• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER HKM PERSAINGAN USAHA a.n Yoga Adi P SENT.2

N/A
N/A
YOGA ADI

Academic year: 2024

Membagikan "TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER HKM PERSAINGAN USAHA a.n Yoga Adi P SENT.2"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

MAKALAH JUDUL

ANALISIS PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) NOMOR 15/KPPU-I/2019 MENGENAI PELANGGARAN PASAL 5 TENTANG

PENETAPAN HARGA DAN PASAL 11 TENTANG KARTEL SEBAGAI PERJANJIAN YANG DILARANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.5

TAHUN 1999

DR. Hj. ANNALISA Y., S.H., M.Hum

Disusun oleh:

Nama : Yoga Adi Prabowo NIM : 02012682024036 KELAS HUKUM BISNIS (C)

(WEEKEND)

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2021

(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang :

Arah kebijakan dan orientasi negara terhadap usaha menciptakan persaingan usaha yang sehat diwujudkan dengan diterbitkannya Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta dibentuknya suatu Lembaga Pengawas Persaingan Usaha yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berdasarkan Keppress No.75 tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)1. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terdapat ketentuan yang melarang adanya perjanjian dan perbuatan yang bersifat anti persaingan serta penyalahgunaan posisi yang dominan dari pelaku usaha2.

Perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah oligopoly, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartelisasi, trust, integrasi vertical, perjanjian tertutup dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan yang dilarang menurut Undang-Undang tersebut antara lain monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 juga mengatur mengenai posisi dominan yang dilarang, jabatan rangkap, pemilikan saham, merger, akuisisi dan konsolidasi serta tentang penegakan hukum, tata cara penanganan perkara dan sanksinya3. Dengan demikian dari sisi kelembagaan dan regulasi, Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang dapat digunakan untuk menanggulangi terjadinya peraktek monopili dan persaingan usaha yang tidak sehat.

Dalam prakteknya, dugaan terjadinya bentuk-bentuk monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masih sering ditemukan dalam dunia usaha di negara ini. Beberapa bahkan menjadi sorotan publik dan ramai diberitakan. Kasus yang menjadi temuan tersebut dapat berupa suatu perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang atau pelanggaran norma lainnya yang diatur pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Salah satu kasus yang merupakan pelanggaran atas perjanjian yang dilarang menurut UU Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah dugaan praktek perjanjian kartel dan penetapan harga atas Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi

1Rai Mantili, Hazar kusmayanti, dan Anita Afriana, 2016,”Problematika Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”, Jurnal PIH Volume 3 No.1 Tahun 2016, hlm.117

2Nina Herlina,2018, “Tinjauan Terhadap Mekanisme Penanganan Perkara Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Galuh Yustisi Fakultas Hukum Universitas Galuh, hlm. 108

3Ibid

(3)

Dalam Negeri, yang melibatkan 7 (tujuh) maskapai penerbangan dalam negeri yaitu PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari, dan PT Wings Abadi.

Ketujuh maskapai tersebut di atas diduga melanggar pasal 5 dan 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU mulai menyelidiki kasus dugaan kartel harga setelah masyarakat meneriakkan tarif tiket pesawat yang tak kunjung turun, meski masa-masa low season terjadi awal tahun 2019. Pada Umumnya harga tiket akan turun setelah peak season dan menjadi normal pada awal tahun. Atas kondisi tersebut, KPPU selanjutnya menganalisis dugaan persaingan usaha tidak sehat dengan data dan fakta yang terjadi mulai November 2018 lalu4.

Setelah melalui penyelidikan, tahapan pemeriksaan ditingkatkan menjadi penuntutan dan pemeriksaan oleh Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Hingga kemudian berdasarkanPutusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 diputuskan bahwa 7 (tujuh) maskapai penerbangan yang menjadi terlapor dalam kasus ini terbukti melanggar pasal 5 tentang Penetapan Harga akan tetapi tidak terbukti melanggar Pasal 11 tentang Perjanjian Kartel. Sanksi yang dijatuhkan juga tergolong ringan, bukan berupa denda akan tetapi hanya Tindakan administraitf yaitu perintah kepada Para Terlapor untuk memberitahukan secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebelum mengambil setiap kebijakan pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap.

B. Rumusan Masalah :

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah :

1. Bagaimana ketentuan dan pengaturan mengenai Perjanjian Kartel dan Perjanjian Penetapan Harga?

2. Bagaimana analisis terhadap pertimbangan hakim atas kasus perjanjian kartel dan perjanjian penetapan harga pada Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019?

3. Bagaimana Penegakan hukum terhadap perjanjian kartel dan perjanjian penetapan harga pada Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019

4CNN Indonesia, 2019, “Kasus Dugaan Kartel Tiket Pesawat Naik Ke Tahap Pemberkasan”, (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/

20190715185610-92-412341/kasus-dugaan-kartel-tiket-pesawat-naik-ke-tahap-pemberkasan), diakses pada tanggal 04 Desember 2021, Pukul : 22:50 WIB.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Karakteristik dan Pengaturan Perjanjian Penetapan Harga:

Perjanjian penetapan harga (price fixing) merupakan bentuk kesepakatan penetapan harga yang sama oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Pada umumnya, perjanjian tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan harga barang atau jasa setinggi mungkin dan memaksimalkan keuntungan. Tindakan konspirasi para pelaku usaha melakukan penetapan harga secara bersama-sama mengakibatkan tidak berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk berdasarkan hukum penawaran dan permintaan. Segala bentuk perjanjian penetapan harga diantara para pelaku usaha baik dalam rangka meningkatkan harga, menetapkan, atau menurunkan harga barang atau jasa adalah mutlak dilarang5.

Pengaturan mengenai Larangan Perjanjian Penetapan Harga terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi :

a) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

Adapun unsur-unsur dari Pasal 5 ayat (1) adalah 6: a) Unsur Pelaku usaha; b) Unsur Perjanjian : Sesuai dengan Pasal 1 Angka 7 dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha adalah “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.“ c) Unsur Pelaku Usaha Pesaing: Pelaku usaha Pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama. d) Menetapkan Harga;

berdasarkan Peraturan Komisi Tentang Pedoman Pasal 5 dijelaskan mengenai bentuk bentuk penetapan harga yang termasuk ke dalam aturan pelarangan Pasal 5 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 diantaranya adalah namun tidak terbatas pada; a) Kesepakatan menaikkan atau menurunkan harga; b) Kesepakatan memakai suatu formula standar sebagai dasar penetapan harga; c) Kesepakatan memelihara suatu perbandingan tetap antara harga yang dipersaingkan dengan suatu produk tertentu; d) Kesepakatan meniadakan diskon atau

5 Ni Ayu Putu Mery Astuti dan I Wayan Wiryawan,2015, “Pendekatan Per Se Illegal Dalam Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing) terkait Kasus PT Excelcomindo Pratama., Tbk”, Kertha Semaya : Jurnal Ilmu Hukum Vol.03 No.2, hlm.3

6Peraturan KPPU No.4 tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lampiran Pedoman, hlm.6-7

(5)

membuat keseragaman diskon; e) Kesepakatan persyaratan pemberian kredit kepada konsumen; f) Kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi; g) Persetujuan kepatuhan pada harga yang diumumkan; h) Kesepakatan tidak menjual bila harga yang disetujui tidak dipenuhi; i) Kesepakatan menggunakan harga yang seragam sebagai langkah awal untuk negosiasi. e) Unsur Harga Pasar : Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan antara para pihak dipasar bersangkutan. f) Unsur Barang; g) Unsur Jasa; h) Unsur Konsumen; i) Unsur Pasar Bersangkutan : Pasar bersangkutan, menurut ketentuan pasal 1 angka 10 dari UU No.5 Tahun 1999 adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.

