• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Variasi Formulasi Tepung

N/A
N/A
Sukma Annisa Dwi Cahyani Sutopo

Academic year: 2024

Membagikan "Teknologi Pembuatan Mi Kering dengan Variasi Formulasi Tepung"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Praktikum

Teknologi Pengolahan Pangan 1

Acara 6. Teknologi Pengolahan Mi Kering

“Teknologi Pengolahan Mi Kering dengan Perbedaan Formulasi Tepung”

Disusun oleh:

Nama : Sukma Annisa Dwi Cahyani Sutopo

NIM : 4444220064 Kelompok : 5 (Lima)

Asisten :

Sevia Muhdari Prasetyaningsih

Program Studi Teknologi Pangan

(2)

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2023

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Salah satu komponen makro yang dibutuhkan oleh manusia adalah karbohidrat. Sebagian besar karbohidrat yang dikonsumsi manusia hadir dalam bentuk polisakarida yang tidak dapat diserap secara langsung. Sumber karbohidrat yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat adalah nasi. Nasi memiliki peran penting dalam memberikan energi yang diperlukan oleh tubuh manusia sehari- hari. Terdapat salah satu jenis makanan yang dapat dijadikan sebagai pengganti nasi, yaitu mi. Menurut Nurrohkayati et al. (2020), mi memiliki kandungan karbohidrat yang hampir sama. Oleh karena itu, banyak orang di Indonesia lebih memilih mi sebagai alternatif pengganti nasi.

Mi merupakan salah satu jenis makanan yang sudah familiar di kalangan penduduk Asia, terutama di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Secara umum, mie digolongkan dua jenis yaitu mie basah dan mie kering. Menurut Koswara (2013), mi basah memiliki kadar air sekitar 25-35%, yang mengalami peningkatan sebanyak 52% selama proses perebusan. Hal ini membuat mi basah rentan terhadap pembusukan jika disimpan terlalu lama. Di sisi lain, mi kering memiliki kandungan air sekitar 8-10%, memungkinkannya untuk dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Dalam proses pengolahannya, menurut penjelasan dari Sitompul (2019), dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni mie kering dan mie basah. Kedua jenis mie ini menjalani proses pengolahan yang serupa, namun perbedaannya terletak pada langkah perebusan yang dialami oleh mie basah setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Sebaliknya, mie kering tidak mengalami perebusan, melainkan mengalami proses pengeringan sebelum disebarkan ke pasar.

Bahan dasar dalam pembuatan mi adalah tepung terigu. Sejalan dengan literatur Effendi et al. (2016), yang menyatakan bahwa bahan utama dalam proses pembuatan mi adalah tepung terigu, yang berasal dari penggilingan biji gandum.

(3)

Salah satu keunggulan tepung terigu adalah kemampuannya untuk menjaga elastisitas mi, sehingga mi tidak mudah putus selama tahap pencetakan dan pemasakan. Elastisitas ini berasal dari kandungan gluten dalam tepung terigu.

Tingginya minat masyarakat terhadap mi mendorong produsen untuk berinovasi dalam hal rasa dan kualitas. Inovasi tersebut mencakup penambahan rasa, serta penggantian bahan dasar pembuatannya. Salah satu contoh inovasi adalah peningkatan kualitas mi dengan menambahkan monogliserid, sebagai respons terhadap permintaan konsumen yang terus meningkat. Salah satu inovasi yang dilakukan pada praktikum ini adalah penambahan beberapa jenis tepung dalam proses pengolahan mi kering, yaitu tepung terigu dan tepung singkong.

Menurut Soekarto (2015), tepung terigu merupakan bahan dasar dalam proses pembuatan mi. Dalam pembuatan mie, tepung yang digunakan yaitu tepung terigu yang mengandung protein tinggi seperti tepung terigu hard wheat yang mengandung 11-13% protein sementara yang protein rendah maksimal 11%.

Tingginya protein yang terkandung menjadikan sifatnya mudah dicampur, difermentasikan, daya serap airnya tinggi, elastis dan mudah digiling.

Karakteristik ini menjadikan tepung terigu hard wheat sangat cocok untuk bahan baku mie. Sementara, tepung singkong merupakan produk olahan dari umbi singkong yang kaya akan karbohidrat dan dapat digunakan dalam berbagai produk pangan. Menurut Deviena et al. (2016), tepung singkong memiliki kandungan protein yang rendah.

Tepung singkong terbuat dari singkong yang merupakan sumber karbohidrat terbesar dari biji-bijian.

Berdasarkan uraian diatas, akan dilakukanlah praktikum dengan judul

“Teknologi Pengolahan Mi Kering” yang bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan mie kering serta mengetahui pengaruh tepung terigu dan tepung singkong pada pembuatan mi kering.

1.2Tujuan

Adapun tujuan dilakukannya praktikum mengenai “Teknologi Pengolahan Mi Kering” yaitu untuk:

1. Mengetahui mengetahui teknologi pengolahan mi kering.

(4)

2. Mengetahui pengaruh metode substitusi tepung singkong dan terigu terhadap karakteristik cooking quality mi kering.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Mi Kering

Mi kering adalah jenis mi yang telah mengalami proses pengeringan hingga kadar airnya mencapai 8-10%. Karakteristik ini memungkinkan mie dapat disimpan dalam waktu yang lama, dengan daya tahan penyimpanan sekitar 3 bulan. Kandungan air yang rendah dalam mie membuatnya sulit ditumbuhi oleh jamur dan kapang, menjadikannya lebih tahan lama. Jenis mie ini dapat ditemukan di berbagai tempat, termasuk toko, pasar, dan supermarket. Mi kering sebagai produk olahan makanan, terbuat dari tepung terigu, baik dengan atau tanpa penambahan bahan makanan dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (Faridah dan Widjanarko, 2014).

