BAB 4
TEORI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL
Bab ini membahas secara rinci teori pertumbuhan ekonomi regional (regional economic growth theories). Teori pertumbuhan ekonomi regional merupakan bagian penting dalam analisis ekonomi regional. Alasannya jelas karena pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu unsur penentu utama dalam proses pembangunan daerah dan mempunyai implikasi kebijakan yang cukup luas. Sasaran utama teori pertumbuhan ekonomi regional ini adalah untuk menjelaskan mengapa suatu daerah dapat tumbuh cepat dan ada pula yang tumbuh lambat berikut faktor-faktor utama yang menentukannya. Di samping itu, teori pertumbuhan ekonomi regional ini juga dapat menjelaskan hubungan antara pembangunan ekonomi nasional dan ketimpangan antardaerah.
Berbeda dengan teori pertumbuhan ekonomi nasional yang terdapat dalam teori ekonomi makro (macroeconmics), teori pertumbuhan ekonomi regional ini menekankan perhatiannya pada pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu dan tidak pada suatu negara sebagaimana lazimnya pada analisis ekonomi makro. Di samping itu, teori pertumbuhan ekonomi regional memasukkan unsur lokasi dan daerah, Variasi potensi ekonomi daerah dan pengaruh daerah tetangga secara eksplisit ke dalam analisisnya sehingga kesimpulan yang dapat dihasilkan tentunya juga berbeda dibandingkan dengan teori pertumbuhan pada ekonomi makro.
A. Tujuan dan Manfaat Teori Pertumbuhan
Pengertian istilah regional (wilayah) yang dimaksudkan di sini adalah bagian dari suatu negara (sub-nation) yang di Indonesia dapat berbentuk sebagai provinsi, kabupaten atau kota.
Namun demikian, analisis pada dunia internasional ada juga yang menggunakan istilah regional tersebut dengan kelompok beberapa negara yang mempunyai kondisi, permasalahan dan tujuan yang sama seperti Uni Eropa, ASEAN, dan lain-lainnya.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sampai saat ini masih merupakan target utama dalam penyusunan rencana pembangunan nasional dan daerah di samping pembangunan fisik dan social. Sedangkan, target pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata sangat bervariasi sesuai dengan potensi ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing regional. Melalui pertumbuhan ekonomi daerah yang cukup tinggi diharapkan kesejahteraan masyarakat secara bertahap akan dapat pula ditingkatkan. Melalui pertumbuhan ekonomi daerah yang cukup tinggi diharapkan pula tingkat pengangguran dan kemiskinan akan dapat dikurangi sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat secara bertahap akan dapat pula ditingkatkan.
Perhatian terhadap pertumbuhan ekonomi regional semakin meningkat dalam era otonomi daerah dibandingkan dengan pada era sentralisasi pada zaman pemerintahan Orde
Baru. Hal ini cukup logis, karena dalam era otonomi tersebut masing-masing daerah diberikan wewenang dan alokasi keuangan daerah yang lebih besar sehingga setiap daerah dapat berlomba-lomba meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya guna mendorong perbaikan kemakmuran masyarakat setempat. Variasi pertumbuhan ekonomi daerah dan pola pembangunan daerah yang demikian tentunya akan dapat langsung memengaruhi kinerja pertumbuhan dan pembangunan ekonomi secara nasional.
Kemampuan suatu daerah untuk tumbuh secara cepat dan berkelanjutan sangat ditentukan oleh berbagai faktor ekonomi yang satu sama lainnya juga saling berkaitan. Faktor- faktor penentu pertumbuhan ekonomi regional tersebut perlu diketahui secara rinci berikut sifatsifatnya. Di samping itu, perlu pula diteliti seberapa besar pengaruh dan kontribusi dari masing-masing faktor penentu tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tertentu secara keseluruhan. Hasil anaisis ini nantinya akan sangat penting, artinya sebagai salah satu masukan bagi pemerintah daerah dan pihak terkait berwenang dalam merumuskan kebijakan pembangunan daerah atau menyusun rencana pembangunan untuk daerah bersangkutan.
Pemikiran tentang teori pertumbuhan ekonomi regional ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun lima puluhan lalu yang oleh Douglas C. North (1955) dan kemudian dilanjutkan oleh George H. Borts (1960). Pada saat itu, perhatian para ekonom terhadap analisis pertumbuhan ekonomi daerah mulai meningkat di dunia internasional. Tujuan utama teori ekonomi regional ini adalah untuk membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu regional. Teori pertumbuhan ekonomi regional ini juga bertujuan untuk membahas hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah dengan ketimpangan pembangunan antardaerah (regional economic disparity).
