• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK PEKERJA ALIH DAYA PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA PADA PERUSAHAAN ALIH DAYA

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK PEKERJA ALIH DAYA PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA PADA PERUSAHAAN ALIH DAYA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

P-ISSN: 2356-4164, E-ISSN: 2407-4276

Open Access at : https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

1404

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK PEKERJA ALIH DAYA PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA PADA PERUSAHAAN ALIH DAYA

Elizabeth Devina Putri, Rahayu Subekti, Purwono Sungkowo Raharjo Universitas Sebelas Maret

E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]

Info Artikel Abstract Masuk: 1 Desember 2022

Diterima: 15 Januari 2023 Terbit: 1 Februari 2023 Keywords:

Outsourcing, Legal Protection, Worker

The legal implications arising from the passing of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation have an impact on outsourced workers. These regulatory changes have made the outsourcing employment system applicable to all sectors of company activity, both the main production sector and production support activities. As a result, the fulfillment and legal protection of the rights of outsourced workers is vulnerable. Workers as one of the pillars driving the Indonesian economy must be protected and their rights fulfilled. The Constitution of the Republic of Indonesia also mandates the State to guarantee every Indonesian citizen to get a job and a life that is worthy of humanity. Therefore, it is important for the government to form a regulation that is in favor of the Indonesian people.

This study aims to analyze regulations regarding the outsourcing system by the Job Creation Law, whether it has provided legal protection for workers.

Abstrak Kata kunci:

Alih Daya, Perlindungan Hukum, Pekerja

Corresponding Author :

Elizabeth Devina Putri, e-mail : [email protected].

id

Implikasi hukum yang timbul akibat disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berdampak pada pekerja alih daya. Perubahan regulasi tersebut menyebabkan sistem ketenagakerjaan alih daya dapat diterapkan di seluruh sektor kegiatan perusahaan, baik sektor utama produksi maupun kegiatan penunjang produksi. Akibatnya, pemenuhan serta perlindungan hukum akan hak pekerja alih daya menjadi rentan kedudukannya. Pekerja sebagai salah satu tonggak penggerak perekonomian Indonesia wajib

(2)

1405 dilindungi serta dipenuhi haknya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pun mengamanatkan kepada Negara untuk menjamin setiap warga negara Indonesia agar mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak atas kemanusiaan. Maka dari itu, penting bagi pemerintah untuk membentuk suatu regulasi yang berpihak kepada masyarakat Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai regulasi mengenai sistem alih daya oleh UU Cipta Kerja, apakah sudah memberikan perlindungan hukum atau belum bagi pekerja.

@Copyright 2023.

PENDAHULUAN

Perkembangan dunia industri di Indonesia berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi pasca adanya wabah COVID-19 pada tahun 2020 lalu.

Berdasarkan data yang diambil dari Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, sektor industri yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah sektor manufaktur yaitu industri makanan dan minuman, kimia, farmasi dan obat tradisional, industri alat transportasi, industri barang logam, elektronik, optik, dan peralatan listrik, serta yang terakhir adalah industri tekstil dan pakaian (Kementrian Perindustrian RI, 2021.

https://kemenperin.go.id/artikel/22681/Sektor-Manufaktur-Tumbuh-Agresif-di- Tengah-Tekanan-Pandemi-. Diakses pada tanggal 10 Maret 2023 pukul 11.50).

Keterangan yang disampaikan oleh Menteri Perindustrian, Bapak Agus Gumiwang Kartasumitra, sektor industri manufaktur mulai pulih dari dampak pandemi yang menyebabkan penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak lagi (Kementrian Perindustrian RI, 2022. https://kemenperin.go.id/artikel/23080/Bangkit-dari- Pandemi,-Sektor-Industri-Tambah-Tenaga-Kerja-Hingga-Jutaan-Orang. Diakses pada tanggal 10 Maret 2023 pukul 12.00). Pada tahun 2021 terjadi penyerapan sebanyak 1,2 juta tenaga kerja di sektor manufaktur yang menghasilkan peningkatan jumlah total tenaga kerja di sektor industri menjadi 18,64 juta orang.

