antara lain maksud pemberian hak-hak istimewa dari kekebalan diplomatik tersebut tidaklah untuk kepentingan perorangan, melainkan guna menjamin kelancaran pelaksanaan fungsi perwakilan diplomatik sebagai wakil negara7 .

3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Menurut Mohd. Burhan Tsani, departemen luar negeri adalah departemen yang betanggung jawab atas hubungan luar negeri dengan negara lain atau organisasi internasional. Nama dan lingkup tanggung jawabnya tergantung pada pengaturan hukum

7 https://referensi.elsam.or.id/2014/10/uu-no-1-tahun-1982-pengesahan-konvensi-wina- mengenai-hubungan-diplomatik-beserta-protokol-opsionalnya-mengenai-hal-memperoleh- kewarganegaraan.

(7)

nasional masing-masing negara. Amerika Serikat misalnya menggunakan sebutan secretary of state untuk menyebut menteri luar negerinya. Adapun kebanyakan negara yang lain termasuk Indonesia umumnya menggunakan istilah minister for foreign affairs8.

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Menurut Boer Mauna, perjanjian internasional dapat dikatakan sebagai sumber hukum yang terpenting. Lalu perjanjian itu setiap negara menggariskan dasar kerja sama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan kehidupan masyarakat. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan satu sama lain, tidak ada satu negarapun yang tidak diatur oleh perjanjian internasional dan kehidupan internasionalnya9.

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Salah satu cara untuk memperoleh kewarganegaraan adalah dengan cara naturalisasi. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, naturalisasi adalah proses perubahan status dari pnduduk asing menjadi warga negara suatu negara. Untuk menjaga ketertibandan keteraturan, negara memiliki hak juga untukmembuat regulasiagar kemudahan perpindahan orang atau warga negara asing tidak mengganggu stabilitas negara10.

6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasal 1 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau peneerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan. Kemudian pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat , sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi11.

7. Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tentang Susunan Organisasi Perwakilan RI. Pasal 4, Perwakilan Diplomatik mempunyai tugas pokok mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara dan Pemerintah Republik Indonesia serta melindungi warga negara Indonesia, Badan Hukum Indonesia di negara penerima dan atau

8 Mohd. Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, Hal. 83.

9 Boer Mauna, 2000, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, Hal. 82.

10 Mochtar Kusumaadmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, Hal. 14

11 Undng-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1, Hal. 2

(8)

Organisasi Internasional, melalui pelaksanaan hubungan diplomatik dengan negaraa penerima dan atau organisasi internasional, sesuai dengan kebijakan politik dan hubungan luar negeri Pemerintah Republik Indonesia, peraturan perundang-undangan nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional.

8. Keputusan Menteri Luar Negeri RI Nomor 02/A/VIII/2005/01 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri.

9. Keputusan Menteri Luar Negeri Nomor 06/A/OT/VI/2004/01 Tahun 2004 mengenai Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Republik Indonesia diluar Negeri.

10. Peraturan Perundang-undangan Indonesia serta hukum dan kebiasaan internasional lain yang relevan. Pengembangan ilmu dibidang perundang-undangan dapat mendorong fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang sangat diperlukan kehadirannya, oleh karena itudidalam negara yang berdasar atas hukum modern (verzorgingsstaat), tujuaan utama dari pembentukan undang-undang bukan lagi untuk menciptakan modifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengendap dalam masyarakat, akan tetapi untuk menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat12.

B. Bentuk Tanggung Jawab Negara Terhadap WNI Yang Berada di Wilayah Konflik (Kasus Suriah)

1. Latar Belakang Terjadinya Konflik Suriah

Konflik di Suriah yang berawal pada tanggal 26 Januari Tahun 2011 ketika masyarakat sipil Suriah melaksanakan aksi demonstrasi dalam skala nasional13. Demonstran meminta presiden Bashar al-Assad untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Bashar al-Assad merupakan anak dari Hafez al-Assad yang menjabat sebagai presiden Suriah periode

12 Maria Firda Indrati S., Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, cet. S, Yogyakarta, 2011, Hal. 2.

13 Bimbie, “Sejarah Perang Suriah”, diakses melalui htpp://www.bimbie.com/sejarah-perang- suriah.htm

(9)

sebelumnya, kedua orang ini sama-sama diusung oleh partai Ba’ath14. Partai Ba’ath sendiri sudah berkuasa selama lebih kurang lima dekade (1971-2011) di Suriah. Demonstran berharap dengan mundurnya Bashar al-Assad dapat mengakhiri rezim pemerintahan yang telah dibangunnya serta ingin menyudahi masa kekuasaan Partai Ba’ath, dikarenakan partai ini dianggap tidak mampu lagi memperbaiki kesejahteraan nasional Suriah, dari rakyat hingga stabilitas negara.