Hubungan ini dapat muncul dalam dua bentuk, yaitu;
1. Divergensi adalah suatu kondisi di mana pertumbuhan ekonomi akan cenderung meningkatkan ketimpangan ekonomi antardaerah.
2. Konvergensi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi daerah dapat mengurangi ketimpangan pembangunan ekonomi antardaerah.
Tentunya kondisi konvergensi akan lebih diinginkan, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat daerah bersangkutan, dibandingkan dengan kondisi divergensi karena aspek peningkatan pemerataan pembangunan ekonomi daerah juga merupakan unsur penting yang harus diupayakan dalam proses pembangunan daerah.
B. Model Pertumbuhan Ekonomi Regional
Sebegitu jauh, perkembangan ilmu ekonomi regional sampai saat ini menunjukkan bahwa secara umum terdapat enam model pertumbuhan yang cukup terkenal dan banyak diterapkan dalam praktik, Masing-masing model menggunakan variabel dan formulasi tersendiri sehingga menghasilkan analisis dan kesimpulan yang berbeda tentang faktor penentu
pertumbuhan ekonomi regional yang berbeda pula Dalam praktiknya, penerapan model-model ini dapat dilakukan secara terpisah dan utuh atau ada pula dalam bentuk penggabungan dan beberapa model pertumbuhan tertentu, tergantung dari kondisi dan visi pembangun daerah bersangkutan. Tentunya pemerintah daerah atau para pengaruhi kebijakan harus dapat memilih secara tepat, model mana yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang terdapat di daerahnya masing-masing sehingga sasaran pembangunan akan dapat dicapai secara lebih baik.
Berikut ini diuraikan ide pokok dan formulasi dari keenam model pertumbuhan ekonomi regional tersebut;
1. Model Basis Ekspor ([Export-Base Model)
Model ini mula-mula diperkenalkan oleh Douglas C. North pada tahun 1955 yang didasarkan pada hasil studinya pada beberapa negara bagian (states) di Amerika Serikat.
Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu daerah pada dasarnya ditentukan oleh besarnya nilai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Bila suatu daerah tertentu dapat mendorong pertumbuhan produksi sektor-sektor yang mempunyai keuntungan kompetitif sebagai basis untuk kegiatan ekspor maka pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan akan dapat meningkat cepat. Hal ini dapat terjadi karena peningkatan kegiatan ekspor tersebut akan memberikan dampak berganda (multiplier efect) yang cukup besar bagi perekonomian daerah bersangkutan.
Sebagaimana dikemukakan oleh John R Blair (1991), secara teoretis model basis ekspor ini dapat diformulasikan dengan menggunakan apa yang disebut sebagai Formal Income Model. Dalam model ini, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah dapat ditampilkan dalam bentuk persamaan berikut.
Y= C + MI - MO (4.1)
di mana Y adalah PDRB regional bersangkutan dengan harga konstan, C adalah konsumsi, MI menunjukkan arus uang masuk ke daerah bersangkutan karena adanya kegiatan ekspor dan M0 adalah arus uang keluar daerah bersangkutan karena melakukan kegiatan impor. Untuk kemudahan analisis, fungsi konsumsi dalam hal ini diasumsikan dalam bentuk persamaan garis lurus (linear equation) sehingga formulasinya dapat ditulis
C = A + bY (4.2)
di mana A adalah konstanta yang menunjukkan tingkat konsumsi minimum dan b adalah Marginal Propensity to Consume (MPC), yaitu tambahan konsumsi sebagai akibat peningkatan pendapatan. Mengingat pengusaha di negara berkembang umumnya sangat sedikit sekali yang melakukan penanaman modal di luar negeri dan hasilnya dibawa kembali ke daerah, maka ekspor dianggap merupakan satu-satunyq sumber yang
menyebabkan terjadinya arus pemasukan uang (inflow) dari luar negeri sehingga dapat ditulis
MI = E0 (4.3)
di mana MI adalah arus uang masuk (monetary inflow) ke daerah bersangkutan, sedangkan E0 adalah nilai ekspor yang dihasilkan oleh regional bersangkutan yang fluktuasinya ditentukan lebih banyak oleh faktor luar (exogenous), seperti harga dan permintaan di pasaran internasional. Selanjutnya, karena penanaman modal asing kebanyakan juga sangat terbatas pada suatu regional maka unsur impor merupakan satu-satunya sumber dari arus uang keluar Daerah l sehingga hubungan ini dapat ditulis
MO = iY (4.4)
di mana MO adalah arus uang keluar (monetary outflow) dari daerah bersangkutan.