Berdasarkan Ayat (2) pasal 5 UU No.5 Tahun 1999 menyatakan bahwa perjanjian penetapan harga seperti yang tercantum dalam ayat (1) pasal 5 UU No.5 Tahun 1999, tidak melanggar UU No.5 Tahun 1999 apabila perjanjian penetapan harga tersebut dilakukan dalam suatu usaha patungan dan perjanjian yang didasarkan atas undang-undang yang berlaku. Usaha patungan atau joint venture merupakan suatu entitas yang dibentuk oleh dua pelaku usaha atau lebih untuk menyelenggarakan aktivitas ekonomi bersama dimana para pihak bersepakat untuk membagi keuntungan dan menanggung kerugian yang dibagi secara proporsional berdasarkan perjanjian tersebut7.

KPPU dapat menerapkan Pasal 5 baik sebagai dugaan pelanggaran tunggal maupun secara bersama-sama dengan pasal lain yang terkait sebagaimana dijelaskan tersebut di atas sebagai dugaan pelanggaran berlapis. Pasal-Pasal terkait antara lain : a) Pasal 8 berlaku untuk perjanjian horizontal (sesama pesaing) atau secara vertikal dengan perusahaan di bawahnya, b) Pasal 9 tentang Pembagian Wilayah, c) Pasal 11 tentang Kartel, d) Pasal 16 tentang Perjanjian dengan Luar Negeri, e) Pasal 26 tentang Jabatan Rangkap, f) Pasal 27 tentang Kepemilikan Silang8.

Pendekatan dalam rumusan Pasal 5 adalah pendekatan Per Se illegal’, yaitu suatu pendekatan yang menyatakan suatu perjanjian atau kegiatan tertentu sebagai perbuatan yang dilarang tanpa dibuktikan lebih lanjut dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau

7Peraturan KPPU No.4 tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lampiran Pedoman, hlm.14-15

8Peraturan KPPU No.4 tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lampiran Pedoman, hlm.8-10

(6)

kegiatan tersebut. Pada hakikatnya, semua tindakan yang terlarang secara per se illegal diasumsikan mengandung konsekuensi yang lebih berat dibandingkan dengan rule of reason. Penerapan pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “... yang dapat mengakibatkan ...”9

Untuk membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 5 ayat (1) UU No.

5 Tahun 1999 maka pembuktian adanya perjanjian diantara pelaku usaha independen yang sedang bersaing dalam menetapkan harga atas barang dan atau jasa menjadi hal yang sangat penting. Perilaku penetapan harga para pelaku usaha di pasar tersebut dilakukan secara bersama-sama (concerted). Tindakan perusahaan yang bersifat independen dari perilaku perusahaan lain bukan merupakan pelanggaran terhadap hukum persaingan. Bentuk perjanjian tertulis tidak menjadi keharusan dalam membuktikan adanya suatu perjanjian perilaku penetapan harga sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 Angka 7 UU No.5 Tahun 1999. Yang diperlukan adalah bukti bahwa penetapan harga secara bersama-sama disepakati dan para pelaku usaha mematuhi (conformed) kesepakatan tersebut. Bukti yang diperlukan dapat berupa: i) Bukti langsung (hard evidence) dapat berupa: bukti fax, rekaman percakapan telepon, surat elektronik, komunikasi video, dan bukti nyata lainnya., dan ii) Bukti tidak langsung (circumstantial evidence yaitu suatu bentuk bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan harga10. Bukti tidak langsung masih memerlukan Analisa tambahan untuk melengkapinya atau digunakan Bersama-sama dengan bukti langsung. ‘

B. Penegakan Hukum dan Sanksi atas Perjanjian Penetapan Harga:

Sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1999, KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang terbukti melanggar ketentuan Pasal 5, sebagaimana diatur dalam pasal 47 ayat (2). Selain itu pelanggaran terhadap pasal 5 juga dapat dijatuhi sanksi pidana pokok dan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 48 dan pasal 49. Sanksi administratif yang dapat dijatuhkan KPPU berupa : a) penetapan pembatalan perjanjian (Pasal 47 huruf a); b) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat (Pasal 47 huruf c); c) penetapan pembayaran ganti rugi (Pasal 47 huruf f); dan d) pengenaaan denda

9 Lewinda Oletta Sidabutar, 2020, Pendekatan “Per Se Illegal” dan “Rule of Reason” dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, Jurnal Rechtsvinding, hlm.2-3

10 Peraturan KPPU No.4 tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lampiran Pedoman, hlm.16-17

(7)

serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000.00 (dua puluh milyar rupiah). (Pasal 47 huruf g).

Selain sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh KPPU, pelanggaran terhadap Pasal 5 dapat dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 48 sebagai berikut : a) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 diancam pidana serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. b) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan. Di samping sanksi pidana pokok dalam UU No. 5 Tahun 1999, juga diatur sanksi pidana tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 49, berupa : a. Pencabutan izin usaha b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau; c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.’

C. Karakteristik dan Pengaturan Perjanjian Kartel:

Pengertian Kartel adalah suatu kesepakatan antara beberapa perusahaan produsen untuk mengatur dan mengendalikan berbagai hal, seperti harga, wilayah pemasaran dan sebagainya, dengan tujuan menekan persaingan dan atau persaingan usaha pada pasar yang bersangkutan dan meraih keuntungan.11 Dalam website resmi KPPU dipaparkan bahwa kartel merupakan isu yang sangat penting dan fenomenal dalam penerapan hukum persaingan usaha di banyak negara. Kartel termasuk pelanggaran berat dari hukum persaingan usaha karena dampaknya terhadap penurunan social welfare dianggap cukup nyata.12. Karakteristik dari perjanjian kartel adalah pertama, perjanjian termasuk juga tindakan bersama (concerted action) yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis, dan bersifat sukarela, kedua, dilakukan oleh para pelaku usaha yang bersifat persaingan (bersifat horizontal) maupun pelaku usaha lainnya yang bersifat independen (bersifat vertikal), dan ketiga, bertujuan untuk mencegah, membatasi, ataupun mendistorsi persaingan di antara mereka.

11 Anna Maria Tri Anggraini, 2013,“Penggunaan Bukti Ekonomi dalam Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013,

12 KPPU.go.id, “Sulitnya Membuktikan Praktik Kartel”, (https://kppu.go.id/blog/2010/07/sulitnya-membuktikan-praktik-kartel/), diakses pada tanggal 26 Oktober 2021 pukul 23:00 WIB

(8)

Motif pelaku usaha untuk melakukan tindakan kartel antara lain untuk mendapatkan keuntungan maksimal (maximum profit), dengan tidak menutup kemungkinan untuk mematikan new entrance (pemain baru) dengan menciptakan barrier to entry (hambatan masuk pasar). Akibat yang ditimbulkan adalah terciptanya praktik monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara perekonomian makro mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya deadweight loss13.

