• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tatalaksana Bronkospasme selama Anestesi Umum 0

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Tatalaksana Bronkospasme selama Anestesi Umum 0"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Amalia Rahmadinie1, Rudy Vitraludyono2

1 Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis, Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya Malang, Indonesia

2Staf Pengajar, Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia

1. Definisi

Bronkospasme adalah bentuk paling sering dari reactive airway disease. Pasien dengan asma dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD) menunjukkan adanya hipersensitivitas jalan napas sebagai respon terhadap iritan mekanis atau farmakologis. Terdapat kombinasi dari konstriksi otot polos bronkus, edeme mukosa jalan napas, dan hipersekresi mukosa yang akhirnya menyebabkan

obstruksi jalan napas. Bronkospasme perioperatif pada pasien dengan reactive airway disease sebenarnya cukup jarang terjadi. Pada pasien dengan asma dan COPD terkontrol, insidensinya hanya sekitar 2% sedangkan insidensi bronkospasme selama anestesi umum berkisar 0.2

%.1 SUMMARY

A bronchospasm is an unexpected event that can happen during a general anesthesia procedure.

Several etiologies of bronchospasm vary due to such factors as an anaphylactic process, mechanical, or pharmacological factor. The main characteristics of bronchospasm are prolonged expiration, wheeze, and increased peak airway pressures. Early identification and treatment of suspected bronchospasm should be assessed and treated so that life-threatening complications like hypoxia, hypotension, and increased morbidity and mortality do not occur. Ongoing management should address the underlying cause.

Keywords: bronchospasm, general anaesthesia

RANGKUMAN

Bronkospasme selama prosedur anestesi umum merupakan salah satu kejadian yang tidak diharapkan. Menurut beberapa literatur, etiologinya dapat disebabkan oleh proses anafilaksis, faktor mekanis, maupun farmakologis. Karakteristik utama dari bronkospasme adalah pemanjangan waktu ekspirasi, mengi, dan peningkatan peak airway pressure. Identifikasi dan penatalaksanaan segera dari bronkospasme selama anestesi umum harus dapat segera diketahui agar tidak menyebabkan hipoksia berkepanjangan, hipotensi, dan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Penyebab utama dari bronkospasme harus diketahui segera selama penatalaksanaan yang dilakukan.

Kata kunci: bronkospasme, anestesi umum Korespondensi:

dr. Amalia Rahmadinie* PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUB e-mail:

miarahmadinie@student.

ub.ac.id

Tinjauan Pustaka Journal of Anaesthesia and Pain, 2020, Volume: 1, No.3: 9-17 P-ISSN : 2722-3167

https://jap.ub.ac.id E-ISSN : 2722-3205

Tatalaksana Bronkospasme selama Anestesi Umum

Management of Bronchospasm during General Anaesthesia Procedure

0

(2)

2. Manifestasi Klinik

1. Manifestasi dari bronkospasme selama anestesi adalah wheezing ekspirasi, waktu ekspirasi yang memanjang, dan atau peningkatan Intermittent positive pressure ventilation (IPPV). Wheezing biasanya terdengar melalui auskultasi ataupun tanpa auskultasi, tapi hanya dapat terdengar jika terdapat aliran udara pada jalan napas pasien. Oleh karenanya, pada kasus-kasus dengan bronkospasme berat, biasanya tidak terdengar apapun pada auskultasi dan diagnosis hanya berdasarkan pada peingkatan tekanan inflasi.2

2. Bronkospasme dapat berefek ringan, berat, sampai mengancam nyawa. Iritabilitas tertinggi berada pada level carina. Sianosis mungkin merupakan tanda pertama pada kasus bronkospasme berat. Jika pasien masih bernapas spontan, mungkin akan terlihat bahwa pergerakan dari reservoir bag menurun, atau dada dan abdomen pasien terlihat pergerakan see saw atau respirasi paradoksal seolah-olah pasien mengalami obstruksi.3

3. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi dari bronkospasme antara lain:

4,5,6,7,8,9

 Infeksi saluran napas akut ataupun kronik.

