HUKUM ADAT DAN HUKUM TANAH NASIONAL
KELOMPOK 5:
Herpian Arrofy A.Nompa (B011201285) Ilda Damayanti (B011201343) Jenizah Avriani Nor (B011201028)
Khaerani (B011201273)
Khaerunnisa Al-Mudassir (B011201150) Khairul Umam (B011201087) Khusnul Mar Iyah M (B011201227)
Fatimah Karlos (B011201092) Muhammad Taqwa (B011201012)
HUKUM ADAT A
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas kelompok dari mata kuliah Hukum Adat yang berjudul “Hukum adat dan Hukum Tanah Nasional”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Ibu dosen pengajar Hukum Adat kelas A yaitu Ibu Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. serta Ibu Fitri Pratiwi Rasyid, S.H., M.H. yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Makassar, 7 Oktober 2020
Hormat Kami,
Kelompok 5
DAFTAR ISI
SAMPUL... 1
KATA PENGANTAR...2
DAFTAR ISI...3
BAB I : PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG...4
B. PERUMUSAN MASALAH...5
C. TUJUAN PENULISAN...5
D. MANFAAT PENULISAN...5
BAB II : PEMBAHASAN A. SISTEM HUKUM ADAT DAN HUKUM TANAH NASIONAL...6
1. Tanah Girik...7
2. Tanah Ulayat...8
B. JENIS HAK – HAK ATAS TANAH...11
1. Hak Individualitas Atas Tanah yang Bersifat Primer a. Hak Milik...11
b. Hak Guna Usaha...12
c. Hak Guna Bangunan...13
d. Hak Pakai...14
e. Hak Sewa...15
f. Hak Membuka Lahan...15
g. Hak Memungut Hasil Hutan...15
h. Hak – Hak lain yang Tidak Termasuk Di atas yang Akan Ditetapkan dengan Undang – Undang...15
2. Hak Individualitas Atas Tanah yang Bersifat Sekunder...16
C. LEMBAGA HUKUM ADAT DALAM HUKUM TANAH NASIONAL...17
D. HUKUM ADAT BERSIFAT KELUAR DAN KE DALAM...19
1. Hukum Adat Bersifat Ke dalam...19
2. Hukum Adat Bersifat Keluar...19
E. KONFLIK PERTANAHAN...20
F. KONFLIK LAHAN DAN BAGAIMANA KEBIJAKAN SATU PETA DAPAT MEMPERBAIKINYA...22
BAB III : PENUTUP A. KESIMPULAN...26
DAFTAR PUSTAKA...27
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh berkembang, maka hukum adat memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dan fleksibel.1
Keberadaan hukum adat tidak pernah akan mundur atau tergeser dari dunia politik dalam membangun hukum nasional, hal terlihat dari terwujudnya ke dalam hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum rakyat atau hukum adat menjadi hukum nasional serta terlihat pada naskah sumpah pemuda pada tahun 1928 bahwa hukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern. Menurut Soepomo, Hukum Adat adalah ”Suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat”. (Soepomo 2004).
Di dalam Hukum Adat, tanah merupakan masalah yang sangat penting.
Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan hukum.
Dengan adanya fenomena tersebut diatas, mengarahkan pada kemungkinan adanya keberagaman dari ketentuan hukum yang mengatur masalah tanah, apabila dikaitkan dengan masyarakat dan hukum adat. Pada saat ini, apabila dilihat dari pengaturan pasal-pasal dalam UUD 1945 dan rencana akan dibuatnya Undang-undang khusus mengenai hukum adat maupun masyarakat adat menunjukkan bahwa arus gelombang politik hukum mengenai pengaturan tanah saat ini adalah kepada keberagaman. Meskipun kondisi keberagaman ini belum langsung menjamin adanya perlindungan hukum terhadap tanah milik masyarakat adat, namun paling tidak memberikan harapan bagi masyarakat adat untuk diakuinya hukum adat serta hak mereka terhadap tanah adat mereka, yang akhir-akhir ini terancam hilang, mengingat pemerintah tidak akan segan “merampasnya”.
1 Muhammad Zainal. 2019. Pengantar Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Deepublish Publisher. Hlmn 169.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan judul di atas maka rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Apakah hubungan antara Hukum Adat dengan Hukum Tanah Nasional?
2. Seperti apakah sistem Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional?
3. Seperti apakah model – model hak atas tanah di Indonesia?
4. Seperti apakah lembaga Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional?
5. Apakah maksud dari sifat Hukum Adat yang keluar dan ke dalam?
6. Seperti Apakah konflik pertanahan itu?
7. Seperti apakah contoh kasus dari konflik pertanahan yang pernah terjadi?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui hubungan antara Hukum adat dan Hukum Tanah Nasional.
2. Untuk mengetahui sistem Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional.
3. Untuk mengetahui model – model hak atas tanah di Indonesia.
4. Untuk mengetahui lembaga Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional.
5. Untuk mengetahui sifat Hukum ke dalam dan keluar.
6. Untuk mengetahui maksud dari konflik pertanahan.
7. Untuk mengetahui contoh kasus dari konflik pertanahan yang pernah terjadi.
D. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional Indonesia, serta menambah pengetahuan mengenai penulisan makalah yang baik dan benar.