Pengaturan mengenai Larangan Perjanjian Kartel terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. ‘ Ketentuan mengenai Larangan Kartel termasuk perjanjian penetapan harga di dalamnya, dikecualikan untuk Perbuatan atau Perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 50 Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat14.

Adapun unsur-unsur dari suatu perjanjian kartel yang dilarang sebagaimana pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 yang harus dibuktikan untuk menyatakan bahwa suatu perjanjian merupakan Perjanjian Kartel yang terlarang adalah sebagai berikut15: a) Unsur Pelaku Usaha Pelaku; b) Unsur Perjanjian; menurut pasal 1 angka 7 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. c) Unsur Pelaku Usaha Pesaingnya.

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu pasar bersangkutan. Definisi pasar bersangkutan, dapat dilihat dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 tahun 2009, tanggal 1 Juli 2009 mengenai Pedoman Pasal 1 angka 10 tentang Pasar Bersangkutan. d) Unsur Bermaksud Mempengaruhi Harga;

Sebagaimana dirumuskan dalam pasal 11 bahwa suatu kartel dimaksudkan untuk mempengaruhi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel setuju mengatur

13Ayudha D. Prayoga, 2013, “Kartel Dibangun untuk Maximum Profit”,Kompetisi, Edisi 39, Jakarta : Komisi Pengawas Persaingan Usaha, hlm. 15

14Pasal 50 UU No.5 tahun 1999: Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah : a). perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau b.) perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau c.) perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau d.) perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau e.) perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau f.) perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau g.) perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau h.) pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau i.) kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

15 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.4 tahun 2010 tentang Kartel, Lampiran, hlm. 16-17

(9)

produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa. e) Unsur Mengatur Produksi dan atau Pemasaran; Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi kartel secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa yang bersangkutan. Sedangkan mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan dijual dan atau wilayah dimana para anggota menjual produksinya. f) Unsur Barang; g) Unsur Jasa; h) Unsur Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli; Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Dengan kartel, maka produksi dan pemasaran atas barang dan atau jasa akan dikuasai oleh anggota kartel. Karena tujuan akhir dari kartel adalah untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi anggota kartel, maka hal ini akan menyebabkan kerugian bagi kepentingan umum. i) Unsur Dapat Mengakibatkan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para pelaku usaha. Oleh karena itu segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk kepentingan para anggotanya saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan secara tidak sehat dan tidak jujur. Dalam hal ini misalnya dengan mengurangi produksi atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha, misalnya dengan penetapan harga atau pembagian wilayah

Praktek Kartel menggunakan berbagai cara untuk mengkoordinasikan kegiatan mereka, seperti melalui pengaturan produksi, penetapan harga secara horizontal, kolusi tender, dan kegiatan lainnya yangmana bentuk-bentuk kegiatan tersebut diikat dengan bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang lainnya16 sehingga dalam prakteknya pelanggaran mengenai perjanjian kartel seringkali dalam pemeriksanaan dan putusannya tidak berdiri sendiri dan dikaitkan juga dengan pelanggaran atas pembuatan perjanjian terlarangnya.

Untuk membuktikan telah terjadi kartel dalam suatu industri, KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat bukti. Setelah diperoleh bukti-bukti yang cukup, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pembuktian apakah benar-benar telah terjadi kartel yang dapat dipersalahkan antara para pelaku usaha. Pembuktian pada perkara kartel menggunakan Pendekatan rule of reason sesuai dengan perumusan pasal 11 UU Nomor 5

16 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.4 tahun 2010 tentang Kartel, Lampiran,, hlm.13

(10)

tahun 1999. Menurut pendekatan ini perjanjian kartel hanya dilarang bila perjanjian tersebut bertujuan untuk mempengaruhi harga dengan cara mengatur produksi dan/atau jasa tertentu, dimana perbuatan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat17. Dengan demikian maka sangat diperlukan adanya pengkajian yang mendalam mengenai alasan kesepakatan para pelaku usaha dimaksud dibandingkan dengan kerugian ataupun hal-hal negatif kartel baik bagi persaingan usaha.

Otoritas Pengawas Persaingan Usaha dalam hal ini KPPU harus melakukan evaluasi mendalam mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan18. D. Penegakan Hukum dan Sanksi atas Perjanjian Kartel:

Bagi pelaku pelanggaran yang terbukti bersalah maka KPPU berwenang untuk menjatuhkan putusan kepada pelaku pelanggaran dan putusan tersebut bersifat final dan binding. Sanksi bagi pelanggar Hukum Persaingan Usaha yang membuat perjanjian kartel yang dilarang maka baginya dapat dikenakan sanksi berupa tindakan administratif, pidana pokok dan pidana tambahan. Tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU Nomor 5 tahun1999 berupa 1) Penetapan pembatalan perjanjian. 2). Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. d) Penetapan Pembayaran ganti rugi. d) Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)19. Untuk sanksi Pidana dapat berupa : 1) Pidana Pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1999 : a) Pidana denda serendah-rendahnya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau b.) Pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. And 2) Pidana Tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1999: a) Pencabutan izin usaha; atau b) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini untuk menduduki jabatan Direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun. c) Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain20.

17Yunimar, 2019, “Analisis Putusan KPPU tentang Kartel sebagai Perjanjian yang dilarang (Perkara No.04/KPPU-1/2016), Jurnal Normative Volume 7 Nomor 1 Tahun 2019, hlm. 13

18Muhammad Rizki dan Imron Rosadi, 2019, “Penyelesaian Perkara Persaingan Usaha Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha di Era Revolusi Industri 4.0”, Jurnal RechtIdee, Vol. 14, No.1, Juni 2019, hlm.156

19Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.4 tahun 2010 tentang Kartel, Lampiran, hlm. 27

20Ibid

(11)

BAB III PEMBAHASAN

ANALISIS PUTUSAN KPPU PERKARA NOMOR 15/KPPU-I/2019 1) LATAR BELAKANG, GAMBARAN UMUM, DAN PERMASALAHAN :

Harga tiket pesawat penumpang kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri awal tahun 2019 dirasakan masyarakat masih cukup tinggi meski masa peak season sudah berakhir. Masyarakat menilai harga tiket pesawat tinggi saat peak season masih wajar, karena secara umum terjadi peningkatan permintaan masyarakat (demand). Peak season terjadi beberapa kali dalam satu tahun kalender seperti Hari Raya Idul Fitri, liburan sekolah, libur Hari Natal dan Tahun Baru dan libur long weekend, weekend dan Hari Raya Imlek. Harga tiket pesawat saat peak season biasanya lebih tinggi dari harga pesawat saat low season. Namun, biasanya setelah masa peak season berakhir, harga tiket pesawat akan kembali normal. Misalnya saja Pada bulan Desember 2017 hingga pertengahan bulan Januari 2018 yang termasuk dalam kurun waktu peak season.

Dalam kurun waktu tersebut, harga tiket pesawat cenderung naik (lebih tinggi) namun akan kembali normal pada saat memasuki masa low season. Kondisi tersebut mengalami anomali khususnya apabila dibandingkan dengan kurun waktu yang sama pada bulan Desember 2018 hingga pertengahan bulan Januari 2019. Setelah masa peak season berakhir yaitu minggu kedua Januari 2019, masyarakat masih merasakan tingginya harga tiket pesawat. Kondisi ini berlangsung cukup lama, hingga pemerintah meminta maskapai menurunkan harga tiket, karena telah menimbulkan keresahan di masyarakat selaku konsumen.