Mi kering adalah mi mentah yang sudah dikeringkan, baik di bawah sinar matahari atau dalam suhu terkontrol (35-40°C) agar dapat menghasilkan mi dengan produk yang optimal dan kelembaban ruang pengeringan (70-75%) yang selalu terjaga selama ± 5 jam sehingga kadar air mi kering sekitar 8-10%.

Pada proses pengolahan mi kering setelah melalui tahap pemotongan, selanjutnya dilakukan proses pengukusan, pengeringan, pendinginan, dan pengemasan (Diniyah et al., 2017).

Mie kering sebelum dipasarkan biasanya ditambahkan telur segar atau tepung telur sehingga mie ini dikenal dengan nama mie telur. Penambahan telur ini merupakan variasi sebab secara umum mie oriental tidak mengandung telur. Di Amerika Serikat, penambahan telur merupakan suatu keharusan karena mie kering mengandung air kurang dari 13% dan padatan telur lebih dari 5.50% (Kurniawan et al., 2015). Mie kering diproses dengan menggunakan metode pengeringan di

(5)

mana mie mentah dikeringkan dengan cara menjemur atau menggunakan oven pada suhu sekitar ±50ºC (Widyaningtyas dan Susanto, 2015). Karakteristik mie kering yang berkualitas baik meliputi penampilan yang cerah, permukaan yang lembut, tidak terdapat pertumbuhan mikroba, serta tidak mudah hancur atau pecah saat dimasak (Mulyadi et al., 2014).

2.2Tepung Terigu

Dalam proses pembuatan mie, bahan utama yang digunakan adalah tepung terigu, khususnya tepung terigu hard wheat yang memiliki kandungan protein tinggi, mencapai 11-13% protein, sedangkan tepung terigu dengan protein rendah memiliki maksimal 11%. Tingginya kandungan protein ini mempermudah pencampuran, fermentasi, dan memberikan sifat elastis serta daya serap air yang tinggi pada tepung terigu hard wheat, membuatnya ideal sebagai bahan baku mie. Tepung terigu hard wheat tidak hanya meningkatkan nilai gizi mie, tetapi juga berperan dalam menentukan tekstur akhir mie. Selain itu, keseimbangan antara pengental dan telur juga turut menentukan karakteristik tekstur mie (Soekarto, 2015).

Tepung terigu yang telah digiling seharusnya memiliki sifat mudah tercurah, kering, tidak gumpal saat ditekan, berwarna putih, bebas dari kulit, tanpa bau yang tidak lazim seperti bau busuk, bebas dari pertumbuhan jamur atau bau tengik, dan juga terhindar dari serangan serangga, tikus, kotoran, serta kontaminasi oleh benda asing lainnya. Kandungan protein memiliki korelasi yang kuat dengan kandungan gluten, sementara kandungan abu berkaitan erat dengan tingkat dan kualitas adonan. Tepung terigu dihasilkan dari gandum yang digiling, sering digunakan dalam industri makanan. Komponen utama dalam tepung terigu adalah pati, mencapai sekitar 70%, yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Kandungan amilosa

(6)

dalam pati sekitar 20%, dengan suhu gelatinisasi berkisar antara 56°C hingga 62°C (Sutomo, 2018).

Terdapat tiga jenis tepung terigu yang dapat dibedakan berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu tepung terigu berprotein rendah, sedang, dan tinggi. Tepung terigu berprotein rendah memiliki kandungan protein sekitar 8-9%. Sementara itu, tepung terigu berprotein sedang memiliki kandungan protein sekitar 10-11% dan umumnya digunakan untuk membuat berbagai makanan serbaguna dan jajanan pasar. Jenis tepung terigu berprotein tinggi, pada umumnya mengandung protein lebih dari 11%, memiliki sifat elastis yang baik dan tahan terhadap putusan. Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan mie dan roti. Karakteristik khusus dari tepung terigu adalah keberadaan protein yang tidak larut dalam air yang disebut gluten. Kehadiran gluten membuat adonan tepung terigu bersifat elastis seperti karet, dapat memanjang, dan mampu menahan gas CO2 yang dihasilkan selama fermentasi ragi (Suryatna, 2016).

2.3 Tepung Singkong

Tepung merupakan salah satu komoditas pertanian yang digunakan sebagai komponen pokok dalam proses pengolahan makanan. Tepung diperoleh melalui pengolahan berbagai jenis bahan pangan, termasuk umbi-umbian, biji-bijian, dan batang (sagu), yang diubah menjadi serbuk melalui proses penggilingan atau penepungan. Ada beragam jenis tepung, seperti tepung roti, tepung sagu, tepung terigu, tepung beras, dan tepung tapioka/kanji, yang memiliki sifat yang mirip satu sama lain (Sumarlan dan Dian, 2017).