BAB II PEMBAHASAN
A. SISTEM HUKUM ADAT DAN HUKUM TANAH NASIONAL
Berdasarkan dua sistem hukum menurut cara pandang yang konvensional, yaitu sitem hukum adat dan sistem hukum nasional. Hal ini disebabkan oleh karena dua lembaga hukum, yaitu masyarakat hukum adat dan hak kolektif masyarakat hukum atas tanah menurut sistem hukum nasional. Kedua lembaga ini berkaitan dengan hukum pertanahan yang sejak tahun 1960 telah diundang dalam Undang – undang Pokok Agraria (UUPA) yang merupakan produk hukum nasional, dan oleh karena itu termasuk ke dalam sistem hukum nasional. Dengan diundangkannya UUPA, secara otomatis pengturannya takluk pada UUPA dan merupakan bagian sistem hukum nasional. Walaupun UUPA adalah “hukum adat yang telah di-saneer”, kedua lembaga hukum terebut masih tetap diakui eksistensinya dalam produk hukum nasional itu. Dari situlah, terjadi keterkaitan antara kedua objek sistem hukum ini.2
Jika dilihat dari sejarahnya, untuk mendapatkan hak atas tanah masyarakat adat biasanya ketika hutan telah dikosongkan (ditebang pohonnya sehingga yang tertinggal hanya lahan kosong) masyarakat adat tersebut kemudian memetakkannya dengan cara menancapkan papan nama kepelimikannya atas panah tersebut. Namun, sejak lahirnya Undang – Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 di Indonesia, sehingga penguasaan dan kepemilikan tanah diatur dalam UUPA dan peraturan – peraturan pelaksanaannya dengan beberapa pengecualian , yang membuat seluruh masyarakat Indonesia harus mendaftarkan kepemilikan tanahnya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dalam rangka membangun hukum nasional, hukum adat merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan – bahannya, berupa konsepsi, asas –asas dan lembaga – lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma – norma hukum yang
2 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang.
Jakarta: Prenadamedia Grup. Hlmn 137.
tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat. Yang selanjutnya dituangkan dalam peraturan perundang – undangan sebagai hukum yang tertulis dan hukum positif yang merupakan cikal bakal lahirnya UUPA.3
Namun banyak yang bertanya – tanya, hukum adat yang manakah yang dijadikan sebagai landasan hukum tanah nasional. Hukum adat itu sendiri sifatnya plural, hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki hukum adatnya sendiri yang masing – masing memiliki kearifan lokalnya yang khas.
Hukum Adat yang oleh UUPA dijadikan sebagai dasar Hukum Tanah Nasional adalah hukum aslinya golongan pribumi. Sebagaimana dinyatakan oleh Boedi Harsono, bahwa dimaksudkannya UUPA dengan Hukum Adat yaitu hukum aslinya golongan rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur – unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.
Konsepsi hukum adat mengenai pertanahan ini oleh Bboedi Harsono dirumuskan dengan kata komunalistik religius4.
Komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak – hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus menagandung unsur kebersamaan merupakan salah satu konsepsi hukum adat yang sekaligus merupakan konsepsi dasar dari hukum tanah nasional. Sifat komunalistik religius hukum tanah nasional dituangkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA. Komunalistik religius memungkinkan penguasaan tanah secara individual.
Namun, jika dalam hukum adat menyatakan bahwa tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, lain hal dengan hukum tanah nasional yang menyatakan bahwa wilayah negara kita adalah tanah bersama rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hukum tanah nasional memberikan peluang kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menguasai tanah bersama tersebut secara individual, dengan hak – hak yang bersifat pribadi namun sekaligus mengandung unsur kebesamaan yang sesuai dalam pasal 6 UUPA yang mencerminkan asas fungsi sosial hak atas tanah milik bersama (meliputi asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas
3 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang.
Jakarta: Prenadamedia Grup. Hlmn 137.
4A. Sutadi. 2018. BAB II: Tinjauan Umum Hukum Tanah Nasional. Hlmn 52.
kemasyarakatan, asas pemetaan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanah, dan asas pemisahan horizontal). Secara umum, tanah adat dikasifikasikan menjadi 2 yaitu 1. Tanah Girik
Tanah Girik merupakan istilah popular dari Tanah “Bekas Hak Milik Adat”.
Tanah girik berasal dari tanah adat atau tanah – tanah lain yang belum dikonversi menjadi salah satu tanah dengan hak tertentu (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak Guna Usaha) dan belum didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat.5
Secara hukum, tanah yang tidak memiliki sertifikat, misalnya tanah girik atau tanah berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) dari elurahan dan Keamatan, sebenarnya bukan merupakan bukti hak atas tanah. Girik Hanya merupakan bukti Bahwa pemegang girik tersebut diberikan kuasa untuk menguasai tanah dan sebagai pembayar pajak atas tanah yang dikuasainya. Karena itu merunut UUPA kepemilikan anah harus diikuasai oleh suatu hak atas tanah dengan sertifikat hak atas tanah, dengan demikian surat girik tidak dapat disamakan dengan sertifikat hak atas tanah. Kedudukan sertifikat hak atas tanah lebih tinggi dibandingkan surat Girik atau SKT. Namun, jika si kuasa hanya memiliki tanah dengan surat girik atau SKT, bukan berarti tidak dapat memiliki hak atas tanah tersebut, si kuasa tetap dapat menguasai tetapi tidak dapat memilikinya. Untuk menjadi pemilik secara penuh, diperlukan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dikeluarkan oleh kantor pertanahan setempat. Surat girik atau SKT merupakan dasar untuk mengajukan peningatan status hak tersebut.6
2. Tanah Ulayat
Tanah Ulayat merupakan tanah milik masyarakat ulayat hukum adat yang bentuknya seperti tanah titian, tanah pengairn, tanah kas desa, tanah bengkok, dll.