Penyebab dari kasus akut meliputi infeksi saluran napas bagian atas dan bawah yang diakibatkan oleh infeksi bakterial, yang sering terjadi pada anak, tetapi juga dapat terjadi pada kasus dewasa. Penyakit kronik meliputi asma, rhinitis, bronchitis kronis, dan empisema yang lebih sering terjadi pada pasien dewasa.

 Alergi

 Udara yang kering dan dingin.

 Hiperaktivitas bronkus

 Mekanis (misalnya bronkospasme saat intubasi)

 Farmakologis (karena pemberian obat-obatan yang bersifat histamine release, seperti atracurium, rocuronium, mivacurium, beta blockers, Non-steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID), dan inhibitor kolinesterase).

Airway soiling (misalnya karena peningkatan sekresi jalan napas, regurgitasi atau aspirasi;

lebih sering pada pasien dengan Laryngeal Mask Airway (LMA) daripada Endotracheal Tube (ETT).

 Ansietas pada pasien; ansietas diketahui memperparah reactive airway disease seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik dan dapat menjadi bronkospasme, bersamaan dengan gejala seperti ekspirasi yang memanjang dan wheezing.

 Pasien dengan obesitas: airway pressure dan nilai analisis gas darah pada pasien obesitas berbeda jika dibandingkan dengan nonobesitas dan relatif mirip dengan pasien dengan bronkospasme, sehingga disimpulkan bahwa pasien obesitas berhubungan dengan kurang relaksasinya otot polos bronkial.

4. Epidemiologi

Dari 4.000 insiden bronkospasme di Australia, didapatkan sebanyak 103 insiden bronkospasme perioperatif (3%) menunjukkan bahwa mekanisme alergi lebih sedikit terjadi (21%) dibandingkan dengan mekanisme nonalergi (79%). Di antara bronkospasme non-alergi tersebut, sebanyak 44%

terjadi selama proses induksi anestesi, 36% pada fase maintenance, dan 20% terjadi pada saat akan dilakukan ekstubasi. Selama induksi anestesi, bronkospasme diakibatkan oleh iritasi jalan napas (64%), sedangkan sisanya diakibatkan oleh intubasi esophagus (17%), aspirasi (11%), dan edeme paru atau penyebab yang tidak diketahui (8%). Selama proses maintenance anestesi, penyebab utama (80%) dari bronkospasme adalah alergi (34%), malposisi ETT (23%), iritasi jalan napas (11%), dan aspirasi akibat dari pemakaian LMA (9%). Selama induksi atau maintenance anestesi, bronkospasme yang disebabkan oleh iritasi jalan napas lebih sering terjadi pada pasien yang sudah mempunyai faktor predisposisi seperti asma, perokok berat, dan pasien dengan bronchitis. Pasien dengan riwayat asma sebelumnya menyumbang 50%-60% kasus bronkospasme. Oleh karenanya, asma dan COPD ikut berperan dalam mekanisme patofisiologi

(3)

bronkospasme, baik itu alergi maupun nonalergi, tanpa memandang stadium anestesi.10

5. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari bronkospasme antara lain anesthesia yang kurang dalam, mucous plugging pada jalan napas, intubasi esophagus, sirkuit anestesi yang mengalami obstruksi, dan aspirasi paru. Wheezing unilateral mengindikasikan adanya intubasi endobronkial atau tersumbatnya ETT karena benda asing. Jika gejala klinis semakin memburuk walaupun telah diberikan terapi yang adekuat, maka penyebab lain seperti edeme paru dan pneumotoraks harus dipertimbangkan. Latex- induced anaphylaxis biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat atopi. Karena protein pada lateks diabsorbsi secara lambat, maka latex-induced anaphylaxis biasanya terjadi 30-60 menit setelah operasi. 4,6

Masing-masing diagnosis banding dapat dijabarkan sebagai berikut: 1,4,8

1. Obstruksi mekanis

ETT yang mengalami kingking, tersumbat oleh mucous plug, herniasi cuff), atau malposisi ETT (endobronkial atau esophageal) atau penyumbatan pada breathing circuit dapat meniru tanda dan gejala bronkospasme berat.

Kecuali jika diidentifikasi dan dikoreksi dengan cepat dan tepat, hal ini dapat berakibat buruk.1 Oleh karenanya, penting untuk kita meneliti breathing circuit sebelum dimulainya anestesi dan memastikan adanya alat bantu ventilasi seperti ambubag.