Puncak demonstrasi yang bertujuan damai tersebut terjadi pada 15 Maret 2011 di kota Deera. Menanggapi aksi tersebut Pemerintah Suriah yang berkuasa menggunakan cara kekerasan, yaitu dengan kekuatan militer yang dikerahkan untuk menghadapi demonstrasi rakyat Suriah tersebut15. Penembakan oleh militer pun diperintahkan dan menelan sedikitnya 23 jiwa baik dari pihak demonstran maupun pemerintah16.

Konflik di Suriah menjadi sorotan internasional dan dibahas dalam rapat besar Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).

Negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman mengusulkan resolusi DK PBB mendukung adanya intervensi militer terhadap Pemerintah Suriah17. Resolusi DK PBB ini diveto oleh

14 Ba’ath merupakan gabungan dari beberapa partai politik yang berfungsi sebagai partai pan- Arab (gerakan untuk penyatuan bangsa dan negara di dunia Arab dari samudera Atlantik sampai samudera Arab) dengan cabang beberapa negara Arab, partai memilik dua cabang besar yang berada di Suriah dan Irak.

15 Sejarah perang Suriah, diakses di http://www.bimbie.com/sejarah-perang-suriah.htm (pada tanggal 12 Juni 2021)

16 BBC Indonesia, “Deemonstrasi Suriah telan korban jiwa”, diakses di www.bbc.com/Indonesiamultimedia/2011/04/11/04/08_syrianprotest.thml,

17 Sabrina Narastuti Sudirman Puti dan Yessi Olivia, “Kebijakan Rusia Mengeluarkan Hak Veto Terhadap Rancangan Dewan Keamanan PBB tentang konflik Sipil di Suriah”, 2013, Hal. 8

(10)

Rusia yang menolak hasil resolusi tersebut, karena dinilai resolusi tersebut akan membuka peluang terhadap pelanggaran kedaulatan Suriah18. Selain itu, penolakan juga mendapat dukungan dari negara lainnya yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa)19. 2. Dampak Konflik Suriah

Menurut data yang diperoleh per 1 April 2014, sekitar 6,5 juta warga Suriah sudah meninggalkan kediaman mereka akibat konflik berkepanjangan. Sejak Maret 2011, sebanyak 2,7 juta warga Suriah – atau sekitar 10 persen dari total populasi di negara tersebut – sudah mengungsi ke negara-negara tetangganya20

Pada akhir tahun 2014, jumlah pengungsi Suriah diperkirakan akan mencapai 4,1 juta jiwa21. Menurut UNOCHA (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs), hal tersebut menambah beban bantuan organisasi internasional yang harus mengeluarkan dana 12,9 Milyar USD untuk membantu 52 juta jiwa yang rentan terhadap konflik di 17 lokasi krisis diberbagai belahan dunia22. Hamper setengah dari dana bantuan tersebut dibutuhkan untuk mengatasi dampak konflik suriah23.

Pada November 2013, Oxford Research Group melaporkan bawa setidaknya 11 ribu anak-anak Suriah telah terbunuh akibat konflik.

18 Ibid.,

19 BRICS adalah akronim dari perkumpulan 5 negara dalam kerjasama ekonomi yaitu Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan.

20 Christopher M. Blanchard, Carla E. Humud, dan Mary Beth D. Nikitin. Armed Conflict in Syria : Overview and U.S. Respone. 5 Mei 2014. U.S. Congressional Reserarch Service.

21 AFP. U.N.: Syrian refugees to nearly by end 2014. Genewa. 16 December 2013

22 Ibid

23 Ibid

(11)

Informasi tersebut diperoleh melalui data PBB dan empat kelompok pembela HAM (Hak Asasi Manusia) di Suriah24. Sumber lain menyatakan bahwa jumlah korban telah menyentuh angka 100.000 jiwa25. Sejak September 2013, UNCHR (United Nations High Commisioner for Refugees) telah menetapkan sedikitnya 2 juta warga Suriah sebagai pengungsi di empat negara tetangganya, yaitu Yordania, Irak, Libanon, dan Turki.26 Ratusan ribu lainnya tinggal diluar wilayah tersebut tanpa akses terhadap bantuan internasional.

3. Perlindungan Diplomatik

Berdasarkan Konvensi Wina 1969 yang mengatur tentang kewajiban Perwakilan Diplomatik beserta pejabat diplomatiknya.

