i
Tanpa Hari,
Tiada
Buku
▸ Baca selengkapnya: mengenang 1000 hari katolik
(2)ii
iii
Tanpa Hari,
Tiada
Buku
S. Purwanda
iv
Tanpa Hari, Tiada Buku Hak Cipta © S. Purwanda
Penulis:
S. Purwanda Tata Letak:
Tim Layanan Diseminasi dan Publikasi Sampan Institute x + 58 hlm. / 14 x 20 cm. Cetakan Kedua: September 2019 ISBN: 978-602-60457-0-6
Penerbit: Sampan Institute BTN Perumnas 129
Kota Parepare, Sulawesi Selatan.
Hp/Wa: 085299411102 Email: [email protected] Facebook: Sampan InstituteBooks Instagram: Sampan_Books
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Tidak di- bolehkan/diperkenankan untuk memperbanyak atau meng- gandakan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit.
v
Kata Pengantar
Membaca Buku dan Mengenang Mantan Oleh: Ato’ Rachmat Saleh
Sejak memasuki millenium ketiga, kebutuhan berkehidupan seolah berpindah menjadi sandang, pangan, dan smartphone. Smartphone pun perlahan mewujud sebagai jendela dunia yang baru, menggeser kedudukan buku.
Buku saat ini bisa saja kehilangan prdikat “jendela dunia”, namun buku tidak pernah bergeser dari posisi sejatinya: manifestasi ilmu pengetahuan.
Buku yang ada di hadapan Anda ini terdiri dari 10 reportase atas perayaan buku-buku yang pernah terbit. Reportase yang dimaksud adalah alasan dan runutan terjadinya peristiwa (Westerling dan Korban 40.000 Jiwa, Epos Bahari Orang Sulawesi Selatan, Upaya Revolusi yang Gagal, dsb.); maupun mini biografi tokoh (Dari Pram untuk Tirto, Damai dalam Alunan Keroncong, dsb.).
Buku kedua Andi (sapaan akrab penulis) inilah yang menurut saya adalah penegasan alasan mengapa peristiwa besar berikut implikasinya tidak hanya harus sekadar diperingati, tapi juga layak untuk dirayakan. Persis seperti menghadapi kenyataan dan kenangan terhadap mantan. Jika mendaras sejarah sama membuncahnya seperti mengenang kenangan cinta pertama, maka membaca ulasan sejarah hampir mirip stalking akun facebook mantan. Begitu!
Semangat membaca!
Selamat stalking!
vi
Prakata
Tanpa Hari, Tiada Buku
Beberapa “pesan baik” masih saya ingat, menyangkut kejadian masa kanak- kanak dulu, lalu mengingatnya kembali pada masa sekarang. Ingatan membawa saya pada masa-masa sekolah dengan pesan untuk mau berurusan dengan buku. Saya masih ingat dengan jelas satu petuah ini: “Tiada Hari, Tanpa Buku”. Pesan ini terpampang jelas (sepertinya) di halaman sekolah, perpustakaan, dan ruang kelas belajar-mengajar;
yang jelas kalimat ini tidak saya temukan di ruang kepala sekolah, ruang guru dan kantin sekolah.
Kalimat “Tiada Hari, Tanpa Buku” bisa dimaknai sebagai sebuah ajakan untuk
“mau” membawa buku, terutama dalam kegiatan keseharian siswa. Tapi apa memang benar demikian, siswa dituntut setiap hari wajib membawa buku?; wajib menenteng buku setiap hari?; dan mengerjakan tugas belajar dari guru? Sederhananya seperti ini, siswa membaca (mengeja) buku setiap hari, menulis (menyalin) setiap hari, tanpa mengenal hari libur dan bermain. Mustahil!
Saya mencoba untuk ngeh, sadar guru saya yang bijak mungkin telah membuat kekeliruan. Saya pikir, sebaiknya kalimat tersebut seperti ini: “Tanpa Hari, Tiada Buku”. Saya menarik kesimpulan demikian, tentu dengan cara pandang yang beda, dan sudah tentu punya maksud tertentu. Kata “Hari”, saya maknai sebagai “Kehidupan”, sedangkan kata “Buku”, saya maknai sebagai “Peradaban”. Sepertinya mustahil ada peradaban jika tiada kehidupan sebelumnya. Teorinya, kira-kira begini: eksistensi mendahului esensi; hidup dahulu, lalu berjuanglah kemudian, ucap J. P. Sartre.
Hari dan Buku
Menilik judul sebelumnya, saya kemudian teringat dengan bacaan yang pernah dibagikan oleh kawan Ilham Mustamin, judulnya “Matinya Burung-Burung”, sebuah buku kumpulan cerita-cerita sangat pendek, dibuat oleh penulis-penulis Amerika Latin.
Salah satu penulis buku tersebut, Edmundo Paz Soldàn dari Bolivia, menuliskan cerpen berjudul: Diktator dan Kartu Ucapan. Diktator itu bernama Joaquin Iturbide, memiliki pabrik kartu ucapan dan ia penentu persoalan hari-hari perayaan. Awalnya ia menentukan dan menetapkan Hari Persahabatan, tentu kartu-kartu ucapannya laris
vii
manis di pasaran. Kemudian ia ingin kembali mendulang kesuksesan, dibuatlah kartu untuk Hari Cemburu, Hari Kepahitan, Hari Pacar Selingkuh, Hari Kakek Buyut, Hari Suami Penyayang yang Sebenarnya Benci, Hari Pemuja Onan, Hari Mereka yang Meniduri Pembantu, Hari Para Pembaca Marquis de Sade, Hari Mereka yang Memimpikan Sentaurus, dan lain-lain. Di titik ini, Sang Diktator mendulang lebih banyak uang dan kesuksesan, dan ia enggan melepaskan kekuasaannya. Sang Diktator ingin membawa kekuasaannya mati, hingga ajalnya tiba di suatu sore. Di saat itulah Dewan Kehormatan Negeri mencanangkan jam 4 sore, lewat 27 menit dan 15 detik sebagai momentum Peringatan Sekilas Pemimpin Abadi mereka.
Dari cerita di atas, hadir penegasan, bahwa hari peringatan bukanlah sebuah ajang perayaan biasa. Momen peringatan dan perayaan bagi suatu Bangsa dan Negara dimaknai sebagai hal yang sakral, mengingat ada nilai sejarah dan kebudayaan yang berkelindan di dalamnya. Merayakan hari peringatan, merupakan penegasan akan kehidupan dan peradaban.
Ada sepuluh tulisan dalam buku ini. Sepuluh tulisan di dalam buku ini mengulas tentang hari-hari besar yang kadang dilupakan untuk dirayakan. Sepuluh hari terpilih dari bulan Desember hingga bulan April, disatupadukan dengan buku-buku yang ada kaitannya dengan hari-hari yang dimaksud.
Hari dan Buku merupakan kombinasi yang epik, sebagaimana dulu ada Soekarno dan Hatta, Merah dan Putih, atau Kau dan Aku. Kombinasi itu layaknya penulis dan pembaca, saling sapa di tiap baris kalimat.
Salam,
S. Purwanda Di belakang meja kerja STIH Amsir. 16/7/2019
viii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar:
Membaca Buku dan Mengenang Mantan v
Prakata:
Tanpa Hari, Tiada Buku vi
Catatan Ulasan Buku:
Westerling dan Korban 40.000 Jiwa 1
Epos Bahari Orang Sulawesi Selatan 8
Kemiskinan dan Gizi Buruk 15
Dari Pram untuk Tirto 20
Upaya Revolusi yang Gagal 26
Tipikal Logika Hakim 32
Perempuan dalam Arus Pendidikan 37
Damai dalam Alunan Keroncong 42
Negara Hukum yang Membahagiakan Nelayannya 47
Puisi, Penyair, dan Angkatan 52
Referensi Pendukung Bacaan 57
ix
karena penulis tak berbakat mudah mendapat tempat di hati pembaca yang tak tau membaca .
T. Alias Taib
“
x
1
WESTERLING DAN KORBAN 40.000 JIWA1
Dahulu, sebelum orang-orang barat (baca: eropa) mencapai kejayaannya, banyak ditemukan ritus kepercayaan perihal cara bertahan hidup yang ajek. Orang- orang barat percaya bahwa untuk bertahan hidup, mesti dilakukan dengan jalan menjarah; Kemudian hal ini dikenal dengan istilah barbarism.
Pola-pola seperti menjarah, memperbudak, dan menguasai wilayah acap kali dilakukan oleh kaum bar-bar, tapi di lain hal mereka tidak mampu melaksanakan:
perihal bagaimana cara memimpin suatu bangsa yang berhasil dijarah.
Pandangan ini sejalan dengan kritikan dari Jose Ortega Y. Gasset dalam bukunya yang berjudul La Rebelion de Las Masas (1930). Jose Ortega menyam-paikan kritiknya, bahwa Masas adalah golongan yang menunjukkan kualitas perilaku yang berseberangan, seperti kekasaran, mengandalkan fisik dan memaksakan kehendak.
1 Judul tulisan ini memeringati—yang hingga buku ini sampai di tangan pembaca belum juga disepakati oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai hari yang bersejarah—Hari Berkabung Nasional, yang mestinya jatuh pada tanggal 11 Desember. Tulisan ini disadur dari buku Andi Mattalatta yang berjudul Meniti Siri’ dan Harga Diri, terbit tahun 2003.
