• Tidak ada hasil yang ditemukan

Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2

N/A
N/A
Fikrul Islamy

Academic year: 2024

Membagikan "Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2

Thermal fronts on Southwest Monsoon season on 2015 in the Savu Sea Based on Satellite Imagery Aqua - Terra Modis Level 2

Rizki Hanintyo1*), Fikrul Islamy1, Sri Hadianti1, Aldino Jusach1 dan R M Putra Mahardhika1

1Balai Penelitian dan Observasi Laut, Kementrian Kelautan & Perikanan

*)E-mail: ppdpi.kkp@gmail.com

ABSTRAK- Suhu permukaaan laut merupakan salah satu parameter perairan yang dapat digunakan

untuk identifikasi berbagai macam fenomena laut. Thermal front yaitu pertemuan dua massa air yang mempunyai perbedaan suhu yang ekstrim. Laut Sawu sebagai salah satu laut dengan produktifitas perairan yang tinggi sering menunjukkan aktifitas thermal front. Thermal front dideteksi dengan menggunakan analisis algoritma Single Edge Image Detection (SIED) dari Cayula Cornillon. Kajian dilakukan selama musim timur, yaitu bulan Juni hingga Agustus 2015. Hasil analisis data suhu yang dilakukan menghasilkan sebaran suhu dan front yang berbeda pada setiap bulannya. Kemunculan kejadian front terbanyak yaitu terjadi pada bulan Agustus, dengan sebaran suhu yang terlihat mempunyai kombinasi signifikan. Berdasarkan sebaran dan pencampuran suhu yang terjadi serta jumlah kejadian front yang berlangsung mengindikasikan terjadinya proses upwelling. Upwelling akan mengangkat zat hara ke permukaan sehingga akan meningkatkan produktivitas primer perairan.

Kata kunci:Thermal front, Laut Sawu, Musim Timur

ABSTRACT- Sea surface temperature is one of the parameters that can be used to identify a wide

variety of marine phenomena. Thermal front is the meeting of two water masses that have extreme temperature differences. Savu Sea as one of the sea with high water productivity is often shown activity of thermal fronts. Thermal front detected using image analysis algorithms Single Edge Detection (SIED) of Cayula Cornillon. The study was conducted during the southwest monsoon, ie from June to August 2015. The results of the analysis of temperature data that do generate temperature distribution and the different fronts on a monthly basis. The emergence of the largest front incident that occurred in August, with a distribution that is seen to have a combination of temperature significantly. Based on the distribution and mixing temperature that occur as well as the number of events that took place front indicating an upwelling process. Upwelling will lift nutrients to the surface waters will increase primary productivity.

Keywords: Thermal front, Savu Sea, Southwest Monsoon

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu perairan yang istimewa karena diapit oleh dua perairan yang luas yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang memiliki karakteristik masin-masing yang berbeda. Posisi Indonesia juga terletak di antara garis ekuator yang memiliki iklim tropis dan radiasi matahari paling banyak diserap. Selain itu juga perairan Indonesia ini sangat unik karena adanya arus lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesian througflow. Ini merupakan keistimewaan sendiri karena arus laut Indonesia ini sebagai pertukaran antar samudera. Musim juga merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi parameter oseanografi di suatu perairan, dimana di Indonesia terjadi dua pola musim yaitu musim barat dan musim timur. Perubahan musim ini dapat mengakibatkan perubahan pola distribusi suhu, klorofil-a maupun salinitas (Wyrtki, 1961). SPL yang merupakan parameter oseanografi yang dapat diukur secara langsung melalui citra satelit seperti NOAA, Aqua/Terra, Landsat dan ASTER dapat digunakan sebagai indikator penentuan daerah penangkapan ikan (Hamzah, 2014). Front merupakan salah satu proses oseanografi yang berpengaruh

(3)

dkk)

terhadap kondisi fisika dan biologi perairan. Menurut Olson (1994) terdapat banyak variasi kemungkinan terjadinya front, yaitu thermal front, salinitas front, klorofil-a front. Front yaitu daerah pertemuan dua massa air yang memiliki karakteristik berbeda yang ditandai dengan gradient yang sangat jelas antara kedua sisi front (Arief, 2004). Thermal front adalah front yang dideteksi dari suhu permukaan laut (SPL).