Untuk jenis tanah milik masyarakat hukum adat ini tidak bisa disertifikatkan begitu saja. Kalaupun ada, tanah milik masyarakat hukum adat dapat dilepaskan dengan cara ditukar guling atau melalui pelepasan hak atas tanah tersebut terlebih dahulu ke kepala adat. Namun, banyak yang mengatakan bahwa tanah ulayat ini tidak dapat diperjual belikan dan tidak dapat dijadikan objek pendaftaran tanah sebagaimana yang
5 Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn, “Cara Penyertifikatan Tanah Adat”
(https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt537ac3b737835/cara-penyertifikatan-tanah-adat/, diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 pukul 14:21 WITA.
6 Legalakses.com, “Begini Cara Membedakan Tanah Girik dengan Tanah Sertifikat”, (https://www.legalakses.com/tanah-girik-vs-tanah-sertifikat/), diakses pada tanggal 10 Oktober 2020, pukul 16:20 WITA.
tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.7
Tanah ulayat yang memiliki unsur kebersamaan dan terdapat fungsinya untuk kepentingan bersama. Dan dengan demikian, maka tanah ulayat selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah yang termasuk dalam ranah hukum perdata, juga mengandung tugas mengelola yang masuk dalam hukum publik. Hak ulayat ini memungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai secara pribadi oleh para masyarakat hukum adat. Hak penguasaan tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak ulayat. Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Dalam unndang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UU Pokok Agraria) mengakui adanya hak ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 syarakat yatu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarakan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui selama menurut kenyataannya masih ada. Dengan demikian, tanah ulayat tidak dapat dialihkan menajadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan.8
Isi wewenang hak ulayat menyatakan, bahwa hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik, sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah, menurut pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Menurut hukum adat, tanah timbul dapat dikategorikan sebagai tanah hak ulayat yang merupakan tanah milik bersama (komunal) dari seluruh masyarakat hukum adat. Penguasaan tanah dengan cara membuka tanah hutan atau tanah kosong menurut ketentuan Hukum Adat dapat dimungkinkan untuk ditingkatkan menjadi hak milik.9
Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal tersusun dalam suatu sistem yang berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya.
7 Ridho Afrianedy, SHI., L.c., “Kepastian Hukum Bagi Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau Sumatera Barat” (http://pta-jambi.go.id/11-artikel/2013-kepastian-hukum-bagi-tanah-ulayat-masyarakat-minangkabau-di- sumatera-barat-10-12-2014#:~:text=Padahal%20tanah%20ulayat%20tidak%20bisa,Konsep%20Tanah
%20Ulayat.), diakes pada tanggal 9 Oktober 2020 pada pukul 15:22 WITA.
8 Mutiara Putri Artha, S.H., M.Kn. “Tanah Ulayat”,
(https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6522/tanah-ulayat/), diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 pukul 15:45 WITA.
9 Bambang Eko Turisno, Keberlakuan hukum Aadat dan Undang – Undang Pokok Agraria Dalam Penentuan Hak atas Tanah Timbul. Mmh, Jilid 40 No.1 Maret 2011. Hlmn 47.
Sehubungan dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan atau pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya bukan hanya untuk kepentingan suatu generasi, tetapi juga untuk generasi berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut.10
10 Arie Sukanti Hutagalung, Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok:
2003), hlm 15.
B. JENIS – JENIS HAK ATAS TANAH
Setiap warga negara diberikan kesempatan untuk memiliki dan menguasai sebidang tanah secara individu. Atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan adanya macam – macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang – orang baik, sendiri maupun diberikan kepada orang lain serta badan badan hukum11. Hak individual tanah pun ada yang bersifat primer dan sekunder. Berikut adalah uraian lengkapnya12
1. Hak – Hak Individual atas Tanah yang Bersifat Primer a. Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak ini dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Oleh pemerintah, ditetapkan pula badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
Orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu.
Jika sesudah jangka waktu tersebut, hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung aelama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia juga tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Hak milik dapat hilang apabila:
a) Tanahnya jatuh ke tangan negara karena:
1) Pencabutan hak.
2) Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
11 Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H., “Jenis – Jenis Hak atas Tanah dan yang Dapat Menjadi pemegangnya”, (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5eeb3b383296d/jenis-jenis-hak-atas-tanah-dan-yang- dapat-menjadi-pemegangnya), diakses pada tanggal 10 Oktober 2020, pada pukul 16:34 WITA.
12 Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H., “Jenis – Jenis Hak atas Tanah dan yang Dapat Menjadi pemegangnya”, (hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5eeb3b383296d/jenis-jenis-hak-atas-tanah-dan-yang-dapat-menjadi- pemegangnya), diakses pada tanggal 10 Oktober 2020, pada pukul 16:36 WITA.
3) Ditelantarkan.