2
Baginya Masas muncul sebagai golongan manusia barbar (biadab) yang dalam bentuk modern barbarism, ingin mengatur masyarakat tanpa memiliki kemampuan untuk itu.2
Dalam sebuah sejarah Eropa, orang-orang Briton (Britania) yang dipimpin oleh King Arthur dibuat tak berkutik ketika diserang oleh sekelompok bar-bar dari kaum Anglo-Saxon. Begitu juga dengan orang-orang Romawi yang begitu jaya di abad kegelapan, takluk di tangan kelompok bar-bar dari kaum Vandal—yang saat ini kita kenal dengan istilah vandalism.
Kini, pola-pola klasik mulai ditinggalkan, belakangan bermunculan suatu penjarahan dengan model baru, era kolonialis atau modern barbarism. Kekejaman di era kolonialis muncul dengan kekuatan modal yang kuat. Kekuatan ini dominan dalam melakukan invasi pada suatu wilayah negara atau bangsa; lazimnya siapa yang memiliki modal besar maka dialah pemenangnya.
Bentuk dari modern barbarism dijalankan oleh beberapa negara adikuasa yang kuat secara modal. Diperkirakan penjajahan itu sudah berlangsung sejak abad XIV hingga abad ke-XX. Strategi menaklukkan wilayah jajahan: kunjungan dengan dalih ingin membangun relasi dagang. Bila penjajah berhasil menguasai keadaan, maka proses penjarahan mulai digencarkan.
Terkhusus Indonesia, diperkirakan hampir seluruh wilayah di Nusantara ini pernah mengalami penjarahan, tak terkecuali masyarakat yang berada di Sulawesi Selatan3. Penjarahan dan pembunuhan paling brutal yang pernah dialami oleh masyarakat Sulawesi Selatan, terjadi pada tahun 1946 sampai tahun 1947—kemudian dikenal dengan peristiwa “Pembantaian Westerling dan Korban 40.000 Jiwa”.
Kedatangan Westerling di Sulawesi Selatan
Pada tanggal 5 Desember 1946 Raymond Paul Pierre Westerling berlabuh di Sulawesi Selatan. Ia datang bersama dengan 123 orang tentara baret hijau yang tergabung dalam Depot Speciale Troepen (DST); satuan kompi yang menjadi cikal bakal pasukan elite khusus tentara Belanda.
2 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2006), halaman 24-25.
3 Termasuk wilayah Sulawesi Barat.
3
Raymond Paul Pierre Westerling lahir di Istanbul Turki, semasa dengan Kesultanan Utsmaniyah, tanggal 31 Agustus 1919. Westerling merupakan anak kedua dari pasangan Paul Westerling (Belanda) dan Sophia Moutzou (Yunani). Oleh teman- temanya, ia dijuluki “Si Turki”.
Westerling terpilih dari 48 orang Belanda (termasuk keturunan orang Belanda), sebagai tentara angkatan pertama yang memeroleh pelatihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, sebuah wilayah pesisir di Skot-landia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni.
Dalam buku biografi Mayjen TNI (Purn.) H. Andi Mattalatta yang berjudul Meniti Siri’ dan Harga Diri, Westerling—sehari setelah ia tiba di Sulawesi Selatan—
diangkat pangkatnya dari seorang Letnan I menjadi seorang Kapten. Sepertinya itu promosi atas tugas maha berat yang akan diemban di Sulawesi Selatan. Dituliskan lebih lanjut, bahwa pada tanggal 9 Desember 1946 terjadi pertemuan antara petinggi pemerintahan Belanda, di antaranya Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, Letnan Jenderal SH Spoor, Kolonel De Vries, dan Dr. Lion Cachet, mereka sepakat memutuskan bahwa afdeeling Makassar, Bonthain, Pare-Pare, dan Mandar dinyatakan dalam keadaan Staat van Oorlog en Beleg (SOB) atau dalam keadaan darurat.
Polemik Pembantaian Korban 40.000 Jiwa
SOB merupakan surat izin melakukan penggeledahan di desa-desa dan rumah- rumah para pejuang di wilayah Sulawesi Selatan. Berkat adanya SOB, Westerling dan pasukan DST-nya seperti singa lapar yang baru dilepaskan dari kandangnya.
Tanggal 11 menjelang 12 Desember 1946, aksi pertama mereka lakukan dengan menyerbu Desa Batua, Borong, dan Patunorang, sebuah desa kecil yang ada di afdeeling Makassar. Dikisahkan dalam beberapa literatur sejarah, malam itu seluruh penduduk desa dikumpulkan di sebuah lapangan terbuka dengan maksud mencari tokoh pejuang Republikein, R. W. Monginsidi dan Ali Malaka. Karena tidak menemukan keduanya, Westerling lepas kendali, ia menarik pistolnya kemudian menembak diikuti dengan letusan senjata milik pasukan DST-nya.
Kemudian kekejaman itu berlanjut di luar afdeeling Makassar, selama 15 hari mulai dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 31 Desember 1946. Pembantaian terjadi
4
di Gowa, Takalar, Polombangkeng, Binamu, dan Jeneponto. Rehat sehari, lalu dilanjutkan pada tanggal 2 Januari 1947 sampai dengan tanggal 16 Januari 1947, berlangsung di Bonthain, Gattaran, Bulukumba dan Sinjai. Sementara di daerah utara Sulawesi Selatan, seperti Maros, Pangkajene, Segeri, Tanete, Barru, Takkalasi, Soppengriaja, Palanro, Pare-Pare, Suppa, Pinrang, Mandar (Polewali ke utara), Madello, Abbokongeng, Padakkalawa, Malimpung, Enrekang, Talabangi, Palopo dan beberapa daerah lainnya di utara, berlangsung dari tanggal 17 Januari 1947 sampai dengan tanggal 3 Maret 1947.
Dari semua daerah yang diserang oleh Westerling dan pasukannya, Andi Mattalatta berpendapat hanya afdeeling Bone yang lepas dari teror pembantaian Westerling. Menurutnya, pengaruh dari Andi Pabbenteng yang diangkat menjadi Raja Bone pada bulan Juni 1946 oleh Comanding Officer Netherlands Indies Civil Admi- nistration (CONICA) dianggap berhasil mengusir orang-orang republikein beserta golongan pemuda dari afdeeling Bone, tanpa mesti tentara Belanda harus turun tangan.
Dari sekian korban yang selamat, Raden Atmajaya—seorang politikus dan wartawan—berhasil merekam setiap potongan peristiwa yang ia saksikan di Makassar.
Ia yang memiliki naluri jurnalis, lalu menuliskannya pada sebuah brosur yang berjudul
“Massacre in Macassar” (Pembantaian di Makassar). Brosur tersebut diselundupkan ke mana-mana, bahkan sampai ke kota Den Haag, Belanda. Akibat brosur tersebut, anggota-anggota parlemen yang ada di Lager-Kamer Belanda memprotes keras aksi pembantaian yang dilakukan Westerling dan pasukannya di Sulawesi Selatan.
Awalnya, oleh Letnan Jenderal SH Spoor, R. Westerling beserta pasukannya dianggap telah berhasil menjalankan tugasnya di Sulawesi Selatan. Bahkan media massa setempat, Het Militair Weekblad yang ada di Belanda justru mewartakan keberhasilan Westerling. Berita mingguan itu menyanjung Westerling dengan sebuah tajuk Pasukan Si Turki Kembali; berita ini seakan ingin menegaskan kehebatan Westerling dan pasukannya.
Tetapi, setelah brosur “Massacre in Macassar” tersebar dan dibaca oleh warga di negeri Belanda, harian De Waarheld Belanda menurunkan berita pada bulan Juli 1947, isinya mencoba meluruskan peristiwa yang terjadi di Sulawesi Selatan.
Diwartakan bahwa kekejaman Westerling dianggap sama kadar kesadisannya dengan
5
Hitler dan Pasukan Nazi, Pol Pot dengan pasukan Khmer Merah-nya, atau Stalin dengan tentara Komunis-nya.
Sejak saat itu mata rakyat Belanda terbuka, mereka sadar bahwa untuk menaklukan negeri jajahan tidak harus dengan jalan pembantaian. Raymond Wasterling pun menjadi pesakitan, dulu dipuja sebagai pahlawan lalu dicerca sebagai pembantai yang kejam.
Hingga saat ini belum diketahui berapa jumlah pasti korban jiwa pembantaian Westerling. Andi Mattalatta beranggapan banyak catatan yang fiktif mengenai korban jiwa di Sulawesi Selatan yang terjadi dalam kurun waktu Desember 1946 hingga Maret 1947. Surat kabar De Vrije Nederland sampai pertengahan bulan Februari 1947 hanya menyebut 20.000 jiwa. Westerling sendiri dalam bukunya yang berjudul Challenge to Terror hanya mengakui 600 jiwa. Pemerintah Belanda 2.000 jiwa. Kabinet Pertama Negara Indonesia Timur 5.000 jiwa. Surat Kabar Het Parool 60.000 jiwa. Dan Negara Republik Indonesia di PBB menyebut angka 40.000 jiwa.
Sampai saat ini angka korban 40.000 jiwa masih penuh misteri, orang masih bertanya-tanya benarkah jumlah korban jiwa yang jatuh sebanyak itu?