Pulihnya sektor industri yang menyebabkan lebih banyaknya penyerapan tenaga kerja menandakan bahwa pekerja memiliki peranan penting dalam pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional. Namun, dasarnya baik pekerja maupun pengusaha merupakan tonggak utama yang saling berhubungan untuk terciptanya perekonomian negara (Kurniawan et al., 2022). Berangkat dari hal tersebut, Negara melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur mengenai aspek-aspek ketenagakerjaan termasuk hak- hak pekerja yang wajib dipenuhi oleh pengusaha serta kewajiban yang harus dilakukan oleh pekerja. Kedudukan antara pekerja sebagai salah satu pihak berada di bawah perintah pihak lain yaitu pengusaha/majikan yang disebut dengan kedudukan sub-ordinatie/sub-ordinasi (Sudjono, 1970). Akibat dari hubungan subordinasi ini menunjukkan bahwa kedudukan pekerja di hubungan

(3)

1406 ketenagakerjaan menjadi lemah sehingga perlindungan terhadap hak-haknya harus diatur dalam peraturan perundang-undangan (Darma, 2017).

Negara dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menyatakan bahwa “Setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Konsekuensi dari adanya pasal tersebut adalah Negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan kesempatan serta fasilitas yang luas bagi rakyatnya sekaligus menjadikan pekerjaan yang tersedia menjadi layak (kahfi). Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada tahun 2020 lalu menyebabkan perubahan pengaturan dari banyak sektor dan klaster, termasuk klaster ketenagakerjaan. Perubahan tersebut meliputi adanya penghapusan, penggantian, serta penambahan sub-pasal yang wajib dimengerti baik oleh pihak pengusaha maupun pihak pekerja.

Perkembangan dunia industri yang beragam membuat pengusaha atau pemberi kerja membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai kapabilitas sesuai dengan kebutuhan produksi yang dibutuhkan oleh perusahaan. Kebutuhan tersebut memunculkan bentuk baru yaitu alih daya atau lazim disebut dengan outsourcing.

Alasan perusahaan dalam kegiatan usahanya memilih menggunakan sistem alih daya adalah untuk penghematan biaya dan efisiensi produksi. Dengan menghemat biaya dalam bidang ketenagakerjaan tentu akan meningkatkan jumlah keuntungan dari perusahaan itu sendiri. Perusahaan dapat berfokus untuk melakukan inovasi terhadap bisnisnya apabila proses perekrutan dan pengelolaan karyawan diberikan kepada pihak lain atau perusahaan alih daya.

Pengertian dari sistem alih daya yaitu suatu aktivitas pemanfaatan tenaga kerja untuk melakukan produksi atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu oleh perusahaan pemberi kerja melalui perusahaan penyedia atau perusahaan pengarah tenaga kerja (perusahaan alih daya) (Husni, 2008). Pengertian mengenai sistem alih daya sebenarnya tidak dijelaskan secara eksplisit dalam UU Ketenagakerjaan.

Sebelum dihapuskannya Pasal 64, UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa suatu perusahaan dapat menyerahkan kegiatan pelaksanaan suatu pekerjaan kepada perusahaan lainnya atau perusahaan alih daya. Lebih lanjut, regulasi mengenai alih daya diatur pada peraturan turunan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Akibat dihapuskannya beberapa pasal yang mengatur mengenai sistem alih daya, maka perlindungan hukum dan pemenuhan hak pekerja alih daya menjadi rentan tidak diberikan. Berdasarkan paparan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk menuliskan karya ilmiah dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Terhadap Hak Pekerja Alih Daya Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.

Perumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang dijabarkan di atas rumusan masalah yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimana pengaturan sistem alih daya dalam memberikan perlindungan hukum terhadap hak pekerja alih daya pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?

(4)

1407 METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau normative research. Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah berdasarkan bahan-bahan hukum primer dan sekunder (library based). Sifat penelitian hukum ini adalah preskriptif dimana penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan saran-saran yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah- masalah tertentu (Soekanto, 1986). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang atau statute approach guna mengkaji bagaimana perlindungan hukum dalam pemenuhan hak pekerja sistem alih daya dalam regulasi peraturan perundang-undangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek perlindungan hukum terhadap pekerja dasarnya meliputi pada 2 (dua) hal, yakni perlindungan dari tindakan pemerintah dan perlindungan terhadap kekuasaan pengusaha (Hadjono, 1987). Dalam hal ini, pemerintah memiliki hak sekaligus kewajiban turut serta memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja melalui pembuatan regulasi atau peraturan perundang-undangan. Perlindungan terhadap kekuasaan pengusaha dapat terlaksana dalam praktiknya apabila peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah terkhususnya dalam bidang ketenagakerjaan telah dibuat dan diimplementasikan serta keberlakuan hukum tersebut dapat diukur secara yuridis, sosiologis maupun filosofis (Hadjono, 1987). Dalam hal ini, pemerintah mempunyai kewajiban untuk turut serta memberikan perlindungan hukum bagi pekerja melalui pembuatan serta pengimplementasian peraturan perundang-undangan. Perlindungan terhadap pekerja dari kekuasaan pengusaha yang sewenang-wenang dapat terlaksana apabila peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan telah dibuat dan diimplementasikan serta keberlakuan hukum tersebut dapat diukur baik secara yuridis, sosiologis, maupun filosofis (Hadjono, 1987).

