i
i
CORAK TASAWUF DALAM TAFSIR AL-IBRIZ KH. BISRI MUSTHAFA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir
Oleh:
AHMAD NUR IKHSAN 11730213086
Pembimbing I
Dr. H. Abd Wahid, M. Us
Pembimbing II Suja’i Sarifandi, M.Ag
PROGRAM S1
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
1443 H/2022 M
No. 090/IAT-U/SU-S1/2022
i
i
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pengalihan huruf Arab-Indonesia dalam naskah ini didasarkan atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 22 Januari 1988, No. 158/1987 dan 0543.b/U/1987, sebagaimana yang tertera dalam buku Pedoman Transliterasi Bahasa Arab (A Guide to Arabic Tranliterastion), INIS Fellow 1992.
A. Konsonan
Arab Latin Arab Latin
ا A ط Th
ب B ظ Zh
ت T ع ‘
ث Ts غ Gh
ج J ف F
ح Ḥ ق Q
خ Kh ك K
د D ل L
ذ Dz م M
ر R ن N
ز Z و W
س S ه H
ش Sy ء ’
ص Sh ي Y
ض Dl
ii
ii B. Vokal, Panjang dan Diftong
Setiap penulisan bahasa Arab dalam bentuk tulisan latin vokal fathah ditulis dengan “a”, kasrah dengan “i”, dlommah dengan “u”, sedangkan bacaan panjang masing-masing ditulis dengan cara berikut:
Vokal (a) panjang= Ᾱ misalnya لاق menjadi qāla Vokal (i) panjang= Ῑ misalnya ليق menjadi qīla Vokal (u) panjang= Ū misalnya نود menjadi dūna
A.
Khusus untuk bacaan ya’ nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “i”, melainkan tetap ditulis dengan ‘iy”: agar dapat menggambarkan ya’ nisbat diakhirnya. Begitu juga untuk suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah di tulis dengan “aw” dan “ay”. Perhatikan contoh berikut:
Diftong (aw) = وـ misalnya لوق menjadi qawlun Diftong (ay) = ـيـ misalnya ريخ menjadi khayru C. Ta’ Marbūthah )ة(
Ta’ marbūthah ditransliterasikan dengan “t” jika berada di tengah kalimat, tetapi apabila Ta’ marbūthah tersebut berada di akhir kalimat, maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h” misalnya ةسردملل ةلاس رلا menjadi al- risalat li al-mudarrisah, atau apabila berada di tengah-tengah kalimat yang terdiri dari susunan mudlaf dan mudlaf ilayh, maka ditransliterasikan dengan menggunakan t yang disambungkan dengan kalimat berikutnya, misalnya ةمحر ىف الله menjadi fi rahmatillah.
D. Kata Sandang dan Lafadh al-Jalālah
Kata sandang berupa “al” )لا( ditulis huruf kecil, kecuali terletak di awal kalimat, sedangkan “al” dalam lafadh Jalâlah yang berada di tengah-tengah kalimat yang disandarkan (idhafah) maka dihilangkan. Perhatikan contoh-contoh berikut ini:
1. Al-Imām al-Bukhāriy mengatakan ...
2. Al-Bukhāri dalam muqaddimah Tafsirnya menjelaskan ...
3. Masyā’ Allāh kāna wa mā lam yasya’ lam yakun
iii
iii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: “CORAK TASAWUF DALAM TAFSIR AL-IBRIZ KH.
BISRI MUSTHAFA”. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penafsiran ayat-ayat tasawuf dalam tafsir al-Ibriz, bagaimana corak penafsiran KH. Bisri Musthafa. Penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library research), dan metode penelitian ini adalah deskriptif analisis, yakni menganalisa menguraikan atau menghubungkan ayat al-Qur’an dengan kearifan lokal dan termasuk simbol-simbol tertentu dalam tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa. Adapun sumber data kajian dari dua katagori yakni sumber data primer dan skunder, yaitu, data primer dan data sekunder, data diambil dari dua sumber, data primer dan data sekunder. Data primer yakni tafsir al-Ibrῑz fI Ma’rifati Tafsir al-Qur’an al-Aziz, sedangkan data primer penulis mengambil dari buku-buku, jurnal, skripsi, thesis, dan buku penunjang lainnya. Adapun hasil penelitian yang pertama, Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang shufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawuf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir akan menentukan corak atau warna tafsirnya. Secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau metode, yaitu: metode ijmali (global), metode tahlili (analitis), metode muqarin (perbandingan) dan metode maudhu’i (tematik).
Adapun hasil penelitian yang kedua yaitu, corak Penafsiran tafsir al-Ibriz KH.
Bisri Musthafa corak tafsir al-Ibriz tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, sosial- kemasyarakatan dan shufi dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial kemasyarakatan.
Kata kunci: Corak, tasawuf, al-Ibriz
iv
ABSTRACT
This thesis is Entitled “The Style Of Sufism In The Interpretation Of Al- Ibriz KH. Bisri Mustafa”. The formulation of the problem in this research is how to interpret the verses of Sufism in al-Ibriz's interpretation, how to interpret the style of KH. Bisri Mustafa. This research is classified as library research, and the method of this research is descriptive analysis, that is, analyzing, describing or connecting verses of the Qur'an with local wisdom and including certain symbols in the interpretation of al-Ibriz KH. Bisri Mustafa. The study data sources are from two categories, namely primary and secondary data sources, namely, primary data and secondary data, data taken from two sources, primary data and secondary data. The primary data is the interpretation of al-Ibrῑz fI Ma'rifati Tafsir al-Qur'an al-Aziz, while the primary data of the author is taken from books, journals, theses, theses, and other supporting books. As for the results of the first study, a commentator in interpreting the Qur'an will of course use a certain style or color from the interpretation itself, for example a philosopher in interpreting a verse of the Qur'an is certainly much influenced by the style or color of interpreting using ratios. . A shufi will interpret the verses of the Qur'an with a Sufism style. Thus, it can be said that, the arguments of a commentator used in interpreting the Qur'an contain a certain style or color, so that a commentator will determine the style or color of his interpretation. Broadly speaking, the interpretation of the Qur'an is carried out in four ways or methods, namely: the ijmali method (global), the tahlili method (analytical), the muqarin method (comparison) and the maudhu'iy method (thematic). The results of the second study, namely, the style of Interpretation of Tafsir al-Ibriz KH. Bisri Mustafa's style of Tafsir al-Ibriz does not have a dominant tendency in one particular style.
Al-Ibriz tends to be a combination of fiqhi, social-society and shufi in the sense that the interpreter will place special emphasis on certain verses that have legal, Sufism or social nuances.