Sedangkan i dan Y masing-masingnya adalah Marginal Propensity to Import (MPI) dan nilai PDRB daerah bersangkutan dengan menggunakan harga konstan. Selanjutnya, dengan memasukkan persamaan (4.2), (4.3) dan (4.4) kedalam persamaan (4.1), dapat diperoleh persamaan berikut.
Y = A + bY + E0 –iY (4.5)
atau
Y = [1 / (1 - b + i)] (A + E0 )
Karena pembahasan pada bab ini berkaitan dengan aspek pertumbuhanl yang merupakan peningkatan nilai tambah produksi barang-barang dan jasa maka persamaan (4.5) dapat dibuat dalam bentuk perubahan ( ∆ ) sebagai berikut.
∆ Y=[1/(1−b+i)]∆ E0
atau
∆ Y=k ∆ Eo (4.6)
dimana k = 1/(1 – b + i) merupakan koefisien multiplier yang dapat memperlihatkan efek berganda dari perubahan ekspor terhadap kegiatan perekonomian daerah bersangkutan.
2. Model Interregional Income
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam suatu negara biasanya terdapat banyak daerah, baik dalam bentuk provinsi (states) atau kabupaten dan kota (counties or cities) yang dibentuk berdasarkan hierarki pemerintahan. Jumlah daerah ini dapat berubah antar waktu bila terjadi pemekaran atau pengabung daerah. Sebagaimana halnya di Indonesia,
dewasa ini terdapat 34 provinsi yang masing-masingnya terbagi atas kabupaten dan kota. Masing-masing daerah tersebut berinteraksi satu sama lainnya secara bebas sehingga pembangunan suatu daerah juga dipengaruhi oleh daerah lainnya, baik melalui proses perdagangan antardaerah dan mobilitas faktor produksi.
Untuk dapat mengakomodasi struktur administrasi daerah sebagaimana dijelaskan di atas maka perlu pula dilakukan perluasan terhadap model basis ekspor. Perluasan dari model basis ekspor ini dapat dilakukan dengan memasukkan unsur hubungan dan interaksi ekonomi antardaerah yang dikenal sebagai Model Ekonomi Antardaerah (Interregional Income Model) yang dikembangkan oleh Harry W. Richardson (1978).
Berbeda dengan model basis ekspor yang mengasumsikan ekspor dan perdagangan antardaerah sebagai unsur di luar model (exogenous variable) maka dalam model interregional ini, ekspor dan perdagangan antardaerah diasumsikan sebagai faktor yang berada dalam sistem perekonomian daerah bersangkutan (endogeneous variable) yang fluktuasinya ditentukan oleh perkembangan kegiatan perdagangan antardaerah.
Selanjutnya, kegiatan perdagangan antardaerah tersebut dibagi atas barang konsumsi dan barang modal (investasi). Di samping itu, agar analisis menjadi lebih realistis maka pada model antardaerah dalam teori dimasukkan juga unsur pemerintah daerah yang ditampilkan dalam bentuk penerimaan (Government Revenue), baik dalam bentuk pajak daerah dan dana perimbangan (Regional Transfers) dan pengeluaran pemerintah daerah (Government Expenditures), baik keperluan konsumsi dan investasi pemerintah daerah bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut, unsur mobilitas investasi antardaerah juga turut diperhitungkan sesuai dengan prinsip Teori ekonomi Keynes.
3. Model Shift-Share
Model Shift-Share adalah salah satu bentuk analisis pertumbuhan ekonomi regional yang juga bertujuan untuk mengetahui faktor penentu pertumbuhan ekonomi pada regional tersebut. Analisis shift-share dewasa ini telah merupakan model pertumbuhan yang cukup populer dalam ilmu ekonomi regional karena dapat mengidentifikasi peranan ekonomi nasional dan kekhususan daerah bersangkutan terhadap pertumbuhan ekonomi regional bersangkutan. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa kedua unsur ini merupakan aspek penting dalam ilmu ekonomi regional.
