• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAR JAWABAN TUGAS INDIVIDU SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2023 SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM ADHYAKSA

N/A
N/A
Zuhrah Annafira

Academic year: 2023

Membagikan "LEMBAR JAWABAN TUGAS INDIVIDU SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2023 SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM ADHYAKSA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

LEMBAR JAWABAN TUGAS INDIVIDU

SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2023 SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM ADHYAKSA

Hari/Tanggal : Juma’t / 26 Oktober 2023 Nama Mahasiswa : Zuhrah Annafira

Nomor Pokok : 230122047 Nomor Urut : 31

Kelas : A

Semester : 3

Mata Kuliah : HUKUM ACARA PERDATA

1. Secara definisi, beberapa ahli hukum perdata memberikan definisi hukum acara perdata yaitu:

- Mendefinisikan hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim (Sudikno Mertokusumo)

- Mendefinisikan hukum acara perdata sebagai rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, semuanya itu untuk melaksanakan peraturan hukum perdata (Wiryono Prodjodikoro)

- Merumuskan secara singkat bahwa hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan, sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil (Abdulkadir Muhammad)

Berbagai Undang-Undang yang berkaitan dengan Hukum Acara Perdata:

• Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.

• Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.

• Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

• Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Kemudian telah mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009, namun hukum acara perdata dalam undang-undang ini tidak mengalami perubahan.

• Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. (mengalami perubahan dengan Undang-UndangNomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.

• Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

• Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. (mengalami perubahan dengan Undang-UndangNomor 48 Tahun 2009.

• Yurispudensi

(2)

2

• PERMA

• Doktrin

• Semua

• Adat Kebiasaan

2. HIR (Het Herzeine Indoneisch Reglement)

HIR ini diperuntukkan bagi golongan Bumiputra dan Timur Asing di Jawa dan Madura untuk berperkara di muka Landraad (Pengadilan Negeri). Terkait acara perdata ini diatur dalam pasal 115 sampai dengan 394 HIR.

RBg (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)

Rbg yang ditetapkan dalam Pasal 2 Ordonansi 11 Mei 1927 adalah pengganti berbagai peraturan yang berupa reglemen yang tersebar dan berlaku hanya dalam suatu daerah tertentu saja. RBg berlaku untuk diluar Jawa dan Madura.

3. Asas Negara Hukum Indonesia

Dalam konteks pembangunan nasional umumnya dan pembangunan hukum nasional khususnya, asas negara hukum mutlak dijadikan sebagai salah satu asas pembangunan. Asas Negara Hukum Indonesia mempunyai korelasi erat dengan peradilan, sebab salah satu unsur Negara Hukum Indonesia adalah peradilan, sehingga baik secara teoritis maupun yuridis jaminan eksistensi peradilan menemukan landasan, dasar atau fundamennya dalam konsep Negara Indonesia. Mengingat Asas Negara Hukum Indonesia merupakan salah satu asas penting dari asas peradilan, maka asas tersebut tidak dapat dipisahkan dari asas-asas lainnya, bahkan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling terkait dengan asas lainnya, yakni asas demokrasi, kekeluargaan, keselarasan, keseimbangan dan keserasian, peradilan bebas dan merdeka, musyawarah dan persamaan di hadapan hukum dan lain- lain.

Hakim Bersifat Menunggu (index ne procedat ex officio)

Asas ini dapat ditemukan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 142 RBg/Pasal 118 HIR. Pasal 142 ayat (1) RBg menentukan bahwa

gugatan perdata dalam tingkat pertama yang pemeriksaannya menjadi wewenang pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya. Hakim bersifat menunggu artinya inisiatif pengajuan gugatan berasal dari pihak yang berkepentingan. Hakim (pengadilan) hanya menunggu diajukannya tuntutan hak oleh penggugat. Namun, apabila tuntutan atau perkara diajukan, maka pengadilan/hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, dengan alas an bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.

Hakim Bersifat Pasif

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. sas hakim bersifat pasif ini mengandung beberapa makna, di antaranya:

• Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yangberkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim.

• Hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkanlebih daripada yang dituntut (Pasal 189 RBg/Pasal 178 HIR).

(3)

3

• Hakim mengejar kebenaran formil, kebenaran yang hanya didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan di depan sidangpengadilan tanpa harus disertai keyakinan hakim.

• Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak mengajukan upaya hukum, bahkan untuk mengakhiri perkara di pengadilan dengan perdamaian.

4. Jelaskan jenis-jenis badan peradilan termasuk fungsi dan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman?

1. Peradilan sipil yang lazimnya disebut Peradilan Umum.

2. Peradilan Militer yang hanya berwenang untuk mengadili perkara pidana yang tertuduhnya berstatus anggota TNI

3. Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara perdata yang kedua belah pihaknya beragama Islam dan menurut hukum Islam.

4. Peradilan Tata Usaha Negara yang memiliki kewenangan dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara yang Tergugatnya Pemerintah dan Penggugatnya perorangan.

Pemerintah itu digugat atas alasan kesalahan dalam menjalankan administrasi.

5. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terhadap:

1 Menguji undang-undang terhadap UUD 45

2 Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 45

3 Memutus pembubaran partai politik

4 Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum

5. Pada dasarnya, berdasarkan penelusuran kami dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) -yang merupakan landasan hukum sistem peradilan negara dan mengatur tentang peradilan dan pengadilan pada umumnya- tidak mendefinisikan istilah peradilan dan pengadilan secara khusus.

Namun Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman setidaknya mengatur bahwa peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" dan peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

Sedangkan, istilah pengadilan disebut dalam Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman yang antara lain menjelaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang dan pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Dari dua istilah di atas, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa peradilan merupakan proses menerapkan dan menegakkan hukum demi keadilan, sedangkan pengadilan adalah tempat mengadili dan membantu para pencari keadilan agar tercapai suatu peradilan.

Di samping itu, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah tulisan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Yogyakarta, disebut antara lain bahwa:

“Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem Peradilan yang

dilaksanakan di Pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

(4)

4 Sedangkan peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di

Pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto” (hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan

menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

6. Tugas pokok Hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya dan berkewajiban membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hakim di dalam menyelesaikan perkara perdata

berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hakim wajib mengadili menurut hukum karena hal tersebut sebagai kendali atas asas kebebasan Hakim sebab tanpa adanya kewajiban mengadili menurut hukum, Hakim dengan berlindung atas nama kebebasan Hakim dapat bertindak sewenang-wenang di dalam menjatuhkan putusan, sedangkan setiap putusan Hakim harus dianggap benar dan harus dihormati (res judicata provaritate habitur).

Pada Pasal 10 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas, Hakim wajib untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan oleh masyarakat. Ketentuan Pasal 10 tersebut di atas selaras dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa jika Hakim dihadapkan pada suatu perkara yang

hukumnya tidak ada atau hukumnya tidak jelas, maka Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim hanya boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara bilamana undang-undang menentukan lain, misalnya karena alas an kompetensi, adanya hubungan darah dengan pihak-pihak, atau karena adanya alasan bahwa perkara sudah diperiksa dan diputus (nebis in idem), dan untuk penolakan dengan alasan perkara sudah diperiksa dan diputus (nebis in idem) dilakukan setelah persidangan perkara tersebut dilangsungkan.

7. Sejarah ketentuan perundang-undangan yang mengatur hukum acara perdata di peradilan

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indlansch Reglement (HIR). HIR ini mengatur tentang acara di bidang perdata dan di bidang pidana. Dengan berlakunya UU No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), maka pasal- pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku lagi. Nama semula dari Herziene Indonesisch Reglement (HIR) adalah Indonesich Reglement yang berarti reglemen bumiputera, yang dirancang oleh MR HL Wichers, di mana pada waktu itu Presiden Hoogerechtshof, yaitu badan pengadilan tertinggi di Indonesia di zaman kolonial Belanda. Dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Rochussen tertanggal 5 Desember 1846 No 3, Mr Wischers diberi tugas untuk merancang sebuah reglemen (peraturan) tentang administrasi polisi dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan bumiputera.

Reglement Indonesia atau IR ditetapkan dengan Keputusan Pemerintah tanggal 5 April 1848 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848. Pembaharuan IR menajdi HIR dalam tahun 1849 ternyata tidak membawa perubahan suatu apapun pada hukum acara perdata di muka pengadilan negeri. Yang dinamakan pembaruan pada HIR itu sebenarnya hanya terjadi dalam bidang

pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak ada perubahan. Terutama pembaruan itu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum (Openbare Ministries) yang berdiri sendiri dan langsung berada di bawah pimpinan Procureur General, sebab dalam IR apa

(5)

5 yang dinamakan jaksa itu pada hakikatnya tidaklah lain dan tidak lebih daripada seorang

bawahan dari asisten residen.

Sejarah Lembaga peradilan di Indonesia

Dengan terbentuknya RBg ini maka di Hindia Belanda terdapat tiga maca reglemen hukum acara untuk pemeriksaaan perkara di muka gubernemen pada tingkat pertama, yaitu : 1. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (BRv) untuk golongan

Eropa yang berperkara di muka Raad van Justitie dan Residentie Gerecht.

2. Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

3. Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing di luar Jawa dan Madura (daerah seberang) yang berperkara di muka Landraad.

Pada zaman pendudukan Jepang, setelah penyerahan kekuasaan oleh pemerintah Belanda kepada balatentara Dai Nippon pada bulan Maret 1942, maka pada tanggal 7 Maret 1942 untuk daerah Jawa dan Madura pembesar balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1942. Dalam pasal 3 ditentukan:

“semua badan pemerintah dan kekuasannya, undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu salkan tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer”

Berdasarkan undang-undang ini, maka peraturan hukum acara perdata untuk Jawa dan Madura masih tetap berlaku HIR. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura badan

kekuasaan balatentara Dai Nippon juga mengeluarkan peraturan yang sama seperti di Jawa dan Madura. Dengan demikian hukum acara perdata untuk luar Jawa dan Madura masih tetap berlaku RBg.

Referensi

Dokumen terkait

DESIGNING A LOTION MIXER AS Page 98 of 119 A HOME APPLIANCE Gabrielle Glenda Yauwira ‘Permanent Magnet DC Motor PMDC Motor – How Do They Work?’ no date