4) Orang asing yang mendapatkannya berdasarkan waris atau percampuran harta akibat perkawinan, kehilangan kewarganegaraan, serta jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum yang tidak ditetapkan pemerintah.
b) Tanahnya Musnah.
b. Hak Guna Usaha (HGU)
HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu HGU dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun. HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Yang dapat memiliki HGU adalah:
a) Warga Negara Indonesia.
b) Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Orang atau badan hukum yang mempunyai HGU dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh HGU, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika HGU
yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain apabila:
a) Jangka waktunya berakhir.
b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
d) Dicabut untuk kepentingan umum.
e) Ditelantarkan.
f) Tanahnya musnah.
c. Hak Guna Bangunan (HGB)
HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan- bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu HGB dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang dapat mempunyai HGB adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Namun, perlu diketahui bahwa HGB dapat dihapus apabila:
a) Jangka waktunya berakhir.
b) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
c) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
d) Dicabut untuk kepentingan umum.
e) Ditelantarkan.
f) Tanahnya musnah.
Orang atau badan hukum yang mempunyai HGB dan tidak lagi memenuhi syarat, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna- bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
d. Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari:
a) Tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya.
b) Tanah milik orang lain dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
Segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan- ketentuan UUPA. Selain itu, hak pakai juga dapat diberikan atas tanah dengan hak pengelolaan, yang diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak pengelolaan. Hak pengelolaan sendiri adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Yang dapat mempunyai hak pakai adalah:
a) Warga negara Indonesia.
b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Hak pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada:
a) Departemen, lembaga pemerintah non departemen, dan pemerintah daerah.
b) Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
c) Badan keagamaan dan badan sosial.
e. Hak Sewa
Hak Sewa memungkinkan seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan dengan cara:
a) Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu.
b) Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
Perjanjian sewa tanah ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Yang dapat menjadi pemegang hak sewa adalah:
a) Warga negara Indonesia.
b) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
c) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
d) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
f. Hak Membuka Tanah g. Hak Memungut Hasil Hutan
h. Hak – Hak lain yang Tidak Termasuk Di atas yang Akan Ditetapkan dengan Undang – Undang
2. Hak – Hak Individual atas Tanah yang Bersifat Sekunder
H. M. Arba dalam buku yang sama menerangkan bahwa hak sekunder adalah hak yang mengandung sifat yang bertentangan dengan undang- undang karena mengandung unsur pemerasan dan penindasan, sehingga diusahakan hapusnya dalam waktu singkat (hal. 126). Contoh hak seperti ini adalah:
a. Hak gadai tanah.
b. Hak usaha bagi hasil.
c. Hak sewa tanah pertanian.
d. Hak menumpang.
Patut diperhatikan dalam artikel Perbedaan Peralihan dengan Pembebanan Hak Atas Tanah, praktisi hukum Irma Devita Purnamasari memiliki pendapat yang berbeda mengenai penggolongan hak atas tanah primer dan sekunder ini. Menurutnya, hak atas tanah primer terbatas pada hak yang diberikan langsung oleh negara, seperti hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai. Sementara hak atas tanah sekunder adalah hak yang timbul atau dibebankan di atas hak atas tanah yang sudah ada, mencakup HGU, HGB, hak pengelolaan, hak sewa, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak gadai tanah dan hak tanggungan.
C. LEMBAGA HUKUM ADAT DALAM HUKUM TANAH NASIONAL
Lembaga – lembaga hukum yang dikenal dalam hukum adat umumnya adalah lembaga – lembaga yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang sifatnya masih sederhana. Karena adanya perubahan zaman dan perubahan kebutuhan masyarakat sehingga lembaga – lembaga tersebut disempurnakan dan dimoderenisasi guna membangun hukum tanah nasional namun tetap memeprtahankan hakikat, sifat dan ciri kepribadian Indonesia. 13
Jika sebelumnya hukum adat terbatas pada lingkup personal dan teritorialnya sehingga dalam rangka pembuatan akta tanah hanya boleh dibuat oleh si penjual tanah itu sendiri tetapi harus diketahui oleh kepala desa/adat. Namun karena adanya modernisasi sehingga pembuatan akta tanah mengalami penyesuaian dengan sifat masyarakat saat ini yang terbuka (lembaga jual beli tanah) tanpa mengubah hakikatnya sebagai perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harga secara tunai, serta sifat dan cirinya sebagai perbuatan yang riil dan terang.
Pendaftaran Tanah harus dibuktikan dengan suatu akta tanah (PPAT) yang telah diatur dalam peraturan mengenai jual beli PP 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah. Ini merupakan suatu perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu alat bukti perbuatan hukum yang dilakukan.14 Pada dasarnya ketentuan ketentuan hukum tanah nasional terdiri atas beberapa sumber hukum, yaitu15:
a. Sumber – sumber hukum yang tertulis 1. UUD 1945 khususnyapasal 33 ayat (3)
2. UUPA (Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 3. Peraturan – peraturan pelaksanaan UUPA
4. Peraturan – peraturan yang bukan merupakan pelaksanaan UUPA, yang dikeluarkan sesudah tanggal 24 September 1960 karena suatu masalah yang perlu diatur. Misalnya Undang – undang 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa izin yang Berhak atau Kuasanya.
5. Peraturan – peraturan lama yang masih berlaku berdasarkan ketentuan – ketentuan pasal peralihan.
13 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang.
Jakarta: Prenadamedia Grup. Hlmn 139.
14 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang.
Jakarta: Prenadamedia Grup. Hlmn 139.
15 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang.
Jakarta: Prenadamedia Grup. Hlmn 140.
b. Sumber – sumber tidak tertulis
1. Norma hukum adat yang sudah di “saneer” menurut pasal 5, 56, 58.
2. Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik administrasi.
