• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Tanah Sultan Ground Dalam Hukum Tanah Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Eksistensi Tanah Sultan Ground Dalam Hukum Tanah Nasional"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH

NASIONAL

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

LAYLA IZZA RUFAIDA NIM. E0007153

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN

Nama : Layla Izza Rufaida NIM : E0007153

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH

NASIONAL adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 16 Januari 2012 Yang Membuat Pernyataan,

(5)

MOTTO

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu

orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Imran : 139)

“Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan tapi lihatlah sekitar anda dengan penuh kesadaran”.

(James Thurber)

“A person who never made a mistake, never tried anything new”. (Albert Einstein)

(6)

PERSEMBAHAN

Penulisan hukum (skripsi) ini Penulis

persembahkan untuk :

Kedua Orangtua ku Bapak Barja Wiyana

dan Ibu Sutariyem;

Kakak ku Ana Nurul Hidayah;

Adik ku M. Arif Rahman Himawan;

Keluarga Besar Margo Utomo dan Prapto

Diharjo;

Keluarga Besar Gopala Valentara;

(7)

ABSTRAK

Layla Izza Rufaida, E 0007153. 2012. EKSISTENSI TANAH SULTAN

GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL. Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria serta mengetahui pengelolaan tanah Sultan Ground yang dilakukan pemerintah berdasarkan kebijakan pertanahan nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat perspektif. Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Tekhnik pengumpulan data yaitu dengan tekhnik studi kepustakaan. Beberapa data kemudian dimintakan konfirmasi dari Keraton Yogyakarta (Panitikismo) dan Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta. Teknik analisis data yang digunakan dengan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan sebagai berikut: Kesatu, eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional secara tegas belum ada atau belum eksis dalam hukum positif walaupun secara hukum adat tanah Sultan Ground eksistensinya masih diakui oleh masyarakat. Hal ini karena belum diakomodir dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 secara detail mengingat belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tanah Sultan Ground sebagaimana tercantum dalam Diktum ke empat huruf B. Kedua, dalam pengelolaannya tanah Sultan Ground selama ini dikelola oleh pihak Keraton (Panitikismo) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950. Guna menindaklanjuti hal tersebut, maka DPR dan Presiden Republik Indonesia diharuskan segera membentuk peraturan Undang-Undang Keistimewaan yang baru untuk menegaskan status Keraton Yogyakarta sebagai subyek hukum. Tujuannya agar polemik yang ada segera berakhir dan tercipta kepastian hukum di Daerah Istimewa Yogyakarta.

(8)

ABSTRACT

Layla Izza Rufaida, E 0007153. 2012. THE EXISTENCE OF SULTAN GROUND IN AGRARIAN LAW. Faculty of Law, Sebelas Maret University.

This research was purposed to determine the existence Sultan Ground in Agrarian Law based on Basic Agrarian Act and to know the Maintenance of Sultan Ground by the government based on national land policy in Yogyakarta.

This Type of Research was Normative-perspective research. Secondary Data was used as source of Data consists of primary, secondary and tertiary legal materials. The Techniques of Data Collection of this research were through literature Study. Afterward, the researcher asked for confirmation to Yogyakarta Palace and National Land Office. Data Analysis Techniques of this research were Syllogism method and interpretation by using deductive pattern analysis.

The results of this research show that expressly Sultan Ground has not been exist yet in Positive Law, even though it is still customarily acknowledged by its society. It is because the Sultan Ground has not accommodated yet in Agrarian Act 5 of 1960 completely considering the absence of government rules that regulates Sultan Ground as stated on dictum the fourth letter B. Besides, the management of Sultan Ground has been maintenance by the sides of Yogyakarta Palace based on act 3 of 1950. Responding to that case, President Republic of Indonesia and Parliaments have to form new privilege act to state the Yogyakarta Palace status as the subject of the law. The purpose is that the polemic will be over and the certain legal can be created in Yogyakarta.

(9)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul : “EKSISTENSI TANAH

SULTAN GROUND DALAM HUKUM TANAH NASIONAL”. Penulisan

hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syarat-syarat memperoleh derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Penulisan hukum ini dalam pembuatannya melibatkan banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan dari awal hingga akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar sarjana dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Untuk itu penulis megucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si., selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara dan Pembimbing yang telah dengan teliti dan sabar memberikan bimbingan kepada penulis dari awal hingga akhir proses penulisan hukum ini.

3. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama masa studi.

4. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Hukum UNS. Terimakasih telah memberikan ilmu dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UNS.

5. Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwinoto, selaku Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Wahono Sarto Kriyo Keraton Yogyakarta yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan memberikan data kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

(10)

Istimewa Yogyakarta selaku narasumber yang telah membantu penulis dalam mencari data.

7. Bapak Bambang, S.H., pada bagian pertanahan Biro Tata Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah membantu penulis dalam mencari data.

8. Kedua orangtua penulis, Bapak Barja Wiyana dan Ibu Sutariyem yang telah memberikan semua hal yang sangat berarti dalam hidup penulis, juga untuk doa, harapan, cinta, motivasi, dan kepercayaan yang telah diberikan hingga

detik ini.

9. Kakakku Ana Nurul Hidayah yang senantiasa menjadi teman dan sahabat tempat berbagi, terima kasih atas semua saran dan nasehat yang diberikan pada penulis hingga terselesaikannya masa studi ini

10. Adikku M. Arif Rahman Himawan yang selalu memberikan kasih sayangnya, telah memotivasi penulis dan menghibur dalam suka maupun duka.

11. Segenap keluarga besar Margo Utomo dan Prapto Diharjo terima kasih untuk dukungan, perhatian dan kehangatan didalamnya.

12. Saudara-saudaraku Diklatsar XXIV Gopala Valentara Perhimunan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum UNS, Dani, Tata, Septi, Peni, Ira, Dedy, Sandy, Surya, Agung, Binar, dan Ponco, untuk semua yang pernah kita lewati bersama. Kalian akan selalu menjadi bagian dari hidup penulis.

13. Segenap keluarga besar Gopala Valentara Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum UNS. Terima kasih untuk kebersamaan, persaudaraan, ilmu, pengalaman dan petualangan yang sempat terukir, bangga rasanya menjadi bagian dari keluarga yang luar biasa ini.

14. Sahabat-sahabat penulis, Solikhah, Hesti Indrayani dan Iedha Dwi Prasetyo, terima kasih untuk persahabatan kita selama ini dan semoga berlanjut hingga akhir hayat.

(11)

16. Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, tetap semangat untuk menjadi Sarjana Hukum yang profesional dan bermoral.