Kenaikan harga tiket pesawat yang terjadi tersebut dirasa tidak rasional karena harga avtur justru mengalami penurunan sejak bulan November 2018 (apabila dibandingkan dengan harga sebelum bulan November 2018), padahal avtur tersebut memiliki kontribusi cukup besar terhadap biaya produksi maskapai penerbangan.

Dalam publikasinya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa kenaikan jasa angkutan udara niaga berjadwal merupakan penyumbang dalam kenaikan inflasi tahun 2019.

Selain itu, struktur pasar di industri jasa angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri cenderung terkonsentrasi pada beberapa maskapai penerbangan, terlebih lagi konsentrasi pasar tersebut semakin tinggi ketika Garuda Group melakukan Kerja Sama

(12)

Operasi dan/atau Kerja Sama Manajemen dengan Sriwijaya Group pada periode November 2018 yang selanjutnya juga memicu adanya dugaan kartel di pasar bersangkutan. Dengan adanya anomali harga tiket maskapai penerbangan setelah peak season pada bulan Desember 2018 hingga pertengahan bulan Januari 2019 dan semakin tingginya konsentrasi pasar tersebut, telah menginisiasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia untuk mengumpulkan data dan/atau informasi ada tidaknya dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa layanan angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi dalam negeri.

Langkah KPPU telah sejalan dengan kewenangan KPPU sebagaimana butir (a) sampai dengan (d) Pasal 36 UU Nomor 5 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa Wewenang Komisi meliputi : a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya; d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

Atas kondisi ini maka KPPU melakukan penyelidikan berdasarkan inisitaif sendiri. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 40 UU Nomor 5 tahun 1999 dan Pasal 10 Peraturan KPPU No.1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi : (1) Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan pelanggaran Undang-Undang walaupun tanpa adanya laporan. (2) Penanganan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas inisiatif Komisi untuk melakukan Penelitian berdasarkan data atau informasi adanya dugaan pelanggaran Undang- Undang. (3) Data atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperoleh dari: a. hasil kajian; b. temuan dalam proses Pemeriksaan; c. hasil Rapat Dengar Pendapat yang dilakukan Komisi; d. laporan yang tidak lengkap; e. berita di media;

dan/atau f. data atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

(13)

Pemeriksaan atas perkara pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha oleh KPPU melalui tahapan penyelidikan, penuntutan, pemeriksanaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan dan selajutnya putusan. Tahapan penyelidikan dan penuntutan dilaksanakan oleh Investigator KPPU. Sedangkan pemeriksanaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan dan selajutnya putusan berada dibawah kewenangan Majelis Komisi KPPU. Majelis Komisi memutus perkara paling sedikit didukung 2 (dua) alat bukti dan Majelis Komisi yakin perbuatan yang diduga dilakukan Terlapor dan/atau para Terlapor terbukti (Pasal 37 ayat (3) Peraturan KPPU No.1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat).

2) DUGAAN PELANGGARAN :

Dalam kasus ini yang menjadi obyek perkara adalah kebijakan 7 (tujuh) maskapai penerbangan dalam negeri yaitu PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT NAM Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari, dan PT Wings Abadi, mengenai harga tiket masing-masing maskapai tersebut yang dirasakan masyarakat sangat mahal dan memberatkan padahal tidak di masa peak season. Ditambah lagi dengan konsentrasi pasar penerbangan domestik yang berpusat pada Garuda Group (PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT NAM Air) dan Lion Group (PT Batik Air, PT Lion Mentari, dan PT Wings Abadi) pada akhirnya menimbulkan dugaan bahwa kenaikan harga tiket yang tinggi tersebut dan cenderung anomali berkorelasi dengan konsentrasi pasar penerbangan domestik yang dikuasai 2 (dua) konglomerasi besar yaitu Garuda Group dan Lion Group.

Atas dasar hal tersebut di atas dan didukung bukti-bukti hasil penyelidikan investagor maka dilakukan penuntutan kepada Para Terlapor atas dugaan melakukan pelanggaran atas Pasal 5 dan 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 :

I. Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999:

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:

a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku

II. Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999: Pelaku Usaha Dilarang Membuat Perjanjian, Dengan Pelaku Usaha Pesaingnya, Yang Bermaksud Untuk Mempengaruhi Harga

(14)

Dengan Mengatur Produksi Dan Atau Pemasaran Suatu Barang Dan Atau Jasa, Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli Dan Atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.

3) PARA TERLAPOR :

Adapun yang menjadi para terlapor adalah :

(1) Terlapor I : PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk., yang beralamat kantor di Gedung Garuda Indonesia, Jalan Kebon Sirih Nomor 44, Jakarta Pusat 10110, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia, dan beralamat surat menyurat di Gedung Manajemen Garuda City, Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang 15111, Provinsi Banten, Indonesia.

(2) Terlapor II : PT Citilink Indonesia, yang beralamat kantor di Komplek Ruko Juanda JBC Blok C1 Nomor 02, Jalan Raya Juanda, Desa Sawotratap, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo 61254, Provinsi Jawa Timur, dan beralamat surat menyurat di Management Support I Building, Lantai 1, Garuda City, Soekarno-Hatta International Airport, Tangerang 15111, Provinsi Banten, Indonesia.

(3) Terlapor III : PT Sriwijaya Air, yang beralamat kantor di Jalan Pangeran Jayakarta 68, Blok C Nomor 15-16, Sawah Besar, Jakarta Pusat 10160, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia dan beralamat surat menyurat di Sriwijaya Air Tower, Jalan Atang Sanjaya Nomor 21, Soekarno-Hatta Airport, Tangerang 15111, Provinsi Banten, Indonesia.

(4) Terlapor IV : PT NAM Air, yang beralamat kantor di Jalan Gunung Sahari Raya Nomor 13, Blok B/8-10, Kelurahan Pademangan Barat, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara 14420, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia dan beralamat surat menyurat di Sriwijaya Air Tower, Jalan Atang Sanjaya Nomor 21, Soekarno-Hatta Airport, Tangerang 15111, Provinsi Banten, Indonesia.-

(5) Terlapor V : PT Batik Air, yang beralamat kantor di Jalan A.M. Sangaji Nomor 19, RT 002 RW 006, Kelurahan Petojo, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia dan beralamat surat menyurat di Lion Air Tower, Jalan Gajah Mada Nomor 7, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia.

(6) Terlapor VI : PT Lion Mentari, yang beralamat kantor di Jalan Gajah Mada Nomor 7, Gambir, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia dan beralamat surat

(15)

menyurat di Lion Air Tower, Jalan Gajah Mada Nomor 7, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, Indonesia

(7) Terlapor VII : PT Wings Abadi, yang beralamat kantor di Jalan A.M. Sangaji Nomor 17, Gambir, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta dan beralamat surat menyurat di Lion Air Tower, Jalan Gajah Mada Nomor 7, Jakarta Pusat, Provinsi DKI

Kritik penulis sehubungan dengan para terlapor ini bahwa menurut penulis kurang lengkap karena tidak mengikut sertakan Ditjen Perhubungan Udara Cq Kementrian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Terlapor agar dapat diperintahkan secara langsung untuk tunduk pada Putusan ini dikarenakan peran dan wewenang pemerintah dalam masalah tariif dan kebijakan yang mempengaruhi pengambilan keputusan bisnis maskapai penerbangan dalam Negeri sangatlah besar.