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/2007”), PMA adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka 6 UU 25/2007).16
PMA wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang (Pasal 5 ayat (2) UU 25/2007). Oleh karena itu, walaupun merupakan perusahaan PMA, akan tetapi perusahaan tempat Anda bekerja tetap merupakan badan hukum Indonesia. Melihat pada ketentuan tersebut, sebenarnya tidak menjadi masalah jika perusahaan PMA tersebut mempunyai HGB.17
16 Letezia Tobing, S.H., S.Kn., “Hak Atas Tanah Untuk Perusahaan Penanaman Modal Asing”, (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt531fcd4883c90/hak-atas-tanah-untuk-perusahaan-
penanaman-modal-asing/), diakses pada tanggal 10 Oktober 2020, pada pukul 17:42 WITA.
17 Letezia Tobing, S.H., S.Kn., “Hak Atas Tanah Untuk Perusahaan Penanaman Modal Asing”, (https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt531fcd4883c90/hak-atas-tanah-untuk-perusahaan-
penanaman-modal-asing/), diakses pada tanggal 10 Oktober 2020, pada pukul 17:42 WITA.
D. HUKUM ADAT BERSIFAT KELUAR DAN KE DALAM
Dalam suatu masyarakat persekutuan hukum adat, dikenal dalam literatur hukum adat yang bersifat keluar dan ke dalam. Makna dari terminologi keluar dan ke dalam diartikan sebagai hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (negara) sebagai karunia Tuhan yang dalam komunitas masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk pengelolaannya. Maksud ke dalam dan keluar ini , sebagai berikut18:
a. Bersifat ke dalam
Maksudnya adalah penguasaan dan pengelolaan lahan dan segala bentuk kekayaan alam baik material maupun nonmaterial itu dikuasai oleh masyarakat adat yang bersangkutan tanpa campur tangan dari pihak luar.
b. Bersiat keluar
Yaitu dimungkinkannya berdasarkan hukum adat masyarakat luar yang ingin mempergunakan tanah dalam bentuk pengelolaan dan penguasaannya, dengan tata krama serta etika yang dianut dalam suatu komunitas masyarakat hukum adat, yakni berupa rekoqnitie atau uang pemasukan (permisi) sebelum memungut hasil hutan disaat orang luar masuk ke dalam kawasan hukum adat, dan di saat setelah selesai penguasaan dan pengelolahan tanah dengan memberikan uang pengakuan sebagai tanda pengakuan (terima kasih) setelah memungut hasil hutan difungsikam sebagai sarana untuk memulihkan “keseimbangan magis’ bukan
‘uang ganti rugi’ ataupun ‘uang pelepasan hak’ sebagaimana lazim digunakan dalam negosiasi di Monokwari khususnya dan di Provinsi Papua pada umumnya.
Sebagai sarana pemulihan keseimbangan magis, uang pemasukan itu jumlahnya kecil karena hasil hutan yang akan dipukungut oleh pihak luar (nonwarga) bukan untuk tujuan komersial, sedangkan uang pengakuan merupakan tanda (lambang) bahwa pihak luar yang bersangkutan mengakui telah memungut hasil darhak tanah pihak lain. Hal itu menunjukkan bahwa menurut hukum adat, rokognisi bukanlah pelepasan hak, bukan pula ganti rugi dalam suatu tranksasksi yang berakibat terjadinya peralihan hak atas tanah.
18 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta:
Prenadamedia Grup. Hlmn 141.
E. KONFLIK PERTANAHAN
Terdapat berbagai macam bentuk transaksi – transaksi tanah yang telah dikenal sejak zaman dahulu hingga saat ini. Seiring dengan perkembangan zaman dan begitu kompleksnya kebutuhan – kebutuhan atas penguasaan, pengelolaan dan kepemilikan tanah, sehingga menimbulkan beragam konsekuensi logis yang erat kaitannya dengan konflik dan sengketa terkait pertanahan. Konflik bukanlah suatu keadaan yang statis. Konflik bersifat ekspresif, dinamis, dan dialektis. Konflik pertanahan adalah suatu keadaan akibat adanya persaingan atau perebutan dua pihak atau lebih (subjek) mengenai satu atau beberapa bidang tanah (objek) terutama berkaitan dengan status hak penguasaan, pengelolaan, dan kepemilikan.19
Awal timbulnya konflik pertanahan pada umumnya dipicu oleh suatu keadaan di mana terdapat seseorang atau sekelompok orang atau lebih menunjukkan praktik – praktik untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai bidang tanah yang diperebutkan. Selain itu, konflik pertanahan juga terjadi karena adanya praktik – praktik penghilangan pengakuan (hak) rakyat setempat terhadap tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, yang dilakukan oleh pihak – pihak lain baik badan – badan pemerintah maupun swasta. Hal ini merupakan suatu hal yang mengancam bagi keberlanjutan hidup mereka. Konflik pertamnahan tidak saja melanda masyarakat kota tetapi juga sudah melanda masyarakat pedesaan. Bagi penduduk desa dahulu di masa rezim orde baru, konflik ditandai penggunaan kekerasan terhadap penduduk yang menguasai tanah yang tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah ketika itu. Namun, di masa reformasi belakangan ini, perhatian terhadap masalah tersebut semakin membesar, di mana konflik tersebut telah sampai pada reaksi balik dari diri penduduk lokal untuk mengambil kembali secara langsung tanah – tanah mereka telah dirampas.20
Hal demikian menyadarkan kita bahwa budaya kekerasan telah melanda bangsa ini yang notabenenya adalah bangsa beradab yang anti terhadap kekerasan.