2. Laringospasme

Pada pasien yang tidak terintubasi, laryngospasme akut dapat menuebabkan suara tambahan pada jalan napas bagian atas (biasanya inspirasi), penurunan suara napas, dan kesulitan melakukan ventilasi. Dan dapat juga disertai dengan tanda obstruksi jalan napas seperti peningkatan usaha napas, tracheal tug, dan pergerakan dinding dada dan abdomen paradoksikal (see-saw respiration).

3. Hiperaktivitas bronkial

Pada pasien dengan faktor risiko hiperaktivitas bronkial, maka kemungkinan terjadinya bronkospasme cukup tinggi. Misalnya pada pasien dengan asma yang tidak terkontrol dan COPD, juga pada pasien ISPA, perokok, dan riwayat atopi.

4. Kedalaman anestesi yang tidak adekuat

Manipulasi jalan napas atau stimulus pembedahan di bawah anestesi yang kurang dalam dapat meningkatkan risiko terjadinya bronkospasme. Beberapa tindakan pembedahan tertentu seperti mempunyai stadium yang dapat menyebabkan terjadinya bronkospasme dan laringospasme. Contohnya adalah dilatasi anal atau cervical, stripping dari vena saphena selama pembedahan varises vena, dan traksi dari peritoneum. Tindakan-tindakan tersebut dapat diprediksi dan dicegah dengan pemberian opioid bolus dan agen anestesi seperti propofol.

5. Farmakologikal

Beberapa agen anestesi volatile (isoflurane dan desflurane) jika diberikan secara cepat dapat mencetuskan terjadinya bronkospasme. Agen intravena seperti beta blocker, inhibitor prostaglandin (NSAIDs), rocuronium, dan inhibitor kolineasterase seperti neostigmine juga berpengaruh. Begitu juga dengan obat-obatan yang bersifat histamine release (thiopental, atracurium, mivacurium, morphine, dan d- tubocurarine) juga dapat menyebabkan bronkospasme sehingga obat-obatan yang telah disebutkan di atas harus diberikan secara hati- hati pada pasien dengan faktor risiko tinggi terjadinya bronkospasme (Tabel 1).

6. Airway soiling

Bronkospasme yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, terutama pada pasien tanpa faktor risiko hiperaktivitas jalan napas, harus dicurigai adanya airway soiling karena sekresi, regurgitasi, dan aspirasi. Hal ini sering terjadi pada pasien yang menggunakan LMA, tapi juga

(4)

sering terjadi pada pasien dengan penggunaan ETT tanpa cuff atau ETT dengan cuff yang tidak dikembangkan dengan adekuat. Pasien dengan riwayat refluks gastroesofageal dan batuk ketika bernapas spontan dengan LMA meningkatkan kecurigaan adanya airway soiling ini.

Insidensi bronkospasme perioperatif dilaporkan pada sekitar 9% pasien asma yang

menjalani tindakan anestesi umum, sebagian besar terjadi setelah insersi ETT. Dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok, perokok mempunyai insidensi yang lebih tinggi untuk terjadinya bronkospasme perioperatif, terutama pada pasien wanita dan usia muda, juga lebih tinggi pada pasien dengan bronchitis kronik (Gambar 1). 10

(Dewachter dkk., 2012) Gambar 1. Bagan perbandingan onset bronkospasme

Insersi endotrakeal tube

Sesudah Sebelum

Bronkospasme nonalergi

Ya Tidak ada

Bronkospasme alergi

Ya, bersamaan atau diikuti oleh bronkospasme.

Biasanya tidak ada.

Jika ada, onsetnya lebih lama jika disbanding onset bronkospasme.

Onset dari bronkospasme

Mekanisme patofisiologi

Gejala kardiovaskuler

Gejala mukokutaneus

(5)

7. Manajemen Penanganan Bronkospasme

Manajemen penanganan bronkospasme intraanestesi dapat dijabarkan sebagai berikut: (Gambar 2)1 Manajemen Pasien yang Mengalami Bronkospasme selama Anestesi Umum

v

Terapi lini pertama Terapi lini kedua

Salbutamol

Metered dose inhaler: 6-8 puffs, diulang jika diperlukan (dengan adaptor/spuit 60ml atau diberikan melalui ETT).