Model Pertumbuhan Shift-Share pada dasarnya merupakan Penguraian (decomposition) secara matematis dari peningkatan nilai tambah yang melambangkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada regional bersangkutan dalam periode tertentu. Melalui penguraian matematis tersebut akan dapat diidentifikasikan faktor-faktor utama yang menentukan proses pertumbuhan ekonomi pada daerah bersangkutan. Dengan diketahuinya faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi regional tersebut maka hal ini akan dapat pula dijadikan dasar utama untuk perumusan strategi dan kebijakan
pembangunan yang diperlukan untuk mendorong proses pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah tertentu.
Mengikuti Blair (1991), formulasi analisis shift-share ini dengan menggunakan perhitungan matematika sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut.
Yt/Y0 (Yit/Yi0)−¿
∑
i=1 n∆ y1=
∑
i=1 n
yi0
[ (YY0t−1) ]
+∑
i=1n yi0¿)]
+∑
i=1n
yi0¿ ¿ (4.03)
dimana:
∆ y1=¿ peningkatan nilai tambah sektor i ;
yi0=¿ nilai tambah sektor i di tingkat daerah pada awal periode;
yit=¿ nilai tambahan sektor 2' di tingkat daerah pada akhir periode;
Yi0
=¿ nilai tambahan sektor i di tingkat nasional pada awal periode;
Yit
=¿ nilai tambahan sektor i di tingkat nasional pada akhir periode.
Persamaan (4.03) menunjukkan bahwa peningkatan produksi atau nilai tambah suatu sektor di tingkat daerah dapat diuraikan (decompose) atas tiga bagian.
Bagian pertama pada sisi kiri persamaan tersebut, yaitu
a. Regional Share:
∑
i=1 n
yi0
[ (YYt0−1) ]
merupakan komponen pertumbuhan
ekonomi daerah yang disebabkan oleh faktor luar, yaitu peningkatan kegiatan
ekonomi daerah akibat kebijaksanaan nasional yang berlaku pada seluruh
daerah.
b. Proportionality Shift (Mixed Shift):
Y Yt/Y0 (¿¿it/Yi0)−¿
¿
∑
i=1 nyi0¿
)] adalah komponen
pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan oleh struktur ekonomi daerah yang baik, yaitu berspesialisasi pada sektor yang pertumbuhannya cepat seperti sektor industri.
c. Differential Shift (Competitive Shift):
∑
i=1 n
yi0¿ ¿ adalah komponen pertumbuhan ekonomi daerah karena kondisi spesifik daerah yang bersifat kompetitif. Unsur pertumbuhan nilai yang merupakan keuntungan kompetitif daerah yang dapat mendorong pertumbuhan ekspor daerah bersangkutan.
Dengan menghitung persamaan (4.03) akan dapat diketahui komponen atau unsur pertumbuhan mana yang telah berperan terhadap pertumbuhan ekonomi regional bersangkutan. Nilai masingmasing komponen dapat saja negatif atau positif, tetapi jumlah keseluruhan akan selalu positif bila pertumbuhan ekonomi juga positif. Demikian pula sebaliknya, bila ekonomi daerah tumbuh negatif seperti halnya terjadi pada tahun 1998 di Indonesia, pada waktu terjadinya puncak krisis ekonomi nasional.
Selanjutnya, untuk memudahkan menarik kesimpulan, nilai masing-masing komponen tersebut dapat dijadikan dalam bentuk persentase. Sebagaimana halnya dengan model pertumbuhan ekonomi regional lainnya, analisis shifi-share ini juga mempunyai beberapa kelemahan . Sebagaimana diungkapkan oleh Stimson, Robert, Roger R. Slough dan Brian H. Robert (2006). Kelemahan tersebut antara lain :
a. Perubahan dalam struktur industry pada tingkat nasional juga memengaruhi pertumbuhan ekonomi regional dan hal ini tidak diperhitungkan dalam analisis shift share
b. Hasil perhitungan analisis shift share ini sangat sensitive terhadap waku, tingkat pengelompokan sector dan regional yang dilakukan
c. Analisis tidak dapat memberikan informasi tentang kemampuan regional bersangkutan dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi di masa yang akan dating.