Apalagi jika melihat butir 11 dalam Putusan dimaksud mengenai Rekomendasi Majelis Komisi dimana Majelis Komisi merekomendasikan kepada Komisi untuk memberikan saran pertimbangan sebagai berikut:

11.1. Bahwa kepada Kementerian Perhubungan untuk melakukan evaluasi terkait kebijakan tarif batas atas dan batas bawah yang dapat ditinjau setiap tahun sehingga formulasi yang digunakan dapat melindungi konsumen dan pelaku usaha dalam industri dan efisiensi nasional dimana batas bawah adalah di atas sedikit dari marginal cost pelaku usaha dan batas atas adalah batas keuntungan yang wajar dan dalam batas keterjangkauan kemampuan membayar konsumen; --- 11.2. Bahwa kepada Pemerintah untuk segera merumuskan langkahlangkah kebijakan dalam membantu pelaku usaha industri penerbangan mengatasi pandemi virus corona berupa regulasi dan paket-paket ekonomi diantaranya mempermudah masuknya pelaku usaha baru dalam industri penerbangan. --- Apabila Pemerintah ditarik sebagai terlapor maka rekomendasi ini diharapkan dapat dimasukkan dalam Amar Putusan dan dapat lebih efektif untuk dimintakan eksekusi dan realisasinya sehingga akan menyelamatkan kepentingan umum masyarakat terhadap ketersediaan layanan penerbangan yang terjangkau dan terhindar dari praktek kartel atau persaingan usaha tidak sehat lainnya di masa datang yang sangat merugikan masyarakat.

(16)

4) KOMPETENSI ABSOLUTE

Dalam Putusan dijelaskan bahwa berdasarkan Pasal 35 huruf a, KPPU berwenang melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 dalam Bab III Perjanjian yang Dilarang. Perjanjian yang dilarang tersebut diantaranya mengatur mengenai penetapan harga dan kartel.

Berdasarkan hal tersebut, maka Majelis Komisi menilai bahwa perkara a quo merupakan kewenangan absolut KPPU. Hal ini sudah sesuai dengan hukum, Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud kompetensi absolute adalah wewenang untuk mengadili perkara di antara lingkungan pengadilan yang berbeda seperti antara pengadilan agama dan pengadilan negeri. Dalam hal ini wewenang KPPU diberikan oleh Undang-Undang sebagai Lembaga yang dapat memeriksa dan memberikan putusan mengenai perkara pelanggaran hukum persaingan usaha.

5) HASIL PEMERIKSAAN POKOK PERKARA : a. Pertimbangan Umum dalam Putusan :

1) Menurut Penilaian Majelis Komisi Struktur Pasar dalam Industri angkutan udara niaga berjadwal adalah oligopoli ketat (tight oligopoly).

Jumlah pelaku usaha, penguasaan pasar dari 7 (tujuh) Terlapor di atas 95%

(sembilan puluh lima persen), dan adanya hambatan masuk pasar maka struktur pasar dalam industri angkutan udara niaga berjadwal. Hambatan untuk memasuki pasar antara lain seperti Permenhub 97 tahun 2015; syarat maskapai harus memiliki 5 pesawat dan menguasai 5 pesawat sesuai kebutuhan operasional.

2) Mengenai Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 yang didalilkan terlapor sebagai dasar bahwa tidak ada pasar bersangkutan karena produk dari masing-masing terlapor berbeda kelas (deferensiasi produk) dan tidak saling bersubstitusi/menggantikan yang karenanya maka Para terlapor menyatakan tidak melanggar Pasal 5.

Dalam hal ini Majelis Komisi tidak sependapat terhadap dalil Para Terlapor dengan pertimbangan : “…. Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2016 adalah persaingan dalam tarif atau harga dan bukan dalam hal kelompok pelayanan; PM Nomor 14 Tahun 2016 hanya memberikan

(17)

batasan tertinggi dan terendah dari penetapan tarif atau harga penumpang pelayanan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri sehingga masih terdapat ruang persaingan harga diantara rentang batasan tersebut.

Bahwa hal ini dikuatkan dengan Keterangan Saksi, Keterangan Terlapor, dan Keterangan Ahli”. Padangan ini tepat adanya karena sejalan dengan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara. Keterangan Ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah dan bernilai dalam pemeriksaan

3) Mengenai Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi : ““yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:

a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; ” yang didalilkan terlapor sebagai dasar bahwa Para Terlaportidak memiliki kemampuan untuk menetapkan harga dan/atau mempengaruhi harga baik secara sendiri-sendiri apalagi bersama- sama karena tarif tiket pesawat dari Para Terlapor telah ditetapkan berdasarkan PM Nomor 14 Tahun 2016, yang karenanya maka Para terlapor menyatakan tidak melanggar Pasal 5 dan 11. Dalam hal ini Majelis Komisi tidak sependapat terhadap dalil Para Terlapor dengan pertimbangan : 6.3.1 Bahwa UU Nomor 1 Tahun 2009 tidak membentuk atau menunjuk dan atau memberikan kewenangan secara tegas kepada pelaku usaha tertentu.

6.3.2. Bahwa PM Nomor 14 Tahun 2016 yang merupakan delegasi secara tegas dari Pasal 130 UU Nomor 1 Tahun 2009 juga tidak membentuk atau menunjuk dan atau memberikan kewenangan secara tegas kepada pelaku usaha tertentu (dalam hal ini para terlapor) ; 6.3.3. Bahwa UU Nomor 1 Tahun 2009 dan PM Nomor 14 Tahun 2016 hanya memberikan pedoman batasan penetapan tarif atau harga dan masih terdapat persaingan yang berlaku bagi seluruh pelaku usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri; 6.3.4. Bahwa hal ini dikuatkan dengan pernyataan Saksi, Terlapor, dan Ahli. 6.3.5. Bahwa menimbang tidak ada pembentukan atau penunjukan dan atau pemberian kewenangan secara tegas kepada pelaku usaha tertentu serta masih adanya ruang persaingan bagi seluruh pelaku usaha dalam angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri maka ketentuan pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 dalam perkara a quo tidak dapat diterapkan.

(18)

4) Mengenai Pasar Bersangkutan : Majelis Komisi berpendapat bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Nomor 5 Tahun 1999 didefinisikan mengenai “pasar bersangkutan” dengan menyatakan “Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut”. Atas dasar ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa pasar bersangkutan memiliki 2 (dua) aspek utama yang meliputi: a. Aspek produk, pasar berdasarkan produk terkait dengan kesamaan, atau kesejenisan dan/atau tingkat substitusinya. b.

Aspek wilayah, pasar berdasarkan cakupan geografis terkait dengan jangkauan dan/atau daerah pemasaran.