1. Pengaturan Sistem Alih Daya Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Sistem alih daya di Indonesia sendiri sebenarnya belum diatur secara khusus melalui peraturan perundang-undangan secara spesifik oleh pemerintah.

Namun, pada Pasal 64 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa suatu perusahaan dapat menyerahkan kegiatan untuk melaksanakan suatu jenis pekerjaan kepada perusahaan lainnya. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan atas perjanjian pemborongan ataupun perjanjian penyediaan jasa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Selanjutnya, Pasal 65 UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai syarat-syarat dari suatu pekerjaan yang dapat diserahkan atau diberikan kepada perusahaan alih daya, yaitu:

a. Pekerjan tersebut dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Pekerjaan tersebut dilakukan atas perintah langsung maupun tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c. Pekerjaan merupakan kegiatan penunjang perusahaan perusahaan secara keseluruhan; dan

d. Tidak menghambat secara langsung dalam kegiatan produksi.

(5)

1408 Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada tahun 2020 menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 dari UU Ketenagakerjaan mengenai regulasi sistem ketenagakerjaan alih daya. Dengan hapusnya pasal-pasal tersebut, hilang pula aturan sistem alih daya mengenai jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain. Jenis pekerjaan yang tadinya dibatasi berdasarkan 4 indikator pada Pasal 65, menjadi dapat diterapkan di seluruh sektor kegiatan perusahaan pemberi kerja baik dalam kegiatan utama produksi (core-business) maupun kegiatan penunjang produksi (non-core business). Dalam penjelasan atas UU Ketenagakerjaan, kegitan penunjang produksi berupa usaha penyediaan makanan (catering), usaha jasa kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan angkutan pekerja, dan satuan pengamanan (security). Adanya peraturan ini membuat perusahaan dapat mempekerjakan pekerja alih daya di sektor utama produksi untuk menghemat biaya atau cost yang keluar dan menambah keuntungan. Perusahaan yang bertujuan untuk mengedepankan keuntungan membuat perlindungan hukum terhadap kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak pekerja alih daya menjadi berkurang. Masalah lain dapat timbul pula apabila akibat regulasi pada Pasal 66 ayat (1) UU Cipta Kerja yang memperbolehkan perusahaan mempekerjakan pekerja alih daya menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Dengan dipekerjakannya pekerja alih daya berdasarkan PKWT, pekerja dapat diberhentikan dalam jangka waktu yang pendek dan tidak mempunyai kepastian kerja (no-job security). Selain itu, pekerja alih daya juga cenderung lebih sulit untuk mendapatkan promosi pekerjaan atau jenjang karier dibandingkan karyawan tetap akibat dari sangat pendeknya jangka waktu kerja.

Jangka waktu perjanjian kerja dalam UU Cipta Kerja dapat berlaku selama maksimal 5 (lima) tahun dari yang tadinya hanya berlaku selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali selama 1 (satu) tahun. Konflik norma timbul pada perusahaan yang mempekerjakan pekerja alih daya berdasarkan PKWT namun dengan jenis pekerjaan yang terdapat di sektor produksi utama. Konflik norma seringkali dapat terjadi pada tata hukum positif yang disebabkan akibat substansi dari hukum itu sendiri yang bersifat dinamis dan kompleks (Irani, 2020). Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa isu atau masalah hukum dalam suatu ruang dogmatis dapat muncul ketika para pihak berperkara mengajukan penafsiran atau interpretasi yang berbeda atau bertentangan karena ketidakjelasan peraturan itu sendiri, terdapat suatu kekosongan hukum, dan pada akhirnya terdapat penafsiran atas fakta (Marzuki, 2008). Konflik norma pada kenyataannya dapat terjadi antara ketentuan yang lebih rendah dan ketentuan yang lebih tinggi (vertikal), antar ketentuan yang sederajat (horizontal), ataupun bahkan antar ketentuan atau norma dalam satu instrumen pengaturan itu sendiri (internal) (Irani, 2020). Konflik norma ini terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 antara Pasal 5 dan Pasal 18 ayat (1), dimana sifat dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dikhususkan hanya untuk pekerjaan yang sifatnya sementara diperbolehkan untuk digunakan sebagai dasar perjanjian kerja untuk kegiatan produksi yang berlangsung secara terus menerus. Pekerjaan yang sifatnya permanen seharusnya menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

(6)

1409 sebagai dasar perjanjian kerjanya. Dengan adanya konflik norma ini pula yang menyebabkan perlindungan hukum terhadap pekerja alih daya menjadi tidak jelas kedudukannya.