Faktanya, di tengah masyarakat kerap kali muncul konflik yang umumnya disebabkan oleh salah pengertian ataupun misscomunication mengenai makna bahwa hukum agraria adalah hukum adat. Pemicu konflik lainnya disebabkan karena hubungan
19 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta:
Prenadamedia Grup. Hlmn 142.
20 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta:
Prenadamedia Grup. Hlmn 143.
antara hak – hak masyarakat/perorangan atas tanah dengan hak menguasai tanah dari negara pemahamannya masih samar – samar.21
Seiring dengan perkembangan akan eksistensi masyarakat hukum adat, Nampak jelas terjadinya kecenderungan alamiah mengenai melemahnya hak ulayat secara kasat mata. Ini merupakan pengaruh pergeseran secara internal eksistensi masyarakat hukum adat yang dikarenakan bertambah menguatnya hak – hak individual apra warga masyarakat adatnya.22
Memungkinkan lain melemahnya hak ulayat masyarakat adat diakibatkan untuk pengaruh eksternal utama kebijakan pemerintah dengan sejumlah regulasi mengenai hak atas tanah. Pemahaman yang cenderung terlihat memprofokasi antar kepentingan masyarakat dan negara menjadi akar masalah dari konflik itu sendiri. Jika merujuk pada perspektif ilmu hukum sebagai suatu sistem yang utuh dan tidak saling bertentangan, maka seharusnya sinkronisasi tujuan antara masyarakat dan negara bukanlah hal yang tidak mungkin. Dengan kondisi demikian, sudah seharusnya dalam menyelesaikan sebuah konflik yang menjadi susbstansi adlah bukan dimulai langsung pada praktiknya akan tetapi dimulai dari pemahaman tentang sumber, asas ketentuan dan penerapan dalam menyelesaikan konflik sesuai dengan kemandirian dan jati diri bangsa yang berbudaya arif. Oleh karenanya, hukum tanah nasional sepatutnya memanifestasikan perasaan hukum masyarakat sebagaimana nilai – nilai yang ada dalam hukum adat dalam rangaka memperoleh kapasitas hukum.23
21 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta:
Prenadamedia Grup. Hlmn 143.
22 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta:
Prenadamedia Grup. Hlmn 143.
23 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta:
Prenadamedia Grup. Hlmn 144.
F. KONFLIK LAHAN DAN DAN BAGAIMANA KEBIJAKAN SATU PETA DAPAT MEMPERBAIKINYA
Sebelum ada Kebijakan Satu Peta (KSP), Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki data, peta, dan informasi geospasial masing- masing. Akibatnya, makin banyak terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan dan mengakibatkan Terjadinya konflik lahan di Indonesia. Presiden Joko Widodo mempercepat pelaksanaan KSP melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016, yang menghasilkan peluncuran geoportal KSP pada tahun 2018 lalu. Selain peta dasar, geoportal berisi berbagai peta tematik hasil kompilasi dan integrasi dari berbagai instansi pemerintah agar dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan konflik lahan24. Berikut adalah 3 contoh konflik lahan di provinsi riau, yang menyumbang konflik lahan tertinggi ialah di Indonesia (42 kasus dari total 410 kasus atau setara dengan lahan seluas 807.177,6 Ha di Indonesia)25:
1. Kasus Batas Desa
Di kabupaten Rokan Hulu, konflik batas desa diwarnai dengan keberadaan perkebunan kelapa sawit masyarakat di Kawasan Hutan Lindung. Upaya resolusi konflik pernah dicoba melalui penerapan Perhutanan Sosial (PS) pada beberapa desa. Melalui PS, masyarakat yang terlanjur mengelola lahan di Kawasan Hutan diberikan izin meneruskan aktivitasnya dengan menerapkan sistem pengelolaan hutan lestari. Akan tetapi, legalisasi lahan-lahan PS tersebut dilaksanakan tanpa melalui proses kesepakatan batas dengan desa-desa tetangganya. Bahkan ada desa penerima sertifikat PS yang lahannya berada di desa lain.
2. Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kawasan Hutan
Di perbatasan Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu ditemukan pada satu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di sana menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit masyarakat telah merambah hingga mencapai lebih dari 80% hutan lindung. menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit masyarakat telah merambah hingga mencapai lebih dari 80% hutan lindung. KPH sebagai unit pengelolaan kawasan hutan dapat berkontribusi
24 Dwiki Ridwan, dkk, “3 Contoh Kasus Konflik Lahan dan Bagaimana Kebijakan Satu Peta Dapat Memperbaikinya”, (https://wri-indonesia.org/id/blog/3-contoh-kasus-konflik-lahan-dan-bagaimana-kebijakan- satu-peta-dapat-memperbaikinya). Diakses pada tanggal 10 Oktober 2020 pada pukul 15:32 WITA.
25 Dwiki Ridwan, dkk, “3 Contoh Kasus Konflik Lahan dan Bagaimana Kebijakan Satu Peta Dapat Memperbaikinya”, (https://wri-indonesia.org/id/blog/3-contoh-kasus-konflik-lahan-dan-bagaimana-kebijakan- satu-peta-dapat-memperbaikinya). Diakses pada tanggal 10 Oktober 2020 pada pukul 15:32 WITA.
penting untuk menyelenggarakan resolusi konflik di kawasan hutan.