4. Model Neo-klasik Spasial
Model ini dipelopori oleh George H. Bort (1960) dengan mendasarkan analisisnya pada Teori Pertumbuhan Sollow (1957). Menurut model ini, pertumbuhan ekonomi suatu regional akan sangat ditentukan oleh kemampuan regional tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya. Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi daerah yang bersangkutan, tetapi jnga ditentukan pula oleh mobilitas tenaga kerja dan mobilitas modal antardaerah yang terjadi karena perbedaan upah dan hasil pengembalian investasi antardaerah.
Karena kunci utama pertumbuhan ekonomi daerah adalah peningkatan kegiatan produksi, maka mengikuti Richardson (1978), model neoklasik ini dapat diformulasikan mulai dari fungsi produksi. Dengan menganggap bahwa fungsi produksi adalah dalam bentuk Cobb Douglas, maka dapat ditulis
Y=A KαLβ, α+β=1 (4.04)
Di mana Y melambangkan PDRB, K dan L masing-masingnya adalah modal dan tenaga kerja. Karena analisis menyangkut pertumbuhan, maka semua variabel dianggap adalah fungsi waktu (t). Dengan mengambil turunan matematika persamaan (4.04) terhadap variabel t dapat pula diperoleh persamaan berikut ini.
y=a+αk+(1−α)l (4.05)
Di mana y = dY/dt menunjukkan peningkatan nilai PDRB (pertumbuhan ekonomi), a=
dA/dt adalah perubahan teknologi produksi secara netral (neutral technical change), k = dK/dt menunjukkan penambahan modal (investasi), l = dL/dt dan menunjukkan penambahan jumlah dan kualitas tenaga kerja. Persamaan (4.05) memberikan kesimpulan pertama yang sangat penting dari model neoklasik, yaitu pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu kemajuan teknologi (a);
penambahan modal atau investasi (k) dan peningkatan jumlah; dan kualitas tenaga kerja (1).
Sampai di sini pembahasan baru dilakukan tanpa memasukkan unsur regional (space- less) sebagaimana yang lazim dilakukan dari analisis teori pertumbuhan dalam teori ekonomi makro. Akan tetapi, ciri utama teori pertumbuhan ekonomi regional justru adalah adanya unsur regional di dalamnya sehingga analisis ini perlu dilanjutkan dengan memasukkan unsur regional tersebut. Unsur regional dapat dimasukkan dalam teori pertumbuhan dalam bentuk mobilitas tenaga kerja dan modal yang terjadi karena adanya perbedaan tingkat pengembalian modal dan upah antardaerah.
Bila aspek regional dimasukkan ke dalam analisis ini maka Peningkatan modal di suatu daerah tidak hanya berasal dari tabungan di daerah bersangkutan saja, tetapi juga berasal dari modal yang masuk dari luar daerah. Kenyataan ini dapat diformulasikan sebagai berikut:
ki=(si vi)±
∑
j=1 n
kji (4.06)
di mana si adalah Marginal Propensity to Save (MPS) di daerah i, vi adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR) daerah i. Sedangkan kji adalah jumlah modal yang masuk dari daerah lain ke daerah i. Tanda positif dan negatif berarti modal dapat masuk (+) atau keluar (-) dari daerah bersangkutan
Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari neo-klasik dan kemudian dikenal sebagai Hipotesis Neo-klasik yang digambarkan oleh Grafik 4.1. Karena kesimpulan ini masih bersifat hipotesis, yang selanjutnya perlu dilakukan pengetesan lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh kesimpulan ini sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada suatu perekonomian suatu negara.
Sesuai dengan kesimpulan ini, hipotesis yang dapat ditarik untuk kEgiatan penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, kemajuan teknologi. peningkatan investasi dan peningkatan jumlah dan tenaga kerja suatu regional berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi regional yang bersangkutan. Kedua, menurunkan ketimpangan.
Pada permulaan proses pembangunan ketimpangan regional cenderung meningkat, tetapi setelah titik maksimum bila pembangunan terus dilanjutkan ketimpangan pembangunan antardaerah akan berkurang sendirinya.
5. Model Penyebab Berkumulatif
Model penyebab berkumulatif (cumulative causation Model) ini pertama dikemukakan oleh Nikolas Kaldor yang merupakan kritik terhadap model neo-klasik. Model penyebab berkumulatlf tidak percaya pemerataan pembangunan antardaerah akan dapat dlcapal dengan sendirinya berdasarkan mekanisme pasar. Menurut model lnl, ketimpangan pembangunan daerah hanya akan dapat dikurangi melalui program pemerintah yang secara intensif memang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antardaerah.