17. Untuk seluruh pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan.

Seperti pepatah yang mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari pula bahwa penyusunan penulisan hukum ini jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun dari para pembaca sangat diharapkan.

Akhirnya, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Surakarta, 16 Januari 2012 Penulis,

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Kerangka Teori ... 15

1. Tinjauan Umum Tentang Hak Menguasai Negara ... .. 15

a. Pengertian Hak Menguasai Negara ... 15

b. Dasar-Dasar Pemikiran yang Melatarbelakangi Hak Menguasai Negara Atas Tanah ... 18

(13)

2) Hubungan Manusia dengan Tanah………. 19

3) Hakekat Negara ... 20

4) Hubungan Negara dengan Tanah ... 21

2. Tinjauan Umum Tentang Hukum Tanah ... 22

1) Pengertian Tanah Secara Umum ... 22

2) Macam-Macam Tanah ... 23

3) Pengertian Hukum Tanah ... 24

4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta ... 25

3. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah ... 27

1) Pengertian Hak Atas Tanah ... 27

2) Macam-Macam Hak Atas Tanah ... 28

4. Tinjauan Tentang Sultan Ground... 31

B. Kerangka Pemikiran ... 33

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta ... 36

1. Letak Geografis ... 36

2. Luas Wilayah ... 36

3. Pemerintahan ... 36

4. Tata Ruang dan Infrastruktur ... 36

5. Keadaan Alam ... 37

6. Iklim ... 37

7. Penduduk ... 38

8. Penggunaan Tanah Sultan Ground di Yogyakarta ... 38

B. Eksistensi Tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional …… ………. ... 39

(14)

BAB IV PENUTUP ... 69 A. Simpulan ... 69 B. Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA

(15)

DAFTAR BAGAN

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel I : Luas Wilayah ...………... 65

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Fotokopi Surat Permohonan Hak Ngindung / Magersari Tanah Karaton Ngayogyakarto

Lampiran II Fotokopi Surat Perjanjian (Surat Kekancingan) Pinjam Pakai Tanah Milik Sri Sultan Hamengku Buwono Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat

Lampiran III Fotokopi Rijksblad Yogyakarta Nomor 16 Tahun 1918 Lampiran IV Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor

33 Tahun 1984

Lampiran V Fotokopi Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 570.34-2493

Lampiran VI Surat Pemberitahuan Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Propinsi Jawa Tengah

Lampiran VII Surat Keterangan / Ijin Penelitian dari Sekretariat Daerah Propinsi Yogyakarta

Lampiran VIII Surat Keterangan Penelitian dari Badan Pertanahan Nasional Propinsi Yogyakarta

Lampiran IX Surat Keterangan Penelitian dari Kantor Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Propinsi Yogyakarta Lampiran X Surat Keterangan Penelitian dari Kawedanan Hageng

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertanahan pada hakikatnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam hidup dan kehidupan manusia secara pribadi, dalam pergaulan masyarakat maupun bagi negara. Sepanjang hidupnya manusia selalu berhubungan dengan

tanah untuk melakukan kegiatan maupun mencari penghidupan. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan tanah sangat erat. Tanah merupakan sumber kemakmuran dan kebahagiaan, baik secara lahiriah maupun batiniah.

Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya diyakini bahwa tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk itu, hak penguasaan yang tertinggi atas tanah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan hak Bangsa Indonesia. Implikasinya dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah secara pribadi harus memperhatikan kepentingan bangsa atau kepentingan yang lebih besar dalam masyarakat.

Adanya unsur pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya pembentukan Hukum Nasional tentang Tanah, didasarkan atas Hukum Adat TAP. MPRS. Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 4 ayat (3) merupakan basis pembangunan semesta. Indonesia merupakan negara agraris, tidak mengherankan apabila pembangunan di bidang agraria menduduki tempat yang penting dan urgent. Urgensi ini disebabkan karena pada jaman penjajahan, Hukum Agraria Indonesia bersifat pluralistis, dan kurang memberi jaminan akan kepastian hukum serta dapat pula menghambat bahkan mungkin merintangi kesatuan bangsa Indonesia.

(19)

September 1960 diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang secara resmi dicantumkan dalam Lembaran Negara Nomor 104 Tahun 1960 sebagai Hukum Agraria secara Nasional. Tujuannya untuk menggantikan Hukum Agraria yang pluralistis yang berbasis pada kedaerahan. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Pasal 33 UUD 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia. Landasannya yang termaktub didalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Menimbang bahwa di dalam negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyat yang perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya

bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti yang sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.

Hal itu juga diperkuat dalam dasar hukumnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 Bab 1 mengenai Dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok Pasal 2 ayat (1) & (2) yang berbunyi:

(1) Atas dasar, ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenal bumi, air dan ruang angkasa.

(20)

satu daerah yang tidak bisa langsung menerapkan Undang-Undang Pokok Agraria adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria secara resmi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal 24 September 1984 karena Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah daerah kerajaan yang mempunyai peraturan sendiri dalam bidang pertanahaan yaitu masih menerapkan Hukum Tanah Swapraja.

Hukum Tanah Swapraja adalah keseluruhan peraturan tentang pertanahan yang khusus berlaku di daerah Swapraja, seperti Kasultanan Yogyakarta. Hukum Tanah Swapraja ini pada dasarnya adalah Hukum Tanah Adat yang diciptakan oleh Pemerintah Swapraja dan sebagian diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Landasan hukumnya adalah antara lain Koninlijk Besluit yang

diundangkan dalam Staatsblad Nomor 474 tahun 1915 yang intinya memberi wewenang pada penguasa Swapraja untuk memberikan tanahnya dengan hak-hak barat serta Rijksblad Kesultanan 1918 Nomor 16 juncto 1925 Nomor 23, serta Rijksblad 1918 Nomor 18 juncto Rijksblad 1925 Nomor 25 sehingga di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) resmi berlaku Rijksblad Nomor 16 tahun 1918 dan Nomor 18 Tahun 1918, tentang tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom dan hak domain Kasultanan dimana hak milik atas tanah tidak diberikan kepada warga negara Indonesia non-pribumi. Dalam konsiderans Staatsblad Nomor 474 tahun 1915 ditegaskan bahwa di atas tanah-tanah yang terletak dalam wilayah hukum Swapraja, dapat didirikan hak kebendaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW), seperti hak eigendom, erfpacht, opstal, dan sebagainya. Bagi Pemerintah Swapraja dimungkinkan untuk memberikan tanah-tanah Swapraja dengan hak-hak barat, sebagaimana yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek. (http://raja1987.blogspot.com/2008/08/opini-hukum-legalopinion.html>[6 Juli 2011 pukul 11.29 WIB]).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Daerah