Namun, saat ini baru 12 dari 37 unit KPH di Riau yang telah menyelesaikan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP), sehingga anggaran dan perencanaan penanganan konflik masih minim.
3. Konflik Dengan Masyarakat Adat
Di Kabupaten Kampar, 7 kelompok Masyarakat Hukum Adat (MHA) sudah berjuang mengusulkan pengakuan atas wilayahnya sejak 10 tahun lalu, tetapi tak kunjung ada pengakuan. Alasannya bervariasi, seperti keberadaan Wilayah Adat di dalam Hutan Konservasi atau di dalam HGU perkebunan kelapa sawit. Persoalan lambatnya pengakuan masyarakat hukum adat, wilayah adat, dan hutan adat menjadi salah satu penyebab konflik lahan. Pemerintah kini telah memberikan pengakuan hutan adat seluas 24.378 Ha di seluruh Indonesia. Sayangnya, belum satu pun SK hutan adat diberikan di Riau.
Berdasarkan kasus – kasus itulah sehingga pemerintah Negara Republik Indonesia mengambil langkah untuk membuat kebijakan mengenai penyelesaikan kasus – kasus seperti ini. Oleh sebab itulah pemerintah mengeluarkan KSP. Berikut adalah cara kerja KSP dalam menyelesaikan konflik lahan26:
1. Kebutuhan peta dalam menyelesaikan Konflik.
Melihat model – model kasus tersebut, yang pada umumnya juga terjadi diprovinsi – provinsi lain, penyelesaian Peta Batas Desa, Peta Perkebunan Rakyat, Peta Potensi Wilayah Adat, dan Peta Perhutanan Sosial menjadi sangat penting untuk mencapai mimpi KSP. Sayangnya, 3 peta terakhir dalam geoportal KSP belum dapat diakses oleh masyarakat.
Pemerintah perlu memberikan akses kepada masyarakat agar dapat dimanfaatkan langsung dalam penyelesaian konflik lahan bersama rakyat.
2. Optimalisasi peran PEMDA dalam sebagai pengelola data spesial.
Badan Informasi Geospaasial (BIG)) selaku ketua pelasksana KSP menekankan pentingnya peran Pemda sebagai simpul jaringan dalam pelaksanaan KSP. Contohnya, Pemerintah Provinsi Riau sudah memiliki Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2019 tentang Satu Data Peta, unit pengelola informasi geospasial, dan geoportal yang terkoneksi ke pusat.
26 Dwiki Ridwan, dkk, “3 Contoh Kasus Konflik Lahan dan Bagaimana Kebijakan Satu Peta Dapat Memperbaikinya”, (https://wri-indonesia.org/id/blog/3-contoh-kasus-konflik-lahan-dan-bagaimana-kebijakan- satu-peta-dapat-memperbaikinya). Diakses pada tanggal 10 Oktober 2020 pada pukul 15:32 WITA.
Namun, model – model kasus di Riau menegaskan bahwa Pemda erlu terlibat sampai ke tingkat tapak, misalnya menjadi mediator antara 2 desa yang bersengketa batas.
3. Pelembagaan penanganan konflik lahan yang multi pihak.
Tim Kerja Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan dan Hutan Adat yang dibentuk oleh Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) di Provinsi Sumatera Selatan, serta Tim Penanganan Konflik Sumber Daya Alam di Kabupaten Musi Banyuasin dapat menjadi contoh bagaimana resolusi konflik diupayakan melalui pendekatan kelembagaan.
Kedua tim ini terdiri dari perwakilan berbagai isntansi, seperti Pemda tingkat Provinsi atau Kabupaten, KPH, dan lembaga swadaya masyarakat.
Sedangkan di Riau, Pokja PPS memulai digencarkan melalui revisi SK Gubernur.
4. Peran serta universitas dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Kebutuhan sumber daya manusia menjadi salah satu penyebab utama lambatnya progres KSP. Aparatur Pemda yang memiliki kemampuan teknis pemetaan umumnya hanya ditemukan pada instansi tertentu seperti;
Dinas LHK, BAPPEDA, dan Dinas PUPR. Universitas di daerah dapat berkontribusi melalui kegiatan pelatihan, penelitian, dan pelibatan mahasiswanya. Contohnya, Universitas Riau bekerja sama dengan BIG dan Pemerintah Kabupaten Siak dalam mengerahkan mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk melaksanakan pemetaan desa secara partisipatif di salah satu kecamatan. Hasilnya, mahasiswa membantu mendorong kesepatakan pada 7 dari 13 segmen batasdesa.
5. Perlibatan masyarakat untuk pemetaan partisipatif.
Masyarakat lokal merupakan pengelola langsung kawasan tempat mereka tinggal, sehingga mereka paham mengenai semua potensi di sekitarnya. BIG memfasilitasi penyelenggaraan pemetaan partisipatif berbasis masyarakat lokal melalui aplikasi PetaKita. Aplikasi ini perlu dikembangkan lebih lanjut agar dapat digunakan di wilayah yang tidak terjangkau internet. Selanjutnya, hasil pemetaan partisipatif dapat Pemda sesuaikan untuk kebutuhan KSP.
Selesainya geoportal KSP dan peta – peta di dalamnya layak diapresiasi. Namun, data – data tersebut harus dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menyelesaikan konflik lahan di lapangan. Pada akhirnya, tanpa upaya resolusi konflik yang memadai, bukan tidak mungkin konflik di lapangan tak kunjung di selesaikan, atau terus bertambah.