1. Perwakilan Diplomatik negara pengirim diwajibkan untuk memberitahukan sebelumnya kepada Keentrian Luar Negeri Negara Penerima mengenai :

a. Pengangkatan para anggota Perwakian Diplomatik, kedatangan dan keberangkatan terakhir mereka atau tugas mereka pada Perwakilan Diplomatik;

b. Kedatangan dan keberangkatan terakhir seseorang yang termasuk keluarga dari seorang anggota perwakilan dan dimana layak dalam

24 Al-Jazeera, Report: Over 11.000 Syrian Children Killed in War, Most by Explosives. 24 November 2013

25 Al-Jazeera. UN: Syrian death toll rises above 100.000. 25 Juli 2013.

http://www.aljazeera.com/news/middleeast/2013/07/2013725142157450141.html.

2626 UN Agency. Number of Syrian refugees tops 2 million, with ‘more on the way’. 3 September 2013. http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewID=45757#.U0yVMicayK0.

(12)

kenyataannya bahwa seseorang menjadi atau tidak lagi menjadi anggota keluarga dari seorang anggota perwakilan;

c. Kedatangan dan keberangkatan terakhir dari pembantu-pembantu pribadi yang di pekerjakan pada para anggota perwakilan dan dimana layak dalam kenyataannya bahwa mereka berhenti bekerja pada orang-orang tersebut;

d. Pangkatan atau pemberhentian orang-orang yang berdiam di negara penerima sebagai anggota perwakilan dan pelayan-pelayan pribadi yang berhak atas hak-hak istimewa dan kekebalan.

2. Kementrian Luar Negeri negara pengirim melalui Perwakilan Diplomatiknya harus memberitahukan kepada Kementrian Luar Negeri Negara Penerima mengenai urutan senioritas dari para anggota staf Diplomatnya. Komunikasi Perwakilan Diplomatik kepada negara pemerintah haruslah disalurkan melalui Kementrian Luar Negeri Negara penerima.

3. Perwakilan Diplomatik mempunyai kewajiban untuk tidak menggunakan dengan cara apapun juga gedungnya yang tidak sesuai tugas-tugas perwakilan seperti yang ditetapkan didalam Konvensi Wina 1961 ini atau aturan-aturan lain dari hukum internasional atau persetujuan khusus bilateral.

Dalam perkembangan hubungan diplomatik saat ini, perlindungan diplomatik menjadi salah satu isu penting dalam perkembangannya.

Pembahasan mengenai perlindungan diplomatik ini salah satunya dibahas

(13)

dalam International Law Commission (ILC) saat pembelajaran mengenai tanggung jawab negara27. Sejak terbentuknya hubungan antar negara, perlindungan terhadap warga negara yang berada di luar negeri terhadap pelanggaran hak asasi mereka di bawah hukum internasional telah berkembang.

Berbagai kasus internasional, baik yang dimasukan ke dalam Makamah Internasional ataupun yang hanya menjadi isu internasional menunjukan bahwa warga asing cenderung mendapatkan perlakuan yang tidak adil ataupun diskriminatif. Perlakuan yang diberikan kepada warga asing cenderung lebih buruk dibandingkan yang diberikan kepada warga asli negara penerima, misalnya warga Indonesia sebagai TKI yang diperlakukan secara tidak adil di Malaysia. Hal tersebut sendiri sebenarnya telah melanggar prinsip perlakuan yang sama dan merata bagi seluruh umat manusia. Dengan semakin berkembangnya pengaturan mengenai hal hubungan antar negara dan maraknya perkembangan isu mengenai hak asasi manusia hingga saat ini mengakibatkan hukum mengenai adanya perlindungan diplomatik telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional28.

Perlindungan diplomatik merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia yang paling tua29. Masalah mengenai perlindungan diplomatik mengisi sebagian besar gugatan yang diajukan dalam ruang lingkup

27 Michael M Wood, Arthut Watts, Arnold Pronto, The International Law Commision 1999-1009:

Treaties, Final Draft articles, and Other Materials, Oxford, New York, 2010, Hal. 486

28 Anna Maria Helena Vermeer-Kunzli, Protection of Individuals by mean of Diplomatic Protection : Diplomatic Protection as a Human Rights Instrument, Proefschift. 1979, Hal.13

29 United Nationss, Year Book of the International Law Commission 1977

(14)

internasional sampai saat ini. Perkembangan terbaru dalam hal perlindungan diplomatik adalah diadopsinya draft article mengenai perlindungan diplomatik pada tahun 2006 oleh ILC yang telah menyebabkan memanasnya perdebatan mengenai posisi perlindungan diplomatik dalam hukum internasional. John Dugard, seorang Special Rapporteur, dalam laporan pertama mengenai perlindungan diplomatic menyatakan bahwa perlindungan diplomatik seharusnya dikategorikan dalam mekanisme perlindungan hak asasi manusia30. Namun kenyataan perlindungan diplomatik yang digunakan sebagai alat perlindungan hak asasi manusia belum diterima secara universal.