Ada yang beranggapan angka ‘4’ untuk menyebut angka 40, 400, 4.000 atau 40.000 dalam hitungan orang Bugis-Makassar adalah angka yang tak terhingga jumlahnya (no limit). Hal yang sama juga biasa ditemukan di Jawa, di mana angka ‘1’
untuk menyebut angka 10, 100, atau 1.000 lazimnya menjadi angka tak terhingga jumlahnya. Contoh misalnya, di Jawa Tengah ada istilah lawang sewu atau seribu pintu yang jika dihitung-hitung jumlah pintu sebenarnya tidaklah berjumlah 1.000, begitupun halnya dalam menyebut kisaran jarak 1.000 kilometer jalan raya pos daendels4, dan 1.000 korban jiwa yang tewas di sepanjang pantai utara Jawa5. Benarkah jumlahnya 1.000? Tentunya hal ini masih menjadi polemik.
Jumlah Korban 40.000 Jiwa, kali pertama ditetapkan dalam sebuah kegiatan, upaya kegiatan mengenang peringatan pembantaian Westerling. Peringatan setahun pembantaian Westerling itu terlaksana di Yogyakarta, pada 11 Desember 1947.
4 Seorang Gubernur Jenderal yang pernah berkuasa di Nusantara.
5 Peristiwa berlangsung pada tahun 1808, sebuah proyek bernama “Pembangunan Jalan Raya Pos Daendels”.
6
Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Kronologisnya, terjadi sebelum Presiden Soekarno berpidato. Sebelum berpidato, Soekarno memanggil Manai Sophian, seorang guru dari Taman Siswa dan juga Sekjen Partai Nasional Indonesia (PNI). Soekarno bertanya pada Manai yang merupakan loyalisnya, “berapa banyak korban teror Westerling di Sulawesi Selatan?” Manai menjawab, “40.000 jiwa pak!”
Dalam pidatonya Presiden Soekarno sempat menyinggung masalah korban 40.000 jiwa: “Di seluruh tanah air Indonesia sudah berjatuhan korban, dan di Sulawesi Selatan sekarang ini perang kemerdekaan sudah menelan 40.000 jiwa pejuang.”
Dalam kesempatan itu pula, ada juga yang mengisahkan bahwa Kahar Mudzakkar juga sempat berucap lantang seraya menunjuk-nunjuk ke arah Presiden Soekarno, "Bung Karno-lah yang akan dipanggil Allah SWT, di padang mahsyar kelak untuk mempertanggungjawabkan 40.000 jiwa itu. Mereka semuanya gugur oleh karena semboyan Bung Karno, ‘Merdeka atau Mati!’” Mendengar itu, Bung Karno terlihat tertunduk dan mengucurkan air mata.
Tuntutan Hari Berkabung Nasional
Ada satu tuntutan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap negara atas peristiwa yang dilakukan oleh Westerling di Sulawesi Selatan, tuntutan agar “tanggal 11 Desember 1946” dijadikan sebagai hari peristiwa bersejarah yang mesti diperingati sebagai “Hari Berkabung Nasional”.
Pada tanggal 11 Desember 1964 di Jakarta, diadakan sebuah peringatan besar terhadap korban 40.000 jiwa. Sehari sebelum peringatan, dipasang sebuah spanduk besar di Gedung Olahraga Senayan, bertuliskan: “Kami Mohon Kepada Bapak Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia Panglima Tertinggi ABRI Dr. Ir. Soekarno, Agar 11 Desember Dijadikan Hari Berkabung Nasional.”
Namun, Presiden menolak mengabulkannya. Andi Mattalatta beranggapan, tidak dikabulkannya permintaan Rakyat Sulawesi Selatan karena adanya bisikan dari petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI): Soebandrio dan Aidit. Sikap keduanya, merupakan bentuk kekecewaan atas paham komunis yang sangat sulit untuk masuk di Sulawesi Selatan yang mayoritas penduduknya memeluk ajaran Islam.
7
Satu hal lagi, hadirnya anggapan bahwa peringatan Hari Berkabung Nasional ini, terkesan terlalu primordialistik sehingga tidak patut untuk direalisasikan dalam bernegara yang menjunjung asas nasionalisme. Anggapan ini tentu sangatlah keliru, karena yang berjuang di Sulawesi Selatan kala pembantaian oleh Westerling terjadi adalah percampuran dari berbagai etnik yang ada di Nusantara, sama halnya perang 10 November di Surabaya yang sudah disepakati oleh negara sebagai Hari Pahlawan Nasional. Kalau di Jawa Timur bisa, mengapa di Sulawesi Selatan tidak bisa?
Mungkin ada benarnya kita memaknai pribahasa latin berikut, yang cukup menggambarkan reaksi kekecewaan atas tuntutan peristiwa Hari Berkabung Nasional, isi pesannya kurang lebih seperti ini: Lanta la pericolo, basta la sancta patria, Apabila telah melewati bahaya, maka tersingkirlah para pahlawan yang suci.
8
EPOS BAHARI ORANG SULAWESI SELATAN6
Ada banyak peristiwa dan kisah-kisah mengenai laut dan samudera yang telah menjadi epos dalam suatu daerah. Satu di antara sekian banyak kisah itu ada di masyarakat yang mendiami wilayah sepanjang pesisir pantai Sulawesi Selatan7.
Orang-orang dari suku Mandar, Bugis dan Makassar merupakan masyarakat yang banyak mendiami pesisir pantai Sulawesi Selatan. Sebagian besar di antara mereka adalah seorang pelayar/pelaut. Mereka memiliki jiwa budaya bahari yang begitu melekat dan diakui oleh suku-suku lain yang ada di Indonesia, bahkan dikenal hingga ke mancanegara. Hal tersebut ditandai dengan kecakapan budayanya yang hampir seluruhnya berorientasi ke laut. Contoh misalnya sajak-sajak yang kebanyakan mengajak anak-anaknya untuk mau berurusan dengan laut. Perhatikan pula perahu phinisi dan perahu sandeq yang begitu fenomenal dan mendunia, juga jangan lupakan
6 Judul tulisan ini memeringati Hari Peristiwa Laut dan Samudera yang jatuh pada tanggal 15 Januari. Tulisan ini disadur dari buku Baharuddin Lopa yang berjudul Hukum Laut, Pelayaran, dan Perniagaan, terbitan tahun 1982.
7 Dalam tulisan ini mencakup pula Sulawesi Barat (Etnik Mandar) yang dulunya merupakan bagian dari Sulawesi Selatan.
9
adab dan aturan-aturan8 berlayar/berniaga yang menjadi role model hukum laut internasional.
Selain kecakapan tersebut, orang-orang Sulawesi Selatan juga memiliki karakteristik yang khas. Menurut M. Sanusi Dg. Matatta (1953:382) pelaut-pelaut Sulawesi Selatan adalah hampir di semua tempat yang strategis letaknya berada di pinggir laut, terdapat kampung mereka. Dengan adanya kampung untuk ditinggali bersama, mereka pun mulai beranak-cucu. Jejaknya masih ada di Pagatan (Kalimantan Timur), demikian juga di Johor, Singapura, Sangir Talaud, Tegal, bahkan ada satu kampung terapung di atas laut dekat Pulau Nusakambangan. Untuk daerah terakhir, penulis pernah ke sana dan membuktikan secara langsung keberadaan kampung terapung tersebut. Kampung itu kini sudah menjadi kampung nelayan dan berada di pinggiran daerah Cilacap, Jawa Tengah. Beberapa penduduknya masih bisa atau paham berbahasa Bugis-Makassar, mereka mengaku nenek moyangnya berasal dari Sulawesi Selatan. Bahkan pada waktu kunjungan ke sana, mereka turut serta dalam membesarkan sebuah organisasi paguyuban bernama Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS).
Baharuddin Lopa dalam bukunya yang berjudul Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan (1982:31) menjelaskan bahwa pelayar/pelaut mencoba membangun sebuah kampung yang berada di wilayah pesisir, agar memudahkan perhubungan lalu-lintas di lautan, yakni dapat disinggahi untuk menambah bekal dan air minum.
Fakta empirik yang membuktikan bahwa pelayar/pelaut memang selalu berlayar jauh dan menggunakan waktu yang lama dalam pelayaran, bisa kita kaitkan dengan kuliner khas yang menyertai dalam pelayaran. Pelayar/pelaut Sulawesi Selatan biasanya membawa bekal yang mampu bertahan lama seperti kaddo’bari (Mandar) atau leppe’-leppe’ (Bugis); sejenis beras ketan yang dikukus lebih dahulu lalu kemudian dijemur (Mandar), dan dibungkus daun kelapa (Bugis).
Orang-orang pelayar/pelaut Sulawesi Selatan terkenal berani dalam hal pelayaran dan perniagaan. Mereka dengan semangatnya mengarungi samudera luas,
8 Pada dasarnya aturan laut Amanna Gappa dari Kerajaan Wajo menganut prinsip kebebasan berlayar di laut. Beberapa di antaranya mengatur tentang hak dan kewajiban si pemilik kapal dan anak buah kapal. Seperti cara berdagang dalam pelayaran, susunan birokrasi di kapal, dan syarat-syarat untuk menjadi nakhoda kapal. Artikel dibagikan oleh Hamsa Nunchi dari Grup Sempugi. Lihat juga Ph. O.L. Tobing (1961).
10
menjajakan barang jualannya hingga ke Malaka, Brunei, Negeri Siam (Thailand) bahkan sampai ke Australia Utara. Selain berani mereka juga begitu disegani, seorang peneliti asing bernama Tome Pires, mengungkapkan bahwa pelaut Sulawesi Selatan ditakuti di mana-mana karena memang semua perampok patuh kepada mereka, sebab pantas dipatuhi.