Keywords: Pattern, sufism, al-Ibriz.
iV
v
صخلم
ه ثحبلا اذه في ةيلاكشلإا ةغايص نإ .قاقحتسلاا طخ يرسفت بولسأ ةيفيكو ، زاربلإا يرسفت في ةيفوصلا تايآ يرسفت ةيفيك ي
طبر وأ فصو وأ ليلتح يأ يفصولا ليلحتلا ثحبلا اذه جهنمو ، تابتكلما في ثبح هنأ ىلع ثحبلا اذه فنصي .ىفطصم يرسب رسب .زيربلأا يرسفت في ةنيعم زومر ينمضتو ةيللمحا ةمكلحاب نآرقلا نم تايآ اهمو ، ينتئف نم ةساردلا تانايب رداصم تيأت .ىفطصم ي
ةيلولأا تانايبلاو ، نيردصم نم ةذوخألما تانايبلاو ، ةيوناثلا تانايبلاو ةيلولأا تانايبلا يهو ، ةيوناثلاو ةيلولأا تانايبلا رداصم ا نآرقلا يرسفت ةفرعلما في زاربلإا يرسفت يه ةيلولأا تانايبلا .ةيوناثلا تانايبلاو نم ةذوخأم فلؤملل ةيلولأا تانايبلا امنيب ، زيزعل
نآرقلا يرسفت في قلعلما نإف ، لىولأا ةساردلا جئاتنل ةبسنلاب .ةمعادلا بتكلا نم اهيرغو تاحورطلأاو تاحورطلأاو تلالمجاو بتكلا نأ دكؤلما نم ، لاثلما ليبس ىلع ، هسفن يرسفتلا نم اًنيعم اًنول وأ اًبولسأ عبطلاب مدختسيس نآرقلا نم ةيآ يرسفت في فوسليفلا
لوقلا نكيم كلذبو .فيوص بولسأب نآرقلا تايآ فيوشلا رسفي فوس .بسنلا مادختساب يرسفتلا نول وأ بولسأ .ءارلآاب اًيرثك رثأتي هيرسفت نول وأ بولسأ رسفلما دديح ثيبح ، ينعم نول وأ بولسأ ىلع يوتتح نآرقلا يرسفت في ةمدختسلما رسفلما ججح نإ لكشب .
نيررقلما ةقيرط ، )ةيليلحتلا( ةيليلحتلا ةقيرطلا ، )ةيلماعلا( ةيعاجملإا ةقيرطلا :يهو ، قرط وأ قرط عبرأب نآرقلا يرسفت متي ، ماع يرسفت في ىفطصم يرسب بولسأ .زيربلإا يرسفت يرسفت بولسأ ةيناثلا ةساردلا جئاتن تناكو . .)عوضولما( بهذلما ةقيرط ، )ةنراقلما(
نأ نىعبم ، فيوشلاو يعامتجلاا عمتلمجاو يهقفلا نم اًيجزم نوكت نأ لىإ زاربلإا ليتم .ينعم بولسأ في ةدئاس ةعزن هل سيل زيربلإا .ةيعامتجا وأ ةيفوص وأ ةينوناق قراوف اله ةنيعم تايآ ىلع اًصاخ اًزيكرت عضيس مجترلما
v
vi
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar sarjana dalam ilmu Ushuluddin (S.Ag). Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada teladan umat manusia yaitu Rasullulah yang kasih sayangnya pada ummat tak pernah padam, bahkan hingga akhir hayat beliau.
Skripsi yang berjudul “Corak Tasawuf Dalam Tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa” ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam ilmu Ushuluddin (S.Ag) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa dorongan-dorongan langsung, baik moral, maupun material.
Untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Terkhususnya Rektor UIN Suska Riau. Prof. Dr. H. Khairunnas, M.Ag beserta jajarannya yang telah memberi kesempatan penulis untuk menimba ilmu di Universitas ini.
2. kepada ayahanda Solikin dan Ibunda Kamsiah yang telah menjadi inspirasi kuat penulis untuk menyelesaikan tulisan ini.
3. Kepada ayahanda Dekan Dr. H. Jamaluddin, M.Us, Wakil Dekan I Ibunda Dr. Rina Rehayati, M.Ag, Wakil Dekan II bapak Dr. Afrizal Nur, MIS. Dan Wakil Dekan III bapak Dr. Ridwan Hasbi, Lc., M.Ag.
4. Kepada Bapak Agus Firdaus Chandra, Lc., M.A selaku ketua Jurusan dan Bapak Afriadi Putra S. Thi., M. Hum selaku Sekretaris Prodi Ilmu al-Qur’an dan tafsir yang selalu memberikan arahan dan masukan kepada penulis dari awal perkuliahan.
vii
5. Kepada Bapak Dr. Afrizal Nur. MIS selaku penasehat akademik yang telah memberikan masukan, saran, bimbingan sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan.
6. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Abdul Wahid, M.Us dan Bapak Suja’I Sarifandi, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Terima kasih banyak atas pertolongan, nasehat, motivasi, dan bimbingannya selama ini yang telah diberikan kepada penulis, dan terima kasih kepada bapak/ibu dosen yang telah memberikan materi-materi perkuliahannya. Semoga ilmu yang bapak dan ibu berikan menjadi berkah dan bermanfaat bagi penulis di dunia dan akhirat.
7. Kawan-kawan Lokal IAT B angkatan 2017 yang namanya tidak bisa disebut satu persatu, yaitu Apid, Yazid, Firdaus, Evan, Riski Ananda, Rizky Ardian, Arif, Rifyal, Damroh, Alfiadhar, Shobirin, Dian, Meysi, Destina, Soleha dan teman seperjuangan yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
yang setiap hari bertemu dan selalu memberi cerita baru dan bermanfaat sehingga penulis bisa merasa nyaman menjalankan perkuliahan selama kurang lebih empat tahun ini dan sekarang telah sampai pada tingkat akhir.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu, yang turut berpartisipasi dalam memberikan semangat, bantuan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Terima kasih atas segala bantuan yang sudah diberikan kepada penulis semoga Allah membalas semua kebaikan dengan pahala yang berlipat ganda, Aamiin.
Penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki dalam penulisan skripsi ini. Karena itu tentulah terdapat kekurangan serta
vii
viii
viii
kejanggalan yang memerlukan kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Kepada Allah penulis berdo’a semoga kebaikan dan kontribusi yang telah mereka berikan dinilai sebagai ibadah yang baik, sehingga selalu mendapat rahmat dan karunia-Nya.
Amin Ya Rabb al-Alanin.