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebaran kejadian front di Laut Sawu pada musim timur 2015 yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus. Dari hasil analisis jumlah sebaran kejadian front, diharapkan menjadi acuan indikasi sebaran front terbanyak, puncak upwelling dan pendugaan lokasi potensi kesuburan pada musim timur 2015. Sehingga bisa menjadi prediksi bahwa tempat tersebut mempunyai lingkungan perairan yang disukai dan cocok bagi habitat fitoplankton ataupun organisme perairan lainnya untuk dijadikan sebagai wilayah potensi penangkapan ikan.

2. METODE

Data satelit yang digunakan adalah data komposit harian suhu permukaan laut dari citra satelit Aqua- Terra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) level 2, dengan resolusi 1 km yang dapat diakses melalui layanan website Ocean Color (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cms/) selama 3 bulan, yaitu dari Juni hingga Agustus 2015 yang termasuk pada periode musim timur. Data citra yang diunduh merupakan data dengan format .nc (netCDF) sehingga sebelum dilakukan analilis menggunakan ArcGIS, data tersebut diolah terlebih dahulu menggunakan SeaDAS. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu PC yang telah ter-install software SeaDAS 7.2, Arc-GIS 10.1, Microsoft Words, dan Microsoft Excel, dengan koneksi internet untuk proses pengunduhan data citra yang diperlukan.

Citra satelit yang telah diunduh pertama kali diolah dengan menggunakan SeaDAS untuk memasukkan formula agar nilai awan yang terbaca menjadi NaN, sehingga nilai awan tidak ikut terbaca sebagai nilai suhu permukaan laut, karena citra satelit yang dihasilkan oleh satelit Aqua MODIS terkadang tertutup awan, sesuai dengan keadaan di lapangan saat satelit tersebut melintasi daerah yang diangsir. Jika proses cloud masking ini tidak dilakukan, maka data yang dihasilkan menjadi tidak relevan, karena nilai awan akan ikut terbaca, dan nilai tersebut tidak berkesesuaian dengan nilai suhu permukaan laut yang diharapkan. Berikut ini formula yang digunakan untuk menghilangkan data awan tersebut.

(if qual_sst then NaN else 1) * sst ... (1)

Dimana:

sst adalah sea surface temperature dan qual_sst merupakan kualitas dari nilai suhu permukaan laut tersebut Pengolahan di SeaDAS dilanjutkan dengan proses cropping citra sesuai dengan daerah penelitian, lalu data hasil cropping di export menjadi format image agar dapat dibaca dan diolah lebih lanjut menggunakan ArcGIS.

Gambar 1. Diagram alir pengolahan citra suhu permukaan laut untuk analisis jumlah kejadian front Hasil pengolahan dari SeaDAS mengkonversi data dari netCDF menjadi data raster yang dapat dibaca dengan ArcGIS agar dapat dilakukan analisis thermal front dengan menggunakan metode Single Image Edge Detection (SIED) dari Cayula-Cornillon. Thermal front yang telah dihasilkan kemudian di jumlahkan selama

(4)

kurun waktu 1 bulan untuk menghasilkan analisis kejadian thermal front dalam kurun waktu bulanan. Hasil penjumlahan akan menunjukkan berbagai variasi jumlah kejadian thermal front pada bulan tertentu.

Pemilihan lokasi penelitian didasarkan terhadap analisis tahunan untuk data harian Citra Satelit Aqua–Terra yang mengalami tutupan awan paling sedikit. Pemilihan Laut Sawu juga didasarkan terhadap fenomena upwelling yang cenderung terjadi pada musim timur bulan Juni, Juli dan Agustus.

Gambar 2. Lokasi penelitian di perairan Laut Sawu

3. HASIL PEMBAHASAN

Kejadian front yang diperoleh pada penelitian ini berbeda-beda pada setiap bulannya. Kejadian front tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2015. Trend kejadian front selama musim timur tahun 2015 menunjukkan trend positif, yaitu jumlah kejadian front semakin lama semakin banyak. Jumlah kejadian thermal front dihitung dari jumlah pixel yang terbentuk pada hasil olahan citra suhu permukaan laut.