Mereka gagah berani tapi tidak tampan9, mempersenjatai dirinya, berlayar ke sana ke mari tanpa rasa takut akan dihadang oleh kelompok perompak. Menurut Jacqueline Lineton (1975:196) bahwa merupakan salah satu watak pelaut-pelaut Sulawesi Selatan sehingga berani berlayar ke mana-mana.
Masa-masa Awal Pelayaran
Telah diketahui di beberapa riset dalam berbagai literatur bahwa waktu-waktu awal pelayaran oleh orang-orang Sulawesi Selatan telah dimulai pada Abad X. Masa itu, pelayaran barulah sekadar bersifat kunjungan ke beberapa negeri untuk menjalin persahabatan, selain itu pula sebagai bahan pengenalan benua. Untuk alasan-alasan atau motif ekonomi belum begitu muncul pada masa tersebut. Baru pada Abad XV (perkiraan tahun 1420 atau tahun 1424), motif ekonomi baru dimunculkan melalui komando Karaeng Samarluka10 yang mengunjungi Pelabuhan Malaka. Tapi motif ekonomi pada masa tersebut masih belum begitu difokuskan, sifatnya masih sekunder saja sekadar untuk melengkapi jiwa petualangan mereka saja. Motif ekonomi sepenuhnya dijalankan oleh pelayar/pelaut Sulawesi Selatan di saat perusahaan Belanda VOC, mulai masuk dan ingin menguasai pelayaran di seluruh Nusantara.
Sedang pada Abad XVII—setelah Perjanjian Bongaya ditanda-tangani pada tahun 1667 dengan perwakilan tentara Belanda—di mana dalam pelayaran dan perniagaan para pelaut Sulawesi Selatan mulai dipaksa mencari negeri-negeri baru dengan rute yang berbeda dari rute pelayaran sebelumnya. Meskipun demikian, masih
9 Stavorinus (1969) yang mengunjungi Makassar pada tahun 1775, mengemukakan bahwa orang Makassar tidak begitu tampan, tetapi lebih jantan, mempunyai penampilan layaknya prajurit perang; mereka juga mempunyai keberanian lebih besar, dan sangat memusuhi pengkhianat.
10 Raja Tallo ke II, bernama I Sumangerukka Daeng Marewa Karaeng Pasi Tunilabu ri Suriwa.
Namun lebih dikenal dengan sebutan Karaeng Samarluka.
11
ada beberapa orang pelayar/pelaut yang membangkang dan tetap melakukan pelayaran/perniagaan rute: Singapura-Sulawesi Selatan-Kepulauan Maluku-Papua.
Rute Pelayaran dan Perniagaan
Dalam rute pelayaran dan perniagaan, pelayar/pelaut Sulawesi Selatan telah memiliki rute perjalanan dagang sendiri. Pelayaran samudera biasanya dilalui pelayar/pelaut yang melintas dari sisi timur ke barat nusantara, semisal ke Maluku dahulu membeli rempah-rempah; lalu ke Papua membeli kopra; hingga ke Australia Utara menangkap tripang11; kemudian dijual ke para pembeli yang ada di wilayah barat, semisal di Sumatera, Singapura, Malaka, Thailand, bahkan sampai ke tangan pedagang Cina. Sepulang dari jalur barat, pelayar/pelaut Sulawesi Selatan biasanya membawa pulang barang-barang pecah belah, tembikar, tekstil, termasuk permadani dan barang urusan rumah tangga lainnya.
Untuk rute yang sifatnya spiritual dan keagamaan, pelaut Sulawesi Selatan mengarahkan kemudi perahunya ke Afrika Selatan dengan misi mengambil kembali jenazah Syekh Yusuf (Guru spiritual dan bangsawan besar dari kerajaan Gowa), selain itu ada pula yang ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji menurut ajaran Agama Islam yang sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan anut.
Ahli dalam Ilmu Navigasi
Pelayar/pelaut yang berasal dari Sulawesi Selatan bukanlah pelayar/pelaut biasa, mereka adalah orang-orang ulung yang ahli di bidang kebaharian. Mereka membuat perahu phinisi dan perahu sandeq dengan jiwa seni yang tinggi. Selain itu, mereka juga sangat menguasai navigasi dengan pengetahuan yang tak kalah hebatnya dari pelaut-pelaut Eropa.
11 Ada kenangan manis di Arnhem Land-Australia, antara Suku Yolngu-Aborigin dan Suku Bugis- Makassar, soal hubungan dagang yang tercipta menjelang akhir abad XVII. Namun pada awal abad XIX, setelah Pemerintah Australia menerapkan aturan untuk memiliki izin dan membayar semacam pajak jika hendak menangkap tripang di pantai utara Australia, maka hubungan dagang itupun berakhir, konon masyarakat Suku Yolngu merindukan t e m a n - t e m a n p e l a u t n y a d a r i S u l a w e s i S e l a t a n . B a c a l i p u t a n n y a d i : internasional.kompas.com/kisah mesra pelaut Makassar dan Orang Aborigin pada masa lalu.
12
Valentijn F. dalam Oost Indien Oud en Nieuw Oost Indien menjelaskan bahwa Sultan Mahmud Syah yang memerintah Malaka pada Abad XV memeroleh keterangan tentang hukum pelayaran dan perniagaan dari orang-orang Sulawesi Selatan yang berlayar ke Malaka, termasuk pengetahuan navigasi berupa gambar peta asia tenggara yang pertama kali dimiliki oleh I Sumangerukka Daeng Marewa Karaeng Pasi Tunilabu ri Suriwa (Karaeng Samarluka). Mereka sangat fasih dalam membaca arah angin, kebutuhan akan pemahaman ini sangat dibutuhkan, mengingat perahu-perahu yang digunakan masih sebatas perahu tradisionil yang belum menggunakan mesin sebagai motor penggerak. Selain arah angin, mereka juga tahu dan paham dalam membaca kondisi cuaca, baik yang di siang hari maupun pada malam hari.
Hal ini juga membuktikan bahwa orang-orang Sulawesi Selatan adalah manusia yang tidak pelit dalam berbagi ilmu dan pengetahuan. Selain itu, mereka juga sangat menjunjung nilai-nilai solidaritas di laut, seperti membantu kapal-kapal yang sedang memerlukan bantuan, melawan serangan perompak, begitu pula ikut serta dalam perebutan kembali wilayah kerajaan yang dikuasai oleh penjajah asing dalam suatu daerah. Bahkan pada zaman penjajahan, mereka juga ikut berjuang sebagai kurir pengantar barang dan orang dari pulau Jawa ke pulau Sulawesi. Mereka sangat lihai dalam mengelabui kapal-kapal patroli tentara Hindia-Belanda. Seringkali dalam beberapa ekspedisi mereka sukses mengangkut para pemuda pejuang dari pulau Sulawesi ke tanah Jawa maupun arah sebaliknya dengan menggunakan perahu phinisi, sandeq, balolang, palari’ hingga jenis perahu pa’dewakang.
Prinsip Kesamaan Hak di Laut
Masa kejayaan kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan mencapai puncaknya berkisar pada Abad XIV hingga Abad XVI, sedangkan untuk kejayaan niaganya ditandai dengan munculnya Pelabuhan Makassar sebagai pusat perniagaan internasional (Abad XVI −Abad XVII) menggantikan Pelabuhan Malaka.
Kerajaan Gowa pada masa kejayaannya menjamin ‘persamaan hak’ seluruh umat manusia, sebagaimana sifat pelayar/pelaut Sulawesi Selatan yang rela berkorban untuk menolong siapa saja yang hak-haknya direnggut oleh bangsa lain. Persamaan hak juga diterapkan dalam bentuk perniagaan, seperti membuka akses seluas-luasnya bagi siapa
13
saja; bangsa apa saja; agama apa saja; yang ingin datang berdagang di Pelabuhan Makassar.
Konsep monopoli perdagangan di Pelabuhan Makassar tidak familiar kala itu, seperti yang biasa dicontohkan oleh Bangsa Eropa dalam melakukan perdagangan di Nusantara. Dengan menjamin persamaan hak untuk seluruh umat manusia, maka pelaut-pelaut Sulawesi Selatan pada umumnya telah menganut prinsip laut bebas yang mendahului gagasan dari seorang pemikir masa renaissance di Romawi, bernama Hugo Grotius, bapak hukum internasional yang kita kenal saat ini.
Menurut Baharuddin Lopa (1982:42), prinsip laut bebas yang diterapkan dikala jayanya perniagaan di Pelabuhan Makassar adalah sebagai pelabuhan yang bebas dan tidak dipungut bea atas barang yang keluar-masuk ‘dari’ dan ‘ke’ Pelabuhan Makassar. Kemungkinan, hal inilah yang membuat Pelabuhan Makassar menjadi ramai dikunjungi oleh banyak pedagang-pedagang dari dalam maupun luar Nusantara.
Namun sayangnya, perniagaan di Pelabuhan Makassar tidaklah berlangsung lama. Hal ini disebabkan kecemburuan Belanda, melalui VOC yang ingin menguasai seluruh Bandar perniagaan di Nusantara. Prinsip laut bebas dirusak oleh Belanda melalui sebuah penaklukan yang kemudian disusul dengan surat perjanjian, yang disebut Perjanjian Bongaya (1667).
Sultan Alauddin geram dan tidak patuh atas apa yang diinginkan oleh Belanda, oleh Dr. F. A. Stapel dalam Bongaais Tractaat halaman 14 menyebutkan bahwa Sultan Aluddin, berucap:
“Tuhan telah menciptakan bumi dan laut, bumi dibaginya antara hambaNya manusia dan laut dianugerahkanNya kepada seluruh ummat manusia bersama.