2. Implementasi Pemenuhan Hak Pekerja Alih Daya Pada Perusahaan Alih Daya

Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021, perusahaan alih daya bertanggungjawab terhadap perlindungan pekerja/buruh, upah, kesejahteraan, dan perselisihan yang timbul antara kedua belah pihak dan harus dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, perusahaan wajib melaksanakan aturan-aturan terkait perlindungan hukum pekerja dalam menjalankan kegiatannya. Hak-hak dasar yang dapat diterima oleh pekerja alih daya adalah sebagai berikut:

a. Hak atas Upah

Pemerintah melalui Pasal 88 UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa setiap pekerja berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja dalam bidang ekonomi. Pada umumnya, pekerja mendapatkan perlindungan mengenai sistem pengupahan dari pemerintah, akan tetapi besaran upah tersebut dapat ditentukan atas kesepekatan antara pekerja dan pengusaha (Irfan et al., 2022). Dalam hal ini, pemerintah mempunyai peran untuk menetapkan kebijakan pengupahan bagi pekerja. Kebijakan pengupahan ini diperlukan agar pengusaha memberikan upah yang layak dan tidak terlalu kecil besarannya. Berdasarkan Pasal 88C Upah Minimum Provinsi (UMP) dapat ditetapkan oleh Gubernur dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dapat ditetapkan oleh Bupati/Walikota serta Gubernur dalam keadaan tertentu dan dihitung menggunakan formulasi perhitungan upah minimum. Upah minimum ini merupakan batas bawah pemberian upah yang dapat dilakukan oleh perusahaan.

b. Hak atas Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Jaminan sosial ketenagakerjaan yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial ketenagakerjaan. Pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan menurut Pasal 6 ayat (2) UU Cipta Kerja menyelenggarakan 5 program jaminan sosial ketenagakerjaan, yaitu jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan.

Iuran pembayaran program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian. Hal ini tertera pada Pasal 16 ayat (1) yang mengelompokkan besaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja atau JKK berdasarkan tingkat resiko lingkungan kerja, yaitu:

1) risiko sangat rendah: 0.24% (nol koma dua puluh empat persen) dari Upah selama satu bulan,

(7)

1410 2) risiko rendah: 0.54% (nol koma lima puluh empat persen) dari Upah

selama satu bulan,

3) risiko sedang: 0.89% (nol koma delapan puluh sembilan persen) dari Upah selama satu bulan,

4) risiko tinggi: 1.27% (satu koma dua puluh tujuh persen) dari Upah selama satu bulan,

5) risiko sangat tinggi: 1.74% (satu koma tujuh puluh empat persen) dari Upah selama satu bulan.

Jaminan Kematian juga diatur dalam peraturan perundangan yang sama yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa besaran iuran Jaminan Kematian sebesar 0,30% (nol koma tiga puluh persen) dari Upah sebulan. Pihak yang wajib membayarkan iuran Jaminan Kematian dan Jaminan Kecelakaan Kerja adalah Pemberi Kerja yaitu Perusahaan.

Program Jaminan Pensiun (JP) diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun pada Pasal 28. Iuran dari program Jaminan Pensiun (JP) sebesar 3% dari Upah sebulan yang pembayarannya dibagi menjadi beban perusahaan 2% dan beban pekerja 1%. Selanjutnya, program Jaminan Hari Tua (JHT) diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua. Iuran dari program Jaminan Hari Tua (JHT) berdasarkan Pasal 16 sebesar 5,7% dari Upah dengan ketentuan 3,7% ditanggung oleh perusahaan dan 2%

ditanggung oleh pekerja. Sedangkan untuk jaminan kesehatan, pembagian beban iuran dibagi sebesar 4% ditanggung oleh perusahaan dan 1% ditanggung oleh pekerja.