Tabel 1. Jumlah sebaran front pada musim timur Tahun 2015 di Laut Sawu (dalam sebaran pixel) Jumlah

Tampalan Front Bulan

Juni Juli Agustus

1 73279 110366 147051

2 1826 2989 3533

3 32 90 64

4 0 0 1

Analisis thermal front yang dilakukan tidak hanya mengenai jumlah titik front yang terbentuk secara keseluruhan, melainkan dihitung juga jumlah kejadian pada masing-masing bulan selama satu musim timur.

Dalam satu musim tersebut terdapat 4 jenis kriteria tampalan front, yaitu front tunggla tanpa bertampalan, front dengan 2, 3, dan 4 tampalan. Bulan Juni mengalami jumlah kejadian front paling sedikit diantara bulan lainnya, hal tersebut dapat berkaitan dengan siklus musim timur, dimana musim timur pada bulan ini baru dimulai. Pada bulan Juli terdapat nilai jumlah tampalan yang tertinggi pada kriteria front dengan 3 tampalan, itu artinya pada bulan Juli ini lebih banyak daerah yang memiliki potensi kejadian thermal front tinggi.

Sedangkan pada bulan Agustus, secara umum semua jenis tampalan thermal front memiliki nilai paling tinggi kecuali pada nilai tampalan 3, selain itu pada bulan ini merupakan satu-satunya yang terdapat jenis tampalan thermal front hingga 4 tampalan.

(5)

dkk)

Pada musim timur 2015 kemunculan front jika dikaji dengan pendekatan tingkat variabilitas suhu pada bulan Juni 2015, menghasilkan pola sebaran front yang cenderung sedikit dibandingkan dengan Agustus.

Dilihat berdasarkan analisa visual terhadap suhu permukaan laut, pola sebaran untuk gradasi warna yang tidak kontras mengindikasikan variabilitas suhu pemicu pembentukan front dibandingkan bulan juli dan agustus. Kejadian front paling sering terjadi disekitar utara Pulau Timor dan Selatan Pulau Flores, Lembata dan Alor. Karaktersitik massa air perairan Indonesia yang umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia dan adanya arus lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air Lautan Pasifik Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia sehingga mengindikasikan adanya suhu hangat dari lautan Pasifik bertemu dengan suhu dingin dari lauatan Hindia. Banyaknya kejadian front dalam suatu perairan paling tinggi yaitu sebanyak 4 kali kejadian pada bulan Agustus, yaitu ± 31 km ke arah Tanjung Kurus, Kabupaten Kupang.

(6)

Gambar 3. Peta Sebaran Kejadian Front di Laut Sawu pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2015 Berdasarkan sebaran suhu yang ditampilkan pada Gambar 4., terlihat bahwa ada perbedaan sebaran yang cukup tinggi antara bulan juni hingga agustus. Saat musim timur berlangsung, suhu permukaan laut di perairan Indonesia cenderung dingin. Sedangkan karena laut sawu merupakan salah satu wilayang yang dilewati oleh lintasan Arlindo, maka dapat terlihat bahwa ada hempasan suhu yang berbeda pada lintasan Arlindo tersebut. Arlindo yang membawa masa air dari samudera pasifik membawa massa air dengan kondisi suhu yang hangat, sedangkan perairan Indonesia pada saat itu dalam kondisi dingin, sehingga terjadi pertemuan dua massa air dengan karakteristik yang berbeda. Pada bulan Juni suhu permukaan laut tidak terlalu dingin, sehingga pencampuran dengan massa air yang dibawa Arlindo tidak terlalu signifikan.