Tidaklah pernah terdengar, bahwa seseorang dilarang berlayar di laut. Jikalau tuan melakukannya juga, maka tuan merampas nasi dari mulut sesama manusia.
Kami hanyalah seorang raja yang miskin”.12
Dalam epos masyarakat Sulawesi Selatan, ada banyak kisah dan peristiwa tentang laut, soal kecintaan terhadap laut dan seluruh kebanggaannya sebagai
12 Diterjemahkan oleh La Side (1970:17).
14
masyarakat yang telah—meminjam istilah Sapardi Djoko Damono—menundukkan lautan.13
Sultan Alauddin—yang telah berjuang atas nama keadilan, persamaan hak, dan nilai kemanusiaan—telah banyak memberikan pesan kepada para generasi pelanjutnya.
Saatnya, generasi berikutnya yang akan meneruskan tanggung jawab tersebut. Sepenggal sajak dari Makassar akan memberi kita segenap kekuatan untuk tidak mudah putus asa atas semua keadaan ini.
Takunjunga bangun turu’; Aku akan berlayar bersama angin;
Nakuginciri’ gulingku; Aku tidak akan mengubah arahku;
Kualleangi tallanga natoalia. Aku tak akan kembali, lebih baik tenggelam.
13 Sebab kami telah bersekutu dengan sejarah untuk menundukkan lautan. Lihat Puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Doa Para Pelaut yang Tabah”.
15
KEMISKINAN DAN GIZI BURUK14
Belum ada definisi pasti dan disepakati oleh semua ahli di dunia ini mengenai cara menjelaskan kata: kemiskinan. Para ahli masih mencari parameter atau ukuran tepat dalam menjelaskan diksi “miskin” dan “kemiskinan”. Asumsi bahwa kemiskinan pada umumnya tak lepas dari soal materi (baca: uang) mungkin adalah ukuran formulasinya.
Elite ekonom dunia menggariskan bahwa orang yang pendapatannya di bawah 1 USD dikategorikan sebagai orang yang miskin. Beberapa memandang skeptis anggapan tersebut. Mengapa miskin dan kemiskinan hanya dihubung-hubungkan pada ukuran materi semata?
Bagi yang nampak secara kasat mata—baik itu bentuk, realitas, warna—hanya akan menghasilkan rupa semu semata. Sebagai contoh, di bawah ini ada sebuah anekdot percakapan seorang nelayan dan pengusaha.
14 Judul tulisan ini memeringati Hari Gizi dan Makanan yang jatuh pada Tanggal 25 Januari.
Tulisan ini disadur dari buku Jeremy Seabrook yang berjudul Kemiskinan Global, terbitan tahun 2006.
16
Seorang nelayan sedang duduk bersandar, bersantai di bawah pohon. Matanya memandang takjub jauh ke laut. Tak lama berselang, seorang pengusaha kaya raya menghampirinya, berdiri di sampingnya kemudian bertanya:
“Mengapa kamu tidak melaut?” Tanya pengusaha kaya.
“Saya sudah menangkap dua ekor ikan. Saya rasa itu sudah cukup untuk keluarga.”
“Bukankah kalau kamu melaut lagi kamu bisa mendapatkan lebih.”
“Untuk apa?”
“Mendapatkan banyak uang.”
“Kalau banyak uang, untuk apa?”
“Supaya kamu jadi kaya, bisa membeli perahu, untuk dipakai berlibur, bisa dipakai bersantai…” Sahut pengusaha kaya.
“Memang apa yang saya lakukan sekarang?” Jawab sang nelayan yang masih duduk bersandar menikmati indahnya laut.
Dari cerita di atas manakah yang bisa kita maksudkan sebagai orang yang miskin? Kemudian mana pula yang kaya? Jika ‘miskin’ dan ‘kemiskinan’ hanya dikaji dalam tataran yang nampak saja, maka kemiskinan adalah orang-orang yang hidupnya di gubuk reot, pakaiannya compang-camping, tubuhnya kurus kering akibat kekurangan gizi, penghasilannya pas-pasan yang apabila dapat honor akan habis di hari itu juga—sehingga tak memiliki tabungan sama sekali.
Kemudian bagaimana dengan seorang pejabat negara, yang kaya dan terpandang, rumah besar dengan ubin yang licin, mobil terparkir rapi di garasi, baju mewah dengan merek yang tenar, namun semua itu didapatkan melalui hasil korupsi uang negara?
Silahkan Anda menafsirkan Pejabat Negara yang korup tersebut, apakah dia tergolong sebagai orang yang kaya ataukah lebih patut kita golongkan sebagai orang yang miskin saja, sebab tidak pernah merasa cukup. Pun sebaliknya, silahkan juga para
17
pembaca menilai apakah nelayan dalam cerita tadi bisa kita golongkan sebagai orang yang miskin ataukah lebih patut kita golongkan sebagai orang yang kaya saja.
Kemiskinan dalam Angka
Kemiskinan menjadi persoalan paling pelik dalam negara. Dulu hingga kini, realitas ini menjadi persoalan yang paling menakutkan bagi sebuah negara. Masalah sosial satu ini melanda hampir di seluruh negara, baik itu negara maju, negara berkembang apalagi yang masih terbelakang.
Buku Jeremy Seabrook yang berjudul Kemiskinan Global (2006:21), menggambarkan bahwa data statistik angka kemiskinan sebanyak 1,2 milyar orang di dunia dengan penghasilan di bawah 2 dolar setiap hari. Pendapatan 1% saja dari orang terkaya penduduk dunia ini bisa dinilai setara dengan 57% pendapatan orang termiskin.
United Nation Development Program (UNDP) menerangkan bahwa aset 200 orang terkaya di dunia ini bernilai lebih dari total pendapatan tahunan 41% penduduk dunia. UN Human Development Index menyatakan bahwa 20% orang kaya dari total penduduk dunia memperoleh 150 kali kekayaan dari 20% orang termiskin.
Menyoal kemiskinan tidak bisa lepas dari soal ketimpangan sosial, sepertinya juga mampu menjadikan seseorang bermental miskin; dan kemiskinan seperti sudah menjadi takdir! Ingat pula, bahwa ada yang miskin disebabkan oleh struktur atau bahasa politiknya dimiskinkan oleh sistem yang berlaku.
Akibat dari ketimpangan sosial yang terjadi mengakibatkan timbulnya ketidakadilan sosial (diskriminasi). Telah terjadi diskriminasi, baik antar negara maupun dalam suatu negara. Akses seluas-luasnya diberikan kepada pemodal untuk mengeruk kekayaan alam sebebas-bebasnya, kemudian kekuatan fisik manusia diupah semurah-murahnya. Hal ini bermula dari cara-cara yang kasar, semisal bentuk kolonialisme (nampak secara fisik), sampai pada yang tak langsung seperti gerakan ideologi neoliberalisme yang terselubung.
Kekurangan Gizi pada Anak
Hasil yang terburuk dari ketimpangan sosial dan ketidakadilan sosial akan berdampak pada keseimbangan gizi anak di dunia. UNDP mengungkapkan bahwa ada
18
sekitar 840 juta orang di dunia ini mengalami yang namanya gizi buruk (baca:
kekurangan gizi). Enam juta di antaranya, adalah anak-anak di bawah usia 5 tahun.
Para ahli berkesimpulan, bahwa 20% anak-anak lahir di negara-negara termiskin akan meninggal sebelum berusia 5 tahun, sedang di negara-negara kaya kurang dari 1%-nya. Kurangnya makanan yang layak konsumsi, didukung sanitasi yang buruk menyebabkan banyak orang dewasa dan anak-anak di beberapa negara miskin terkena dampak dari gizi buruk tersebut.
UNICEF, UNESCO, dan UN Statistics mengidentifikasi kemiskinan di negara-negara terbelakang, dengan menyimpulkan bahwa 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 45% daging dan ikan, sedang 1/5 orang termiskin hanya mengkonsumsi 5% saja. Kemudian, 1/5 orang terkaya mengkonsumsi 58% dari total energi, sedang 1/5 orang termiskin hanya mengkonsumsi kurang dari 4% saja.
Khusus di Indonesia sendiri, antara tahun 2003 hingga 2010 sebanyak 10%
orang terkaya menambah konsumsi mereka sebesar 6% per tahun, tentunya setelah disesuaikan dengan inflasi. Bagi 40% masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2% per tahun.
Ketimpangan sosial yang berujung ketidakadilan sosial masih menjadi persoalan yang belum bisa dituntaskan, dan sepertinya memang sulit untuk dituntaskan. Amartya Sen, murid dari Tagore yang merupakan ekonom handal asal India peraih nobel dunia di bidang Ekonomi, menemukan kejanggalan dengan mengungkapkan bahwa kelaparan di dunia ketiga terjadi bukan karena kurangnya makanan, melainkan karena ketidakadilan dalam sistem distribusi pangan global.
Sama halnya dengan Amartya Sen, Nelson Mandela, pemimpin pejuang anti- apartheid di Afrika, mengungkapkan bahwa kemiskinan bukanlah hal yang alami.
Kemiskinan adalah akibat perbuatan manusia, dan dapat diberantas lewat perbuatan manusia. Mandela dengan lantang menyerukan perdagangan yang adil (fair trade), penghapusan utang, dan peningkatan bantuan dalam rangka memotong setengah dari kemiskinan global.