Tepung singkong adalah salah satu hasil olahan dari singkong yang biasanya terbagi menjadi tiga jenis, yakni tepung cassava, mocaf, dan tapioka. Ketiga jenis tepung ini memiliki

(7)

ciri-ciri fisik yang serupa, sehingga sulit untuk membedakan mereka secara langsung (Deviena et al., 2016). Tepung singkong diperoleh dengan mengolah singkong yang dihancurkan, kemudian dihaluskan dan disaring untuk menghasilkan tepung singkong yang halus. Singkong adalah jenis umbi-umbian yang memiliki karakteristik mirip dengan terigu, tetapi memiliki kandungan kalori yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tepung terigu. Singkong hanya mengandung sekitar 146 kalori per 100 gram, sementara tepung terigu memiliki sekitar 365 kalori per 100 gram. Selain itu, kandungan protein dalam singkong juga rendah, sehingga tepung singkong diharapkan dapat digunakan sebagai pengganti tepung terigu yang memiliki kandungan protein yang rendah dalam berbagai jenis kue (Ariani et al., 2016).

2.4Telur

Telur merupakan bahan pangan yang kaya akan protein, lemak, vitamin, dan mineral. Albumin dan globulin adalah protein utama dalam telur, sedangkan kuning telur mengandung lemak, vitamin A, D, E, dan B kompleks. Lecithin, sebagai emulsifier alami, terdapat dalam kuning telur dan bermanfaat dalam membentuk dan menstabilkan emulsi saat pembuatan mie (Hartono dan Isman, 2020). Telur berfungsi sebagai emulsi alami dalam proses pembuatan mie, membantu distribusi yang merata antara air dan lemak, sehingga menciptakan tekstur mie yang kenyal dan lembut. Selain itu, telur memberikan nilai gizi tambahan pada mie, dengan protein, vitamin, dan mineral yang dapat meningkatkan profil nutrisi, membuat mie lebih bergizi (Zulhendri, 2014).

Dalam konteks kekuatan dan elastisitas adonan mie, telur berperan penting. Protein dalam telur membentuk jaringan gluten saat adonan diuleni, memberikan struktur dan kekuatan

(8)

pada mie. Gluten juga membantu mie tetap berbentuk selama proses pemasakan. Kandungan lecithin dalam telur berfungsi sebagai agen pengemulsi alami, membantu mencampurkan bahan yang sulit bercampur seperti air dan minyak, sehingga menghasilkan adonan yang lebih homogen (Wijaya, 2017).

2.5CMC dan STTP

CMC (carboxy methyl cellulose) merupakan molekul anionik yang mampu mencegah terjadinya pengendapan protein pada titik isoelektrik dan meningkatkan viskositas produk pangan, disebabkan bergabungnya gugus karboksil CMC dengan gugus muatan positif dari protein. Penggunaan Na-CMC sebagai derivat dari selulosa antara 0,01%-0,8% akan mempengaruhi produk pangan seperti jelli buah, sari buah, mayonaise dan lain-lain (Nisa dan Putri, 2014). Fungsi CMC adalah sebagai pengembang. Jumlah CMC yang ditambahkan untuk pembuatan mie antara 0.50-1% dari berat tepung terigu. Penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan tekstur mie yang terlalu keras. CMC dibuat dari selulosa yang dengan larutan NaOH, kemudian selulosa alkalis tersebut direaksikan dengan sodium monokloroasetat (Kurniawan et al., 2015).

Sedangkan STPP adalah salah satu produk turunan dari fosfat yang memiliki rumus molekul Na5P3O10 disebut juga dengan sodium triphosphate atau penta sodium tripolyphosphate. STPP merupakan kristal garam anorganik yang termasuk dalam kelompok fosfat terkondensasi. STPP berguna dalam produksi makanan dan kosmetik (Yulianti dan Cahyani, 2021). STPP merupakan bahan pengenyal yang berfungsi membentuk mie yang kenyal sehingga tidak mudah putus. Bahan ini umumnya menyerap air membentuk hidrokolid sehingga mie mengembang dan tidak mudah menyusut saat pemasakan. Bahan pengenyal yang aman digunakan dalam pembuatan mie misalnya. Penggunaan STPP umumnya sekitar 0.30% dari berat tepung. Penggunaan melebihi dosis akan menurunkan penampilan produk, yaitu terlalu kenyal seperti karet dan terasa pahit (Purnawijayanti, 2009).

Penambahan CMC dapat meningkatkan daya lekat dan kekuatan adonan, menghasilkan mie yang lebih kenyal dan tahan terhadap pemasakan. CMC dapat

(9)

membantu mempertahankan kelembaban mie, mencegahnya menjadi keras setelah dimasak. Sedangkan penambahan STPP dapat meningkatkan volume mie, memberikan tekstur yang lebih ringan dan kenyal. STPP juga dapat mempengaruhi kelembaban mie, membantu mempertahankan kualitas selama penyimpanan (Liandi dan Zubaidah, 2015).

BAB III

METODE PRAKTIKUM 3.1Bahan

(10)

Persiapan alat dan bahan

Pembuatan Mi Kering

Pengamatan

Pengolahan data

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum kali ini, yaitu terigu, tepung singkong, CMC, STTP, garam, telur, minyak, dan air.

3.2Alat

Adapun alat yang digunakan pada praktikum kali ini, yaitu neraca analitik, mixer, pin roller, pencetak mi, pisau, panci pengukus, kompor, dan cabinet dryer.