Berkenaan dengan Aspek Produk Majelis Komisis berpendapat harga tiket penerbangan domestik badan usaha angkutan udara niaga berjadwal saling bersubstitusi dikarenakan adanya persinggungan atau irisan harga tiket pada full service, medium service, dan no frills service. Konsumen price sensitive terhadap harga tiket penerbangan domestik badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sehingga mudah berubah kepada pelaku usaha lain ketika terjadi perubahan harga. Dari persepsi konsumen, harga tiket penerbangan domestik pelaku usaha angkutan udara niaga berjadwal memiliki karakter dan fungsi yang sama, sehingga dianggap saling bersaing;

Sehingga pasar produk dalam perkara ini adalah layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi untuk seluruh jenis pelayanan. Pendapat ini sesuai dan memperkuat dalil dari Investigator Penuntut.

Berkenaan dengan Aspek wilayah (pasar Geografis) Majelis Komisis berpendapat karakteristik permintaan seperti harga barang itu sendiri, harga barang lain yang berkaitan erat, preferensi konsumen, dan kesamaan bahasa terhadap harga tiket penerbangan domestik badan usaha angkutan udara niaga berjadwal mengakibatkan meluasnya cakupan pasar geografis. dari persepsi konsumen, harga tiket penerbangan domestik badan usaha angkutan udara niaga berjadwal saling tersubstitusi. Dari persepsi pelaku usaha, semua maskapai dalam penerbangan domestik pelaku usaha angkutan udara niaga berjadwal dianggap sebagai pesaing. Para Terlapor

(19)

memiliki kebijakan strategi penetapan harga dan pemasaran yang berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Keputusan pimpinan perusahaan mengenai kebijakan strategi tersebut tercantum dalam Laporan Keuangan dan pernyataan Terlapor dalam Sidang Majelis Komisi. Bahwa terjadi subtitusi pada 3 (tiga) segmen pasar layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi untuk seluruh wilayah Indonesia.

Bahwa penetapan harga para Terlapor dipengaruhi aksi dan reaksi pesaing dengan cara saling melihat harga. Hal ini dipermudah oleh pemasaran yang luas dan mudahnya akses melihat harga pesaing sehingga memungkinkan terjadinya kontak multi-pasar. Bahwa layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi merupakan kontak multi-pasar terbukti dari kenaikan harga 3 (tiga) segmen pasar layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi secara bersama-sama;

Sehingga pasar geografis yang ditetapkan oleh Investigator Penuntutan telah tepat yaitu wilayah Indonesia.

Sebagai kesimpulan Majelis Komisi berpendapat bahwa pasar bersangkutan dalam perkara ini adalah layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia. Pendapat ini sesuai dan memperkuat dalil dari Investigator Penuntut.

b. Putusan Mengenai Pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelanggaran dalam Pembuatan Perjanjian Penetapan Harga:

Dalam amar putusan Majelis Komisi Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999; Putusan ini dijatuhkan dengan mempertimbangan terpenuhinya semua unsur Pasal 5. Investigator berhasil membuktikan dalam pemeriksaan dengan bukti-bukti ekonomi dan alat bukti sanksi, surat dan saksi ahli serta alat bukti lainnya dan berhasil meyakinkan hakim mengenai pola-pola penetapan harga yang dilakukan para terlapor dan adanya suatu pasar bersangkutan.

Selain terpenuhinya semua unsur Pasal 5, Poin krusial dalam pemeriksaan ini menurut penulis adalah keberhasilan investigator penuntut

(20)

membuktikan “Unsur Perjanjian”. Meskipun tidak ada perjanjian tertulis sebagai dasar penetapan harga, perjanjian dapat dilihat adanya suatu perbuatan yang mengindikasikan suatu pola-pola kesepakatan atau pelaksanaa kesepakatan. Sebagaimana pertimbangan Majelis Komisi : “Dalam hal tidak terdapat perjanjian tertulis, maka adanya perjanjian dapat dilihat dari perilaku pelaku usaha yang sama atau mirip (concerted action atau parallelism);

Perjanjian tidak tertulis diindikasikan dengan adanya concerted action atau parallelism (yaitu rangkaian perilaku pelaku usaha (concerted action) untuk saling mengikatkan diri satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lain). Namun concerted action atau parallelism belum tentu didasarkan pada perjanjian, dapat pula terjadi perbuatan atau tindakan independen dari para pelaku usaha.

Oleh karenanya, untuk membuktikan bahwa concerted action atau parallelism merupakan hasil dari perjanjian antar pelaku usaha perlu adanya bukti-bukti lain atau yang dikenal dengan plus factors sehingga dapat disimpulkan telah terjadi kesepakatan antara para pelaku usaha (terjadinya meeting of minds);

Dalam kasus ini pembuktian concerted action atau parallelism tersebut berhasil dilakukan oleh investigator penuntut, yang dapat dilihat pada penilaian Majelis Komisi sebagai berikut : Bahwa walaupun tidak terdapat perjanjian tertulis akan tetapi terdapat concerted action atau parallelism para Terlapor sehingga dapat disimpulkan telah terjadi kesepakatan antar para pelaku usaha (meeting of minds) dalam bentuk kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia.

Bahwa concerted action atau parallelism para Terlapor yang didukung oleh plus factors tidak didasarkan pada tindakan independen dari para Terlapor melainkan berdasarkan kesepakatan meeting of minds dalam bentuk kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah

(21)

Indonesia sehingga masuk dalam kesepakatan yang dilarang menurut UU Nomor 5 Tahun 1999;

Bahwa concerted action atau parallelism mengurangi subclass dengan harga murah yang dilakukan para Terlapor melalui kesepakatan antar para pelaku usaha (meeting of minds) menyebabkan kenaikan harga sehingga konsumen membayar lebih mahal. Bahwa dengan demikian, unsur perjanjian terpenuhi

Dari pertimbangan majelis komisi maka perjanjian penetapan harga yang terbukti dilakukan Para Terlapor adalah :

- Adanya kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar sehingga membatasi pasokan dan memelihara harga tinggi pada layanan jasa angkutan udara niaga berjadwal penumpang kelas ekonomi di wilayah Indonesia

- concerted action atau parallelism para Terlapor yang didukung oleh plus factors tidak didasarkan pada tindakan independen dari para Terlapor melainkan berdasarkan kesepakatan meeting of minds dalam bentuk kesepakatan meniadakan diskon atau membuat keseragaman diskon dan kesepakatan meniadakan produk yang ditawarkan dengan harga murah di pasar

- Adanya concerted action atau parallelism mengurangi subclass dengan harga murah yang dilakukan para Terlapor melalui kesepakatan antar para pelaku usaha (meeting of minds) menyebabkan kenaikan harga sehingga konsumen membayar lebih mahal.

c. Putusan Mengenai Pelanggaran Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelanggaran dalam Pembuatan Perjanjian Kartel :

Dalam amar putusan Majelis Komisi Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999; Putusan ini dijatuhkan dengan mempertimbangan tidak terpenuhinya “Unsur Perjanjian”, dimana Majelis

(22)

Komisi menilai concerted action sebagai bentuk meeting of minds di antara para Terlapor tidak memenuhi karakteristik kartel. Berdasarkan Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010, karakteristik pada suatu kartel dibutuhkan pemenuhan hal-hal sebagai berikut: 1) konspirasi diantara beberapa pelaku usaha; 2) keterlibatan para senior eksekutif perusahaan yang menghadiri pertemuan- pertemuan dan membuat keputusan; 3) penggunaan asosiasi untuk menutupi kegiatan; 4) melakukan price fixing atau penetapan harga dengan cara alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau alokasi produksi; 5) ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian; 6) adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel; serta 7) adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih besar atau melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta untuk menghentikan kegiatan usahanya. Bahwa dengan demikian, unsur perjanjian tidak terpenuhi.