Nebulisasi: 5mg (1ml 0.5%), diulang jika perlu.

Intravena: 250mcg IV pelan, lalu 5mcg/menit sampai dengan 20mcg/menit.

Ipratropium bromide: nebulisasi 0.5mg per 6 jam.

Magnesium sulphate: 50mg/kgbb selama 20menit (maksimal 2gr).

Hydrocortisone: 200mg IV per 6 jam.

Ketamine: Bolus 10-20mg. infus 1-3mg/kg/jam Pada kasus berat: epinephrine

Nebulisasi: 5ml 1:1000

Intravena: 10mcg (0.1ml 1:10000) sampai 100mcg (1ml 1:10000), titrasi sampai memberikan respon.

Gambar 2. Bagan manajemen pasien yang dicurigai mengalami bronkospasme intraanestesi Dicurigai sebagai bronkospasme

Oksigen dinaikkan menjadi 100%

Ventilasi manual dengan tangan.

Hentikan stimulus/pembedahan.

Pikirkan kemungkinan alergi/anafilaksis, hentikan pemberian obat, koloid, atau produk darah yang dicurigai menimbulkan reaksi alergi.

Sulit ventilasi atau SpO2 turun Panggil Bantuan

Manajemen segera; cegah hipoksia dan bronkokonstriksi.

Dalamkan anestesi.

Jika ventilasi melalui ETT sulit/tidak memungkinkan, cek posisi ETT dan singkirkan kemungkinan blockade/misplaced ETT.

Jika perlu, eliminasi kemungkinan oklusi dari breathing circuit dengan menggunakan ambubag.

Jika pasien tidak terintubasi, singkirkan kemungkinan laringospasme dan pikirkan kemungkinan aspirasi.

Terapi obat-obatan, lihat kotak D.

Pikirkan kemungkinan untuk ditransfer ke ICU

Manajemen sekunder:

Optimalkan ventilasi mekanik.

Pikirkan lagi kemungkinan alergi/anafilaksis-buka baju pasien dan periksa pasien, lihat medikasi yang sudah diberikan.

Jika tidak ada perbaikan, pikirkan kemungkinan edeme paru/pneumothoraks/emboli paru/benda asing.

tunda operasi jika memungkinkan.

Cek rontgen toraks.

Transfer ke ruang ICU untuk pemeriksaan dan terapi lebih lanjut.

(6)

Catatan untuk algoritme penanganan bronkospasme:1

1. Meningkatnya konsentrasi inspirasi dari semua agen anestesi volatil akan menyebabkan bronkodilatasi (pengecualian untuk desflurane, karena mempunyai konsentrasi alveolar yang lebih tinggi maka menunjukkan adanya peningkatan resistensi jalan napas). Jika bronkospasme bertambah berat, pengantaran yang efektif dari agen anestesi volatile menjadi lebih sulit. Agen intravena seperti propofol menjadi lebih menguntungkan karena obat ini menumpulkan refleks jalan napas lebih dari thiopental. Jika tidak ada propofol, ketamine dapat digunakan dan merupakan salah satu bronkodilator kuat.

2. Intubasi esophagus/endobronkial harus diekslusi. Pertimbangkan adanya ETT yang kingking atau obstruksi karena sekresi, mukus, herniasi cuff ETT, atau ETT yang tepat ada di carina. Kateter suction harus dimasukkan ke dalam ETT untuk menilai patensi dan membersihkan sumbatan karena sekresi.

3. Tabel 1 memberikan gambaran yang lebih detail mengenai obat-obatan yang digunakan untuk mengobati bronkospasme akut. Terapi pertama dengan menggunakan agonis beta seperti salbutamol. Dapat diberikan berulang kali.

Pemberian harus berada di bawah heat and moisture exchange filter (HMEF) dan dapat menggunakan in line adaptor, nebulizer, atau jika tidak tersedia alat di atas, sebuah metered dose inhaler (MDI) dapat ditempatkan ke dalam jarum suntik 60ml, jarum suntiknya dibuang dan digantikan dengan selang infus sepanjang 15cm.