(21)

setara dengan tingkat I (propinsi) dengan wilayahnya meliputi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman yang kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami perubahan dari sebuah daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa di dalam teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk keistimewaan yang menonjol yang diberikan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah pada hukum pertanahan, yaitu adanya tanah Sultan Ground (tanah Kasultanan). Aturan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu terlepas dari aturan pertanahan yang ada seperti yang diatur dalam

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Alasannya adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah ada dasar hukum yang mapan, yaitu menggunakan hukum zaman Belanda dan hukum adat. Menurut Pasal 4 ayat (1) juncto Lampiran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diberi kewenangan urusan rumah tangga sendiri (otonomi) dalam bidang pertanahan yaitu :

1. Penerimaan penyerahan hak eigendom atas tanah eigendom kepada negeri (medebewind).

2. Penyerahan tanah negara (beheersoverdracht) kepada jawatan-jawatan atau kementerian lain atau kepada daerah autonom (medebewind).

3. Pemberian ijin membalik nama hak eigendom dan postal atas tanah, jika salah satu pihak atau keduanya masuk golongan bangsa asing (medebewind).

4. Pengawasan pekerjaan daerah autonom di bawahnya tentang pertanahan (sebagian ada yang medebewind).

Dalam penjelasan umum Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 5 Tahun 1954 angka 4 mengenai pokok pikiran juncto penjelasan Pasal 11 dinyatakan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam mengatur masalah pertanahan harus berdasarkan prinsip atau asas domain sebagimana ditentukan dalam Pasal 1 Rijksblad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad tahun 1918 Nomor 18, dimana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak

(22)

(Sultan Ground). Hak domain bagi Sultan (raja) pada Kerajaan / Kasultanan Yogyakarta ada sejak ditandatangani perjanjian Giyanti pada tahun 1755. (Umar Kusumoharyono, 2006: 2).

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang digunakan sebagai landasan adalah Hukum Adat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan ketentuan yang berlaku di dalam Keraton Yogyakarta ternyata juga hukum masyarakat setempat (hukum adat). Keadaan tersebut sangat berkaitan dengan keberadaan tanah Sultan Ground yang dimiliki sultan atas dasar asas domain yang masih berlaku pada waktu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan. Sultan menyatakan bahwa seluruh tanah adalah milik Sultan (Sultan Ground) sebagian diantaranya diberikan kepada

kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam) dan menggarapnya. (Tri Widodo. 2002: 123).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), wilayah administratif dikota Yogyakarta terbagi menjadi 5 (lima) kabupaten, yaitu kabupaten Yogyakarta, kabupaten Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Kulonprogo dan kabupaten Gunungkidul. Pengelolaan tanah Sultan Ground diserahkan kepada masing-masing wilayah administratif atas persetujuan Sultan. Namun, pada kenyataannya dualisme dalam hukum pertanahan masih ada karena di satu pihak berlaku Peraturan Daerah dan di pihak lain berlaku peraturan pemerintahan pusat. (http://www.yousaytoo.com/ ochiana 048/latar -belakang-propinsi-daerah-istimewa-yogyakarta/20259> [7 Juli 211 pukul 13.12 WIB]). Dimana pada masing-masing kabupaten/wilayah administratif tersebut tanah Sultan Ground tersebar secara luas dan tak beraturan. Kasultanan Yogyakarta sampai saat sekarang ini masih mempunyai kewenangan-kewenangan atas tanah Sultan Ground yang dipunyai dan dimilikinya. Padahal status hukum dan kedudukan tanah Sultan Ground di dalam hukum tanah nasional masih menjadi polemik di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah yang

(23)

Ground tersebut. Oleh karena itu, penulis mengajukan penulisan hukum dengan judul “EKSISTENSI TANAH SULTAN GROUND DALAM HUKUM

TANAH NASIONAL” .

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan hulu dari suatu penelitian yang merupakan pertanyaan-pertanyaan sebagai landasan bagi seorang peneliti guna mendapat jawaban dari suatu masalah yang diangkat dalam penelitian sehingga tujuan yang hendak dicapai menjadi lebih jelas sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimanakah eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960?

2. Bagaimanakah pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground berdasarkan kebijakan pertanahan nasional?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan karena memiliki tujuan. Tujuan tersebut adalah memecahkan permasalahan yang tergambar dalam latar belakang dan rumusan masalah. Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian metodologi penelitian. Tujuan penelitian yang baik adalah rumusannya operasional dan langsung menuju pokok permasalahan. Tujuan ini yang nantinya dapat diketahui metode dan teknik

penelitian mana yang cocok untuk dipakai dalam penelitian itu (M. Subana dan Sudrajat, 2001: 71).

(24)

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui eksistensi tanah Sultan Ground di Kota Yogyakarta berdasarkan dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960.

b. Untuk mengetahui pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground yang dilakukan pemerintah ditinjau dari kebijakan pertanahan nasional.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh data-data dan informasi sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan wajib bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis.

c. Memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum.

D. Manfaat Penelitian

Hasil akhir yang diinginkan dalam setiap penelitian yaitu diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pihak lainnya, baik pada masa sekarang maupun yang akan datang. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian merupakan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Administrasi Negara pada khususnya terutama berkaitan dengan Hukum Agraria mengenai tanah Sultan Ground.

(25)

c. Penelitian ini merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah pengetahuan, pengalaman, dan dokumentasi ilmiah.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran dan wawasan bagi penulis mengenai ruang lingkup yang dibahas sekaligus untuk mengetahui seberapa besar kemampuan dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Sebagai teori dan praktek penelitian dalam bidang hukum serta sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode penelitian ilmiah.

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud, 2005 : 35). Metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan guna menguji kebenaran maupun ketidak benaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

(26)

hukum yang diangkat akan dianalisis melalui peraturan hukum yang terkait dengan isu.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Sifat ilmu hukum adalah ilmu yang prespiktif dan terapan, yaitu ilmu hukum yang mempelajari mengenai tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud, 2005 : 22). Penelitian ini bersifat preskriptif karena berusaha menguraikan dan menjawab permasalahan mengenai eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional.

3. Pendekatan Penelitian

Menurut Peter Mahmud, pendekatan dalam penelitian hukum ada lima pendekatan, yaitu pendekatan perundangan-undangan (Statue Approach), pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan perbandingan (Comparative Approach), dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach) (Peter Mahmud, 2005: 93).