Pekanbaru, 4 April 2022 Penulis,
Ahmad Nur Ikhsan
ix DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ... i
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Batasan masalah ... 6
D. Rumusan Masalah... 6
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan ... 7
BAB II KERANGKA TEORITIS A. Landasan Teori ... 9
1. Corak Penafsiran ... 9
2. Biografi singkat KH Bisri Musthafa ... 24
3. Pemikiran KH. Bisri Mustofa... 27
B. Tinjauan Kepustakaan ... 35
BAB III METODE PENELITIAN ... 38
A. Jenis Penelitian ... 38
B. Sumber Data ... 38
C. Teknik Pengumpulan Data ... 38
D. Analisis Data... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penafsiran Ayat-Ayat Tasawuf Dalam Tafsir al-Ibriz KH Bisri Musthafa ... 40
x
B. Corak Penafsiran Tafsir al-Ibriz Kh. Bisri Musthafa ... 59
BAB V PENUTUP ... 63
A. Kesimpulan ... 63
B. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA
1
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin yang membawa ajaran agama dengan bukti-bukti yang kuat sehingga mampu diterima oleh kalangan jin dan manusia. Islam menetapkan tuhan zat yang maha mutlak sebagai tujuan rohani sandaran untuk istirahat-nya jiwa seumur hidup, sumber hidup, sumber kekuatan, dan sumber inspirasi.
Jin dan manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki naluri rasa cemas gelisah dan resah keadaan ini sangat membutuhkan tempat bersandar.
Sementara dalam Islam sebaik-baik tempat bersandar hanyalah Allah swt.
Sebagaimana dalam tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa menjelaskan dalam surah al-Ra’ad (13) ayat 28:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.
Dalam penafsiran KH. Bisri Musthafa ayat diatas dalam tafsir al-Ibriz menafsirkannya: Rupane wong-wong kang podo percoyo sopo karo wong- wong lan anteng opo piro-piro atine kanti eling Allah swt, eling-eling kanti eling-eling Allah swtanteng opo piro-piro ati. Maksudnya adalah salah satu seseorang hamba untuk mengingat Allah salah satunya mendirikan sholat, karena sholat itu merupakan media seorang hamba untuk berkomunikasi dengan Allah swt.1
Dalam ajaran Islam, shalat sebagai ibadah yang paling awal disyariatkan memiliki kedudukan yang paling penting dari lima rukun Islam yang ada.
Julukan “ash-shalatu ‘imad al-din” (shalat adalah tiang agama) yang diberikan
1 Bisri Musthafa, Terjemahan Tafsir Al-Ibriz, (Rembang:1959 M), hlm, 252-253.
2
Rasulullah saw. Dalam beberapa sabdanya, mengisyaratkan keunggulan ibadah yang satu ini. Demikian pula dengan Hadits yang lain yang menyatakan bahwa shalat sebagai amalan pertama yang akan ditanyakan oleh malaikat di alam akhirat nanti.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW., menegaskan bahwa shalat menjadi pembeda atau pembatas yang tegas antara seorang muslim dengan orang kafir,
ا ل ع ه د لا ي ذ ب ي ن و ا ن ب ي ن ه م صلا لا ة م ن ف ت ر ه ك ف ا ق د ف ر ك ب ين رلا ج و ب ل ين
ك لا ف ر و شلا ر ك ت ر ك صلا لا ة عم هحيحص في ملسم ماملإا هجرخأ .
.كلذ في ىرخأ ثيداحأ
“Perjanjian antara kami dengan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR.
Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).”2
Senada dengan hadis tersebut, Umar bin Khattab juga menyatakan, “Tidak ada Islam bagi seseorang yang tidak menegakkan shalat”. Tetapi masyarakat banyak yang lalai terhadap hal ini, seperti meninggalkan sholat, dan kebanyakan alasan-alasan seperti, mengulur kan waktu, sibuk bekerja, dan juga berbuat kemaksiatan bahkan ditinggalkannya. Padahal itu sudah menjadi kebutuhan antara hubungan dengan Allah SWT, karena sholat itu kita sedang berkomunikasi dengan sang maha pencipta yaitu Allah SWT. Karena Allah adalah Pencipta yang telah memberikan berbagai kenikmatan dan menciptakan manusia dari ketiadaan. Juga telah menciptakan umat-umat sebelum kita.
Nikmat yang diberikannya berupa nikmat yang nyata dan nikmat yang tidak nampak menjadikan bumi sebagai tempat tinggal dan tempat berketurunan, bercocok tanam, berkebun, melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lainnya serta manfaat bumi lainnya. Juga telah menciptakan langit sebagai sebuah atap bangunan yang telah Dia letakan padanya matahari, bulan dan bintang.
2 Fatwa al-Lajnah ad-Daimah, Hadits Buraidah Bin Hushaib al-Aslamy, (Beirut: Dar al- Hadis, 2016), hlm. 363.
3
Tobat wajib dilakukan dengan sesegera mungkin setelah seseorang melakukan maksiat, apapun jenis maksiat yang dilakukannya, dosa kecil dan dosa besar. Sebab jika tidak segera tobat, maka seseorang menganggap remeh dosa dari maksiat yang telah dilakukannya. Salah satu bentuk maksiat yang wajib untuk segera ditobati adalah meninggalkan salah satu shalat wajib lima waktu. Dengan meninggalkan shalat wajib dari waktu yang telah ditentukan dengan tanpa adanya uzur berarti ia dianggap melakukan dosa besar sebab meninggalkan shalat termasuk dalam kategori dosa besar seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami:
ت ن ب ي ه تا ن ه م ع : ا م د
ذ ا ر م ك ن أ ن ك الا ن م ت ر ك صلا لا و ت ق ة يم ه د ع ا ل ى
و ق ت و ا ه ت أ ي ر ه خ ع ا ن ه ًلا ب ع ذ ر ك ب ي ر ة
“Hal-hal yang perlu di ingat, di antaranya bahwa segala hal yang telah dijelaskan menyimpulkan sungguh setiap orang yang meninggalkan shalat atau mendahulukan shalat dari waktunya atau mengakhirkan shalat dari waktunya tanpa adanya uzur termasuk dosa besar.”3
Berdasarkan referensi tersebut dapat dipahami bahwa meninggalkan shalat bukan persoalan sepele, sebab termasuk kategori dosa besar yang menyebabkan seseorang mendapatkan predikat fasiq. Oleh sebab itu, orang yang meninggalkan shalat secara sengaja hendaknya sesegera mungkin untuk bertobat atas dosa yang telah ia lakukan.
Cara bertobat bagi orang yang meninggalkan shalat adalah dengan cara memenuhi beberapa syarat tobat secara umum, yaitu segera mengqadha shalat yang pernah ia tinggalkan. Hal ini merupakan implementasi dari syarat tobat yang berupa “Menyudahi melakukan maksiat saat itu juga”, sebab orang yang meninggalkan shalat berarti ia terus menerus melakukan maksiat karena tidak melaksanakan perintah berupa mengqadha’ shalat yang ia tinggalkan sesegera mungkin. Syarat selanjutnya adalah dengan wujud penyesalan atas dosa yang pernah ia lakukan, dalam hal ini adalah meninggalkan shalat secara sengaja.