3.3Langkah Kerja

Adapun cara kerja yang dilakukan pada praktikum yang berjudul “Teknologi Pengolahan Mi Kering” ini sebagai berikut:

3.3.1 Tahapan Praktikum

3.3.2 Tahapan Penggorengan

*

* Bahan kering

Ditimbang sesuai fomula pada tabel 1

Dicampur bahan kering hingga homogen

Dicampur bahan basah dengan mixer hingga adonan kalis

(11)

BAB IV

Didiamkan adonan (t = 15 menit)

Dipipihkan adonan

Dipipihkan adonan

Dicetak mi dengan pencetak mi

Dikukus mi (t = 10 menit)

Dikeringkan dengan cabinet dryer (T = 550C, t = 5 jam)

Direbus mi hingga matang dan tiriskan Mi kering

Dilakukan analisis cooking quality

(12)

DATA DAN HASIL PENGAMATAN

4.1Data Hasil Pengamatan

Adapun data hasil pengamatan yang diperoleh pada praktikum “Teknologi Pengolahan Mi Kering” adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Formulasi Bahan Pembuatan Mi Kering

Bahan Formula 1 Formula 2

Tepung terigu 80 gram 70 gram

Tepung Singkong 20 gram 30 gram

Telur 23 gram 23 gram

CMC 0,5 gram 0,5 gram

STPP 0,5 gram 0,5 gram

Garam 1 gram 1 gram

Air 100 mL 100 mL

Minyak 15 mL 15 mL

Tabel 2. Data Hasil Pengamatan Mi Kering

No .

Sampel Cooking Time (menit)

Warna Aroma Rasa Tekstur Gambar Mi 1. Formula

1

20 menit

Lumayan Putih

Kurang keluar aromanya

Hambar Lebih lembut

2. Formula 2

20 menit

Sedikit coklat

Aroma tepungny

a lebih berasa

Tidak terlalu hambar

Kurang lembut

4.2Pembahasan

Pada praktikum kali ini, dilakukan proses pembuatan mi kering dengan menggunakan dua jenis tepung yang berbeda, yaitu tepung terigu dan tepung singkong. Mi kering didefinisikan sebagai mi dengan kadar air rendah,

(13)

sebagaimana dijelaskan oleh Faridah dan Widjanarko (2014), bahwa mi kering memiliki kadar air sekitar 8-10%, sehingga memungkinkan penyimpanan dalam jangka waktu yang panjang dengan daya tahan hingga sekitar 3 bulan. Sedangkan, menurut SNI 8217:2015, mi kering adalah produk yang terbuat dari bahan baku utama tepung terigu, dengan atau tanpa tambahan bahan pangan dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Proses pembuatannya melibatkan pencampuran, pengadukan, pencetakan lembaran (sheeting), pembuatan untaian (slitting), dengan atau tanpa pengukusan (steaming), dan pemotongan (cutting) untuk mendapatkan bentuk mie khas, yang selanjutnya dapat digoreng atau dikeringkan Berdasarkan literatur Maulana (2019), dalam proses pembuatan mi, komponen utama dari bahan dasarnya adalah kandungan protein tepung terigu, seperti gliadin dan glutenin. Kedua protein ini berperan penting dalam membentuk struktur mi, membentuk massa kenyal dan lengket yang terdiri dari gluten, yang bertanggung jawab atas elastisitas adonan. Mi dibuat dengan menggunakan terigu sebagai bahan dasar. Terigu berperan sebagai penyusun struktur, penyedia karbohidrat dan protein, serta pembentuk elastisitas melalui sifat kenyal gluten. Tepung terigu memiliki sifat yang mampu membentuk gluten, sehingga mi yang dihasilkan menjadi tidak mudah putus selama proses pencetakan dan pemasakan. Menurut Sutriyono et al. (2016), tepung terigu protein tinggi mengandung gluten baasar sekitar 33-39%.

Dalam praktikum ini digunakan 2 formula, yaitu pada formula 1 digunakan tepung terigu sebesar 89 gram dan tepung singkong 20 gram, sementara pada formula 2 digunakan 70 gram tepung terigu dan 30 gram tepung singkong.

Sedangkan, bahan tambahan lainnya yang digunakan tertuang dalam tabel 1.

Dalam proses pembuatan mi kering, langkah pertama yang dilakukan adalah mencampur bahan kering hingga homogen. Bahan kering yang digunakan terdiri dari tepung terigu, tepung singkong, CMC, STTP, dan garam. Menurut penjelasan dari Liandani dan Zubaidah (2015), proses pencampuran dan pengadukan memiliki tujuan untuk mencapai homogenitas dalam campuran bahan.

Penambahan bahan tambahan pangan seperti STTP, CMC, dan garam memiliki peran yang signifikan dalam tahap pembuatan mie. Menurut Purnawijayanti (2009), STTP berperan sebagai pengenyal yang membentuk mie

(14)

kenyal dan tahan putus karena kemampuannya menyerap air dan membentuk hidrokolid, mencegah penyusutan saat dimasak. Proporsi umum penggunaan STPP dalam tepung adalah sekitar 0.30% dari berat tepung. Sementara itu, penambahan CMC berfungsi sebagai pengembang mie, dengan jumlah yang ditambahkan berkisar antara 0.50-1% dari berat tepung terigu. Penggunaan CMC yang berlebihan dapat mengakibatkan tekstur mie yang keras. Kemudian, fungsi penambahan garam menurut Koswara (2009), yaitu garam memiliki peran dalam memberikan rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mi, serta mengikat air. Garam juga mampu menghambat aktivitas enzim protease dan amilase, sehingga mie tidak menjadi lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.

Setelah bahan kering tercampur, langkah selanjutnya adalah menambahkan bahan basah yang kemudian diaduk hingga homogen sampai mencapai kekalisan.