Sedangkan pada bulan Agustus yang merupakan puncak dari musim timur akan memiliki suhu permukaan laut yang lebih dingin, sehingga proses pencampuran yang terjadi akan lebih maksimal, dan menghasilkan kejadian front yang cukup banyak. Arlindo masuk melalui Selat Ombai, sehingga berdasarkan visualisasi yang dihasilkan juga terlihat bahwa suhu panas dominan bergerak dari Selat Ombai hingga kebagian tengah laut Sawu, tetapi tidak mencapai Selat Sumba. Pada bulan Juli, massa air yang mengalir ke Samudera Hindia, tetapi pada bulan Agustus ada massa air yang terperangkap pada bagian selatan Pulau Flores bagian timur. hal tersebut dapat mengindikasikan terjadinya fenomena upwelling.

(7)

dkk)

Gambar 7. Peta Sebaran suhu permukaan laut di Laut Sawu pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2015 Karaktersitik massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia dan adanya arus lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air Lautan Pasifik Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia. Pengaruh tersebut mengakibat suhu permukaan perairan Indonesia lebih dingin dengan salinitas yang lebih tinggi sebagai pengaruh terjadinya upwelling di beberapa daerah selama musim timur dan juga akibat dari masuknya massa air Lautan Pasifik, sedangkan pada musim barat, suhu permukaan perairan lebih hangat dengan salinitas yang lebih rendah. Selama musim timur, dibeberapa bagian dari perairan Indonesia mengalami upwelling dan percampuran massa air yang mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur dan mengakibatkan tingginya produktivitas primer perairan bila dibandingkan dengan musim barat.

Gordon et al. (2003) mengatakan bahwa massa air Pasifik masuk kepulauan Indonesia melalui dua jalur utama, yaitu jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor. Di jalur timur massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku kemudian ke Laut Banda.

Dari Laut Banda, massa air akan mengalir mengikuti dua rute, diantaranya rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan Selat Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia.

Struktur massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi karakteristik massa air Lautan Pasifik dan sistem angin muson. Dimana pada Musim Barat (Desember – Pebruari) bertiup angin muson barat laut di bagian selatan katulistiwa dan timur laut di utara katulistiwa, sedangkan pada Musim Tmur (Juni – Agustus) bertiup angin muson tenggara di selatan katulistiwa dan barat daya di utara katulistiwa. Upwelling sendiri yaitu naiknya massa air dari bawah permukaan ke atas permukaan, yang juga kaya nutrient. Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.

Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton. Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh perbedaan tinggi muka laut antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, yaitu permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur, sehingga terjadi gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia (Hasanudin, 1998).

Menurut Sprintall et.al. (2000) mengemukakan bahwa bahang (panas) dan massa air dengan salinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo diketahui mempengaruhi perimbangan kedua parameter di kedua samudera. Kedua parameter tersebut adalah parameter fisik seperti suhu dan salinitas. Oleh sebab itu jalur yang dilalui Arlindo merupakan perairan yang sangat unik karena Arlindo membawa karakteristik massa air yang unik karena adanya percampuran massa air dari dua samudra yang berbeda. Karakterisitik seperti suhu dan salinitas yang unik tersebut mengakibatkan daerah tersebut diperkirakan merupakan tempat yang ideal

(8)

bagi organisme laut untuk hidup yang salah satunya merupakan fitoplankton dan juga ikan-ikan yang mempunyai nilai komersial yang tinggi.

Dari semua kejadian thermal front tersebut dapat diambil kesimpulan mengenai kesuburan perairan dari daerah sekitar terjadinya front tersebut, karena saat terjadinya pertemuan masa air yang berbeda tersebut dapat diindikasikan bahwa organisme perairan akan berkumpul pada daerah tersebut karena jumlah nutrien yang terbentuk akan lebih banyak sehingga banyak organisme yang terperangkap disana untuk mencari makan seperti yang dikemukakan oleh Arief (2004) bahwa daerah front diduga memiliki produktivitas tinggi karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan “feeding ground” bagi jenis ikan pelagis, hal ini menyebabkan daerah front menjadi daerah penangkapan yang baik untuk jenis-jenis ikan pelagis. Selain itu tinggi suhu dapat meningkatkan laju maksimum reaksi kimia, sehinnga laju fotosintesa fitoplankton ikut meningkat dengan meningkatnya suhu perairan (Tomascik et al.

1997).