Apabila upaya tersebut hanya diserahkan pada mekanisme pasar maka ketimpangan ekonomi antardaerah diperkirakan akan tetap terus meningkat seiring dengan peningkatan proses pembangunan ekonomi nasional. Richardson (1978) kemudian mencoba memformulasikan argumentasi model penyebab berkumulatif ini secara sederhana dengan menggunakan persamaan linear. Formulasi model ini dimulai dengan adanya hubungan positif antara peningkatan produktivitas, r, dengan peningkatan produksi regional (PDRB), y, yang mewakili pertumbuhan ekonomi regional, sebagai berikut.
r=α+βy (4.06)
di mana α dan β adalah konstanta. Persamaan (4.06) ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas terjadi karena peningkatan kegiatan ekonomi pada daerah yang bersangkutan dan demikian pula sebaliknya bila terjadi penurunan tingkat produktivitas. Hubungan in! terjadi karena dilandasi oleh adanya keuntungan aglomerasi dan increasing return to scale yang akan semakin besar bila terjadi peningkatan kegiatan produksi di daerah. Di sini koeflsien β dinamakan sebagai Verdoom Coefficient sesuai dengan nama ahli yang mula-mula membuat persamaan ini.
Analisis ini dapat dipresentasikan melalui grafik dibawah ini:
“Titik keseimbangan tercapai pada titik E di mana kurva G berpotongan dengan garis bantu 45°. Sebelum titik keseimbangan kurva G berada di bawah garis bantu 45° yang berarti sudutnya, g<l dan h<0 pertumbuhan ekonomi daerah tidak berkumulatif sehingga ketimpangan ekonomi daerah cenderung mengecil (convergence). Akan tetapi di atas titik E. g>1 dan h>0, maka pertumbuhan ekonomi daerah berkumulatit sehingga ketimpangan cenderung melebar (divergence).”
Hipotesis yang dapat ditarik dari model penyebab berkumulatif ini untuk kegiatan penelitian, antara lain bahwa terdapat prose, pertumbuhan yang berkumulatif sehingga pengurangan ketimpangan regional tidak dapat diserahkan kepada pasar, tetapi melalui kebijakan pemerintah yang intensif. Dengan demikian, hipotesis yang dapat ditarik dari model ini untuk penelitian antara lain menyangkut dengan tendensi ketimpangan pembangunan antardaerah, yaitu apakah bersifat menurun atau meningkat.
6. Model Kota dan Desa
Model kota dan desa (center- pheriphery model) adalah suatu bentuk teori pertumbuhan ekonomi regional yang dipelopori oleh Gumal Mirdal (1956). Model ini berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan sangat ditentukan oleh adanya sinergi yang kuat antara kegiatan ekonomi daerah pedesaan (rural) dengan kegiatan daerah perkotaan (urban). Sebagaimana diketahui bahwa umumnya daerah pedesaan kebanyakan merupakan daerah pertanian, sedangkan daerah perkotaan didominasi
oleh kegiatan industri, perdagangan, dan jasa. Keterkaitan ini muncul karena pada umumnya bahan baku sektor industri berasal dari sektor pertanian dalam arti luas yang meliputi subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan sektor perdagangan yang sebagian besar masih berbentuk komoditi pertanian.
Sinergi pembangunan antara daerah pedesaan dan perkotaan tersebut akan dapat diwujudkan bilamana terdapat keterkaitan yang erat antara kegiatan ekonomi pada kedua daerah tersebut. Keterkaitan ini biasanya dapat dikembangkan melalui hubungan input (backward linkages) dan hubungan output (forward linkages) antara kegiatan terkait.
Ini berarti bahwa sinergi pembangunan antara daerah pedesaan dan perkotaan akan dapat diwujudkan dan dimanfaatkan bilamana hasil produksi sektor pertanian di daerah pedesaan sebagian besar digunakan oleh kegiatan industri, perdagangan dan jasa pada daerah perkotaan terkait. Sedangkan hasil produksi daerah perkotaan sebagian besar dimanfaatkan oleh daerah pedesaan terkait.