Konsep ini sejalan dengan pandangan Abidin dan Sipahutar (2022), yang menyatakan bahwa pengadukan dilakukan dengan tujuan mencapai kekalisan pada bahan yang digunakan. Bahan basah juga memiliki peran yang penting dalam proses pengolahan mi kering, dimana bahan basah tersebut terdiri dari telur, air, dan minyak. Menurut Widiyaningtias dan Susanto (2015), peran air dalam proses pembuatan mie adalah sebagai medium reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan garam, serta membentuk sifat kenyal pada gluten. Dalam proses pembuatan mi, disarankan menggunakan air yang memiliki pH antara 6 hingga 9. Selain air, minyak juga menjadi tambahan dalam pembuatan mi.

Menurut Kusnandar (2019), penambahan minyak ke dalam adonan mi kering bertujuan untuk melapisi adonan agar tidak saling menempel. Selanjutnya, telur juga menjadi bahan tambahan dalam pembuatan mi. Dalam literatur Koswara (2009), dijelaskan bahwa putih telur menghasilkan lapisan tipis dan kuat pada permukaan mie. Selain itu, lecitin pada kuning telur berperan sebagai pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada tepung, dan memiliki sifat untuk mengembangkan adonan.

Setelah semua bahan tercampur, kemudian adonan didiamkan selama 15 menit. Dalam literatur Setiyoko et al. (2018), dijelaskan bahwa proses pendiaman (resting) bertujuan untuk memungkinkan penyebaran air dan pembentukan gluten,

(15)

sehingga menghasilkan adonan yang lebih halus, lembut, dan ekstensibel. Setelah didiamkan selama 15 menit, langkah selanjutnya adalah meratakan adonan atau pelempengan dengan menggunakan pin roller hingga setebal ±2 mm. Literatur Koswara (2009), menyatakan bahwa proses ini menghasilkan serat gluten yang halus dan ekstensibel. Dalam literatur Halwan dan Fithri (2015), juga dijelaskan bahwa proses pelempengan bertujuan untuk mempermudah proses gelatinisasi pati yang terjadi selama proses pengukusan. Selain itu, tujuan dari pelempengan adalah untuk menghasilkan adonan yang dapat diubah menjadi lembaran, sehingga siap untuk dipotong menjadi bentuk khas mie. Setelah pemipihan selesai, tahap berikutnya adalah mencetak mie menggunakan alat pencetak, tujuannya adalah menciptakan bentuk mie yang seragam. Menurut Utami dan Rima (2021), tujuan dilakukannya pencetakan pada mi adalah untuk membentuk lembaran adonan, meningkatkan daya rentang, meratakan adonan, dan membentuk lembaran mie. Selain itu, menurut Halwan dan Fithri (2015), proses pencetakan dapat mempermudah transfer panas yang dapat mempercepat gelatinisasi adonan ketika sedang dikukus.

Setelah dilakukan proses pencetakan mi, langkah selanjutnya adalah pengukusan mi dengan menggunakan panci pengukus selama 10 menit. Tujuan dilakukannya proses pengukusan menurut Utami dan Rima (2021), yaitu untuk mempercepat proses gelatinisasi untuk membantu pembentukan tekstur mi, selain itu juga untuk menghasilkan adonan yang keras dan kuat. Setelah proses pengukusan selesai, kemudian dilakukan proses pengeringan menggunakan cabinet dryer dengan suhu 55°C selama 5 jam. Dalam literatur Halwan dan Fithri (2015), dijelaskan bahwa proses pengeringan memiliki tujuan untuk mengurangi kadar air hingga batas tertentu sehingga mikroba tidak dapat berkembang dalam bahan pangan.

Setelah proses pengeringan selesai dan dihasilkan mi kering, kemudian dilakukan proses pemasakan dengan cara perebusan. Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap produk mi. Hasil analisis tertuang dalam tabel 2, dimana pada data tersebut menunjukkan bahwa terdapat persamaan terhadap waktu pematang mi (cooking time) yaitu 20 menit, namun terdapat perbedaan pada beberapa parameter sensori, seperti warna, aroma, rasa, dan tekstur. Pada parameter warna,

(16)

formula 2 memiliki warna lebih gelap atau kuning jika dibandingkan dengan formula 2. Warna pada formula 2 yang lebih gelap atau kuning dipengaruhi oleh subtitusi tepung singkong yang lebih banyak dibandingkan pada formula 1.

Seperti yang diketahui bahwa tepung singkong memiliki warna yang lebih kuning jika dibandingkan dengan tepung terigu. Artinya, semakin banyak penambahan tepung singkon pada pengolahan mi, maka warna yang dihasilkan akan lebih gelap atau kuning. Hal ini dikarenakan dalam singkong mengandung suatu senyawa yang memberikan warna kuning pada singkong. Seperti yang disebutkan dalam literatur Diputra et al. (2021), bahwa tepung singkong yang dibuat dari singkong kuning memiliki kandungan protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, dan pro vitamin A dalam bentuk beta karoten. Beta karoten memberikan warna kuning oranye pada singkong. yang dibuat dari singkong kuning memiliki kandungan protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, dan pro vitamin A dalam bentuk beta karoten. Beta karoten memberikan warna kuning oranye pada singkong. Dalam literatur Biyumna et al. (2017), disebutkan bahwa tepung terigu memiliki nilai kecerahan warna yang cukup tinggi, yaitu sebesar 74.97.