Jika ditinjau dari awal mula terbentuknya perlindungan diplomatik pada awal abad ke-18 yang dikemukakan oleh Emmerich de Vattel, negara telah memiliki hak untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar wilayahnya sejak saat itu. Perkembangan hukum internasional yang semakin pesat mencapai tahap dimana individu telah memegang peranan penting dan berpengaruh dalam beberapa aspek31. Individu memiliki hak- hak dan pengaturan ataupun cara untuk mendapatkan hak-hak tersebut juga telah diatur dalam mekanisme hak asasi yang ada, seperti: European Union Court of Human Rights dan berbagai macam badan PBB yang terus memantau perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat internasional.

Flauss, di dalam penelitiannya mengenai perlindungan diplomatik dan kaitannya dengan sistem hukum hak asasi manusia di Eropa mendapat

30 Anna Maria Helena Vermeer-Kunzli, op cit, Hal. 13

31 Higgins, Problems and Process, Oxfor, 1994, Hal. 48-55

(15)

kesimpulan bahwa prinsip umum dalam perlindungan diplomatik telah mempengaruhi perkembangan hak asasi manusia. Walaupun dampak perlindungan diplomatik pada hak asasi telah dikemukakan oleh para ahli, pertanyaan-pertanyaan mengenai perlindungan diplomatik bersifat diskriminatif atau masih belum mendapatkan jawaban yang jelas.

Pelaksanaan perlindungan diplomatik mungkin dapat menyebabkan warga asing memiliki hak yang lebih daripada warga asing, akan tetapi tanpa adanya perlindungan diplomatik, warga asing sering kali mendapatkan perlakuan yang merugikan dari negara tempat keberadaannya. Permasalahan tersebut belum mendapatkan jalan keluar untuk menyelesaikannya sampai saat ini.

Sejak terjadi konflik di Suriah Kementerian Luar Negeri RI telah membentuk tim penanganan penyelamatan TKI WNI yang diberangkatkan langsung ke negara tersebut. Sementara itu KBRI di Suriah hingga kini masih menempatkan petugas disekitar wilayah utama konflik yakni, Homs, Hama dan Dara untuk mengevakuasi TKI WNI. Terkait upaya pemulangan jika di Suriah mengalami larangan terbang, evakuasi TKI WNI dilakukan melalui jalur darat ke Lebanon dan Jordania lalu melalui jalur udara menuju Indonesia. Berdasarkan data Pusat Penelitian dan Pengembangan Informasi B2P2TKI total TKI di Suriah adalah 11.760 orang, sebagian besar 11.559 orang merupakan TKI penatalaksana rumah tangga. KBRI Damaskus bekerja sama dengan KBRI Beirut

(16)

mengintensifkan evakuasi WNI dari Suriah ke Lebanon untuk diterbangkan ke Indonesia.

Menurut Kepala Pelaksana Fungsi Penerangan Sosial Budaya KBRI Beirut Wendi Budi Raharji, setiap hari tercatat antara 10-15 WNI berdatangan ke penampungan KBRI Damaskus ditengah konflik berdarah- darah itu. Jumlah WNI dipenampungan KBRI Beirut saat ini sebanyak 155 orang yang akan segera diterbangkan ke Indonesia, menyusul hampir 4.000 WNI telah dipulangkan ke tanah air atas biaya Pemerintah Indonesia. Petugas KBRI Beirut pun bersiaga penuh untuk menjemput WNI di perbatasan yang dikirim dari Damaskus lewat jalan darat. Ia menyebutkan jumlah WNI yang dievakuasi dari Damaskus ke Beirut rata- rata 50 orang per kelompok, dan petugas KBRI Beirut bergerak cepat untuk memudahkan pengurusan visa transit dan urusan lainnya.

Total WNI dari Suriah yang dipulangkan ke Indonesia lewat KBRI Beirut antara September 2012 – Agustus 2013 tercatat 3.979 orang.

Evakuasi terbaru ke Indonesia dari Beirut sebanyak 15 orang pada 23 Agustus, disusul lagi 30 Agustus satu orang atas biaya majikannya. WNI yang dievakuasi dari Suriah tersebut umumnya adalah tenaga kerja wanita32.

32 https://www.antaranews.com/berita/393273/kbri-intensifkan-evakuasi-wni-dari-suriah

(17)

17

Referensi

Dokumen terkait

ICPE2018 Contribution ID:125 Type:Oral Presentation An investigation of the effectiveness of using analogies to develop a robust understanding of direct current DC electric circuits

Portable Solid Phase Extraction of Copper, Cadmium and Lead Using Analig ME-02 Chelating Resin and Their Determination by Atomic Absorption Spectrometry Mohamed Abousa Gaza1,2, Lukman