Bahwa karena unsur perjanjian dalam Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 tidak terpenuhi, maka tidak perlu dibuktikan lebih lanjut unsur-unsur Pasal 11 dimaksud. Karena tuntutan/dakwaan berbentuk kumulatif maka harus dapat dibuktikan seluruh undur untuk dapat terbuktinya suatu Pasal.

Kritik penulis, bahwa pertimbangan putusan ini kurang tepat, seksama dan mendalam dikarenakan :

- Pertimbangan tidak terpenuhinya unsur perjanjian hanya didasarkan pada kriteria kartel kartel. Berdasarkan Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010.

Padahal dalam aturan tersebut disebutkan bahwa : “Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik:…”. Frasa pada umunya sebenarnya dapat diartikan bahwa kriteria ini bersifat terbuka dan tidak limitative.

- Bahwa Majelis Komisi pada pemeriksaan perkara persaingan usaha adalah bersifat bebas dan terikat. Bebas artinya majelis dapat menentukan mengenai suatu beban pembuktian, prioritas alat bukti yang digunakan, kedudukannya, dan nilai dari alat bukti tersebut. Terikat karena jenis alat bukti sudah ditentukan oleh Undang-Undang yaitu a. keterangan saksi; b.

keterangan ahli; c. surat dan atau dokumen; d. petunjuk; f. keterangan pelaku usaha (Pasal 42 UU No.5 tahun 1999). Selain itu kebenaran yang

(23)

dicari dalam pemeriksaan adalah kebenaran materil bukan hanya formil, seharusnya Majelis Komisi mempertimbangkan secara lebih mendalam dalil investigator penuntut mengenai “Ünsur Perjanjian” serta mempertajam pemeriksaan dan pembuktian dengan mendasarkan pada kriteria kartel dan juga prilaku kartel serta memaksimalkan alat bukti petunjuk dan alat bukti lainnya agar Para Terlapor dalam kasus Kartel tidak mudah lepas dari pertanggungjawaban hukum.

- Dalam pertimbangan tidak diurai secara jelas kriteria kartel mana yang terpenuhi dan kriteria kartel yang tidak terpenuhi. Hanya disebutkan bahwa berdasarkan kriteria kartel secara umum pada Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010 maka unsur perjanjian sebagai suatu perjanjian kartel tidak terpenuhi. Hal ini jelas sangat tidak jelas.

- Dalam pertimbangan mengenai unsur perjanjian dan kriteria kartel tidak digunakan analisi perdasarkan indikator Kartel dan penerapan rule of reasonI sebagaimana Bab IV Lampiran Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010.

- Tidak ada pertimbangan terhadap kerugian atas kepentingan umum akibat dari perilaku kartel para termohon. Padahal tujuan dari adanya UU tentang Persaingan Usaha adalah: “Untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”;(Pasal 3 UU no.5 tahun 1999)

Namun dengan kelemahan putusan tersebut secara hukum tetap harus dianggap benar sempai denga nada putusan pengadilan atau pengadilan lebih tinggi yang membatalkannya berdasarkan asas Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya “putusan hakim/ majelis komisi harus dianggap benar”

6) PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN KARTEL DAN PERJANJIAN PENETAPAN HARGA PADA PUTUSAN KPPU PERKARA NOMOR 15/KPPU-I/2019:

Butir 3 amar putusan disebutkan bahwa sanksi yang dikenakan pada Para Terlapor adalah “Memerintahkan kepada Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan Terlapor VII untuk memberitahukan secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebelum mengambil

(24)

setiap kebijakan pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat selama 2 (dua) tahun sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap”.

Sanksi ini memang merupakan salah satu jenis sanksi yang dikenakan atas pelanggaran Pasal 5 yaitu Tindakan administratif sebagaimana pasal 47 ayat (2).

Berdasarkan Pasal ini sanksi adminsitratif dapat berupa : a) penetapan pembatalan perjanjian (Pasal 47 huruf a); b) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat (Pasal 47 huruf c); c) penetapan pembayaran ganti rugi (Pasal 47 huruf f); dan d) pengenaaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000.00 (dua puluh milyar rupiah). (Pasal 47 huruf g). Sanksi yang dikenakan masuk dalam kategori : b) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Perintah penghentian ini dilakukan dalam bentuk pencegahan (preventif) berupa kewajiban Para Terlapor secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebelum mengambil setiap kebijakan pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat. Di sini KPPU berupaya mencegah terjadinya praktek persaiangan usaha tidak sehat dengan melakukan pengawasan dan pencegahan.

Namun pengenaan sanksi ini menurut penulis mengandung permasalahan yaitu:

- Sanksi yang diberikan tersebut menurut penulis terlalu ringan sehingga efektifitas Sanksi dalam menimbulkan efek jera bagi Para Pelaku Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha sehingga mereka tidak akan mengulangi perbuatannya juga tidak akan signifikan. Padahal dampak dari pelanggaran tersebut merugikan kepentingan umum (masyarakat).

- Disparitas antara sanksi yang diberikan dengan ketentuan Perundang-Undangan dan perbedaan pengenaan sanksi antara putusan satu dengan yang lain membuat kepastian hukum, keadilan dan perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat menjadi sangat rendah dan tidak efektif. Dapat terjadi suatu Putusan hanya diberikan sanksi administrative yang sangat ringan sementara putusan lain dapat dikenakan denda

(25)

- Uraian mengenai pengenaan sanksi perlu dipertegas dan diperjelas dalam pertimbangan putusan sehingga dapat diketahui oleh Para Pihak yang berperkara dan para pihak yang berkepentingan.

(26)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

I. KESIMPULAN :

1) Pengaturan mengenai Larangan Perjanjian Penetapan Harga terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pengaturan lebih rinci mengenai unsur-unsur, sanksi, pembuktian, dan ketentuan lainnya mengenai Perjanjian Penetapan Harga terdapat dalam Peraturan KPPU No.4 tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga). Sedangkan Pengaturan mengenai Larangan Perjanjian Kartel terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pengaturan lebih rinci mengenai unsur-unsur, sanksi, pembuktian, dan ketentuan lainnya mengenai Perjanjian Kartel terdapat dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.4 tahun 2010 tentang Kartel. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut di atas adalah hukum materil, sementara itu ketentuan hukum formil (hukum acara/untuk mempertahankan hukum materiil terdapat dalam Peraturan KPPU No.1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2) Dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019, hanya Pelanggaran atas Pasal 5 (penetapan harga) yang terbukti bahwa Para Telapor bersalah dan perbuatan memenuhi unsur pelanggaran Pasal 5. Sedangkan Pelanggaran atas Pasal 11 (Kartel) tidak terbukti adanya pelanggaran Pasal 11 karena unsur perjanjian tidak terpenuhi. Terdapat beberapa Kritik terhadap putusan tersebut antara lain :

i. sehubungan dengan para terlapor ini bahwa menurut penulis kurang lengkap karena tidak mengikut sertakan Ditjen Perhubungan Udara Cq Kementrian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Terlapor agar dapat diperintahkan secara langsung untuk tunduk pada Putusan ini dikarenakan peran dan wewenang pemerintah dalam masalah tariif dan kebijakan yang mempengaruhi pengambilan keputusan bisnis maskapai penerbangan dalam Negeri sangatlah besar.