Pada parameter aroma, formula 2 menghasilkan mi dengan aroma yang lebih kuat jika dibandingkan dengan formula 1. Kemudian, pada parameter rasa menunjukkan bahwa pada formula 1 menghasilkan rasa yang lebih hambar jika dibandingkan dengan formula 2. Hal ini disebabkan oleh penambahan tepung singkong yang lebih banyak pada formula 2, sehingga menghasilkan mi dengan aroma dan rasa yang lebih enak dibandingkan formula 1. Sehingga, dapat diartikan bahwa semakin banyak penambahan tepung singkong pada pembuatan mi, maka akan semakin kuat aroma dan rasa yang dihasilkan. Tepung singkong menghasilkan mi dengan aroma dan rasa yang khas dikarenakan terdapat kandungan pati pada tepung singkong. Hal ini diperkuat oleh literatur Natasasmita et al. (2023), kandungan pati dalam tepung menghasilkan aroma khas yang diyakini berasal dari amilosa yang terdapat dalam tepung tersebut. Tepung berbahan dasar singkong memiliki kandungan amilopektin yang tinggi, sehingga ketika penggunaan jumlah tepung semakin banyak dan adanya proses pemanasan, maka menimbulkan aroma tepung yang khas dan sedap. Selain itu, pati dalam

(17)

tepung juga memberikan rasa yang khusus. Semakin tinggi jumlah substitusinya, maka semakin tinggi rasa tepung yang ditimbulkan.

Terakhir, pada parameter tekstur menunjukkan bahwa formula 1 menghasilkan tekstur mi yang lebih lembut dibandingkan dengan formula 2.

Artinya, semakin sedikit penambahan tepung singkong dalam pembuatan mi, maka semakin lembut tekstur mi yang dihasilkan. Berdasarkan literatur Umri et al. (2017), tekstur mi dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yakni kandungan protein gluten dan amilosa. Kehadiran gluten memiliki peran signifikan dalam menciptakan tekstur kenyal pada mie yang masih basah. Ini disebabkan oleh kemampuan matriks gluten dalam membentuk ikatan yang lebih rapat antar granula pati, menghasilkan gel pati yang lebih kokoh dan mampu menahan tarikan. Disebutkan dalam literatur Hardoko et al. (2020), bahwa kandungan amilosa dalam tepung terigu lebih tinggi dibandingkan dengan tepung singkong, yakni mencapai 25%, sedangkan pada tepung singkong kandungannya hanya sekitar 16.24%. Oleh karena itu, peningkatan substitusi tepung singkong menyebabkan penurunan kandungan amilosa dalam mi, yang pada gilirannya melemahkan ikatan hidrogen dan mengurangi kemampuannya untuk menahan air secara optimal.

Tekstur pada mi juga dapat dipengaruhi oleh waktu pemasakan atau perebusannya. Tesktur mi berhubungan dengan kemampuan daya serap air adonan mi pada saat direbus. Semakin baik daya serapnya, maka semakin lembut tekstur yang dihasilkan. Dimana, daya serap mi dipengaruhi oleh tingkat kandungan protein yang terkandung didalamnya. Hal ini diperkuat oleh literatur Nurrohkhayati et al. (2020), yang menyatakan bahwa Semakin tinggi kadar protein dalam mi, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk merebusnya. Mi yang dapat mengembang adalah jenis mie yang memiliki kemampuan menyerap air tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa mi formula 1 memiliki kandungan protein lebih tinggi dibandingkan dengan mi dengan formula 2. Artinya, tepung terigu memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung singkong. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fadillah et al. (2020), kadar protein mempunyai korelasi yang erat dengan kadar glutein, tepung terigu merupakan hasil ekstraksi dari bagian dalam biji gandum yang disebut

(18)

endosperm. Dibandingkan dengan jenis tepung lainnya, tepung terigu memiliki kandungan gluten paling tinggi. Proporsi gluten dalam tepung terigu mencapai sekitar 80% dari total protein yang terdapat dalam tepung tersebut. Sementara menurut Deviena et al. (2016), tepung singkong memiliki kandungan protein yang rendah.

BAB V

(19)

PENUTUP

5.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa pada proses pengolahan mi kering melibatkan beberapa tahapan, antara lain pencampuran bahan kering, penambahan bahan basah, pencetakan, pengukusan, pengeringan, dan perebusan. Bahan tambahan seperti STTP, CMC, garam, telur, air, dan minyak memiliki peran khusus dalam membentuk tekstur dan rasa mi kering.

Proses pendiaman bertujuan untuk pembentukan gluten, sedangkan pelempengan membantu proses gelatinisasi pati. Pencetakan mi kering bertujuan untuk membentuk lembaran adonan yang seragam, sementara pengukusan mempercepat proses gelatinisasi dan pembentukan tekstur mi. Proses pengeringan bertujuan mengurangi kadar air untuk mencegah pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Hasil praktikum menunjukkan bahwa penambahan tepung terigu dan tepung singkong dalam pembuatan mi mempengaruhi karakteristik cooking quality mi kering yang dihasilkan dengan waktu perebusan selama 20 menit.

Perbedaan karakteristik cooking quality mi kering dipengaruhi oleh jumlah penambahan tepung singkong pada proses pengolahan. Semakin banyak tepung singkong yang ditambahkan, maka menghasilkan mi dengan karakteristik yang lebih baik dari segi warna, aroma, dan rasa. Namun pada karakteristik tekstur, semakin sedikit penambahan tepung singkong, menghasilkan tekstur yang lebih lembut.

5.2Saran

Pada saat pelaksanaan pratikum, praktikan harus berhati-hati ketika melaksanakan praktikum. Selain itu, praktikan harus memperhatikan alat-alat yang ada disekitar agar tidak terjadi kecelakaan kerja.

DAFTAR PUSTAKA

(20)

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2015. Mi Kering: SNI 8217-2015. BSN.

Jakarta.