19
Renungan
Di Afrika, banyak negara yang terlilit persoalan ekonomi. Dalam buku yang ditulis oleh Lukman Harun berjudul Potret Dunia Islam, menggambarkan dengan jelas situasi sosial yang terjadi, khususnya di Kenya.
Lukman Harun bercerita tentang seorang anak muda muslim Kenya yang sempat ia temui, anak muda itu berasal dari keluarga yang sangat miskin. Dia ingin melanjutkan pendidikan, tetapi orang tuanya tidak mampu membiayai. Dia pun mengirim surat ke berbagai Negara Arab untuk meminta bantuan dan beasiswa, tetapi sama sekali tidak mendapat jawaban. Kemudian dia minta beasiswa kepada Gereja setempat dan diberilah ia sebuah beasiswa. Dengan perasaan sedih anak muda itu berbicara, kenapa negara-negara Arab yang kaya tidak memerhatikan nasib umat Islam di Kenya?
Sebagai penutup dari tulisan ini, berikut pernyataan singkat dari seorang ibu rumah tangga yang kecewa atas penelitian dari seorang ahli kependudukan, berikut ini pernyataannya:
Ahli kependudukan itu mengeluh: “keluarga desa itu miskin karena mereka punya terlalu banyak anak.”
Sang ibu yang marah lalu menjajarkan keduabelas orang anaknya di luar gubuk, seraya berkata pada pakar itu: “coba lihat mereka, dan katakan pada saya, mana yang harusnya tidak saya punyai?”
20
DARI PRAM UNTUK TIRTO15
Untuk yang dilupakan dan yang terlupakan.
Seperti itulah ucapan Pramoedya Ananta Toer16, seorang sastrawan masyhur Indonesia yang mengabadikan—melalui tulisan—jasa-jasa Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, pelopor pers nasional.
Pram (sapaan akrab Pramoedya) adalah sosok yang pemberani. Dalam tulisan- tulisannya, ia kerap mengecam situasi dan kondisi sosial yang berlangsung pada masanya. Hingga pada akhirnya ia harus mendekam dan dibuang ke Pulau Buru.
Pram sangat fasih menggambarkan situasi nasion (bangsa) pada masa-masa pergolakan babakan awal abad ke-XX. Saat dirinya berada di balik jeruji besi, ia sempat menuliskan sekaligus menceritakan kembali kisah seorang priyayi yang bernama Tirto
15 Judul tulisan ini memeringati Hari Pers Nasional yang jatuh pada Tanggal 9 Februari. Tulisan ini disadur dari tetralogi Pramoedya Ananta Toer yang berjudul: Bumi Manusia; Anak Semua Bangsa; Jejak Langkah; dan Rumah Kaca.
16 Satu-satunya sastrawan dari Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam nominasi penerima nobel sastra dunia.
21
Adhi Soerjo. Dalam tulisannya, tugas Tirto adalah memelopori kebebasan bersuara dan berpendapat melalui tulisan di surat kabar.
Pulau Buru menjadi saksi bisu bagi Pram, setengah dari umurnya ia habiskan dalam suasana jiwa yang terkekang. Ia berpesan, bahwa butuh sebuah ilmu dan pe- ngetahuan untuk membawa manusia keluar dari kebodohan dan ketertindasan. Bagi Pram, kejahatan yang menyinggung rasa kemanusiaan adalah musuh bagi semua manusia yang berpikir.17
Fase Awal Pers Nasional
Di dalam penjara yang membatasi geraknya, Pram tidak “mati akal”. Dalam pembuangannya, Pram menulis empat karya fenomenal, ia lalu menyebutnya sebagai anak-anak rohaninya.18 Oleh para pembacanya kemudian diberi nama Tetralogi Buru.
Roman bagian pertama berjudul “Bumi Manusia”; kedua “Anak Semua Bangsa”; ketiga
“Jejak Langkah”; dan yang terakhir “Rumah Kaca”. Kesemuanya diterbitkan oleh Lentera Dipantara19.
Pram menjadikan Pulau Buru sebagai tempat pengasingan sekaligus pengisahan kembali tentang seorang tokoh pelopor pergerakan pers nasional. Tokoh itu ia beri gelar ‘Sang Pemula’. Penamaan Sang Pemula karena pada awal mula ke-munculannya memainkan peran berbeda dari para pendahulu-pendahulunya. Tokoh itu tidak berperang mengangkat senjata seperti para pendahulunya, melainkan kekuatan atau senjata sejatinya: pena dan bacaan.
Dalam roman Tetralogi Buru, Pram menokohkan Minke20 (Baca: Mingke) kepada Sang Pemula. Diceritakan pada awal abad ke 20, Minke memulai perjuangannya
17 Kalimat ini diutarakan oleh tokoh bernama Ter Haar dalam roman kedua Anak Semua Bangsa.
18 Buku-buku yang terbit kemudian banyak yang ditarik dan dilarang beredar. Oleh rezim orde baru, melalui lembaga Kejaksaan, buku Pram dianggap berbahaya bagi rezim penguasa pada waktu itu.
19 Sebelumnya diterbitkan oleh Hasta Mitra.
20 Namanya disamarkan dalam roman tetralogi buru, namun dibuku keempat “Rumah Kaca”
sempat disebut nama Raden Mas Tirto Adhi Soerjo atau biasa orang memanggilnya Tirto.
22
dari sekolah H.B.S21 yang ada di Surabaya. Saat itu Minke sadar bahwa pendidikan eropa telah jauh meninggalkan diri dan bangsanya. Namun, Minke tidak menyerah!
Toh setidaknya ia bisa belajar di sekolah asing sebagai bekal merebut kebebasan kaum pribumi.
Kota Surabaya menjadi titik awal perjuangan Minke, bertemu dengan sosok perempuan tangguh bernama Nyai Ontosoroh22. Pertemuan itu membuat Minke mengerti arti dari kata perlawanan. Minke perlahan memahami hak-hak manusia pribumi yang dilucuti oleh kolonial, maka tak ada jalan lain selain melawan penindasan tersebut. Nyai Ontosoroh menginginkan Minke harus terus belajar dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia sangat berperan besar mendorong Minke untuk sekolah ke STOVIA23, di Betawi.
Jurnalisme sebagai Jalan Hidup
Minke mendapatkan dunia baru saat perjalanannya ke Betawi, yaitu dunia jurnalis. Tidaklah mengherankan jika Minke sangat memilih jalan dunia jurnalis sebagai bentuk perlawanannya. Semasa di H.B.S Surabaya, pengaruh bacaan Max Havelaar24 karya Multatuli menjadi rujukan bagi dirinya dalam menulis ke koran yang ada di Surabaya. Mungkin karena gemarnya menulis di koran, Minke memilih berhenti menjadi siswa sekolah dokter dan fokus menekuni jalan jurnalis sebagai eling perjuangannya.
Ketertarikan Minke dengan dunia jurnalis juga tak lepas dari seorang tokoh kolonial. Seorang tokoh yang juga pengagum budaya dan sejarah masyarakat adat di Indonesia bernama ter Haar25.
Minke mengumpulkan ribuan gulden hasil dari jerih payahnya menulis di beberapa majalah dan koran-koran terbitan Belanda. Kemudian dari dana itu, ia
21 Hoogere Burgerschool adalah pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa dan elite Pribumi.
22 Tokoh fiksi yang menjadi gundik seorang totok Belanda.
23 School tot Opleiding van Indische Artsen. Sekolah Pendidikan Dokter Hindia.
24 Novel yang sangat berpengaruh untuk nasion ini.
25 Murid dari C. van Vollenhoven, peneliti hukum adat di Indonesia pada zaman kolonial.
23
membentuk sebuah kantor redaktur surat kabar bernama: Medan Prijaji (baca: Medan Priyayi).
Medan Prijaji menjadi surat kabar pribumi pertama yang hadir di Hindia Belanda, pertama kali terbit pada bulan Januari 1907. Namun, ada pula yang berang- gapan bahwa Medan Prijaji sudah dahulu terbit pada tahun 190326, di mana Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers atau Pers Bumiputera.
Bahasa melayu menjadi pilihan utama dalam mewartakan isi berita dari Medan Prijaji. Bahasa Melayu dipilih karena dianggap populer dikalangan Bumiputera.
Penggunaan bahasa melayu dalam isi beritanya, menjadikan Medan Prijaji begitu populer di kalangan pribumi. Menjadi populer di tangan pembaca pribumi sebab koran-koran pada waktu itu masih didominasi oleh rubrik berbahasa Belanda dan Tionghoa. Di samping penggunaan bahasa, pun yang mengerjakan seluruh aktifitas kegiatan diserahkan kepada orang pribumi asli, baik itu pengasuhnya, percetakannya, penerbitannya, hingga pencari beritanya.
Nama-nama yang juga tidak boleh dilupakan dalam pembentukan Medan Prijaji adalah: Bupati Cianjur R.A.A. Prawiradiredja dan Sultan Bacan Oesman Sjah atas sumbangan dananya yang masing-masing sebesar f 1.000 (seribu gulden) dan f 500 (lima ratus gulden).
Kolom yang paling menarik dari pembaca kala itu adalah kolom tanya jawab soal masalah hukum. Kala itu, masyarakat dibungkam oleh berbagai aturan dan sanksi yang dibuat oleh kolonial. Minke bahkan harus turun langsung menangani (mengadvokasi) beberapa kasus yang menimpa kaum pribumi. Ada beberapa kasus yang pernah dibelanya dan yang paling menarik perhatiannya adalah kasus kekerasan dan perampasan tanah terhadap kaum pribumi di Madiun.