Adapun dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang diangkat yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekaan historis. Pendekatan perperundang-undangan-perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan peraturan yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud, 2005: 93). Pendekatan historis (Historical Approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi (Peter Mahmud, 2005: 94).

4. Jenis Data Penelitian

(27)

dokumen, doktrin, bahan-bahan kepustakaan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu tentang eksistensi tanah Sultan Ground dalam hukum tanah nasional.

5. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum autoratif, artinya

bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaanya, yang termasuk bahan hukum primer adalah peraturan perundangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang, dan putusan hukum, bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud, 2005: 141).

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi 2 yaitu:

a) Bahan Hukum Primer

Semua bahan hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis, meliputi peraturan perundang-undangan dalam hal ini:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah

Istimewa Yogyakarta.

3) Undang Nomor 9 Tahun 1955 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 juncto Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. 4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

(28)

6) Staatsblad Nomor 474 tahun 1915.

7) Rijksblad Kesultanan Nomor 16 Tahun 1918 juncto Rijksblad Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925.

8) Rijksblad Kasultanan Nomor 18 Tahun 1918 juncto Rijksblad Kasultanan Nomor 25 Tahun 1925.

b) Bahan Hukum Sekunder

Semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan

hukum primer, meliputi:

1) Buku-buku ilmiah dibidang hukum.

2) Makalah-makalah dan hasil-hasil karya ilmiah para sarjana. 3) Kamus-kamus hukum ensiklopedia.

4) Jurnal-jurnal hukum.

5) Literatur dan hasil penelitian lainnya.

6. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, yaitu merupakan suatu tehnik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, data-data dan literatur lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagi hukum penunjang dalam penelitian ini.

7. Tehnik Analisis Data

(29)

1. Interpretasi harfiah

Interpretasi berdasarkan kata-kata yang terdapat dalam undang-undang. Interpretasi ini dapat dilakukan dengan singkat, padat, serta akurat mengenai makna yang dimaksud dalam undang-undang tersebut nantinya tidak mengandung multitafsir atau arti yang bermacam-macam (Peter Mahmud, 2005:112).

2. Interpretasi historis

Interpretasi ini mengungkapkan makna adanya ketentuan undang-undang dilacak dari segi lahirnya ketentuan ini. Maksud pengertian itu, makna dibentuknya suatu peraturan dilihat dari asal mula alasan lahirnya ketentuan atau ketetapan itu dibuat.

3. Interpretasi teologis

Interpretasi yang menitikberatkan pada tujuan adanya undang-undang itu, dalam hal ini perlu ditelaah pemikiran dan penjelasan yang lebih rasional apakah yang melandasi dibentuknya undang-undang tersebut (Peter Mahmud, 2005: 113).

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dengan cara menginteventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat menjawab bagaimanakah eksistensi tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah Nasional saat ini.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai aturan baru dalam penulisan hukum, maka Penulis

(30)

hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai gambaran awal penelitian ini, yang meliputi latar belakang eksistensi tanah Sultan Ground dalam Hukum Tanah

Nasional kemudian mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan hukum yang dipergunakan dalam melakukan penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, diuraikan mengenai landasan teori berdasarkan literatur-literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hal tersebut meliputi: tinjauan tentang tanah, tinjauan tentang macam-macam tanah, tinjauan tentang hukum tanah dan tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogayakarta (DIY). Hal tersebut ditujukan agar pembaca memahami permasalahan yang diteliti.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(31)

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini, merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisikan kesimpulan yang merupakan jawaban-jawaban permasalahan yang menjadi objek penelitian penulis dan saran-saran mengenai permasalahan yang diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hak Menguasai Negara a. Pengertian Hak Menguasai Negara

Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah mengupayakan agar pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia meliputi yang terkandung di bumi, air, dan bahan galian dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. “Salah satu konsep dasar yang dikemukakan Moh. Hatta adalah pada dasarnya tanah adalah milik rakyat Indonesia dan negara merupakan penjelmaan dari rakyat yang mempunyai hak untuk mengatur penggunaannya agar dapat mengejar kemakmuran rakyat” (Subadi, 2010: 68). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi negara untuk mengatur dan mengurus (regelen en besturen) yang diwujudkan dengan diberikannya Hak Menguasai Negara (HMN).

Hak Menguasai Negara terjadi pada saat bangsa Indonesia sebagai kumpulan manusia secara alamiah terbentuk. Menurut Charles Sebayang, “Hak Menguasai Negara tercipta pada saat ada pelimpahan tugas kewenangan dari bangsa Indonesia kepada negara yang dilakukan oleh wakil bangsa indonesia dalam menyusun UUD 1945 yang tertuang dalam

Pasal 33 ayat (3) yang mengandung tujuan negara” (http://hannarenata. blogspot.com/2011/05/hak-menguasai-dari-negara.html).

(33)

negara. Negara dalam melaksanakan fungsinya mendelegasikan melalui lembaga negara, yaitu eksekutif/pemerintah. Artinya, pemerintah mempunyai kekuasaan untuk melakukan perencanaan, merumuskan aturan, melaksanakan langkah-langkah dan tindakan atas pengelolaan, pemanfaatan, dan mengambil hasil dari sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah hukum Indonesia. Kekuasaan yang dipegang pemerintah melekat di dalamnya aspek kewenangan dan tanggung jawab, baik untuk melaksanakan, maupun untuk memberikan pertanggungjawaban atas

pelaksanaan kewenangan yang telah dijalankan. Sebagai subjek dari hak menguasai negara, maka pemerintah berlandaskan pada kewenangan yang dimiliknya mempunyai fungsi dasar sebagai berikut:

1) Berkuasa, berwenang, dan bertanggung jawab atas pengelolaan, pemanfaatan, dan mengambil hasil dari sumber daya alam; dan 2) Melakukan upaya paksa secara hukum, mulai dari teguran,

peringatan, sampai dengan penghentian atas kegiatan usaha yang melanggar aturan dan mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Mencermati uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa subyek Hak Menguasai Negara adalah Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai lembaga negara yang dijamin oleh konstitusi negara, yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Artinya, kalau ada pihak lain atau pihak ketiga yang melakukan kegiatan usaha pengolahan sumber daya alam nasional hanyalah atas seizin dari pemerintah, dengan kekuasaan pengendalian, pengaturan, dan pemanfaatan berada di tangan pemerintah (http: //www.indolawcenter.com/index.php? option = com_ content & view=article&id =1518% 3A subjek-hak-menguasai-negara& catid =174%3 &Itemid=237).