Abidin, Z., dan Sipahutar, Y. H. 2022. Proses Pengolahan Mie Kering Rumput Laut Gracilaria sp. di CV KG Makassar. Prosiding Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan. Vol. 9:49-58.

Ariani, R., P., Hemy, I., A., P., E., dan Luh, M. 2016. Pemanfaatan Tepung Singkong Sebagai Substitusi Terigu Untuk Variasi Cake. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. Vol. 5(1): 717- 731.

Biyuma, U., L., Wiwik, S., W., dan Nurud, D. 2017. Karakteristik Mie Kering Terbuat Dari Tepung Sukun (Artocarpus altilis) dan Penambahan Telur.

Jurnal Agroteknologi. Vol. 11(1): 23-35.

Deviena, S., A., Rudiati, E., M., dan Eng, K., T. 2016. Uji Fisik dan Kimiawi Serta Klasifikasi Aroma Berbagai Jenis Tepung Singkong Menggunakan Electronic nose. Skripsi.

Teknik Pertanian, Universitas Gadjah Mada.

Diniyah, N., Setiawati, D., Windrati, W. S., dan Subagio, A. 2017. Karakteristik Mie Mojang (Mocaf-Jagung) Dengan Perbedaan Jenis Dan Konsentrasi Bahan Pengikat. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian. Vol. 14(2) : 98- 107.

Diputra, I., M., A., Putu, T., I., dan Gusti, A., K., D., P. 2021. Pengaruh Perbandingan Tepung Singkong (Manihot esculenta Cranz) Dan Puree Wortel (Daucus carota L) Terhadap Karakteristik Kue Stik. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. Vol. 10(2): 315-323.

Effendi, Z., Fitri, E., D., S., dan Yosi, S. 2016. Sifat Fisik Mie Basah Berbahan Dasar Tepung Komposit Kentang dan Tapioka. Jurnal Agroindustri. Vol.

6(2): 57-64.

Fadillah, A., F., Amir, M., dan Anggi, A. 2020. Formulasi Roti Berbahan Tepung Singkong dan Tepung Kacang Merah dengan Penambahan Xanthan Gum sebagai Pengganti Gluten. Prosiding Farmasi. Vol. 6(2): 81-87.

Faridah, A., dan Widjanarko, S. B. 2014. Penambahan Tepung Porang Pada Pembuatan Mi Dengan Substitusi Tepung Mocaf (Modified Cassava Flour). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol 25(1): 18-24.

Halwan, C., A., dan Fithri, C., N. 2015. Pembuatan Mie Kering Gembili dan Bekatul (Kajian Proporsi Terigu: Gembili dan Penambahan Bekatul).

Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3(4): 1548-1559.

Hardoko, Priscillan, F., dan Titri, M., S. 2020. Substitusi Tepung Singkong Terhadap Tepung Terigu Dan Penambahan Protein Dalam Pembuatan Mi Kering. Jurnal Sains dan Teknologi. Vol. 4(1): 46-63.

(21)

Hartono, T dan Isman. 2020. Kiat Sukses Menetaskan Telur Ayam. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Mie. Semarang: eBookPangan.com.

Koswara. 2013. Teknologi Modifikasi Pati. Ebook Pangan.com.

Kurniawan, A., Estiasih, T., dan Nugrahini, N. I. P. 2015. Mie Dari Umbi Garut (Maranta Arundinacea L). Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol 3(3).

Kusnandar, F. M. 2019. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta: bumi askara.

Liandani, W., dan Zubaidah, E. 2015. Formulasi Pembuatan Mie Instan Bekatul (Kajian Penambahan Tepung Bekatul Terhadap Karakteristik Mie Instan). Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol 3(1): 174-185.

Liandani, W., dan Zubaidah, E. 2015. Formulasi Pembuatan Mie Instan Bekatul (Kajian Penambahan Tepung Bekatul Terhadap Karakteristik Mie Instan).

Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol. 3(1) : 174-185.

Maulana, M., A. 2019. Inovasi Pembuatan Mie Kering Tepung Terigu Substitusi Tepung Garut (Maranta Arundinacea). Skripsi. Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.

Mulyadi, AF., Wignyanto., dan Anita NB. 2014. Pembuatan Mie Kering Kemangi (Ocimum Sanctum L.) Dengan Bahan Dasar Tepung Terigu Dan Tepung Mocaf (Modified Cassava Flour) (Kajian Jenis Perlakuan Dan Konsentrasi Kemangi). Prosiding Seminar Nasional 13 “Konsumsi Pangan Sehat dengan Gizi Seimbang Menuju Tubuh Sehat Bebas Penyakit”. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada.

Natasasmita, A., M., dan Bernatal, S., dan Yuliani. 2023. Pengaruh Substitusi Mocaf Terhadap Sifat Kimia dan Sensoris Boba. Journal of Tropical AgriFood. Vol. 5(1): 35-42.

Nurrohkayati, A., S., Binyamin, dan Muhammad, K. 2020. Identifikasi Pengaruh Takaran Bahan Dasar Terhadap Kualitas Mie Basah Berdasarkan Daya Serap Air Dan Metode Doe. Jurnal Ilmi Manuntung. Vol. 6(1): 143-149.

Purnawijayanti, H. A. 2009. Mie Sehat. Yogyakarta: Kanisius.

Purnawijayanti, H. A. 2009. Mie Sehat. Yogyakarta: Kanisius.

Setiyoko, A., Nugraeni, N., dan Hartutik, S. 2018. Karakteristik Mie Basah Dengan Substitusi Tepung Bengkuang Termodifikasi Heat Mositure Treatment (HMT). Jurnal Teknologi Pertanian Andalas. Vol. 22(2): 102- 110.