Lalu diberikan melewati ETT, hal ini dapat menurunkan kejadian keluarnya aerosol ke luar ETT jika dibandingkan dengan penyemprotan lansung. Walaupun pada kasus darurat MDI ini dapat disemprotkan langsung dari atas ETT, dengan catatan banyak aerosol yang tidak mencapai jalan napas pasien.

Salbutamol dapat diberikan langsung secara intravena. Antikolinergik seperti ipratropium bromide inhalasi memblok

konstriksi parasimpatik dari otot polos bronkus.

Bronkospasme yang tidak respon dengan obat- obat di atas, dapat dipertimbangkan diberikan adrenalin, MgSO4, aminofilin, atau ketamine.

Manajemen sekunder dari bronkospasme adalah memberikan terapi untuk sesuai kondisi pasien saat itu dan menemukan penyebab dari bronkospasme tersebut. Kortikosteroid dan antihistamine (kotak D) mempunyai peran untuk terapi sekunder dari bronkospasme dan harus diberikan sedini mungkin jika masalah utama belum teratasi.1

Hal utama yang harus dipikirkan adalah apakah ada alergi atau anafilaksis dan pemeriksaan kulit dan tanda-tanda kardiovaskuler. Lihat kembali riwayat pengobatan pasien dan obat-obat yang diberikan selama masa perioperatif. Periksa kembali pasien dan pikirkan diagnosis lain yang berhubungan, misalnya edeme paru akut, pneumothoraks, emboli paru, dan benda asing.1

Jika indikasi pembedahan bukanlah sesuatu yang mengancam nyawa, pembedahan mungkin dapat ditunda, terutama jika didapatkan kesulitan ventilasi, turunnya saturasi oksigen, atau hemodinamik yang tidak stabil. Jika pasien yang tidak terintubasi mengalami bronkospasme, maka sangatlah penting untuk segera melakukan intubasi dan ventilasi mekanis sementara terapi lain tetap harus dijalankan. Jika hal ini terjadi, maka obat- obatan yang tidak bersifat histamine release harus diberikan (misalnya rocuronium atau vecuronium) Jika bronkospasme sudah teratasi, dan tidak ada masalah respirasi atau kardiovaskuler, maka disarankan untuk segera membangunkan pasien dan terapi selanjutnya diberikan di ruang pemulihan (Tabel 1).1

Ventilasi mekanis pada pasien dengan bronkospasme akut bertujuan untuk mencegah atau mengkoreksi hipoksemia. Volum tidal perlu dikurangi untuk mencegah tingginya peak airway pressure dan barotrauma. Hiperkapnia masih dapat ditoleransi selama oksigenasi adekuat, asalkan tidak berkembang menjadi asidosis berat dengan pH

<7.15. ventilasi harus diatur dengan waktu ekspirasi

(7)

yang lebih panjang untuk memberikan ekshalasi yang cukup dan mengurangi breath stacking dan intrinsic PEEP. Intrinsic PEEP dapat meningkatkan tekanan intratorasik, mengurangi venous return, dan menyebabkan hipotensi. Menguranginya adalah dengan kecepatan respirasi (RR) yang rendah, rasio ekspirasi dan inspirasi 1:2. Jika bronkospasme yang terjadi cukup berat, maka RR 3-4 kali per menit dapat dilakukan jika kita ingin memberikan ekspirasi penuh, dan akan sangat berguna jika melakukan auskultasi atau mendengarkan akhir ekspirasi lewat ETT yang tidak disambungkan ke breathing circuit.1

Campuran helium-oksigen (heliox) sering digunakan untuk mempertahakan aliran laminar pada kasus bronkospasme akut, tetapi penggunaannya pada perioperatif masih terbatas.

Keterbatasan mayor adalah karena campuran heliox ini hanya bisa menyediakan 21–30% oksigen.

Helium memfasilitasi ventilasi tapi tidak menghilangkan penyebab utama bronkospasme, heliox dapat digunakan sampai kortikosteroid menimbulkan efek. Nitrogliserin juga dilaporkan dapat melawan bronkospasme akut, kemungkinan melalui efeknya untuk merelaksasi otot polos.6

Tabel 1. Obat-obat yang sering digunakan pada pasien bronkospasme (Looseley, 2011)

Obat Dosis Dewasa Dosis Pediatri

Salbutamol Metered dose inhaler 6-8 puffs MDI 6-8 puffs.