3 Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Zawajir an-Iqtirafil Kaba’ir, (Kairo: Dar al-Hadis, 2015), hlm. 355.
4
Penyesalan ini diwujudkan dengan memperbanyak membaca istighfar dengan mengharap semoga dosanya diampuni oleh Allah SWT.
Syarat terakhir yaitu ia bertekad tidak akan mengulang kembali dosa yang pernah ia lakukan, dalam hal ini adalah meninggalkan shalat secara sengaja.
Dengan demikian ia tidak terjerumus kembali dalam keteledorannya berupa tidak melaksanakan perintah Allah SWT. Sedangkan bertobat atas dosa yang berkaitan dengan hak orang lain disyaratkan tiga hal di atas dan satu hal lain yang menjadi syarat keempat yaitu mengembalikan kezaliman yang pernah dilakukannya (pada orang lain) kepada pemiliknya atau meminta maaf atas kezaliman yang pernah dilakukannya dan meminta kebebasan tanggungan dari mengembalikan kezaliman yang pernah dilakukan olehnya,”
Perkembangan khazanah pemikiran Islam juga memiliki peranan penting dalam mewarnai genre pemikiran tafsir al-Qur’an. Karakter pemikiran Sunni biasanya lebih kuat semangat ortodoksi dan menganggap bahwa tidak seluruh teks dalam al-Qur’an dapat dijejak dengan logika tubuh manusia. Berbeda dengan Mu’tazilah yang cenderung lebih rasional dan dekonstruktif. Dari sekian banyak faktor, yang paling besar pengaruhnya terhadap keragaman tafsir adalah latar belakang sosio-budaya penafsir. Hal ini dapat dipahami mengingat tafsir al-Qur’an merupakan hasil konstruksi intelektual seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budaya dengan kompleksitas nilai- nilai yang melingkupinya.4
Pandangan bahwa tafsir merupakan sebuah mekanisme kebudayaan, berarti tafsir al-Qur’an diposisikan sebagai sesuatu yang khas manusiawi.
Keberadaan tafsir tidak bisa lepas dari peran akal, potensi dasar terpenting yang dimiliki manusia sebagai pembentuk kebudayaan. Hal inilah yang disebutkan bahwa adanya proses dialektika antara al-Qur’an dengan budaya.
Proses ini menunjukkan adanya prinsip-prinsip metodologis yang digunakan dalam memahami al-Qur’an. Usaha-usaha pemahaman terhadap al-Qur’an
4Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam”, http://www.ditpertais.net/artikel, (22 Oktober 2019). hlm. 32.
5
yang melahirkan beragam karya tafsir ini menjadi fenomena umum di kalangan umat Islam.5
Dari sekian banyaknya karya tafsir yang ada di Indonesia, tentunya tidak lepas dari beberapa faktor yang menjadikan tafsir-tafsir tersebut menjadi beragam. Hal ini juga disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, yang awalnya objek tafsir hanya berkutat pada juz dan surat tertentu yang memang saat itu populer di kalangan masyarakat hingga saat ini yang lebih banyak mengkaji sesuai masalah masalah yang terjadi di masyarakat.
Selain itu, keberagaman budaya yang ada di Indonesia juga menjadi pewarna bagi mufassir nusantara sehingga mempunyai keunikan-keunikan tersendiri dalam karya tafsirnya. Salah satu dari karya tafsir yang mengandung kearifan lokal yakni tafsir al-Ibriz karya ulama yang berasal dari Rembang Jawa Tengah, Bisri Mustofa. Judul lengkap dar tafsirnya ini adalah al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz. Kemudian Bisri menambahi dengan tulisan bi al-lughat al-jawiyah yang artinya tafsir tersebut ditulis dengan menggunakan Bahasa Jawa.
Dari sini bisa dilihat bahwa tafsir al-Ibriz memiliki keunikan dari tafsir- tafsir lain yakni memakai bahasa lokal. Hal ini tentunya karena sasaran pembacanya adalah masyarakat Jawa yang notabene lebih memahami bahasa daerahnya daripada bahasa nasional Indonesia. Dalam penilitian ini, penulis bermaksud untuk mengkaji bagaimana penafsir menyajikan penafsirannya yang dimodifikasi dengan budaya lokal serta dialektika yang terjadi antara Alquran dengan budaya lokal yang telah tumbuh mempengaruhi kehidupan penafsir sehingga menghasilkan Tafsir-tafsir yang khas dengan budayanya.6Maka penulis akan meneliti kajian ini dengan judul “ CORAK TASAWUF DALAM TAFSIR AL-IBRIZ KH. BISRI MUSTHAFA”
5Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2013), hlm. 2.
6 Ibid., hlm. 61-64.
6
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana Muatan Corak Tasawuf Dalam Tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa?
2. Apa Karakteristik Corak Tasawuf Dalam Tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa?
3. Apakah Ada Penyimpangan Dalam Tafsir Tersebut?
4. Apakah Tafsir Ini Relevan Dengan Zaman Sekarang?
5. Bagaimana Pandangan Ulama Dalam Tafsir Ini?
C. Batasan masalah
Guna untuk memudahkan pembahasan pada karya ilmiah (skripsi) ini, maka penulis telah menspesifikasikan hanya akan membahas tentang muatan corak tasawuf dalam Tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa dan Relevan Dengan Zaman Sekarang dalam tafsir Tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa.
D. Rumusan Masalah
Dalam uraian latar belakang diatas penulis merangkum identifikasinya sebagai berikut:
1. Bagaimana Penafsiran Ayat-Ayat Tasawuf dalam Tafsir al-Ibriz KH.
Bisri Musthafa?
2. Bagaimana Corak Penafsiran Tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa?
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat penelitian berdasarkan identifikasi masalah dan rumusan masalah yang di uraikan diatas adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui Penafsiran Ayat-Ayat Tasawuf dalam Tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa.
b. Mengetahui Corak Penafsiran Tafsir al-Ibriz KH. Bisri Musthafa.