(34)

tersebut merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama ( http://charlessebayang.blogspot.com/2009/03/hak-menguasai-dari-negara.html).

Dengan demikian, Pasal 2 UUPA memberikan sekaligus suatu tafsiran resmi interprestasi otentik mengenai arti perkataan dikuasai yang dipergunakan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pembatasan wewenang negara atas tanah yang diperinci dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUPA

1960 1960 (LNRI-1960-104, TLN-2043), yaitu:

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; dan

3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa (Boedi Harsono, 2003: 238).

Pelaksanaan dari Hak Menguasai Negara tersebut sebagian kewenangananya dapat juga diberikan dengan penugasan kepada daerah dalam rangka medebeweind dan kepada pejabat-pejabat pusat yang berada di daerah dalam rangka dekonsentrasi sehingga Hak Menguasai Negara harus dilihat dalam konteks hak dan kewajiban negara sebagai pemilik (domein) yang bersifat publiekrechtelijk, bukan sebagai eigenaar yang bersifat privaatrechtelijk. Makna dari pemahaman tersebut adalah negara memiliki kewenangan sebagai pengatur, perencana, pelaksana, dan sekaligus sebagai pengawas pengelolaan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya alam nasional tanpa harus berstatus sebagai pemilik sumber daya alam tersebut.

(35)

serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, untuk keperluan-keperluan yang bersifat:

1) Politis (tanah dimanfaatkan untuk keperluan atau bangunan pemerintah termasuk bangunan pertahanan);

2) Ekonomis (tanah dimanfaatkan untuk keperluan perkembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri, pertambangan, transmigrasi, dan lain-lain); dan 3) Sosial (tanah dimanfaatkan unuk keperluan beribadat,

pusat-pusat permukiman, keperluan sosial, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan lain-lain).

Cara-cara negara dalam melaksanakan hak yang dimilikinya demi menjamin kepentingan-kepentingan yang dituntut oleh masyarakat harus dilaksanakan melalui cara-cara pengambilan keputusan yang adil dan beradab atas dasar musyawarah bersama berlandaskan hikmah kebijaksanaan sebagai landasan keputusan. Setiap orang dalam suatu komunitas (bangsa) memiliki hak tertentu sebagai dasar dari kepentingannya. Sebaliknya, setiap orang juga memiliki kepentingan yang menjadi dasar dari haknya. Setiap orang harus menjalankan secara seimbang dengan kewajiban untuk memenuhi keperluan hidup masyarakat secara luas, sehingga sikap adil dan beradab merupakan konsekuensi yang perlu ditampakkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan pelaksanaan wewenang dan hak yang dimiliki oleh negara.

b. Dasar-Dasar Pemikiran yang Melatarbelakangi Hak Menguasai Negara atas Tanah

1) Eksistensi Manusia Indonesia

(36)

untuk mengembangkan potensi yang dinamakan sebagai hak asasi manusia.

Untuk mencapai eksistensinya, manusia Indonesia memandang bahwa tidak mungkin mampu mencukupi kebutuhannya tanpa bantuan dari manusia yang lain dalam masyarakat. Hal ini mempunyai konsekuensi adanya hidup saling membantu antara manusia dan masyarakat. Dalam konteks kehidupan bernegara, maka manusia Indonesia juga memerlukan peran negara untuk

mempertahankan eksistensinya. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa manusia secara kodrati adalah makhluk individu dan sosial. Dasar eksistensi manusia sebagai makhluk sosial adalah sifat dan hakekat manusia sebagai makhluk berketuhanan (Winahyu Erwiningsih, 2009: 109).

2) Hubungan Manusia dengan Tanah

Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia haruslah menciptakan hak dan kewajiban secara seimbang. Keseimbangan hak dan kewajiban berarti bahwa hak tidak diperlakukan melampaui kewajiban dan sebaliknya kewajiban tidak diperlakukan melampaui hak. Perilaku yang mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah perilaku yang mencerminkan pula sifat adil dan beradab sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Manusia yang adil dan beradab merupakan suatu keyakinan dan moral sebagai pedoman kenyataan hidup yang terwujud dalam hubungan manusia dengan masyarakat dan negara secara keseluruhan.

Menurut pandangan Ronald Z. Tihatelu, dengan dasar manusia sebagai makhluk Tuhan dan sikap adil dan beradab dalam hubungan manusia, maka tanah merupakan pemberian Tuhan kepada pribadi, keluarga, masyarakat, dan Bangsa Indonesia. Memiliki tanah merupakan hak yang diturunkan karena adanya pemberian Tuhan,

(37)

tanah juga diturunkan, karena Tuhan menghendaki dijalankannya kewajiban bersama hak secara seimbang, secara adil, oleh manusia yang beradab, manusia yang memiliki keluhuran harkat dan martabat selaku manusia ciptaan Tuhan. Dengan demikian yang memiliki hubungan dengan tanah yakni manusia alamiah yakni perseorangan, keluarga, dan masyarakat. Kumpulan kepemilikan tersebut disebut sebagai milik bangsa (Winahyu Erwiningsih, 2009: 110).

3) Hakekat Negara

Istilah negara mengandung makna suatu alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dalam menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. “Hakekat negara adalah suatu penggambaran tentang sifat dari negara. Negara sebagai wadah dari suatu bangsa untuk mencapai suatu tujuan atau cita-cita bangsanya. Tujuan negara merupakan kepentingan utama dari tatanan suatu negara” (Soehino, 1998:146).

Sebagai organisasi yang memiliki wilayah, negara dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Tujuan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan suatu kewenangan bagi negara untuk mengatur arah pemerintahan dalam usahanya untuk mewujudkan tujuan tersebut. Hak untuk mengatur yang dimiliki oleh negara atau kekuasaan yang dijalankan oleh negara memperlihatkan adanya tugas khusus yang dimiliki oleh negara. Tugas negara antara lain:

1) Melaksanakan fungsi mengatur;

(38)

3) Melaksanakan fungsi pengembangan kehidupan khususnya di bidang perekonomian; dan

4) Melaksanakan fungsi pengadaan fasilitas umum untuk kepentingan masyarakat.

4) Hubungan Negara dengan Tanah

Banyak terjadi perbedaan pandangan mengenai hubungan negara dengan tanah terutama berkaitan dengan status penguasaan tanah oleh negara. Pendapat pertama memandang bahwa negara dapat memiliki tanah dengan alasan bahwa negara dipandang sama dengan subjek perdata sehingga negara dapat mempunyai hubungan hak milik, hanya saja tanah-tanah milik negara tersebut dipergunakan bagi kepentingan umum. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa ada hubungan khusus antara negara dengan tanah yang masuk untuk kategori kepentingan umum.