Perjalanan Medan Prijaji tidak berlangsung lama, pada Januari 1912 akhirnya penerbitan koran Medan Prijaji dihentikan dan dibekukan segala aktifitas perusahaannya oleh Pemerintah Kolonial di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Idenburg.
26 Lihat artikel SejarahRI.com, dikutip dari buku Parada Harahap yang berjudul “Kedudukan Pers dalam Masjarakat”.
24
Masa Akhir Perjuangan
Di roman keempat Tetralogi Buru yang berjudul Rumah Kaca, Minke tidak lagi menjadi tokoh utama yang paling banyak diceritakan oleh Pram. Peran sentral digantikan oleh Jacques Pangemanann (dengan dua huruf ‘n’ di belakang namanya).
Dikisahkan dalam roman terakhir tersebut, bahwa Minke telah dibuang jauh- jauh ke Bacan dekat Halmahera sana. Dalam masa pembuangannya, Minke tidak diperkenankan sedikit pun untuk bersentuhan dengan dunia jurnalis maupun organisasi, semua akses telah dipotong oleh Pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam cerita Rumah Kaca, Jacques Pangemanann merupakan salah satu tokoh yang samar dan memang sengaja disamarkan oleh Pram, seperti halnya peran Nyai Ontosoroh di Surabaya. Saya selaku seorang pembaca karya Pram penasaran dengan tokoh satu ini. Saya beberapa kali menelusuri bacaan mengenai sosok fiksi Jacques Pangemanann ini dan, tertuju pada sebuah nama yakni: Dr. Rinkes. Adanya sebuah kesamaan peran antara Jacques Pangemanann dan Dr. Rinkes, baik yang ada di novel fiksi maupun yang terhimpun di beberapa literatur-literatur sejarah, membuat saya menyimpulkan hal itu.
Dalam sebuah artikel sejarah, dituliskan seperti ini:
“Dalam usaha mendeskreditkan dan memojokkan Tirto, Rinkes tidak pernah kekurangan perumusan. Usaha tokoh ini dalam menghimpun modal bersama untuk perniagaan modern dengan jalan mendekati para saudagar yang seagama dengannya dikatakannya sebagai melakukan pergenitan dengan Islam.”
Ada juga yang menuliskan seperti ini:
“Sebuah hal yang ironis bahwa itikad perjuangan Tirto melalui pena yang selama ini benar-benar didengungkan dan diusahakannya hampir selalu diakhiri dengan keruntuhan-keruntuhan yang ditutup dengan kepiawaian Dr. Rinkes menyapu habis catatan atas tataran sisa-sisa perlawanannya yang diingat orang.”
Peran Jacques Pangemanann (baca: Dr. Rinkes) dalam Roman keempat Rumah Kaca memang sangat sentral. Selain mengawasi seluruh gerak para pemimpin pribumi, ternyata Pangemanann juga menjadi tokoh di balik seluruh langkah politik Gubernur Jenderal Idenburg. Tanpa analisa-analisa politik Pangemanann, para pengawal- pengawal gubernur tidak akan berani melakukan penangkapan; hal ini juga karena
25
dipengaruhi lahirnya gagasan politik ethic yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda atas desakan kelompok konservatif di Negeri Belanda sana.
Sepulangnya dari bacan, Minke kembali ke Batavia. Namun, sebelum tiba di Batavia ia mampir dulu ke Kota Surabaya, kota yang merupakan tempat awal ia memulai pergerakannya. Dalam persinggahannya di Surabaya, Minke diawasi ketat oleh Pangemanann. Minke sempat berkeliling-keliling melihat perubahan drastis Kota Surabaya.
Selama dalam perjalanan menuju Surabaya-Betawi, Minke tetap diawasi oleh Pangemanann, baik itu aktifitas pribadinya maupun segala hal yang berhubungan dengan organisasi. Itu pula yang membuat hidupnya menjadi tidak merdeka sebagai manusia yang bebas, walaupun ia telah kembali ke tanah kelahirannya: Pulau Jawa.
Pahlawan Pers Nasional
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo meninggal pada tanggal 17 Agustus 1918. Pada Tahun 1973 Pemerintah menganugerahinya sebuah tanda jasa sebagai Bapak Pers Indonesia. Pada tanggal 3 Nopember 2006 Pemerintah RI memberikan gelar sebagai
‘Pahlawan Nasional’ melalui Keppres RI No. 85/TK/2006.
Sebagai penutup dari tulisan ini, sebuah kutipan dari Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara yang menuliskan dalam sebuah buku kenang- kenangannya yang terbit pada tahun 1952 sebagai bentuk apresiasi mengenang jasa-jasa Bapak Pers Indonesia.
“Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang.
Yaitu almarhum R. M. Djokomono, kemudian bernama Tirto Hadi Soerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik.”
26
UPAYA REVOLUSI YANG GAGAL27
Budaya nasional dalam realitas kekinian mulai tergerus, berganti wajah dengan dandanan budaya baru (baca: asing). Dipoles-poles dengan sentuhan manis dan menjadikannya sebuah selera baru atau selera masa kini. Dengan pengerahan kekuatan modal di segala lini, budaya-budaya baru mulai menjajah dan mengubur budaya-budaya lama. Yang tersisa tinggallah ingatan dari sebuah peristiwa-peristiwa lampau, kendatipun hanya sebatas ingatan dalam bacaan dan tutur kata para sepuh.
Ada peristiwa menarik dan mulai dilupakan, berganti wajah dengan peringatan baru. Adalah peristiwa PETA atau Pembela Tanah Air yang mulai dilupakan dan tergantikan dengan perayaan Valentine’s Day (VEDA), PETA berganti VEDA!?
27 Judul tulisan ini memeringati Hari Peringatan Pembela Tanah Air (PETA) yang jatuh pada Tanggal 14 Februari. Tulisan ini disadur dari buku Nyoman Dekker dalam bukunya yang berjudul Sejarah Revolusi Nasional, terbitan tahun 1989.
27
Pembentukan Tentara PETA
Dikisahkan, bahwa PETA dibentuk atas saran berupa surat dari Raden Gatot Mangkupradja kepada Gunseiken atau Kepala Pemerintahan Militer Jepang. Surat itu berisi permohonan agar kiranya kaum pribumi diperkenankan membantu pasukan Jepang di medan perang. Sebenarnya anggapan ini sempat dipertanyakan, mengingat ada yang berpendapat, bahwa hal ini sebagai bentuk propaganda28 Jepang yang ingin memberikan kesan dan penegasan bahwa PETA memang dibentuk atas saran dari kalangan pemimpin pribumi sendiri.
Namun, ada informasi lain mengenai hal ini, yang bisa menguatkan argumen pemerintah Jepang, terkhusus mengenai saran-saran pembentukan pasukan sukarela dari pemimpin-pemimpin pribumi. Nama Raden Gatot Mangkupradja tidak disebutkan, tapi setidaknya ada saran dari sepuluh orang ulama yang terbit dalam surat kabar “Asia Raya” tertanggal 13 september 1943. Isinya bahwa PETA lahir atas saran dari sepuluh ulama, yakni: KH. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (Hamka), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid, KH. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, KH.
Djunaedi, U. Mochtar dan H. Moh. Sadri.
Tentara Pembela Tanah Air atau disingkat PETA dibentuk oleh Pemerintahan Jepang pada tanggal 3 Oktober 1943. Dalam Maklumat Osamu Seirei No. 44 yang diumumkan oleh Letnan Jendral Kumakichi Harada yang menjabat sebagai Panglima Tentara ke-16 menyebut PETA sebagai Tentara Sukarela. Penamaan tentara sukarela dan bukan wajib militer ini sesuai dengan keinginan dan tuntutan sepuluh orang ulama tersebut, dengan tujuan mempertahankan keamanan di pulau jawa.
Setelah PETA memiliki beberapa orang anggota, diputuskanlah pemusatan pelatihan di kompleks militer yang ada di Bogor29 yang diberi nama Jepang Boei Giyûgun Kanbu Resentai.
28 Propaganda ini diyakini untuk membangkitkan semangat juang para kelompok muda untuk ikut bergabung membantu tentara Jepang di medan perang.
29 Sekarang ini kompleks militer tersebut masih bisa kita lihat sebelah kiri Jalan Jendral Sudirman yang saat ini sudah bernama Lokasi Monumen dan Museum PETA Bogor.
Pembangunan museum dimulai pada tanggal 14 November 1993. Kala itu peletakan batu
28
Dalam suatu sumber ditegaskan bahwa tujuan pembentukan PETA bukan untuk menjadi antek Jepang, melainkan pemahaman nilai kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama Islam, yakni ruhul jihad. Selain itu PETA dibentuk secara sukarela dan bukan wajib militer seperti apa yang dihimbaukan oleh pemerintahan Jokowi saat ini dengan “wajah” yang baru: bela negara.
Di sinilah peran besar ummat Islam dalam sumbangsihnya terhadap keamanan dan ketentraman Negara Indonesia. Sebagaimana pula diketahui bahwa kelak tentara PETA ini adalah merupakan cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Serangan 14 Februari 1945 dan Revolusi yang Gagal
Dalam buku yang ditulis Nyoman Dekker, berjudul Sejarah Revolusi Nasional, makna dari kata Revolusi seakan mengalami perkembangan, sejalan dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah dari masa ke masa. Bagi Nyoman Dekker, kriteria umum suatu revolusi harus memuat perubahan-perubahan yang fundamental dan terjadi dalam waktu relatif singkat.