Nebulisasi 1ml 0.5% (5mg) Nebulisasi <5tahun 2.5mg, >5tahun 2.5-5mg.

IV: 250mcg IV pelan lanjut 5mcg/menit sampai dengan 20mcg/menit.

IV: 4mcg/kgbb IV pelan lanjut 0.1mcg/kgbb/menit.

Epinefrin IV: 10mcg-100mcg (0.1-1.0ml 1:10.000) titrasi sampai berespon.

IV: 0.1-1.0mcg/kgbb (0.01-0.1ml/kgbb 1:100.0000

IM: 0.5-1.0mg jika tidak ada akses IV. IM: <6bulan 50mcg, 6 bulan-6 tahun 120mcg, 6-12 tahun 250mcg, >12 tahun 500mcg.

Nebulisasi: 5ml 1:1000 Nebulisasi: 0.5ml/kgbb 1:1000 (maksimal 5ml) Ipratropium bromida Nebulisasi 0.5mg per 6jam Nebulisasi 2-12 tahun 0.25mg per 6 jam Magnesium sulphate 2gr IV selama 20 menit 50mg/kgbb selama 20menit (maksimal 2 gr)

Ketamine Infus: 1-3mg/kgbb/jam, bolus: 10- 20mg.

Infus: 1-3mg/kgbb/jam

Aminofilin 5mg/kgbb IV selama 20 tahun lalu infus 0.5mg/kgbb/jam.

Hindari dosis loading jika pasien mendapatkan theophylline.

5mg/kgbb IV selama 20 tahun lalu infus 1mg/kgbb/jam (<9tahun), 0.8mg/kgbb/jam (9-16tahun).

Hindari dosis loading jika pasien mendapatkan theophylline.

Hydrocortisone 200mg iV per 6 jam. <1tahun 25mg, 1-5 tahun 50mg, 6-12 tahun 100mg per 6 jam.

Klorfenamin 10mg IV pelan <6bulan 250mcg/kgbb IV, 6 bulan – 6 tahun 2.5mg IV, 6 tahun-12 tahun 5mg IV.

(8)

Pasien-pasien gagal napas yang diakibatkan oleh bronkospasme yang memerlukan ventilasi mekanis seringkali menjadi sesuatu yang kompleks pada pasien pediatri yang dirawat di ICU. Pasien- pasien ini seringkali menjadi refrakter terhadap terapi bronkospasme konvensional, isoflurane dapat menjadi bronkodilator poten dan telah dilaporkan sebagai terapi “rescue” efektif pada pasien pediatri dan dewasa dengan bronkospasme berat.

Keterbatasan penggunaan isoflurane di ruang perawatan intensif salah satunya adalah kesulitan untuk pemberian agen tersebut di luar kamar operasi. Kesulitan tersebut antara lain masalah pemberian, monitoring, dan sistem pembuangan gas yang tidak tersedia di ICU sehingga memerlukan ventilator mekanik yang telah dimodifikasi untuk melakukan pemberian isoflurane pada setting ICU.11

Tiga puluh satu pasien pediatri yang mengalami bronkospasme menunjukkan bahwa isoflurane membuat peningkatan pH dan PCO2

dalam waktu 4 jam setelah mendapatkan ventilasi mekanik. Mayoritas pasien dalam penelitian tersebut mengalami hipotensi, tapi hanya ada insidensi yang rendah untuk komplikasi lain yang berkaitan dengan pemberian isoflurane. Komplikasi tersebut bersifat self limited dan dapat diterapi secara farmakologis tanpa harus menghentikan pemberian isoflurane. 11

Untuk penanganan postoperative, foto rontgen toraks harus dilakukan dan dilihat untuk menilai apakah didapatkan adanya edeme paru dan pneumotoraks. Jika diperlukan, terapi regular seperti bronkodilator, kortikosteroid, dan chest physiotherapy dapat dikerjakan. Pada pasien yang

masih mengalami bronkospasme, maka harus dirawat di ruang perawatan intensif. Pada pasien dengan reaksi alergi yang serius atau anafilaksis, maka dapat diperiksa mast cell tryptase. Merupakan kewajiban seorang dokter anestesi untuk merujuk pasien ke seorang imunologi untuk pemeriksaan ini, yang mana keluarga pasien dan dokter bedah juga harus disampaikan mengenai kondisi pasien.1 8. Pencegahan

Pencegahan terhadap terjadinya bronkospasme perioperatif meliputi pasien dengan faktor risiko bronkospasme harus dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum dilakukan pembedahan. Eksaserbasi asma akut dan sering terjadi merupakan indikasi untuk penundaan pembedahan elektif. Bronkodilator, kortikosteroid inhalasi dan oral preoperatif, chest physiotherapy, dan konsultasi ke dokter paru mungkin dapat dilakukan sebelum pembedahan.4

KESIMPULAN

Bronkospasme perioperatif mempunyai berbagai macam gejala, mulai dari complete silent chest ketika dilakukan auskultasi sampai dengan suara tambahan pada ekspirasi. Penatalaksanaan yang dilakukan bukan saja terfokus pada terapi penyebab bronkospasme, tetapi juga gejala dan tanda yang berkembang pada pasien. Sangatlah penting untuk mendokumentasikan kondisi pasien dan pengobatan yang diberikan agar bisa menjadi pembelajaran untuk anestesiologis lain jika kondisi yang sama terjadi, sehingga dapat diberikan terapi yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Looseley A. Management of bronchospasm during general anaesthesia. Updat Anaesth. 2011;27(1):17-21.

2. Westhorpe RN, Ludbrook GL, Helps SC. Crisis management during anaesthesia: bronchospasm. Qual Saf Health Care. 2005;14(3):1-6. doi:10.1136/qshc.2002.004457

3. MR A, Mojibuddin, S A, R K, KR K, D P. Bronchospasm during general anaesthesia-an alarming. KYAMC J.

2018;8(2):27-30.

4. Sethi C, Kumar R, Shambhavi. Crisis Management of Perioperative Bronchospasm in a Neonate with Sepsis. Sch J Appl Med Sci. 2017;5(7A):2552-2554. doi:10.21276/sjams

5. Davis P, Cladis F. Smith’s Anesthesia for Infants and Children. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.

6. Stergiouda Z, Gkiouliava A, Koraki E. A case of persistent bronchospasm after anesthesia induction. Greek E- Journal Perioper Med. 2017;16(b):61-74.

(9)

7. Kocaturk O, Oguz E. The effect of preoperative anxiety on the incidence of perioperative bronchospasm: a prospective observational study. Med Sci | Int Med J. 2017:1. doi:10.5455/medscience.2017.06.8654

8. De La Cruz I, Errando C, Calaforra S. Treatment of anaphylaxis to rocuronium with Sugammadex: A case report with bronchospasm as the only symptom. Turkish J Anaesthesiol Reanim. 2019;47(1):69-72.

doi:10.5152/TJAR.2019.21298

9. Tassoudis V, Ieropoulos H, Karanikolas M, et al. Bronchospasm in obese patients undergoing elective laparoscopic surgery under general anesthesia. Springerplus. 2016;5(1). doi:10.1186/s40064-016-2054-3

10. Dewachter P, Mouton-Faivre C, Emala CW, Beloucif S. Case scenario: Bronchospasm during anesthetic induction. Anesthesiology. 2011;114(5):1200-1210. doi:10.1097/ALN.0b013e3182172cd3

11. Turner DA, Heitz D, Cooper MK, Smith PB, Arnold JH, Bateman ST. Isoflurane for life-threatening bronchospasm:

A 15-year single-center experience. Respir Care. 2012;57(11):1857-1864. doi:10.4187/respcare.01605

Untuk menyitir artikel ini: Rahmadinie, A. dan R Vitraludyono. Tatalaksana Bronkospasme selama Anestesi Umum.

Journal of Anaesthesia and Pain. 2020;1(3):9-17.doi:10.21776/ub.jap.2020.001.03.02

Referensi

Dokumen terkait

JIKA KITA INGIN MEMASARKAN (PEMASARAN) MAKA KINTA GUNAKAN MEDIA SOSIAL.. JIKA KITA INGIN MENJUAL (PENJUALAN) MAKA KITA