4. KESIMPULAN

Kejadian terbentuknya front mengalami trend yang positif selama musim timur. Hasil penjumlahan sebaran front terhadap jumlah pixel menunjukan bulan Agustus mengalami intensitas yang lebih tinggi dibandingkan bulan Juni & Juli di tahun 2015. Kejadian front paling sering terjadi disekitar utara Pulau Timor dan Selatan Pulau Flores, Lembata dan Alor. Banyaknya kejadian front dalam suatu perairan paling tinggi yaitu sebanyak 4 kali kejadian pada bulan Agustus, yaitu ± 31 km ke arah Tanjung Kurus, Kabupaten Kupang. Banyak jumlah tampalan pada bulan Agustus bisa menjadi indikasi puncak upwelling dan menjadi indikasi bulan yang paling subur pada musim timur.

5. UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih diucapkan kepada pengunduh dan pengolaha data citra satelit, pembahas makalah, serta pada para peneliti yang memberikan dukungannya dalam penulisan makalah ini.

6. DAFTAR PUSTAKA

Arief M (2004). Aplikasi Data Satelit Resolusi Rendah dan SIG untuk Analisa Distribusi Spatial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) di Selat Makassar Periode: Juli – Agustus 2004. LAPAN

Cullen, J. J., M. R. Lewis, C. O. Davis, and R. T. Barber, 1992. Photosynthetic Characteristics and Estimated Growth Rates Incate Grazing is the Proximate Control of Primary Production in the Equatorial Pacific. J. Geophys. Res., 97 (C1): 639 – 654.

Gordon, Arnold. R.D. Susanto. K. Vranes. 2003. Cool Indonesian throughflow as a consequence of restricted surface layer flow. Nature, 425: 824-828.

Hamzah, Rossi, Teguh P, Wawan KH (2014). Identifikasi Thermal front dari data satelit Terra/Aqua MODIS menggunakan metode single image edge detection (SIED)(Studi Kasus: Perairan Utara dan Selatan Pulau Jawa).

Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh. LAPAN.

Hasanudin, M. 1998. Arus Lintas Indonesia (ARLINDO).J. Oseana., 23 (2):1 - 9.

Olson DB, Hitchcock GL, Mariano AJ, et al (1994). “Life on the Edge : Marine Life and Fronts”, Oceanography 7 (2) : 52-60

Tomascik T, AJ Mah, A Nontji and MK Moosa (1997). The Ecology of the Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VIII. Periplus Editions (HK) Ltd.

Wyrtki, K (1961). Physical Oceanography Of The Southeast Asian Waters. Scientific result of Marine investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand 1959-1961. The Univesity of California, Scripps Institution of Oceanography La Jolla, California:195pp.

Referensi

Dokumen terkait

Proses penelitian dimulai dengan mengumpulkan data citra satelit Aqua MODIS terkoreksi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu data citra band 3 merupakan data awan, data

Terlihat sebaran konsentrasi klorofil-a dari citra satelit Terra MODIS pada musim barat berkisar antara 0,11 mg/m 3 – 2,59 mg/m 3 dan cenderung lebih rendah dibandingkan

Nilai SPL di tiga lokasi pada citra Aqua memiliki nilai rata - rata lebih tinggi dibandingkan dengan citra Terra MODIS, hal ini terkait pada observasi satelit Aqua MODIS

Dari total data tersebut terdapat 128 titik yang dapat dideteksi dengan sensor MODIS dari satelit TERRA dan AQUA atau sekitar 45% sebaran data ini dengan data

Tulisan ini menguraikan penggunaan data Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) level-2 pada satelit Terra MOD08 versi 5.1 untuk mempelajari pengaruh

The Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), carried aboard the Terra spacecraft launched in 1999 and Aqua satellite launched in 2002, provides the only

Terlihat sebaran konsentrasi klorofil-a dari citra satelit Terra MODIS pada musim barat berkisar antara 0,11 mg/m 3 – 2,59 mg/m 3 dan cenderung lebih rendah dibandingkan

Dalam penelitian ini dikembangkan suatu algoritma teknik klasifikasi pohon keputusan dalam pengolahan data citra satelit Aqua MODIS untuk menentukan klasifikasi