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN
Hukum adat merupakan sumber utama Hukum Tanah Nasional untuk memperoleh bahan – bahannya, berupa konsepsi, asas –asas dan lembaga – lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma – norma hukum yang tertulis, yang disusun menurut sistem hukum adat. Yang selanjutnya dituangkan dalam peraturan perundang – undangan sebagai hukum yang tertulis dan hukum positif yang merupakan cikal bakal lahirnya UUPA.27 Hukum Adat yang oleh UUPA dijadikan sebagai dasar Hukum Tanah Nasional adalah hukum aslinya golongan pribumi yang sifatnya hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur – unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.28
Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan – ketentuan hukum adat itu. Sebagai hukum adat asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.29Selain itu, berdasarkan sifatnya hukum adat diklasifikasikan atas hukum adat ke dalam dan keluar.
Suatu kepemilikan hak atas tanah wajib dibuktikan dengan sertifikat, demikian yang ditentukan oleh undang – undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang (UUPA) menentukan. Misalnya, pembuktian ha katas tanah bisa dibuktikan dengan Sertifikat Hak Milik, Jenis – Jenis Hak Atas Tanah cukup bervasiasi,seperti; Hak Milik, Hak Guna, Hak Guna Usaha dan Hak pakai. Masing – masing hak atas tanah tersebut memiliki jenis sertifikatnya masing – masing. Berdasarkan asas – asas inilah pelembagaan hukum adat mengalami modernisasi dan penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat saat ini yang semakin terbuka akan kegiatan jual – beli. Persengketaan tanah ini biasanya dikarenakan tidak adanya bukti sertifikat tanah yang sah dari BPN, atau sengketa pembagian hasil waris tanah.
27 Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang.
Jakarta: Prenadamedia Grup. Hlmn 137.
28 A. Sutadi. 2018. BAB II: Tinjauan Umum Hukum Tanah Nasional. Hlmn 52.
29 Setyo Utomo. 2018. Nilai – Nilai Kearifan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional. Hlmn 12
DAFTAR PUSTAKA Buku
Mustari Pide, A. Suriyaman. 2017. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang. Jakarta:
Prenadamedia Grup.
Zainal, Muhammad. 2019. Pengantar Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Deepublish Publisher.
Jurnal
Turisno, Bambang Eko. 2011. Keberlakuan Hukum Aadat dan Undang – Undang Pokok Agraria Dalam Penentuan Hak atas Tanah Timbul. Mmh, Jilid
40 No.1 Maret 2011.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/13053.
Sutadi. 2018. BAB II: Tinjauan Umum Hukum Tanah Nasional.
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/13448/BA B%20II.%20TINJAUAN%20UMUM%20HUKUM
%20TANAH%20NASIONAL.pdf?
sequence=3&isAllowed=y.
Sukanti Hutagalung, Arie. Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok: 2003).
Utomo, Setyo. 2018. Nilai – Nilai Kearifan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional, Jurnal Hukum Media Bhakti Issue No.1, Vol.2, Aagustus 2018.
https://jurnal.hukumonline.com/a/5cb49bc901fb73001038ce69 /nilai-nilai-kearifan-lokal-hukum-adat-dalam-hukum-tanah- nasional.
Internet
Afrianedy, Ridho, SHI., L.c., Pta-jambi.go.id, Kepastian Hukum Bagi Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau Sumatera Barat, http://pta- jambi.go.id/11-artikel/2013-kepastian-hukum-bagi-tanah- ulayat-masyarakat-minangkabau-di-sumatera-barat-10-12-
2014#:~:text=Padahal%20tanah%20ulayat%20tidak
%20bisa,Konsep%20Tanah%20Ulayat. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 pukul 15:45 WITA.
Devita Purnamasari, Irma, S.H., M.Kn, Hukumonline.com, Cara Penyertifikatan Tanah Adat, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt537ac3b7 37835/cara-penyertifikatan-tanah-adat/. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 pukul 14:21 WITA.
Legalakses.com, Begini Cara Membedakan Tanah Girik dengan Tanah Sertifikat, https://www.legalakses.com/tanah-girik-vs-tanah-sertifikat/.
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2020, pukul 16:20 WITA.
Pradana A. Azis, Arasy, S.H., M.H., Hukumonline.com, Jenis – Jenis Hak atas Tanah dan
yang Dapat Menjadi pemegangnya,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5eeb3b38 3296d/jenis-jenis-hak-atas-tanah-dan-yang-dapat-menjadi- pemegangnya. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2020, pada pukul 16:34 WITA.
Putri Artha, Mutiara, S.H., M.Kn., Hukumonline.com, Tanah Ulayat, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6522/tan ah-ulayat/. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2020 pukul 15:45 WITA.
Ridwan, Dwiki, dkk, Wri-Indonesia.org, 3 Contoh Kasus Konflik Lahan dan Bagaimana Kebijakan Satu Peta Dapat Memperbaikinya, https://wri- indonesia.org/id/blog/3-contoh-kasus-konflik-lahan-dan- bagaimana-kebijakan-satu-peta-dapat-memperbaikinya.
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2020 pada pukul 15:32 WITA.
Tobing, Letezia, S.H., S.Kn., Hukumonline.com, Hak Atas Tanah Untuk Perusahaan
Penanaman Modal Asing,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt531fcd48 83c90/hak-atas-tanah-untuk-perusahaan-penanaman-modal- asing/. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2020, pada pukul 17:42 WITA.