Keterkaitan antara daerah perkotaan dan pedesaan secara sederhana dapat dilakukan menggunakan teknik korelasi atau regresi antara nilai PDRB daerah perkotaan dengan daerah kabupaten sebagai proxy kegiatan ekonomi daerah pedesaan. Alternatif lain adalah dengan menggunakan teknik gravitasi dengan menggunakan penduduk daerah perkotaan dan penduduk daerah kabupaten sebagai data dasar untuk keperluan perhitungan. Di lain pihak keterkaitan ekonomi antara daerah pedesaan dan perkotaan tersebut akan dapat pula mendorong terwujudnya apa disebut oleh Mirdal sebagai Efek Rembesan (Trickling-down Effect). Melalui proses ini, pemerataan pembangunan antara daerah pedesaan dan perkotaan akan dapat pula diperbaiki sehingga kemakmuran masyarakat secara keseluruhan akan dapat pula ditingkatkan.
C. Penerapan Teri Pertumbuhan Ekonomi Regional
Dengan tersedianya beberapa alternatif model pertumbuhan regional ini maka perencana atau pemerintah daerah akan dapat memilih model yang sesuai dengan visi dan misi kepala daerah setempat dan orientasi pembangunan yang akan diterapkan. Dalam hal ini, para pengambil keputusan dan para perencana daerah harus mampu memilih model pertumbuhan yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan pembangunan yang terdapat di daerahnya masing-masing. Di samping itu, kualitas data statistik yang tersedia harus pula dipertimbangkan dalam memilih model yang akan digunakan agar supaya kebutuhan data Yang diperlukan dalam penerapan model pertumbuhan tersebut dapat terpenuhi.
Pemilihan model pertumbuhan ekonomi regional yang akan diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan nasional dan daerah dipengaruhi oleh dua hal utama. Pertama, adalah orientasi pembangunan nasional suatu negara. Sejarah berdirinya suatu bangsa, latar belakang politik, serta pemikiran para pemimpinan nagara serta para elite politik Sangat memengaruhi orientasi
pembangunan suatu negara Bilamana Orientasi pembangunan suatu negara cenderung ke arah penerapan sistem ekonomi liberal (mekanisme pasar), maka teori pertumbuhan h(BO-klasik diperkirakan akan lebih sesuai diterapkan. Akan tetapi bilamana orientasi pembangunan nasional lebih banyak diarahkan kepada sistem ekonomi sosialis di mana campur tangan pemerintah sangat dominan maka teori pertumbuhan penyebab berkumulatif yang didasarkan atas Teori Ekonomi Keynes diperkirakan akan lebih sesuai.
Kedua, kondisi geografis dan struktur ekonomi daerah juga turut memengaruhi pemilihan jenis teori pertumbuhan yang akan diterapkan. Bilamana kondisi geografis dan struktur ekonomi daerah sangat bervariasi sebagaimana yang dialami oleh Indonesia yang terkenal dengan julukan
“Bhineka Tunggal Ika” maka teori pertumbuhan ekonomi regional yang diperkirakan akan lebih cocok untuk diterapkan adalah teori pertumbuhan export base dan atau teori pertumbuhan shiftshare. Alasannya adalah karena kedua teori ini dapat memanfaatkan keuntungan komperatif daerah dan potensi khusus daerah untuk mendorong proses perturnbuhan ekonomi regional.
Meskipun secara teoretis telah terdapat beberapa alternatif model pertumbuhan ekonomi regional yang dapat menghasilkan kesimpulan berbeda satu sama lainnya, akan tetapi dalam praktiknya tidak ada keharusan untuk menerapkan hanya salah satu saja dari model tersebut.
Ada kalanya dalam penerapan model tersebut dapat pula dilakukan penggabungan dari model-model yang telah ada, agar cakupan pembahasan dan faktor penentu pertumbuhan ekonomi yang digunakan menjadi lebih lengkap sesuai dengan potensi dan permasalahan yang terdapat pada daerah bersangkutan. Misalnya, walaupun suatu daerah pada dasarnya menggunakan model basis ekspor atau shift-share, namun demikian tidak tertutup kemungkinan dalam penerapan model tersebut dapat pula menggunakan variabel-variabel yang terdapat dalam model neo-klasik, seperti investasi, tenaga kerja dan kemajuan teknologi sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah apakah penggunaan model-model pertumbuhan secara tergabung tersebut tidak melanggar asumsi dasar dari model tersebut.