Sitompul, A. 2019. Pengaruh Substitusi Tepung Sukun Dan Penambahan Telur Ayam Kampung Terhadap Mutu Mie Basah. Wahana Inovasi. Vol. 8(2):

116-121.

Soekarto. 2015. Metode Penelitian Organoleptik. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.

(22)

Sumarlan, S., H, dan Dian, A., A. 2017. Identifikasi Jenis Tepung dengan Machine Vision Menggunakan Metode Artificial Neural Network (ANN). Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. Vol. 5(5): 163-169.

Suryatna, B. S. 2015. Peningkatan Kelembutan Tekstur Roti Melalui Fortifikasi Rumput Laut Euchema Cottoni. TEKNOBUGA: Jurnal Teknologi Busana dan Boga. Vol 2(2).

Sutomo, B. 2018. Sukses Wirausaha Jajan Pasar Favorit. Jakarta: Kriya Pustaka.

Sutriyono, A., Feri, K., dan Tjahja, M. 2016. Karakteristik Adonan dan Roti Tawar dengan Penambahan Enzim dan Asam Askorbat pada Tepung Terigu. Jurnal Mutu Pangan. Vol. 3(2): 103-110.

Umri, A., W., Nurrahman, Wikanastri, H. 2017. Kadar Protein, Tensile Strength, Dan Sifat Organoleptik Mie Basah Dengan Substitusi Tepung Mocaf.

Jurnal Agroindustri. Vol. 2(3):7-15.

Utami, D., dan Rima, A. 2021. Pengaruh Konsentrasi Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Lama Pengukusan terhadap Karakteristik Mie Instan Kelor. Journal of Tropical Food and Agroindustrial Technology.

Vol. 2(1).

Widyaningtyas, M., & Susanto, W. H. 2015. Pengaruh Jenis Dan Konsentrasi Hidrokoloid (Carboxy Methyl Cellulose, Xanthan Gum, Dan Karagenan).

Widyaningtyas, M., dan Susanto, H.W. 2015. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Hidrokoloid (Carboxy Methyl Cellulose, Xanthan Gum, dan Keragenan) Terhadap Karakteristik Mie Kering Berbasis Pasta Ubi Jalar Varietas Ase Kuning. Jurnal Pangan Dan Agroindustri. Vol 3(2): 417–423.

Wijaya, T. E. 2017. Kualitas Kimia Telur Ayam Ras yang Diawetkan Menggunakan Larutan Daun Melinjo dan Larutan Daun Salam dengan Lama Penyimpanan yang Berbeda. [Skripsi]. Riau: Fakultas Pertanian dan Peternakan, UIN SUSKA.

Yulianti, A dan Cahyani, S. F. 2021. Perancangan Pabrik Sodium Tripholyphospate Dari Asam Fosfat Dan Natrium Karbonat Dengan Proses Polikondensasi Kapasitas 50.000 ton/ Tahun. Jurnal Tugas Akhir Teknik Kimia. Vol. 4(2): 103-107.

Zulhendri. 2014. Mutu fisik telur ayam dengan pengolesan minyak kelapa sawitdan kelapa selama penyimpanan pada suhu kamar. [Skripsi]. Jurusan Ilmu Peternakan, Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru.

(23)

LAMPIRAN

Gambar 1. Disiapkan alat dan bahan

\

Gambar 2. Diaduk bahan kering dengan mixer

Gambar 3. Ditambahkan bahan basah

Gambar 4. Adonan di

resting Gambar 5. Adonan

diuleni Gambar 6. Adonan

dicetak

Gambar 7. Dikukus mie yang dicetak

Gambar 8. Dilakukan pengeringan pada mie

Gambar 9. Mie kering yang telah direbus

Gambar

Tabel 1. Formulasi Bahan Pembuatan Mi Kering
Tabel 2. Data Hasil Pengamatan Mi Kering

Referensi

Dokumen terkait

DAFTAR GAMBAR 1 Diagram alir pembuatan tepung kedelai (modifikasi Raji dan Famuwera 2008) 4 2 Prosedur pembuatan mi kering berindeks glikemik rendah berbasis

Bagaimana tingkat kesukaan remaja terhadap mi kering tepung terigu substitusi tepung ubi jalar kuning sebesar 20%, 30% dan 40% dengan penambahan tepung

Bagaimana kadar protein sus kering tepung mocaf dengan variasi jahe dan penambahan tepung kedelai2. Bagaimana tingkat kesukaan konsumen terhadap sus kering tepung mocaf dengan

Selanjutnya, pada penelitian pendahuluan telah dilakukan pembuatan mi kering dengan menggunakan 70% tepung terigu : 30% tepung talas, 70% Tepung Terigu : 30% tepung ampas

Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa mi kering dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan yaitu terigu, tepung kecambah jagung, dan rumput laut.. Perlakuan P1 dan P2 memiliki

Tepung terigu yang digunakan adalah tepung terigu protein tinggi, tepung tersebut mengandung lemak 0,95% lebih sedikit dibandingkan dengan hasil dari mi kering substitusi

Dari Tabel 4.8 ditunjukkan bahwa penggunaan tepung umbi suweg sebagai substitusi terigu dalam pembuatan mi kering memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap

Tujuan penelitian ini guna mengetahui pengaruh penggunaan tepung sukun dengan prosentase tepung terigu dan tepung sukun yang tepat dalam pembuatan mi kering yang