Ada pepatah kuno mengatakan, “revolusi akan memakan anaknya sendiri.”
Pepatah ini seakan ingin menegaskan, bahwa akan ada korban jiwa yang jatuh jika ingin melakukan sebuah perubahan besar.
Mendengar kata revolusi, maka tak ubahnya akan ada pembunuhan, kekacauan, dan penjarahan. Bahkan ada yang rela regang nyawa demi kegairahan dan kebanggaan mendengar kata revolusi, apalagi jika diserukan oleh agitator kelas wahid semacam Bung Karno, Martin Luther King Jr., Nelson Mandela, maupun Fidel Castro.
Perihal revolusi di Indonesia, Nyoman Dekker berasumsi, bahwa makna revolusi di Indonesia begitu khas. Revolusi akan selalu dikait-kaitkan dengan kondisi politik, sosial ekonomi, kebudayaan yang kesemuanya erat hubungannya dengan kemerdekaan. Jadi tiada kemerdekaan tanpa revolusi, begitupun sebaliknya, tiada revolusi tanpa kemerdekaan.
pertama dilakukan oleh Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 18 Desember 1995.
29
Usaha untuk mencapai kemerdekaan telah banyak menelan korban jiwa. Seperti diketahui, banyak gerakan revolusi yang terjadi sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, dan semuanya gagal di tangan pemerintah yang berkuasa. Salah satu dari sekian banyak gerakan revolusi itu adalah serangan tentara PETA, tanggal 14 Februari 1945.
Belakangan, peristiwa ini ditetapkan menjadi Hari Peringatan Tentara PETA.
Alkisah, pada suatu serangan di Blitar tanggal 14 Februari 1945.30 Disebutkan dalam buku yang berjudul Tentara Gemblengan Jepang, ditulis oleh Joyce C. Lebra31 bahwa persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Supriadi dan kawan-kawan syudanco- nya telah ada sejak bulan September 1944. Mereka mengadakan sebuah pertemuan- pertemuan rahasia dengan tujuan merencanakan gerakan pemberontakan dan revolusi terhadap pemerintah Jepang.
Namun rencana tidak selalu berjalan dengan mulus. Pertemuan-pertemuan rahasia itu memunculkan kecurigaan dari polisi rahasia Jepang atau Kenpetai, dan sepertinya gerakan Supriadi dkk. telah terbaca. Belum lagi gerakan ini dianggap tidak begitu siap, maka ada beberapa tokoh yang meragukan kalau gerakan ini bisa berhasil, termasuk Soekarno sendiri yang menolak dengan tegas pemberontakan itu.
“Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua.”32 Begitulah ucapan Soekarno atas rencana pemberontakan yang ingin dilakukan oleh Supriadi dkk. Selain Soekarno, saran juga datang dari Mbah Kasan Bendo33 yang konon pada waktu Supriadi menghadap, diberitahukan agar bersabar dan menunda gerakan hingga empat bulan ke depan.
“Tapi kalau ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuangan itu adalah mulia.”34
30 Serangan itu sebenarnya sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.
31 Diterjemahkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1988.
32 Dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
33 Mbah Kasan Bendo merupakan guru spiritual dari Supriadi, ditemuinya pada tanggal 9 Februari 1945 untuk dimintai sarannya.
34 Pesan Mbah Kasan Bendo pada Supriadi yang ia teruskan kepada kawan-kawannya.
30
Namun entah pertimbangan apa, keadaan siap tidak siap, Supriadi dan kawan- kawannya merasa pemberontakan dan revolusi sudah harus dimulai.
Malam tanggal 13 Februari 1945, mereka sepakati sebuah keputusan untuk menyerang markas pasukan Jepang.35 Kurang lebih pada pukul 03.00 dinihari pasukan Supriadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang merupakan tempat kediaman perwira Jepang, kemudian markas Kenpetai juga tak luput dari sasaran serangan.
Sialnya, kedua bangunan itu telah dikosongkan. Hal ini menandakan bahwa Jepang telah mengetahui gerakan pemberontakan dan upaya revolusi itu.
Hotel Sakura berhasil dikuasai oleh Supriadi dan kawan-kawannya. Slogan
“Indonesia akan merdeka” diganti dengan spanduk “Indonesia sudah merdeka”.
Bendera merah-putih juga dikibarkan. Setelah mengobrak-abrik Hotel Sakura mereka rencana bergerak menyebar ke tempat-tempat yang sudah ditentukan sebelumnya, namun entah mengapa penyebaran ke beberapa titik akhirnya dibatalkan. Justru berkumpul di satu tempat: hutan Ngancar, perbatasan Kediri.
Blitar kemudian menjadi pusat perhatian pemerintah Jepang. Untuk mencegah dampak yang luas dari pemberontakan yang dilakukan oleh Supriadi dan kawan- kawannya, pemerintah Jepang melakukan penanganan dengan begitu hati-hati. Jepang melakukan upaya diplomasi, dikirimlah utusan36 untuk menemui Supriadi dan kawan- kawannya yang tertahan di hutan Ngancar.
Mediasi dilakukan di Sumbur Lumbu, Kediri. Tentara PETA dimediatori oleh Syudanco Muradi yang menawarkan penyerahan diri bersyarat asalkan lima syaratnya dipenuhi oleh Jepang, yaitu:
1. Mempercepat kemerdekaan Indonesia;
2. Para Tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjata;
3. Anggota PETA harus diperlakukan baik oleh pelatih Jepang 4. Tidak ada perlakuan sewenang-wenang; dan
35 Supriadi mengadakan rapat terakhirnya pada tanggal 13 Februari 1945 di kamar Shudanco Muradi yang diikuti oleh beberapa rekannya.
36 Diceritakan oleh Sidik Kertapati bahwa Jepang mengirim propagandis ulungnya, Shimitsu untuk membujuk Supriadi dan kawan-kawannya agar mau menyerah dan kembali ke pangkuan Jepang.
31
5. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Blitar takkan diadili oleh Jepang.
Kesepakatan tercapai, namun tidak berjalan dengan mulus. Lagi-lagi ini soal komitmen. Dari pertemuan itu nyatalah seorang samurai tidak mampu menepati janjinya.
Setelah pertemuan itu, Supriadi terakhir kali terlihat. Ia menghilang di Dukuh Panceran Ngancar, Kediri. Spekulasi menguat, kemungkinan ia diculik dan dibunuh oleh Tentara Jepang di Gunung Kelud. Namun anggapan lain muncul, bahwa ia melarikan diri ke Salatiga hingga ke daerah Bayah, Banten Selatan. Jasadnya lalu dikebumikan di Bayah akibat penyakit disentri yang ia derita. Entah mana yang benar, sayang sejarah tak pernah tuntas37.
Sedang nasib kawan-kawan Supriadi yang ditangkap oleh Jepang, dibawa ke Jakarta kemudian diadili pada tanggal 14-16 April 1945. Dalam sidang militer itu diputuskan: bahwa 6 orang dijatuhi hukuman mati. Mereka yang divonis mati adalah Syudanco Muradi, Syudanco Suparjono, Cudanco dr. Ismail, Budanco Sunanto, Budanco Sudarmo, dan Budanco Halir.
Mereka dieksekusi mati di Eereveld Ancol pada tanggal 16 Mei 1945. Lalu enam orang dihukum penjara seumur hidup, sedang empat orang dinyatakan meninggal dalam penjara akibat penyiksaan, yaitu Syudanco Sumardi, Syudanco Sunarjo, Budanco Atmadja, dan Budanco Sukaeni.
Tanggal 14 Februari kemudian dijadikan sebagai hari berkabung mengenang jasa Supriadi, Muradi dan seluruh anggota yang gugur di medan eksekusi. Sungguh ironi memang, jika bangsa sebesar Indonesia ini melupakan peristiwa Penyerangan Tentara PETA, dan malah mengingat perayaan VEDA.
37 Oleh J.J. Rizal, antara story dan history kadang tak bisa dibedakan.
32
TIPIKAL LOGIKA HAKIM38
Di Pengadilan Negeri Palembang, ada satu kasus perdata yang melibatkan negara sebagai penggugat melawan perusahaan swasta sebagai tergugat. Kasus antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melawan PT. Bumi Mekar Hijau (BMH).
Kronologis masalah terjadi pada tahun 2014, ceritanya telah terjadi kebakaran hutan di lahan konsesi di Distrik Beyuku, Kabupaten Ogan Komering Ilir, milik PT.
Bumi Mekar Hijau. Akibatnya, 20.000 hektar hutan dilalap api dan asapnya menimbulkan kekacauan di Sumatera, sebagian wilayah Kalimantan, dan termasuk pula mengusik negara tetangga.
Tanggal 30 Desember 2015, pada suatu sidang putusan di Pengadilan Negeri Palembang, KLHK melalui kuasa hukumnya melayangkan gugatan ganti rugi senilai 7,9 triliun rupiah terhadap PT. BMH. Uang sebanyak 7,9 triliun rupiah itu nantinya
38 Judul tulisan ini memeringati Hari Kehakiman Nasional yang jatuh pada Tanggal 1 Maret.
Tulisan ini disadur dari buku M. Syamsudin dalam bukunya yang berjudul Budaya Hukum Hakim berbasis Hukum Progresif, terbitan tahun 2012.