c. Hak atas Tunjangan Hari Raya

Perihal Tunjangan Hari Raya (THR) diatur oleh pemerintah pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Besaran dan tata cara pemberian THR diatur pada Pasal 3 Permenaker Nomor 6 Tahun 2016. THR Keagamaan diberikan kepada pekerja yang mempunyai masa kerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. Besaran dari Tunjangan Hari Raya sendiri sejumlah upah sebulan. Lebih lanjut, pada Pasal 5 ayat (4) Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 mengatur bahwa Tunjangan Hari Raya paling lama dapat diberikan maksimal 7 hari sebelum hari raya tersebut.

d. Hak atas Waktu Kerja dan Waktu Istirahat

Waktu kerja diatur di dalam Pasal 77 UU Ketenagakerjaan, yaitu untuk 7 jam dalam satu hari dan 40 (empat puluh) jam dalam satu minggu untuk 6 (enam) hari kerja sedangkan untuk 5 (lima) hari kerja ditentukan 8 jam dalam satu hari dan 40 (empat puluh) jam dalam satu minggu.

Pelaksanaan waktu kerja diatur di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Selain diatur mengenai waktu kerja, diatur juga mengenai waktu istirahat mingguan pada Pasal 22, yaitu:

(8)

1411

“(1) istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam satu minggu; atau

(2) istirahat mingguan 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam satu minggu.”

Hak untuk mendapatkan cuti diatur pada Pasal 79 UU Cipta Kerja.

Dalam pasal tersebut menyatakan bahwa cuti yang wajib diberikan kepada pekerja adalah cuti tahunan yang berjumlah paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja. Cuti tahunan ini diberikan kepada pekerja setelah 12 (dua belas) bulan bekerja secara terus menerus. Pelaksanaan cuti tahunan diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.

e. Hak atas Uang Kompensasi

UU Cipta Kerja dalam Pasal 61A ayat (1) menyatakan bahwa “dalam hal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berakhir sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 ayat (1) huruf b dan c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) huruf b dan c UU Cipta Kerja, pekerja yang berhak mendapatkan uang kompensasi adalah ketika jangka waktu perjanjian kerjanyanya berakhir dan adanya putusan pengadilan yang tetap dan/atau putusan/penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pemberian uang kompensasi juga diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 pada Bagian Ketiga dari Pasal 15 sampai dengan Pasal 17. Dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 menyatakan bahwa juga uang kompensasi wajib diberikan apabila dalam hal salah seorang pihak mengakhiri hubungan kerja antar keduanya sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

DAFTAR PUSTAKA Buku

Hadjono, P. M. (1987). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina Ilmu.

Husni, L. (2008). Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Marzuki, P. M. (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.

Soekanto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Sudjono, W. (1970). Persetudjuan Perburuhan. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta.

Jurnal Dan Artikel Ilmiah

Darma, S. A. (2017). Kedudukan Hubungan Kerja; Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan Dan Sifat Hukum Publik Dan Privat.

Mimbar Hukum, 29(2), 221. https://doi.org/10.22146/jmh.25047 Irani, N. (2020). ASAS LEX SUPERIOR, LEX SPECIALIS, DAN LEX POSTERIOR:

PEMAKNAAN, PROBLEMATIKA, DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENALARAN DAN ARGUMENTASI HUKUM. 305–325.

Irfan, M., Subekti, R., & Raharjo, P. S. (2022). Konsep Asas No Work No Pay Terhadap

(9)

1412 Pekerja Oleh Perusahaan Terdampak Pandemi Covid-19. Jurnal Komunikasi Hukum,Volume 7 Nomor 1 Februari 2021, 8(1), 469–480.

https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/issue/view/863 Kurniawan, R., Subekti, R., & Raharjo, P. S. (2022). Perlindungan Pada Pekerja Di

Masa Pandemi Covid-19 (Suatu Perspektif Penerapan Pengaturan Tunjangan Hari Raya Keagamaan). Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 10(2), 265–274.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua

Kementrian Perindustrian RI, 2021.

https://kemenperin.go.id/artikel/22681/Sektor-Manufaktur- Tumbuh-Agresif-di-Tengah-Tekanan-Pandemi-. Diakses pada tanggal 10 Maret 2023 pukul 11.50

Kementrian Perindustrian RI, 2022.

https://kemenperin.go.id/artikel/23080/Bangkit-dari-Pandemi,- Sektor-Industri-Tambah-Tenaga-Kerja-Hingga-Jutaan-Orang.

Diakses pada tanggal 10 Maret 2023 pukul 12.00

Referensi

Dokumen terkait

PeraturanPerundang-Undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Republik Indonesia Nomor