7
2. Manfaat Penelitian
a. Menambah wawasan penulis dalam bidang tafsir khususnya terhadap tafsir Al-Ibriz fi Ma’rifati Tafsir Al-Qur’an Al-Aziz yang tergolong sebagai salah satu tafsir nusantara.
b. menjadi salah satu sumber informasi bagi mahasiswa atau universitas seputar masalah muatan corak tasawuf dalam tafsir al- ibriz kh. bisri musthafa.
c. Sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan Program studi Strata Satu (S.1) dan untuk memperoleh gelar Sarjana dibidang Ilmu al- Qur’an Dan Tafsir di Universitas Islam Negeri Sultan syarif kasim riau.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan, penulisan ini terdiri dari lima bab dengan sistematika sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan adalah secara umum mendeskripsikan latar belakang penulisan dan pembatasan dalam penulisan ini, meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kajian Teoritis menjelaskan terlebih dahulu dari metodologi tafsirnya dan kaitan pemikiran KH. Bisri Musthafa
BAB III METODE PENELITIAN
Berisikan metode penulisan yang terdiri dari jenis penelitian, sumber data yang terdiri dari data primer dan sekunder, teknik pengumpulan data, yaitu tahapan-tahapan yang penulis lakukan dalam mengumpulkan data, serta teknik analisa data, yaitu tahapan dan cara analisis yang dilakukan.
8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Berisikan penyajian dari muatan corak tasawuf KH Bisri Musthafa, karakteristik corak tasawuf KH Bisri Musthafa, metode penasirannya.
Analisa data (pembahasan dan hasil). Pada bab ini data dan analisanya akan disatukan dalam bab ini, yang setiap data yang dikemukakan akan langsung diberikan analisisnya masing-masing.
BAB V PENUTUP
Merupakan penutup yang berisikan kesimpulan. Dalam bab ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dari uraian yang dikemukakan dalam rumusan masalah. Setelah itu penulis memberikan saran-saran yang dianggap penting untuk kemajuan maupun kelanjutan penelitian yang lebih baik.
9
9 BAB II
KERANGKA TEORITIS A. Landasan Teori
1. Corak Penafsiran
Model dan corak penafsiran seperti itu terus berkembang sampai pada masa tabi’in, dan seiring dengan lajunya perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahun serta teknologi, maka muncul berbagai model dan corak penafsiran, menurut Abd Hayy al-Farmawi, paling tidak terdapat 7 macam corak penafsiran al-Qur’an, yaitu : tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir fiqhy, tafsir shufy (bi al-isyariy), tafsir falsafiy, tafsir ilmiy, tafsir adaby wa ijtima’i.7 Selain dikenal model dan corak penafsiran, juga dikenal berabagai metode dalam penafsiran al-Qur’an, menurut Abd al-Hayy al-Farmawi, ada empat macam metode penafsiran al-Qur’an, yaitu: metode tahliliy, metode ijmali, metode muqarrin, metode maudhu’iy.8
Dalam penafsiran al-Qur’an ada beberapa kosa kata Arab yang terkait dengan metode penafsiran, seperti: manhaj, thariqah, ittijah, mazhab, dan al- lawn. Dalam al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, kata thariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah berarti arah, kecenderungan, orientasi, kata mazhab bermakna aliran, dan kata laun bermakna corak, warna dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan oleh para mufassir. Sebagai contoh: manhaj dan thariqah adalah digunakan dalam metode tahlili, muqarin, ijmali dan mawdlu’i.
Sedangkan ittijah yang berarti arah atau kecenderungan dan madzhab yang bermakna aliran. Artinya, usaha seorang mufassir dalam menafsirkan ayat- ayat al-Qur’an mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja seorang ahli fiqih cenderung menafsirkan ayat Qur’an ke arah fiqih dan seorang filosof menafsirkan Qur’an ke arah fisafat, dan seterusnya. Al-lawn yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.
7Abdul Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fi al-Tafsir Maudhu’i, Terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 12.
10
Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang shufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawuf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir akan menentukan corak atau warna tafsirnya. Secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau metode, yaitu:
metode ijmali (global), metode tahlili (analitis), metode muqarin (perbandingan) dan metode maudhu’iy (tematik).
Sebagaimana istilah teknik, istilah aliran hanya dipakai oleh Yunan Yusuf. Yunan membagi aliran tafsir menjadi dua; liberal dan tradisional. Dari kacamata ini, tafsir al-Ibriz masuk kategori yang kedua. Dalam wacana pe- mikiran Islam, kategori tradisional merujuk sikap setia terhadap doktrin- doktrin Islam, normatif dan sejalan dengan pemikiran mainstream. Meskipun demikian, dalam hal teologis, KH. Bisri Mustofa cenderung kepada pemikir- an Mu’tazilah dibanding Asy’ariyah. Dalam konteks ini, pemikiran KH. Bisri Mustofa masuk kategori liberal, karena selama ini Mu’tazilah dikenal sebagai pemikir yang rasional dan liberal.
Istilah bentuk tafsir hanya dipakai oleh Baidan dalam pemetaan me- todologinya. Menurutnya, bentuk tafsir dibagi dua; ma’tsur dan ra’yu. Me- ngacu pada pendapat ini, tafsir al-Ibriz condong masuk kategori pertama dalam bentuknya yang sederhana, karena penafsir tidak secara langsung mendasarkan penafsirannya pada ayat-ayat al-Qur’an atau hadits-hadits Nabi Muhammad.9
Dua istilah ini masing-masing dikemukakan oleh Yunan Yusuf dan Baidan. Meskipun berbeda, kedua istilah tersebut memiliki kesamaan makna,
9 Bishri Musthofa, Al-Ibriz li Ma’rifati Tafsiril Qur’anil Aziz juz 1-10, Kudus: Menara Kudus, t.t, hlm. 2
11
yakni ciri khas atau kecenderungan yang dimiliki oleh sebuah tafsir, misalnya bercorak fiqhi, falsafi, shufi, sosial-kemasyarakatan dan lain-lain.
Sejauh penelitian penulis, pendekatan atau corak tafsir al-Ibriz tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Al-Ibriz cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi.
Dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial kemasyarakatan. Corak kombinasi antara fiqhi, sosial-kemasyarakatan dan shufi ini harus diletakkan dalam artian yang sangat sederhana. Sebab jika dibandingkan dengan kitab- kitab tafsir yang bercorak tertentu sangat kuat seperti misalnya tafsir Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash yang bercorak fiqhi, maka tafsir al-Ibriz jauh berada di bawahnya.10
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat.
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai. Dalam tafsir mereka pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail, karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir al-Qur’an. Metode ini, kemudian diterapkan oleh al-Suyuthi di dalam Tafsirnya al-Jalalain, dan al-Mirghami di dalam Tafsirnya Taj al-Tafsir. Kemudian diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-Ma’sur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya.
Dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’iy, atau disebut juga dengan metode maudhu’i (metode tematik). Lahir pula metode muqarin (metode perbandingan), hal ini ditandai dengan dikarangnya Tafsir-Tafsirtafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip, seperti Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil oleh al-Khathib al-Iskafi (w.240 H) dan al-Burhan fi Taujih
10 Ibid., hlm. 37
12
Mutasyabah al-Qur’an oleh Taj al-Qurra’ al-Karmani (w.505 H), dan terakhir lahirlah metode tematik (maudhu’i). Meskipun pola penafsiran semacam ini (tematik) telah lama dikenal dalam sejarah tafsir al-Qur’an, namun menurut M.Quraish Shihab, istilah metode maudhu’i yang dikenal sekarang ini, pertama kali dicetuskan oleh Ustadz al-Jil (Maha Guru Generasi Mufasir), yaitu Prof. Dr. Ahmad al-Kuumy. 11
Konsekuensi dari perkembangan ini membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam. Kondisi ini, merupakan pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis (tahlili), sebagaimana tertuang di dalam Tafsir, tafsir tahlili, seperti tafsir al-Thabrani dan lain-lain. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Ummat merasa terayomi oleh penjelasan- penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat al- Qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diiukuti oleh ulama-ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya, seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’i dan lain-lain.12
Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan metode Maudhu’i ada beberapa langkah yang harus dilewati oleh para mufasir, antara lain :
a. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul yang sesuai dengan kronologi urutan turunnya ayat tersebut. Langkah ini diperlukan guna mengetahui kemungkinan adanya ayat al-Qur’an yang mansukh.
b. Menulusuri latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang telah dihimpun
11 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an dengan Metode Mawdhu’i, dalam Bustami A.
Ginani et.,al, Beberapa Aspek Ilmiah tentang al-Qur’an, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu al- Qur’an, 2010), hlm. 34.
12Ibid., hlm. 6.
13
c. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat tersebut. Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih berkaitan dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat.
d. Mengkaji pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer.
e. Mengkaji semua ayat secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta sejarah yang ditemukan.
Metode tafsir ayat al-Qur’an secara tematik sangat membantu masyarakat agar semua persoalan yang ada dapat dipecahkan berdasarkan al-Qur’an, selain itu juga guna membimbing masyarakat Muslim kejalan yang benar.
Metode ini pun tak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah: (1) dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya, (2) lebih praktis dan sistematis, (3)sangat dinamis, dan (4)menafsirkannya lebih utuh. adapun kekurangannya adalah sebagai berikut : (1)memenggal ayat al-Qur’an, dan (2) membatasi pemahaman ayat.
Model dan corak penafsiran seperti itu terus berkembang sampai pada masa tabi’in, dan seiring dengan lajunya perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahun serta teknologi, maka muncul berbagai model dan corak penafsiran, menurut Abd Hayy al-Farmawi, paling tidak terdapat 7 macam corak penafsiran al-Qur’an, yaitu : tafsir bi al-ma’tsur, tafsir bi al-ra’yi, tafsir fiqhy, tafsir shufy (bi al-isyariy), tafsir falsafiy, tafsir ilmiy, tafsir adaby wa ijtima’i.13 Selain dikenal model dan corak penafsiran, juga dikenal berabagai metode dalam penafsiran al-Qur’an, menurut Abd al-Hayy al-Farmawi, ada empat macam metode penafsiran al-Qur’an, yaitu: metode tahliliy, metode ijmali, metode muqarrin, metode maudhu’iy.14
13Abdul Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fi al-Tafsir Maudhu’i, Terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm, 11.
14Ibid., hlm. 12.
14
Dalam penafsiran al-Qur’an ada beberapa kosa kata Arab yang terkait dengan metode penafsiran, seperti: manhaj, thariqah, ittijah, mazhab, dan allawn. Dalam al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, kata thariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah berarti arah, kecenderungan, orientasi, kata mazhab bermakna aliran, dan kata laun bermakna corak, warna dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan oleh para mufassir. Sebagai contoh: manhaj dan thariqah adalah digunakan dalam metode tahlili, muqarin, ijmali dan mawdlu‟i.
Sedangkan ittijah yang berarti arah atau kecenderungan dan madzhab yang bermakna aliran. Artinya, usaha seorang mufassir dalam menafsirkan ayatayat al-Qur’an mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja seorang ahli fiqih cenderung menafsirkan ayat al-Qur’an ke arah fiqih dan seorang filosof menafsirkan Qur‟an ke arah fisafat, dan seterusnya. Al- lawn yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat al- Qur’an.
Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang shufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawuf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir akan menentukan corak atau warna tafsirnya. Secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau metode, yaitu:
metode ijmali (global), metode tahlili (analitis), metode muqarin (perbandingan), dan metode maudhu’i (tematik).
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat.
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai. Dalam tafsir mereka pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail, karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama kali
15
muncul dalam kajian tafsir al-Qur’an. Metode ini, kemudian diterapkan oleh al-Suyuthi di dalam tafsirnya al-Jalalain, dan al-Mirghami di dalam Tafsirnya Taj al-Tafsir. Kemudian diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-Ma’sur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y.
Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya.
Dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’i, atau disebut juga dengan metode maudhu’i (metode tematik). Lahir pula metode muqarin [metode perbandingan], hal ini ditandai dengan dikarangnya Tafsir-tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip, seperti Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil oleh al-Khathib al-Iskafi (w.240 H) dan al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an oleh Taj al-Qurra‟ al-Karmani (w.505 H), dan terakhir lahirlah metode tematik (maudhu‟i). Meskipun pola penafsiran semacam ini (tematik) telah lama dikenal dalam sejarah tafsir al-Qur’an, namun menurut M.Quraish Shihab, istilah metode maudhu’i yang dikenal sekarang ini, pertama kali dicetuskan oleh Ustadz al-Jil (Maha Guru Generasi Mufasir), yaitu Prof. Dr. Ahmad al-Kuumy.15
Berdasarkan kenyataan historis tersebut, dapat dikatakan bahwa kebutuhan ummat Islam saat itu terpenuhi olah penaafsiran yang singkat (global), karena mereka tidak memerlukan penjelasan yang rinci dan mendalam. Maka tidak dapat dimungkiri bahwa memang pada abad pertama berkembang metode global (ijmali) dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bahkan para ulama yang datang kemudian melihat bahwa metode global (ijmali) terasa lebih praktis dan mudah dipahami, kemudian metode ini banyak diterapkan. Ulama yang menggunakan dan menerapkan metode ijmali pada periode awal, seperti: al-Suyuthi dan al-Mahalli di dalam Tafsir-tafsir yang monumental yaitu al-Jalalain, al-Mirghani di dalam Tafsir Taj al-Tafsir,
15 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an dengan Metode Mawdhu‟i, dalam Bustami A.
Ginani et.,al, Beberapa Aspek Ilmiah tentang al-Qur’an, (Jakarta: Perguruan Tinggi Ilmu alQur‟an, 2010), hlm. 34. Nashruddin Baidan, op. cit., hlm. 3-4.
16
dan lain-lain. Tetapi pada periode berikutnya, setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran Islami. Konsekuensi dari perkembangan ini membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam.