Hak milik ini harus mendapat perlindungan dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Pendapat pertama, menurut Louis Kaplow dan Steven Shavell, penegakan perlindungan hak milik dapat melindungi pemegangnya dari sebuah resiko, seperti kemungkinan adanya pengambilalihan hak tersebut oleh pihak lain. Dalam tulisannya “Economy Analysis of Law”, Louis Kaplow dan Steven Shavell menyatakan:

A related benefit of enforcing property rights is that it protects people against risk. In the absence of protection of property rights, individuals would face the possibility that their property would be taken from them (even though they might also enjoy the possibility that they would be able to take property from others)” (Louis Kaplow and Steven Shavell, 1999:15).

(39)

termasuk untuk hak memiliki. Tanah dapat dimiliki oleh negara dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1) Penggunaan langsung oleh negara;

2) Statusnya sebagai res publicae yag dipergunakan warga; dan 3) Penggunaannya oleh warga tetapi memberi manfaat bagi

kekayaan warga sehingga harus dikuasai dn dimiliki oleh negara, walaupun sebagai quasi proprium (sifat dari pemilikan itu adalah tidak mutlak) (Winahyu Erwiningsih, 2009:114).

Pada awalnya manusia secara alami memiliki tanah untuk kebutuhan hidupnya. Namun demikian lama kelamaan timbul ketidaksamaan pemilikan yang disebabkan adanya perbedaan kemampuan dalam berusaha dan kekuatan. Hal tersebut menyebabkan perpecahan yang dapat berupa perampasan tanah-tanah oleh golongan yang kuat terhadap yang lemah. Untuk mencegah hal tersebut, negara memiliki wewenang untuk menguasai, mengatur, dan mengusahakan untuk kemakmuran rakyat dan mengusahakan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Dalam hal ini, negara hanya bertindak untuk mengatur tanpa harus memiliki tanah tersebut, karena pada hakekatnya segala tanah dan kekayaan yang terkandung didalamnya adalah hak bangsa.

2. Tinjauan umum tentang Hukum Tanah

1) Pengertian Tanah Secara Umum

(40)

2) Macam-macam Tanah a) Tanah Negara

Tanah negara dalah tanah-tanah yang dimilki pemerintah yaitu tanah-tanah yang diperoleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan nasionalisasi, pemberian, penyerahan sukarela maupun melalui pembebasan tanah, dan berdasarkan akta-akta pemilikan hak (B.F. Sihombing, 2004: 87).

Tanah negara juga dapat diartikan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam rangka hak menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada suatu tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang mempunyai kewenangan untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

2. Menetukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa (Supriadi, 2008: 22-23).

b) Tanah Swapraja

Tanah Swapraja yaitu tanah yang dahulu disebut daerah raja-raja atau Zelbestuurende Landschappen dimana di daerah Swapraja terdapat beberapa peraturan-peraturan yang tidak sama

(41)

tanah seluruhnya di dalam kerajaan dalah tanah miliknya, sementara kekuasaan raja-raja atas tanah tidak terlepas dari kedudukan raja dan pemerintah daerah (Supriadi, 2008: 18-19).

c) TanahSultan Ground

Pengertian tanah Sultan Ground ialah tanah keraton yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak keraton atau kepada Sultan (Suyitno, 2007: 1-2).

3) Pengertian Hukum Tanah

Hukum adalah himpunan petunjuk petunjuk hidup (perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan oleh karena itu seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan (Utrecht, 1957: 9). Berdasarkan definisi tersebut diatas, hukum memiliki karakteristik mendasar, yaitu memaksa dan mengatur, yang merupakan peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak patuh mentaatinya. Sedangkan tujuan dari hukum itu sendiri adalah menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat.

Hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama, yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan-hubungan yang konkret, beraspek publik dan perdata, yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu

(42)

macamnya beragam karena disebabkan oleh perbedaan konsepsi yang melandasi hukum negara yang bersangkutan, kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Hukum Tanah Nasional tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agaria (UUPA) yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia dan meliputi semua tanah yang ada di wilayah negara (Boedi Harsono, 2003: 31).

Disamping itu, sistem Hukum Pertanahan Nasional harus berpegang pada prinsip Hukum Pertanahan Nasional yang direkomendasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam People Charter, yaitu Prinsip Kesatuan Hukum Agraria untuk seluruh wilayah tanah air yang meliputi:

a. Penghapusan hak domein verklaring; b. Fungsi sosial hak atas tanah;

c. Berdasarkan atas hukum adat atas tanah;

d. Persamaan derajat warga negara Indonesia antara laki-laki dan wanita;

e. Pelaksanaan reformasi hubungan antara warga negara Indonesia dengan tanah, bumi, air, dan ruang angkasa;

f. Rencana umum penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

g. Prinsip nasionalitas (Mohammad Hatta, 2005: 21-22).

4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta

(43)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 menyebutkan secara tegas bahwa Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Propinsi. Hal itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya tetapi Yogyakarta bukan merupakan sebuah monarki konstitusional. Undang-undang tersebut mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. Tri Yuniyanto memberikan penjelasan

secara singkat mengenai sejarah Yogyakarta dalam tulisannya di International Journal for Historical Studies (2010: 62), yaitu:

Yogyakarta, in the time of Dutch colonial governance, was a selfgoverning state of swapraja (Zelfbestuur), which held self government based on political contract between the sultan and the Dutch colonial. Like other self- Government region, the order of governance was also required to hold democracy order, both the kasultanan Yogyakarta and Kadipaten Pakualaman, whose rules had aligned themselves with the Republic Indonesia’s struggle for independence, were together constituted as a Special region or Daerah Istimewa with the status of a province. The sultan of Yogyakarta (Sultan Hamengkubuwono IX) was appointed as Kepala Daerah (Governor) and the ruler of Pakualaman (Pakualam VIII) became Wakil Kepala Daerah (Deputy Governor).

(44)

sebagai status dari Propinsinya. Sultan Yogyakarta (Sultan Hamengkubuwono IX) ditunjuk sebagai Kepala Daerah dan Raja Pakualaman (Paku alam VIII) sebagai Wakil Kepala Daerah.

Penegasan bentuk keistimewaan berdasarkan sejarah yang ditetapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) paling menonjol ada pada hukum pertanahan, yaitu adanya tanah Sultan Ground (tanah Kasultanan). Aturan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu terlepas dari aturan pertanahan yang ada seperti yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pada tahun 1955 diundangkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1955 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor

19 Tahun 1950 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi mengenai perubahan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta (DPRD DIY).

3. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah 1) Pengertian Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang diterima oleh perseorangan atau badan hukum selaku pemegang kuasa atas tanah yang memberi

(45)

Pada dasarnya setiap hak atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, dimana merupakan hak bersama seluruh rakyat dan dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Hal tersebut mengandung arti bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa semua hak atas tanah apapun yang ada pada

seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi akan tetapi penggunaan tanah tersebut juga harus memberikan kemanfaatan bagi kepentingan masyarakat dan Negara. Fungsi sosial hak atas tanah, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain:

a. Suatu pernyataan yang penting mengenai hak-hak atas tanah yang dapat merumuskan secara singkat tentang sifat kebersamaan atau kemasyarakatan.

b. Hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanah, sifat, dan tujuan pemberian haknya (Santoso Soeroso, 2005 : 37).

2) Macam-Macam Hak Atas Tanah

Hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) terdiri dari hak-hak yang tunduk pada hukum adat dan hukum barat. Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat adalah :

a) Hak agrarisch eigendom adalah suatu lembaga usaha dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu untuk mengkonversi tanah hukum adat, baik yang berupa milik perorangan maupun yang ada hak perorangannya pada hak ulayat dan jika disetujui sebagian besar dari anggota masyarakat pendukung hak

(46)

b) Tanah hak milik, hak yasan, hak andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, dan hak pesini. Istilah dan lembaga-lembaga hak atas tanah ini merupakan istilah lokal yang terdapat di Jawa. c) Grant Sultan adalah hak milik adat, diberikan oleh Pemeritah

Swapraja, khusus bagi kawula Swapraja, dan di daftar di Kantor Pejabat Swapraja terdapat di Kasultanan Deli (Sumatera Timur). d) Landerijenbezittrecht, altijddurende erpacht, dan hak-hak usaha

atas bekas tanah partikelir.

Selain tanah-tanah di atas, yang tunduk pada hukum adat, ada juga hak-hak atas tanah yang lain diantaranya adalah hak ganggan bauntuik, hak anggaduh, hak bengkok, hak lungguh, hak pituas, dan

hak-hak atas tanah lainnya (Adrian Sutedi, 2007: 130-131). Sedangkan hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, pada dasarnya meliputi sebagai berikut:

a) Hak-hak atas tanah yang primer, yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh negara dan bersumber langsung pada hak bangsa Indonesia atas tanah. Jenis hak tanahnya diantaranya adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

b) Hak-hak atas tanah yang sekunder, yaitu hak-hak atas tanah

yang diberikan oleh pemilik tanah dan bersumber secara tidak langsung pada hak bangsa Indonesia atas tanah. Hak atas tanah yang sekunder disebut pula hak baru yang diberikan di atas tanah hak milik dan sellau diperjanjikan antara pemilik tanah dan pemegang hak baru dan akan berlangsung selam ajangka waktu tertentu. Jenis hak atas tanah sekunder diantaranya adalah hak usaha bagi hasil. Hak gadai atas tanah, hak menumpang (Arie Sukanti dan Markus Gunawan, 2008: 29-30).

(47)

a) Hak Milik

Hak milik dahulu dikenal dengan sebutan hak milik adat atau dalam hukum barat disebut hak eigendom. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6 dan hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 20 ayat (1) & (2) UUPA).

b) Hak Guna Usaha

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 ayat (1) UUPA). c) Hak Guna Bangunan

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat (1) UUPA).

d) Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oeh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini (Pasal 41 ayat (1) UUPA).

e) Hak Sewa untuk Bangunan

(48)

keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44 ayat (1) UUPA).

f) Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan

Hak untuk membuka tanah dan memungut hasil hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 46 ayat (1) UUPA).

4. Tinjauan Tentang Sultan Ground

Tanah Sultan Ground ialah tanah keraton yang belum diberikan haknya kepada penduduk maupun kepada pemerintah desa, masih merupakan milik keraton sehingga siapapun yang akan menggunakannya harus meminta ijin kepada pihak keraton atau kepada Sultan. Tanah Sultan Ground dibagi menjadi dua macam yaitu :

a. Tanah Mahkota (Crown Domain)

Yaitu tanah yang tidak bisa diwariskan yang merupakan atribut pemerintahan Keraton Yogyakarta. Diantaranya berupa keraton, alun-alun, kepatihan, pasar Ngasem, pesanggarahan Ambarukmo, pesanggarahan Ambarbinangun, hutan Jati di Gunungkidul, masjid Besar dan sebagainya.

b. Tanah Milik Kasultanan (Sultanaad Ground)

(49)

Konsekuensi diberlakukan asas domain adalah rakyat yang tidak mempunyai hak eigendom dapat menggunakan hak anggaduh dengan kewajiban menyerahkan separo atau sepertiganya hasil tanahnya apabila tanah tersebut merupakan tanah pertanian dan berupa tanah pekarangan. Hak eigendom yang bisa dimiliki rakyat berdasar pada pasal 570 Burgerlijk Wetboek (BW) yang merupakan ketentuan keluaran pemerintah Hindia Belanda. Hal ini bisa diberlakukan di wilayah Yogyakarta karena adanya ikatan

kontrak politik yang berlangsung hingga tahun 1940. Adapun kewenangan-kewenangan Sultan sebagai pemilik dan penguasa tanah mutlak (pemegang domain) adalah :

a. Berdasarkan perjanjian Giyanti tahun 1755, Sultan mempunyai kewenangan atas tanah berupa mengatur penggunaan tanah untuk keberadaan keraton dan penduduknya serta memberikan hak-hak pemanfaatan tanah kepada keluarga, rakyat, orang asing dan lembaga asing.

b. Berdasarkan Zaman Kepatuhan / Kabekelan tahun 1863, Sultan berhak menguasakan tanah kepada keluarga sebagai penghasilan dengan ketentuan tanah untuk keluarga dan rakyat adalah dua bagian dan tanah untuk orang yang dikuasakan mengurus (bekel) adalah satu bagian.

c. Berdasarkan Rijksblad tahun 1918, Sultan dapat memberikan hakanggaduh, hak anggaduh turun-temurun, hak andarbeni, hak pungut hasil, hak didahulukan,dan hak blengket kepada rakyat / penduduk.

(50)

B. Kerangka Pemikiran

Peraturan perundang-undangan

1. Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun

1918;

2. Undang undang Dasar 1945;

3. Undang Undang Nomor 3 Tahun 1950;

4. Undang Undang No. 5 Tahun 1960;

5. Keppres Nomor 33 Tahun 1984;

6. Kepmendagri Nomor 66 Tahun 1984;

7. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954.