ii. Pertimbangan putusan ini mengenai Unsur-Unsur Pasal 11 (Kartel) kurang tepat, seksama dan mendalam dikarenakan :

(27)

a) Pertimbangan tidak terpenuhinya unsur perjanjian hanya didasarkan pada kriteria kartel kartel. Berdasarkan Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010. Padahal dalam aturan tersebut disebutkan bahwa : “Suatu kartel pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik:…”. Frasa pada umunya sebenarnya dapat diartikan bahwa kriteria ini bersifat terbuka dan tidak limitative.

b) Dengan mengingat peran dan kedudukan Majelis Komisi yang aktif, Bebas akan tetapi terikat, serta bertujuan mencari kebenaran materill maka seharusnya Majelis Komisi mempertimbangkan secara lebih mendalam dalil investigator penuntut mengenai “Ünsur Perjanjian” serta mempertajam pemeriksaan dan pembuktian dengan mendasarkan pada kriteria kartel dan juga prilaku kartel serta memaksimalkan alat bukti petunjuk dan alat bukti lainnya agar Para Terlapor dalam kasus Kartel tidak mudah lepas dari pertanggungjawaban hukum.

c) Dalam pertimbangan tidak diurai secara jelas kriteria kartel mana yang terpenuhi dan kriteria kartel yang tidak terpenuhi. Hanya disebutkan bahwa berdasarkan kriteria kartel secara umum pada Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010 maka unsur perjanjian sebagai suatu perjanjian kartel tidak terpenuhi. Hal ini jelas sangat tidak jelas.

d) Dalam pertimbangan mengenai unsur perjanjian dan kriteria kartel tidak digunakan analisi perdasarkan indikator Kartel dan penerapan rule of reasonI sebagaimana Bab IV Lampiran Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010.

e) Tidak ada pertimbangan terhadap kerugian atas kepentingan umum akibat dari perilaku kartel para termohon. Padahal tujuan dari adanya UU tentang Persaingan Usaha adalah: “Untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat”;(Pasal 3 UU no.5 tahun 1999)

Namun dengan kelemahan putusan tersebut secara hukum tetap harus dianggap benar sempai denga nada putusan pengadilan atau pengadilan lebih tinggi yang membatalkannya berdasarkan asas Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya

“putusan hakim/ majelis komisi harus dianggap benar” sehingga demi kepentingan umum seharusnya investigator dapat melakukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan Negeri.

(28)

3) Sanksi yang dikenakan atas pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada Putusan KPPU Perkara Nomor 15/KPPU-I/2019 hanya berupa Tindakan administratif sebagaimana pasal 47 ayat (2). Sanksi yang dikenakan masuk dalam kategori : b) perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.

Perintah penghentian praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat dalam konteks ini dilakukan dalam bentuk pencegahan (preventif) berupa kewajiban Para Terlapor secara tertulis kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebelum mengambil setiap kebijakan pelaku usaha yang akan berpengaruh terhadap peta persaingan usaha, harga tiket yang dibayar oleh konsumen, dan masyarakat. Di sini KPPU berupaya mencegah terjadinya praktek persaiangan usaha tidak sehat dengan melakukan pengawasan dan pencegahan. Namun pengenaan sanksi ini menurut penulis mengandung permasalahan yaitu: a) Sanksi yang diberikan tersebut menurut penulis terlalu ringan sehingga efektifitas Sanksi dalam menimbulkan efek jera bagi Para Pelaku Pelanggaran Hukum Persaingan Usaha sehingga mereka tidak akan mengulangi perbuatannya juga tidak akan signifikan. Padahal dampak dari pelanggaran tersebut merugikan kepentingan umum (masyarakat). b) Disparitas antara sanksi yang diberikan dengan ketentuan Perundang-Undangan dan perbedaan pengenaan sanksi antara putusan satu dengan yang lain membuat kepastian hukum, keadilan dan perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat menjadi sangat rendah dan tidak efektif. Dapat terjadi suatu Putusan hanya diberikan sanksi administrative yang sangat ringan sementara putusan lain dapat dikenakan denda. c) Uraian mengenai pengenaan sanksi perlu dipertegas dan diperjelas dalam pertimbangan putusan sehingga dapat diketahui oleh Para Pihak yang berperkara dan para pihak yang berkepentingan.

II. SARAN :

1) Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan pemberlakukan penerapan sanksi minimum untuk setiap pelanggaran tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan perlu dibuat aturan turunan mengenai pengenaan sanksi agar ada standardisasi dalam pemberlakuan sanski pada Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

(29)

2) Perlu dilakukan re-orientasi dan penataan ulang mengenai kelembagaan dan peran serta fungsi KPPU, dikarenakan saat ini peran KPPU belum optimal akibat dari kelembagaannya yang besifat quasi yudikatif dan juga eksekutig sekaligus. Perlu dipikirkan pemisahan atau penempatan peran dan fungsi tersebut agar Lembaga Pengawas Persaingan Usaha dapat lebih efektif dalam melakukan peran dan fungsinya.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG :

Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. LN RI Nomor 33 Tahun Tahun 1999.TLN RI No. 3871.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.4 tahun 2010 tentang Kartel Peraturan KPPU No.4 tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga).

Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

JURNAL :

D. Prayoga, Ayudha .2013. “Kartel Dibangun untuk Maximum Profit, Kompetisi, Edisi 39, Jakarta : Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Herlina, Nina.2018.“Tinjauan Terhadap Mekanisme Penanganan Perkara Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Jurnal Galuh Yustisi Fakultas Hukum Universitas Galuh.

Mafulah, Hanim.2020.”Pengecualian Perjanjian yang berkaitan Paten dan Lisensinya dalam Pengawasan Persaingan Usaha”.Sign Jurnal Hukum Vol. 1, No.2 (Maret 2020)

Mantili, Rai Hazar kusmayanti, dan Anita Afriana. 2016.”Problematika Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia”. Jurnal PIH Volume 3 No.1 Tahun 2016.

Maria Tri Anggraini, Anna .2013. “Penggunaan Bukti Ekonomi dalam Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha”. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 3, Tahun 2013.

Rizki, Muhammad dan Imron Rosadi. 2019. “Penyelesaian Perkara Persaingan Usaha Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha di Era Revolusi Industri 4.0”.Jurnal RechtIdee, Vol.

14, No.1, Juni 2019.

Yunimar.2019. “Analisis Putusan KPPU tentang Kartel sebagai Perjanjian yang dilarang (Perkara No.04/KPPU-1/2016).Jurnal Normative Volume 7 Nomor 1 Tahun 2019.

Referensi

Dokumen terkait

KPPU dalam menjalankan tugas-tugasnya yang terdapat dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat.. 33, Jakarta: Sekretariat Negara, Bab

Selain itu Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga memberikan pengecualian yang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mencantumkan mengenai persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan

KPPU dalam menjalankan tugas-tugasnya yang terdapat dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat,

Seperti halnya pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, ketentuan yang mengatur tentang bentuk

Undang-undang ini dilatarbelakangi oleh perjanjian WTO/TRIPs dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat UU Larangan Praktek