Kondisi ini, merupakan pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis (tahlili), sebagaimana tertuang di dalam Tafsir. Tafsir tahlili, seperti tafsir al- Thabrani dan lain-lain.
Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat- ayat al-Qur’an. Ummat merasa terayomi oleh penjelasanpenjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diiukuti oleh ulama-ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya, seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’i dan lain-lain.16
Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai corak tersebut, ummat Islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir.
Selain itu, ummat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda. Kondisi ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. ”Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [muqarin] seperti yang diterapkan oleh al-Iskaf di dalam tafsirnya Darrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil, dan oleh al-Karmani di dalam tafsirnya al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al- Qur’an, dan lain-lain. Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk
16 Ibid., hlm. 6.
17
menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat. Untuk itu, ”ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al- Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).17
Metode penelitian tafsir terdiri daritiga kata yaitu metode penelitian dan tafsir. Dalam Kamus Besar Bahasa lndonesia disebutkan metode merupakan cara yang teratur dan terpikir baikbaik untuk mencapai'maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.(KBBl; 1988). Dari delinisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa metode merupakan tata cara yang sudah sistematis untuk mencapaitujuan tertentu' Sedangkan kata metode digabungkan dengan kata logos yang berarti ilmu/ pengetahuan' maka metodologi memiliki arti cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.18
Ada dua definisi penelitian yang telah dikemukakan oleh para ahli, yaitu: pertama: penelitian merupakan suatu proses penyelidikan secara sistematis yang ditujukan pada penyediaan informasi untuk menyelesaikan masalah-masalah (cooper & Emory, 1995). Kedua: penelitian rnerupakan usaha yang secara sadar diarahkan untuk mengetahui atau mempelajari fakta- fakta baru dan juga sebagai penyaluran hasrat ingin tahu manusia.
(Suparnoko, 1991) Dua detinisi di atas sam-sama menyebutkan bahwa penelitian merupakan usaha untuk rnenyelidiki, mengetahui, dan rnempelajari sesuatu. Namun definisi pertama menjelaskan fungsi penyelidikan secara umum yaitu untuk penyeciiaan informasi darlam rnenyelesaikan masaiah, sedangkan definisi kedua menyebutkan secara lebih khusus, yaitu
17 Ibid., hlm. 7.
18 Ibid. Hlm 1
18
mernpelajari fakta-fakta/ har-hal yang baru dan selain menyebutkan fungsi penelitian sebagai penyaluran hasrat ingin tanu rnanusia.
Sebuah penelitian harus rnerniliki beberapa unsur yang bisa disebut juga sebagai fungsi dari penelitian itu sendiri, yaitu adanya unsur ilmiah, unsur penemuan" unsur pengembangan, unsur pengujian kebenaran, serta unsur pemecahan masaiah. Jadi, metode penelitian adalah: tata cara yang sudah sistematis dalam menyelidiki, mengetahui, dan memperlajari data-data tertentu untuk mengumpulkan inforrnasi sehingga dapat memecahkan permasalahan yang ada pada data-data dan memperoleh informasi baru dari data tersebut. selain itu, rnetode penelitian juga diartikan sebagai cara irmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. cara irmiah didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yaltu rasional, empiris, dan sistematis.
Rasional maksudnya penelitian dilakukan dengan cara-cara yang rnasuk akal sehingga terjangkau oreh penalaran manusia. Empiris maksudnya cara yang digunakan dapat diamati dengan indra manusia. Dan sistematis rnaksudnya proses penelitian menggunakan langkah-angkah tertentu yang bersifat logis.19
Umumnya, ulama yang konsentrasi di bidang ilmu al-Quran dan ilmu tafsir memiliki rumusan definisi tafsir masing-masing yang diformulasikan secara beragam seperti yang sudah diungkap di atas. Namun, dapat disirnpulkan bahwa tafsir memiliki tiga ciri utama yaitu:
a. Objek pembahasan tafsir adalah al-Qur’an al-karim yang merupakan frman Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Jibril, yang berfungsi sebagai pedonnan bagimanusia,
b. Tujuan tafsir adalah menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan, sehingga ditemukan hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung didalamnya, c. Dilihat dari sifat dan kedudukannya, tafsir adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufasir yang didasarkan
19 Ibid. Hlm 1-2
19
pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu saat bisa ditinjau kembali.
Dari penjelasan definisi metode, penelitian dan tafsir di atas, maka dapat dipahami bahwa metodologi penelitian tafsir merupakan ilmu mengenai ajaran (cara) yang dilewati melalui kegiatan ilmiah untuk membahas, memahami, menjelaskan, serta merefleksikan kandungan al- Qur’an secara apresiasif dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan yang diperrukan berdasarkan kerangka konseptual tertentu, sehingga menghasilkan karya tafsir yang representatif. Atau, secara sederhana dipahami ilmu tentang cara ilmiah untuk mendapatkan data; tafsir (ilmu yang membahas kandungan al-Quran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia.
Kata ”metode” berasal dari bahasa Yunani yakni methodos, kata ini terdiri dari dua kata, yakni meta, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah; dan kata modos¸ yang berarti jalan, perjalanan, cara dan arah. Kata methods sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah atau uraian ilmiah.20 Dalam bahasa Inggris, kata tersebut sering disebut dengan method, dan dalam bahasa Arab kata tersebut diterjemahkan dengan istilah manhaj atau thariqah.21
Dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut arti : cara kerja yang bersistem untuk memindahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.22 Sedangkan metodologi, terdiri dari kata “metodh” dan “logos” dari bahasa Yunani yang berati Ilmu. Dengan demikian, metodologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang berbagai cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan
20Tim Penyusun Diknas RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 2014), hlm. 16. Supriana, dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 302.
21Fuad Hasan dan Koentjaraningrat, Beberapa Azas Metodologi Ilmiah Di Dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 2010), hlm. 6.
22 Nasrudin Baidan, Metode Penafsiran Al Qur’an, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 37.
20
dengan hasil yang efektif dan efesien.23 Dalam Bahasa Indonesia sendiri istilah metode tersebut diartikan sebagai cara yang teratur, terpikir, baik- baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu Pengetahuan dan sebagainya);
cara kerja yang tersistem dan untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai sesuatu yang ditentukan.24
Dalam kaitannya dengan studi al-Qur’an, maka istilah metode dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan melalui perantara Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, dalam kaitannya dengan penafsiran al-Qur’an adalah digunakan berbagai cara dalam menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur’an, baik yang didasarkan atas pemakaian sumber-sumber penafsirannya, atau system penjelasan tafsiran-tafsirannya, ataupun atas keluasan penjelasan tafsiran-tafsirannya, maupun yang didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang ditafsirkan.
Metode digunakan untuk berbagai objek, baik berhubungan dengan suatu pembahasan suatu masalah, berhubungan dengan pemikiran, maupun penalaran akal, atau pekerjaan fisikpun tidak terlepas dari suatu metode.
Dengan demikian metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan yang telah direncanakan. “Dalam kaitan ini, studi tafsir al- Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.25
Metode tafsir al-Qur’an berisi seperangkat kaidah atau aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Ketika seseorang menafsirkan ayat al-Qur’an tanpa menggunakan metode, tentu
23Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: TARSITO, 2010), hlm.
74.
24Tim Penyusun Diknas RI, op. cit., hlm. 17.
25Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 1-2.
21
tidak mustahil ia akan keliru dalam penafsirannya.26 Ada dua istilah yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Kita dapat membedakan antara dua istilah tersebut, yakni: “metode tafsir, yaitu cara- cara yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut.”
Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbadingan), misalnya disebut analisis metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat- ayat al-Qur’an, disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafsiran. Metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode metode penafsiran al-Qur’an.27
Dalam penafsiran al-Qur’an ada beberapa kosa kata Arab yang terkait dengan metode penafsiran, seperti: manhaj, thariqah, ittijah, mazhab, dan al-lawn. Dalam al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, kata thariqah dan manhaj mempunyai pengertian yang sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah berarti arah, kecenderungan, orientasi, kata mazhab bermakna aliran, dan kata laun bermakna corak, warna dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan oleh para mufassir. Sebagai contoh:
manhaj dan thariqah adalah digunakan dalam metode tahlili, muqarin, ijmali dan mawdlu’i. Sedangkan ittijah yang berarti arah atau kecenderungan dan madzhab yang bermakna aliran. Artinya, usaha seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an mempunyai kecenderungan atau aliran tertentu, misalnya saja seorang ahli fiqih
26Ibid., hlm. 2.
27Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan PP.”al-Munawwir” Krapyak, 2014). Kata: Thariqah [jalan, cara], hlm. 910-1645. Manhaj [cara, metode], hlm. 1567, Ittijah [arah], hlm. 1645, dan Allaunu [warna,corak], hlm. 1393.
22
cenderung menafsirkan ayat Qur’an ke arah fiqih dan seorang filosof menafsirkan Qur’an ke arah fisafat, dan seterusnya. Al-lawn yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.
Seorang mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menafsirkan dengan menggunakan rasio. Seorang shufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawuf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, argumen-argumen seorang mufassir yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung corak atau warna tertentu, sehingga seorang mufassir akan menentukan corak atau warna tafsirnya. Secara garis besar penafsiran al-Qur’an dilakukan melalui empat cara atau metode, yaitu:
metode ijmali (global), metode tahlili (analitis), metode muqarin (perbandingan), dan metode maudhu’i (tematik).
Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu secara ijmali, artinya tidak memberikan rincian yang memadai. Dalam tafsir mereka pada umumnya sukar menemukan uraian yang detail, karena itu tidak keliru apabila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an. Metode ini, kemudian diterapkan oleh al-Suyuthi di dalam kitabnya al-Jalalain, dan al-Mirghami di dalam kitabnya Taj al-Tafsir. Kemudian diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-Ma’sur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya.
23
Konsekuensi dari perkembangan ini membawa pengaruh terhadap penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan ummat yang semakin kompleks dan beragam. Kondisi ini, merupakan pendorong lahirnya tafsir dengan metode analitis [tahlili], sebagaimana tertuang di dalam kitab-kitab tafsir tahlili, seperti tafsir al- Thabrani dan lain-lain. Metode penafsiran serupa itu terasa lebih cocok di kala itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang rinci terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Ummat merasa terayomi oleh penjelasan-penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap ayat- ayat al-Qur’an. Pada perkembangan selanjutnya, metode penafsiran serupa juga diiukuti oleh ulama-ulama tafsir yang datang kemudian, bahkan berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yaitu: al- ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai corak yang dihasilkannya, seperti fiqih, tasawuf, falsafi, ilmi, adabi ijtima’i dan lain-lain.28
Dengan munculnya dua bentuk penafsiran dan didukung dengan berbagai corak tersebut, ummat Islam ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh berkenaan dengan kondisi dan kecenderungan serta keahlian para pakar tafsir. Selain itu, ummat juga ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda.
Kondisi ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir sebelumnya dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. ”Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [muqarin] seperti yang diterapkan oleh al-Iskaf di dalam kitabnya Darrat al-Tanzil wa Ghurrat al- Ta’wil, dan oleh al-Karmani di dalam kitabnya al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an”, dan lain-lain. Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas
28Ibid., hlm. 6.
24
kehidupan masyarakat.29 Untuk itu, ”ulama tafsir pada abad modern menawarkan tafsir al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode tematik (maudhu’i).30
Metode tafsir ayat al-Qur’an secara tematik sangat membantu masyarakat agar semua persoalan yang ada dapat dipecahkan berdasarkan al- Qur’an, selain itu juga guna membimbing masyarakat Muslim kejalan yang benar. Metode ini pun tak luput dari adanya kelebihan dan kekurangan.
Adapun kelebihannya adalah: (1) dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya, (2) lebih praktis dan sistematis, (3)sangat dinamis, dan (4)menafsirkannya lebih utuh. adapun kekurangannya adalah sebagai berikut : (1)memenggal ayat al-Qur’an, dan (2) membatasi pemahaman ayat.
2. Biografi singkat KH Bisri Musthafa
K.H. Bisri Mustofa adalah ulama yang lahir dari rahim pesantren pada tahun 1915 M. di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah.
Ayahnya, K.H. Zainal Mustofa, dan ibunya, Chodijah, telah memberinya nama dengan Mashadi. Nama tersebut berganti setelah ia menunaikan ibadah haji menjadi Bisri Mustofa. Sejak usia tujuh tahun, ia masuk Sekolah Rakyat
“ongko Loro” di Rembang. Ia tidak menyelesaikan sekolahnya karena diajak ayahnya pergi haji ke tanah suci. Setelah ia pulang ke tanah air, karena ayahnya wafat di Jedah, ia dimasukkan oleh kakak tirinya, Zuhdi, ke Holland Indische School (HIS). Sekolah di HIS tersebut juga tidak selesai, karena ia dipaksa keluar oleh Kiai Cholil yang beranggapan: sekolah HIS tersebut diperuntukkan bagi orang-orang yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Di samping, Kiai Cholil memang khawatir kelak K.H. Bisri Mustofa akan mewarisi sifat-sifat Belanda. Sehingga KH. Bisri Mustofa pun meneruskan sekolahnya di “Ongko Loro” dalam masa pendidikan empat tahun.
29Ibid.
30Ibid., hlm. 7.