Ragaan 1. Kerangka Pemikiran

Peraturan Perundang-Undangan

1. Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918;

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1945; 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950; 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960; 5. Keppres Nomor 33 Tahun 1984; 6. Kepmendagri Nomor 66 tahun 1984; 7. Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 1954.

Fakta Hukum

Kebijakan pertanahan terhadap Sultan Ground di Yogyakarta

1. Eksistensi tanah Sultan Ground

2. Pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground

Peristiwa Hukum

1. Eksistensi tanah Sultan Ground

2. Pelaksanaan pengelolaan tanah Sultan Ground

Kesimpulan

(51)

Keterangan:

Pada tahun 1945 diundangkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18, merupakan landasan landasan yuridis timbulnya otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah dalam hal wewenang, tugas, dan tanggungjawab daerah. Pemerintah daerah di Indonesia mengenal adanya daerah otonom, daerah administrasi, dan daerah istimewa. Salah satu Daerah Istimewa tersebut adalah Daerah Istimewa Yogyakarta yang ketentuannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa (DIY). Dimana undang-undang tersebut secara otomotis telah menegaskan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan daerah yang memiliki

keistimewaan dengan kewenangan urusan rumah tangga sendiri (otonomi). Kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) salah satunya dibidang agraria yaitu untuk mengatur hak atas tanah daerahnya sendiri yang kemudian dikenal adanya Sultan Ground atau tanah milik sultan dimana sebagian diantaranya diberikan kepada kerabat dan pejabat keraton sebagai tanah Lungguh, sedang rakyat hanya mempunyai wewenang anggadhuh (meminjam). Ketentuan mengenai Sultan Ground tersebut juga berdasarkan Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 yang telah berlangsung tahun sejak dimulainya reorganisasi keagrariaan.

Pada tahun 1960 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada waktu itu Daerah Istimewa Yogyakarta belum memberlakukan peraturan tersebut. Hal ini disebabkan karena masih adanya peraturan lama yang berlaku sehingga pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak bisa dijalankan secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 tahun 1984 tentang Pemberlakuan sepenuhnya UUPA di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang baru berlaku efektif pada tanggal 24 September

(52)

Negeri (Kepmendagri) Nomor 66 Tahun 1984 Tentang Pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hal tersebut tidak menuntut pemberlakuan UUPA sepenuhnya secara otomatis terhadap semua kelompok tanah. Seperti halnya, tanah-tanah hak milik perseorangan sebagaimana diatur dalam Peraturan daerah Nomor 5 tahun 1954 sudah dapat diberlakukan Undang-Undang Pokok agraria (UUPA) seperti tanah-tanah yang sebelumnya diatur menurut hukum barat, sedangkan untuk tanah-tanah Sultan Ground dan tetap terintegrasi

(53)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

a. Gambaran Umum Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Letak Geografis

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu propinsi di Indonesia. Secara astronomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak antara 110°24'19" – 110°28'53" Bujur Timur dan antara

07°49'26" – 07°15'24" Lintang Selatan. Secara administratif terdiri dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sleman, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman.

2. Luas wilayah

Luas Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 3.185,80 km2 terdiri atas Kota Yogyakarta 32,50 km2, Kabupaten Sleman 574,82 km2, Kabupaten Bantul 506,85 km2, Kabupaten Kulon Progo 586,27 km2, Kabupaten Gunung Kidul 1485,36 km2.

3. Pemerintahan

Wilayah administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terdiri dari satu kota dan empat kabupaten yaitu Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulon Progo yang terbagi menjadi 78 kecamatan dan 438 desa/kelurahan.

4. Tata Ruang dan Infrastruktur

(54)

tata ruang/wilayah dan pembangunan infrastruktur. Model yang digunakan dalam tata ruang wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah corridor development atau disebut dengan pemusatan intensitas kegiatan manusia pada suatu koridor tertentu yang berfokus pada Kota Yogyakarta dan jalan koridor sekitarnya. Dalam konteks ini, aspek pengendalian dan pengarahan pembangunan dilakukan lebih menonjol dalam koridor prioritas, terhadap kegiatan investasi swasta, dibandingkan dengan investasi pembangunan oleh pemerintah yang dengan sendirinya

harus terkendali. Untuk mendukung aksesibilitas global wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), maka diarahkan pengembangan pusat-pusat pelayanan antara lain Pusat Kegiatan Nasional (PKN)/Kota Yogyakarta, Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) Sleman, Bantul, dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 2009 – 2029 mengatur pengembangan tata ruang di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

5. Keadaan Alam

Secara garis besar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong, bagian tengah adalah Sungai Code dan sebelah barat adalah Sungai Winongo. Disebagian utara seluas lebih kurang 4% tanah miring (kelanjutan dari gunung berapi) dengan sifat-sifat wilayah hujan, kaya akan mata air dan sangat subur. Dibagian selatan/barat seluas lebih kurang 7% dari barat ke arah selatan dengan ketinggian semakin rendah berakhir pada daratan pantai alluvial dengan sifat tanah: wilayah hujan, banyak mata air. Dibagian tengah seluas 41% merupakan tanah

Gambar

Tabel II    : Jumlah Tanah ..................................…………………...……...     66
Tabel I : Luas Wilayah
Tabel II : Jumlah Tanah

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah serta masalah-masalah lain yang telah dikenalpasti, penulis ingin membangunkan satu laman web bercirikan Pembelajaran Berbantukan

Jika elektron berpindah dari tingkat energi tinggi ke tingkat energi rendah sehingga foton dipancarkan sebanding dengan perbedaan tingkat energi tsb... EMISI ABSORPSI Analisis

Tujuan perawatan dijelaskan kepada pasien, yaitu menarik gigi kaninus kanan kiri rahang atas yang impaksi untuk erupsi dan mengambil gigi kaninus kanan yang

pilih tidak terdaftar dalam pemilu terdaftar dalam daftar pemilih

Maksud kerjasama ini adalah untuk menggalang kebersamaan dan sinergi dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat, Alreditasi

Menurut Suyanto (1999) dalam Dwiyono (2004), pakan yang akan digunakan untuk pembesaran ikan lele ini relatif mudah didapat karena beberapa perusahan pakan telah

Tujuan penelitian ini adala untuk mendeskripsikan peranan pembinaan yang dilakukan oleh Disporabudpar dalam peningkatan prestasi bidang olahraga di Kabupaten Tangerang

PROGRAM INTERPRETASI WISATA KAMPUS UNTUK MELESTARIKAN SEJARAH DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |