• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA TERORISME BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018

N/A
N/A
hans nadapdap

Academic year: 2023

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA TERORISME BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA TERORISME BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Tindak Pidana Khusus Dosen Pengampu: Dr. Marlina SH., M.Hum

DISUSUN OLEH :

1. Fauzi Agmal Hsb (210200076) 2. Rotua Masdelina Sipayung (210200087) 3. Radhika Vimala (210200084) 4. Ari Matthew Simanjuntak (210200256) 5. Christian Manurung (210200549) 6. Johannes Sibarani (210200551) 7. Cristopel Sihombing (210200555) 8. Daniel Sianturi (210200556)

MEDAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA 2023

(2)

ii

Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah- Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA TERORISME BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018" dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tindak Pidana Khusus. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis sendiri, bahwa mendalami lebih luas mengenai kekhususan tindak pidana terorisme.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah tindak pidana khusus. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu atau berkontribusi dalam tugas penulisan makalah ini terlebih-lebih kepada pihak yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada kami dalam terselesaikannya makalah ini.

Kami selaku anggota kelompok 2 (dua) sebagai penyusun sekaligus penulis makalah ini merasa bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami untuk menjadikan makalah ini sebagai suatu bahan bacaan yang sempurna untuk dijadikan acuan atau pedoman bagi para pembaca. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca atau para pihak yang berkewajiban untuk mengevaluasi penulisan serta pemaknaan kata pada setiap kalimat ataupun penggunaan tanda baca sesuai dengan EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, November 2023

(3)

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... ii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan ... 3

D. Metode ... 4

BAB II ... 5

PEMBAHASAN ... 5

A. Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme ... 5

B. Kekhususan Tindak Pidana Terorisme ... 7

C. Implementasi Penegakan Hukum Terhadap Tindak pidana Terorisme ... 9

1. Penegakan hukum tahap penyelidikan dan penyidikan ... 10

2. Penegakan terhadap penuntutan ... 11

3. Pemeriksaan di pengadilan ... 11

BAB III ... 13

PENUTUP ... 13

A. Kesimpulan ... 13

B. Saran ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terorisme bukanlah fenomena baru karena terorisme telah ada sejak abad Ke- 19 dalam peraturan politik internasional. Terorisme pada awalnya bersifat kecil dan lokal dengan sasaran terpilih dan berada dalam kerangka low intensity conflict, pada umumnya berkaitan erat dengan stabilitas domestik suatu Negara. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa seraty musuh dari semaua agama didunia ini. Terorisme dalam perkembangnya telah membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi diberbagai negara telah terkooptasi oleh suatu jaringan terorisme internasional serta mempunyai hubungan mekanisme kerja sama satu sama lain baik dalam aspek operasional infastruktur pendukung (suppport infrastruktur).1

Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha menciptakan tujuan. Kata Terorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the teror), berasal dari bahasa latin “terrere” yang berarti gemetaran dan “deterrere” yang berarti takut.Semua tindakan terorisme selalu melibatkan kekerasan atau ancaman kekerasan.2

Terorime dirancang khusus untuk menimbulkan rasa takut yang dalam di luar sasaran atau korbannya. Untuk itu teroris menbuat rencana untuk menimbulkan suatu kejutan, kesan, dan intimidasi guna meyakinkan bahwa hasil kerjanya dapat menimbulkan ketakutan yang dapat diekspose oleh media dan sebagai imbalannya adalah rasa takut dari pemerintah dan masyarakat. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa tetorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Kamus besar KBBI mengartikan teror sebagai usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman yang

1Moch. Faisal Salam,2005,, Motivasi Tindakan Terorisme, Mandar maju,Bandung, Hlm:1

2 Herry Firmansyah, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia” Jurnal Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 2, Juni 2011.

(5)

2 dilakukan seseorang atau golongan tertentu.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 sendiri tidak memberikan suatu definisi terorisme secara pasti. Pasal tersebut hanya merupakan tindak pidana terorime sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam tindak pidana terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III, pasal 6 dan 7, bahwa setiap orang di pidana karena melakukan tindak pidana terorisme jika: dengan sengaja menggunakan kekerasan atau anacaman kekerasan menimbulkan teror suasana teror atau rasa takut terhadap oarang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek- objek vital yang startegis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Seseorang juga dianggap melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang No. 5 Tahun 2018. Dari beberapa batasan dan definisi diatas, terliha tidak adanya keseragaman pengertian terorisme. Ali mashyar mengatakan bahwa terorisme mempunyai dasar sebagai berikut: pengguna kekerasan atau ancaman kekerasan, adanya unsur pendadakan atau kejutan, direncanakan secara cermat dan matang, menimbulkan kekuatan yang luas atau membuat kehancuran material atau perekonomian, mempunyai tujuan politik yang jauh lebih luas dan sasaran/korban langsungnya.3

Dalam bidang kepidanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah sumber rujukan hukum pidana yang utama. Sesungguhnya banyak pakar pidana yang beragumentasi bahwa KUHP dapat dijadikan dasar hukum atas kejahatan terorisme. Akan tetapi, dalam kenyataan terbukti KUHP menjadi tidak berfungsi efektif bagi penegakan hukum di Indonesia.

Atas desakan tersebut, kemudian keluarlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002, dan Perpu No. 2 Tahun 2002, sebagai cikal lahirnya UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang pada saat itu untuk menangani tragedi bom Bali.

Awal bulan Januari 2016 ibu kota Indonesia kembali dikejutkan dengan aksi terorisme.

Serangkaian ledakan dan tembak menembak terjadi di kawasan M.H.Thamrin. Merespon peristiwa bom dan serangan di kawasan Sarinah, pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan melakukan

3 Ali Mashyar, 2009, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Mandar Maju, Bandung, Hlm:43

(6)

3 langkah-langkah kebijakan terkait politik hukum nasional. Akhirnya Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memperkuat upaya pencegahan aksi terorisme dengan merevisi Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada akhir bulan Januari 2016, Pemerintah kemudian memfinalkan RUU Pemberantasan Terorisme dan di bulan Februari 2016 pemerintah menyerahkan naskah rancangan tersebut kepada DPR secara resmi.

Seiring berjalannya waktu, atas desakan dari berbagai pihak, fengan persetujuan bersama DPR dan Presiden memutuskan menetapkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaiamana Unsur – Unsur Tindak Pidana Terorisme di Indonesia?

2. Apa saja kekhususan tindak pidana terorisme berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 2018?

3. Bagaimana implementasi penegakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana terorisme di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kekhususan tindak pidana terorisme berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 2018.

3. Untuk mengetahui penegakan hukun pidana dalam menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia.

4 http://icjr.or.id Institute for Criminal Justice Reform, ICJR Serahkan Usulan DIM terhadap RUU Perubahan UU Pemberantasan Terorisme 2016 ke DPR RI. Hal 1. Diakses pada Tanggal 3 N o v e m b e r 2020. Pukul 15.32 WIB

(7)

4 D. Metode

Dalam penulisan makalah ini menggunakan metode penelitian normatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menerapkan dan mengkaji aturan hukum atau peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statue approach) dengan berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomo1 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

(8)

5

BAB II PEMBAHASAN

A. Unsur-Unsur Tindak Pidana Terorisme

Terorisme adalah bagian dari suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau crime against humanity. Pada tataran yuridis, terorisme merupakan tindak pidana terhadap keamanan negara, mengingat kategori yang demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau penganiayaan. Kejahatan terorisme merupakan bentuk perbuatan yang mengancam keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 menyatakan bahwa “Tindak Pidana Terorisme adalah perbuatan yang memenuhi unsur- unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.” Unsur-unsur tindak pidana terorisme yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2018 akan dibahas dalam dua bagian yaitu:

pertama, unsur-unsur unsur tindak pidana terorisme dan kedua, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.

Unsur-unsur tindak pidana terorisme pada pasal 6, yaitu:

(1) Dengan sengaja;

(2) Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan;

(3) Menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain; dan

(4) Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek- objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional Dari rumusan Pasal 6 yang berbunyi:

“…..dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal.... dsb,” menunjukkan bahwa pasal tersebut dirumuskan secara “materiil”. Jadi yang dilarang adalah “akibat” yaitu timbulnya suasana teror atau rasa takut atau timbulnya korban yang bersifat massal.

(9)

6 Pengertian dari unsur-unsur rumusan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 dapat ditafsirkan sebagai berikut.

1. Unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Dimaksud dengan “kekerasan” menurut Pasal 1 angka 4 adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Sementara yang dimaksud dengan “ancaman kekerasan” menurut Pasal 1 angka 5 adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara meluas.

2. Unsur-unsur lain. Menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat massal. Pengertian dari unsur-unsur dimaksud yaitu:

a. Teror. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2018 tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan teror. Berdasarkan penafsiran bahasa, yaitu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror mempunyai pengertian sebagai “Usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.”5

b. Takut. Apabila menggunakan penafsiran bahasa, yaitu menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, kata takut berarti “merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana.”6

c. Meluas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, meluas berarti luas (banyak, dsb); atau merata.7

d. Objek vital yang strategis. Menurut Pasal 1 butir 10, yang dimaksud dengan objek vital yang strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunan yang mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya, dan pertahanan serta keamanan yang sangat tinggi, termasuk fasilitas internasional.

e. Fasilitas publik. Menurut Pasal 1 angka 11, yang dimaksud dengan fasilitas publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

f. Kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup. Menurut penjelasan Pasal 6, yang dimaksud dengan kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup adalah

5KBBI Daring, “Teror”, https://kbbi.web.id/teror, diakses 3 November 2023

6 Ibid

7 Ibid

(10)

7 tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.

Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau barang.

Hal ini memperluas jangkauan tindak pidana pembantuan melebihi apa yang ditentukan berdasarkan KUHP, sehingga secara jelas mencakup orang-orang yang terlibat dan memberikan kontribusi sedemikian rupa selain dari terlibat langsung dalam pelaksanaan tindak pidana tersebut. Merupakan hal yang penting untuk memperluas cakupan tindak pidana pembantuan dalam konteks penanggulangan tindak pidana terorisme untuk memerangi terorisme modern adalah kemampuan sel-sel teroris untuk merencanakan tindak pidana terorisme dan untuk membantu teroris menghindari deteksi dari pihak keamanan.

Ditetapkannya permufakatan jahat, percobaan, dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana terorisme. Hal ini merupakan suatu pengaturan yang baru dan berbeda dengan pengaturan yang ada di KUHP, dimana ancaman pidana untuk pihak- pihak yang bersalah melakukan percobaan (Pasal 53 KUHP) atau pembantuan (Pasal 57 KUHP) dikurangi sepertiga dan apabila kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama (15) lima belas tahun.

B. Kekhususan Tindak Pidana Terorisme

Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau crime against humanity. Oleh karena itu, perumusan ancaman pidana minimal khusus diperlukan dalam mengoptimalkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme. Agar dapat memberikan ancaman yang berat dan efek jera pada pelaku terorisme. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan langkah yang dibutuhkan untuk memutus/menutup perkembangan dari kelompok-kelompok terorisme. Payung hukum

(11)

8 pemberantasan tindak pidana ini telah dibentuk, mulai dari meratifikasi Convention on the Suppression of Financing Terorism, Perppu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, kemudian disahkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta Undang - undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang Undang 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Kekhususan Tindak Pidana Terorisme terletak pada proses penindakannya yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror Polri. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme pasal 1 angka 17 yang menyatakan bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana terosisme dilakukan oleh Bidinvestigasi Densus 88 AT Polri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kekhususan lainnya dalam tindak pidana terorisme adalah terkait masa penahanan tersangka tindak pidan terorisme. Ketentuan batas waktu penahanan yang diatur dalam KUHAP berdeda dengan UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang Undang 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, karena masa penahanan tersangka teroris menurut undang-undang tersebut adalh lebih lama dibanding dengan KUHAP. Mengingat tindak pidana terorisme cukup sulit pembutiannya, maka lamanya penahana harus dipahami dari aspek penegakan hukum.

Berdasarkan Pasal 1 butir 13 UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dengan demikian, pada hakekatnya fungsi penyidikan adalah untuk membuat jelas suatu tindakan/perbuatan, sehingga dapat disimpulkan bahwa perbuautan tersebut memang telah memenuhi unsur-unsur untuk disebut sebagai tindak pidana dan membuat jelas bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut dapat disangkakan telah melakukan tindak pidana sesuai alat bukti yang dikumpulkan.

Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang Undang 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan wewenang kepada penyidik (Densus 88AT Polri) dalam jangka waktu penangkapan yang berdasarkan Pasal 19 KUHAP mengatur tentang jangka waktu penangkapan dilakukan paling lama 1 (satu) hari diperpanjang menjadi 14 (empat belas) hari dan pada ayat (2) disebutkan bahwa apabila jangka waktu selam 14 (empat belas) hari tidak

(12)

9 cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu 7 (tujuh) hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.

Prosedur penindakan tersangka secara khusus diatur dalam BAB IV Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme yang mana dalam Pasal 19 disebutkan berbagai tahapan penindakan tersangka tindak pidana terorisme mulai dari tahap negosiasi, peringatan, penetrasi, pelumpuhan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan barang bukti, sampai pada penindakan secara terukur yang menyebabkan matinya tersangka.8 Penindakan tersebut dilakukan terhadap tersangka:9

a. tanpa menggunakan senjata api;

b. menggunakan senjata api;

c. menggunakan bom;

d. menggunakan bom manusia (bom bunuh diri);

e. menggunakan sandera; dan

f. menggiunakan fasilitas umum dan objek vital sebagai sasaran.

C. Implementasi Penegakan Hukum Terhadap Tindak pidana Terorisme

Usaha pembaharuan terhadap Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, juga terus dilakukan oleh pemerintah dan unsur-unsur terkait, hal ini nampak dalam konsiderans Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang- undang Tindak Pidana Terorisme, menyebutkan bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum dan menghindari keragaman penafsiran dalam penegakan hukum serta memberikan perlindungan dan perlakuan secara adil kepada masyarakat dalam usaha mencegah dan mem berantas terorisme, perlu diadakan perubahan yang mana setelah dilakukan perubahan menjadi Undang- undang Nomor 5 tahun 2018 atas perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang.

8 Pasal 19 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme

9 Pasal 20 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme

(13)

10 1. Penegakan hukum tahap penyelidikan dan penyidikan

a. Peyelidikan

Salah satu ketentuan khusus dalam Undang-Undang tindak pidana terorisme dalam masalah penyelidikan adalah keterlibatan lembaga non-judicial yakni penggunaan laporan intelejen dalam memperoleh bukti permulaan yang cukup untuk dijadikan menetapkan seseorang jadi tersangka sehingga dapat dilakukan penangkapan, penahanan,penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Pasal 26 ayat (1) di sebutkan bahwa laporan intelejen didini dapat diperoleh dari depertemen dalam negri,depertemen luar negri, depertemen pertahanan, depertemen kehakiman dan HAM, depertemen keuangan, polisi republik Indonesia, TNI, kejaksaan agung, badan intelejen negara, atau instansi terkait. Jika dilihat dari rumusan pasal 26 ayat (4) maka laporan intelejen didudukan sebagai bukti pokok.

Artinya laporan intelejen dapat menjadi bukti untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup tanpa dibutuhkan bukti lainnya sehingga dapatmenjadi dasar dapat dilakukannya penyidikan.10

Dilihat dari uraian diatas maka dapat di simpulkan bahwa model penegakan hukum dalam proses penyelidikan terhadap pelaku tindak pidana terorisme lebih cenderung menggunakan sistem crime control model dimana penegak hukum diberi kwennangan yang lebih luas dan lebih longgar dalam memperoleh bukti permulaan. Hal itu terbukti dari penggunaan laporan intelejen yang bisa digunakan sebagai bukti permulaan.

b. Penyidikan

Ketika membicarakan ketentuan khusus proses penyidikan dalam ketentuan Undang- Undang pemberantasan tindak pidana terorisme maka akan sangat berkaitan dengan penyelidikan yang menggunakan laporan intelejen akan berkaitan dalam prose selanjutnya seperti penyidikan penangkapan penahanan. Maka kembali kepada laporan intelejen dapat dikatakan bahwa dalam proses penyidikan apatur negara lebih condong pada sistem crime control model. Itu artinya penegak hukum telah diberikan kekuasaan yang lebih longgar dalam melakukan proses pidana terorisme.

Manajemen penyidikan ini perlu dikuasai oleh setiap personil Densus 88 AT Polri, karena:

a) masa penahanan yang dilakukan penyidik adalah terbatas dan dibatasi;

b) banyaknya kasus atau perkara yang diterima oleh Polri dan tidak bisa ditolak;

10Ari Wibowo, 2012, Hukum Pidana Terorisme, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hlm 154

(14)

11 c) sumber daya manusia Polri yang masih rendah dan tidak konsisten;

d) anggaran yang dibutuhkan dan dikeluarkan cukup besar dalam proses penyidikan; dan e) sarana dan prasarana yang dimiliki Polri terbatas.

Atas dasar pengetahuan dan keterampilannya, serta kewenangan dan fungsi Bidang Investigasi Densus 88 AT Polri ini, maka aparat Penyidik pada Bidang Investigasi Densus 88 AT Polri telah dapat mengungkap kasus tindak pidana terorisme dengan kelompok radikal.

Pengungkapan kasus ini tentunya dilaksanakan sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Pasal 7 KUHP, antara lain dengan melaksanakan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi.

2. Penegakan terhadap penuntutan

Masalah penuntutan telah diatur didalam KUHAP dalam pasal 1 ayat 7 dimana berbunyi “penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan berkas perkara pidana ke pengadilan negri yang berwenang dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus pengadilan.

Penuntut umum setiap melimpahkan perkara ke pengadilan negri harus selalu disertai dengan surat dakwaan sebelum melimpahkan perkara pidana. Penuntut umum menentukan apakah suatu perkara sudah layak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri atau belum. Jika sudah layak maka berkas perkara bisa dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.

Dalam proses penuntutan tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang pemberantasan tindak pidana terorsme. Artinya aturan proses penuntutan sama dengan aturan yang berlaku dalam kitab undang-undang hukum acara pidana. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 25 (ayat 1) yang mengatakan “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah penggantu Undang- Undang ini”. Proses penuntutan lebih cenderung pada penggunaan sistem due process model. Alasan lebih cenderung pada due process model adalah karena proses penuntutan dalam kasus terorisme tidak diatur secara khusus dan mengikuti pedoman yang di atur dalam KUHAP.

3. Pemeriksaan di pengadilan

Pemeriksaan dipengadilan adalah pemeriksan yang dilakukan untuk menentukan apakah dugaan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana dapat dipidana atau tidak.

(15)

12 Mengenai pemeriksaan dipengadilan umumnya perkara tindak pidana yang amcaman hukumannya 5 tahun keatas dan masalah pembuktiannya memerlukan ketelitian biasanya diperiksa dengan acara biasa. Sedangkan perkara yang ancaman hukumannya ringan serta pembuktian tindak pidananya lebih mudah diperiksa dengan cara singkat atas perbedaan pemeriksaan tersebut kita mengenal 3 jenis acara pemeriksaan perkara pada sidang pengadilan negri. Yaitu pemeriksaan biasa, pemeriksaan singkat dan pemeriksaan cepat.11 Ada beberapa tahap pemeriksaan di sidang pengadilan, yaitu:

pemeriksaan identitas terdakwa yang diatur dalam pasal 155 KUHAP memperingatkan terdakwa untuk memperhatikan dan memberikan nasehat, pembacaan surat dakwaan, menanyakan apakah terdakwa mengerti dengan isi dakwaan, hak untuk memberikan ekasepsi atau keberatan.

11 M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta, Sinar Grafika, Hlm 109

(16)

13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan:

1. Unsur-unsur dalam tindak pidana pendanaan terorisme yaitu Setiap orang, yang melakukan permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme, dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana baik langsung maupun tidak langsung, Dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme, organisasi teroris, atau teroris. Dengan unsur-unsur ini keadaan hukum seseorang ditentukan terkait apakah subjek hukum telah melakukan kejahatan ataukah tidak, pada kasus tindak pidana pendanaan terorisme subjek hukum dapat dikatakan telah melakukan perbuatan pendanaan terhadap aksi-aksi terorisme apabila subjek hukum telah memenuhi syarat-syarat hukum pidana baik objektif maupun subjektifnya.

2. dalam rangka mengoptimalkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme, perumusan ancaman pidana minimal khusus diperlukan agar dapat memberikan ancaman yang berat dan efek jera pada pelaku terorisme. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan langkah yang dibutuhkan untuk memutus/menutup perkembangan dari kelompok-kelompok terorisme. Payung hukum pemberantasan tindak pidana ini telah dibentuk, mulai dari meratifikasi Convention on the Suppression of Financing Terorism, Perppu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, kemudian disahkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta Undang - undang 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang Undang 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

3. Perbedaan bentuk pidana materil antara Undang-undang 5 tahun 2018 dengan KUHP yaitu pada pasal 6 sampai pasal 13 UU no 5 tahun 2018. Pasal-pasal tersebut menjelaskan mengenai tindak pidana terorisme dan ancaman pidana yang diberikan.

Sedangkan pada KUHP, beberapa delik tindak pidana terorisme telah tercantum cukup jelas didalam KUHP yang terkait dengan Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap sarana/prasarana Penerbangan (Pasal 479a -479r.).

(17)

14 4. Dari sisi aparat penegak hukumnya, Densus 88 AT Polri bertugas melakukan

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme yang dilakukan kelompok radikal karena anggota (personil) Densus 88 AT Polri yang memang sudah terlatih dan berpengalaman dalam tugasnya. Proses penuntutan dilaksanakan sama dengan aturan yang berlaku dalam kitab undang-undang hukum acara pidana (pasal 25 ayat 1 KUHAP). Pemeriksaan di pengadilan dilakukan dengan pemeriksaan biasa, pemerikasan singkat, dan pemeriksaan cepat.

B. Saran

Undang-undang ini akan sangat efektif berjalan apabila diawali dengan semangat untuk memberantas terorisme, sehingga pemerintah seharusnya melakukan penyuluhan dan sosialisasi agar masyarakat umum mengetahui apa-apa saja yang menjadi indikasi seseorang dikatakan terorisme, dan menjelaskan pula bahwa harus dilaporkan kemana subjek hukum yang bersindikat terorisme tersebut agar terbangunya kerja sama antara elemen pemerintah dan masyarakat dalam hal pemberantasaan tindak pidana pendanaan terorisme dan tindak pidana terorisme di Indonesia.

(18)

15

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Dellyana,Shant.2004, ,Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta

Herry Firmansyah, “. P. (2011). Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Jurnal Mimbar Hukum, 2.

KBBI Daring, “Teror”, https://kbbi.web.id/teror, diakses 3 November 2023 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Salam, M. F. (2005). Motivasi Tindakan Terorisme. bandung: Mandar maju

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu 1/2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peraturan Pemerintah Penggant Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak Pidana Terorisme

Wibowo, Ari. 2012. Hukum Pidana Terorisme. Graha Ilmu: Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Di Indonesia penanganan perkara tindak pidana terorisme dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam perspektif Hak Asasi Manusia serta kebijakan yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki kelemahan dalam mencegah dan menanggulangi

Keterangan Pemerintah Tentang Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dan

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Untuk Menunjang Efektifitas Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ditulis oleh Olivia

Adnan Buyung nasution, 2003, Proses Acara Pidana Dalam Terorisme, Fakultas Hukum Universitas

Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat

Dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang