• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK MONOPOLI DALAM VERIFIKASI TEKNIS IMPOR GULA. (Analisis Putusan Perkara Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PRAKTIK MONOPOLI DALAM VERIFIKASI TEKNIS IMPOR GULA. (Analisis Putusan Perkara Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

08/KPPU-I/2005 Oleh PT. Surveyor Indonesia dan PT. Superintending Company of Indonesia)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

M. Ariq Rizky Siregar NIM: 1112048000012

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1483 H/ 2016 M

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

DALAM VERIFIKASI TEKNIS IMPOR GULA (Analisis Putusan Perkara Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 08/KPPU-I/2005 oleh PT. Surveyor Indonesia dan PT. Superitending Company of Indonesia). Program Studi Ilmu Hukum, Konsenterasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. xi + 68 halaman + 2 halaman Daftar Pustaka + Lampiran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari praktik monopoli pengadaan jasa dalam analisis perkara putusan nomor 08/KPPU-I/2005 ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta sejauh mana kekuatan hukumnya yang mengikat. Dalam penelitian ini membahas mengenai penyelesaian sengketa perkara nomor 08/KPPU-I/2005 dengan melihat peraturan yang diberlakukan oleh Kementerian Perindustrian dan Perdagangan

Republik Indonesia. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah Yuridis Normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang- undangan dan pendekatan konseptual. Peraturan Undang-Undang dalam penelitian ini diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 527/MPP/Kep/9/2004 dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 117/M- DAG/PER/12/2015. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Putusan KPPU yang menyatakan Para Terlapor telah melanggar Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah kurang tepat, dengan pertimbangan hasil analisa unsur-unsur yang termuat di dalamnya.

Kata Kunci : Monopoli, Penguasaan Pasar, KPPU, Putusan KPPU Pembimbing : Dr. M. Ali Hanafiah, S.H., M.H.

Feni Arifiani, S.Ag., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1986 sampai Tahun 2013

(6)

v Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa yang atas Rahmat, Nikmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“PRAKTIK MONOPOLI DALAM VERIFIKASI TEKNIS IMPOR GULA (Analisis Putusan Perkara Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 08/KPPU- I/2005 oleh PT. Surveyor Indonesia dan PT. Superitending Company of Indonesia)” dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan pada Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya.

Dalam penyusunan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak karena keterbatasan yang dimiliki penulis, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan serta masukan atas penyusunan skripsi ini.

(7)

vi

membimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, ketelitian dan memberikan masukan, saran serta kritik yang membangun demi terselesaikannya skripsi ini.

4. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dalam penulisan skripsi ini.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan penuh semangat, semoga dapat bermanfaat dan kebaikannya dibalas oleh Allah Swt.

6. Kedua orang tua penulis Bapak H. Erwin Siregar dan Ibu Hj. Everliana Rosma yang telah memberikan doa dan dukungannya. Abang, Kakak dan Adik penulis M. Hafiz Atra Siregar, Ferina Pohan, M. Ariz Taufiq Siregar, M. Ridho Syakhran Siregar, M. Radhi Syakhrin Siregar serta keluarga besar ASC yang senantiasa memberikan doa dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

7. Lidia Tri Handayani, S.H. yang selalu memberikan semangat, dukungan dan saran, serta bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga Allah Swt. selalu meridhoi kebersamaan kita.

(8)

vii

Kelembagaan Negara khususnya atas kekompakkan dan kebersamaannya, semoga kelak kalian sukses.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi yang membaca. Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, September 2016

M.Ariq Rizky Siregar

(9)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ...iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

E. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu ... 7

F. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

G. Metode Penelitian ... 11

H. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN TEORITIS HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI A. Hukum Persaingan Usaha Secara Umum ... 18

B. Perjanjian Yang Dilarang ... 20

C. Kegiatan Yang Dilarang ... 28

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG IMPOR GULA DAN PENGATURAN VERIFIKASI TEKNIS IMPOR GULA DI INDONESIA A. Gambaran Umum Impor Gula di Indonesia ... 34

(10)

ix

Indonesia ... 39

C. Pengaturan Verifikasi Teknis Impor Gula Sesuai Dengan Peraturan Nomor: 527/MPP/Kep/9/2004 Tentang Ketentuan Impor Gula ... 39

D. Pengaturan Verifikasi Teknis Impor Gula Sesuai Dengan Peraturan Nomor: 117/M/PER/12/2015 Tentang Ketentuan Impor Gula ... 42

BAB IV PERTIMBANGAN MAJELIS KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM PRAKTIK MONOPOLI OLEH PT. SURVEYOR INDONESIA (PERSERO) DAN PT. SUPERITENDING COMPANY OF INDONESIA (PERSERO) A. Kasus Posisi ... 48

B. Penyelesaian Sengketa Perkara Nomor 08/KPPU-I/2005 ... 50

C. Dasar Putusan Majelis KPPU ... 52

D. Hasil Putusan Majelis ... 54

E. Analisis Putusan ... 57

F. Implikasi Putusan Majelis Komisioner KPPU Terhadap Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I/2005 ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 69

B. Saran ... 70

(11)

x

(12)

xi

1. Salinan Putusan Perkara Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 08/KPPU-I/2005

(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Urgensi pentingnya hukum persaingan usaha di Indonesia merupakan salah satu prasyarat akan berjalannya sistem ekonomi demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak lepas dari pertimbangan akan harapan meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional.1

Dalam hukum perjajian sebagai mana tercatum dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa perjajian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;

2. Kecakapan untuk membuat perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Pada poin ke-4 (empat) yaitu suatu sebab yang halal, erat kaitannya dengan larangan praktik monopoli. Suatu sebab yang di bolehkan atau halal, berarti bahwa kesepakatan yang tertuang di dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan, menganggu ketertiban umum dan kesusilaan. Maka sangat jelas, monopoli yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1 Rachmadi Usman, Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.32

(14)

1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak memenuhi syarat sah dalam hukum perjanjian.

Secara umum materi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri atas:

1. Perjanjian yang dilarang, yaitu suatu perbuatan dari satu atau pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Yang termasuk dalam perjanjian yang dilarang adalah: Oligopoli, Penetapan harga, Pembagian wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi vertikal,Perjanjian tertutup dan Perjanjian tidak sehat dengan pihak luar negeri.

2. Kegiatan yang dilarang, yaitu suatu kegiatan yang mengahambat persaingan sehat seperti menolak memberi pasokan, menjual produk dengan harga lebih rendah dari biaya produksi sehingga menimbulkan barrier to entry terhadap pelaku usaha lain. Yang termasuk dalam kegiatan yang dilarang adalah:

Monopoli, Monopsoni, Penguasaan pasar dan Persekongkolan 3. Posisi dominan

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha 5. Penegakan hukum

6. Ketentuan lain

Dengan mencermati uraian di atas, maka tujuan undang-undang persaingan usaha ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum adalah menjaga kelangsungan persaingan antar pelaku itu sendiri agar tetap hidup dan diakui keberadaannya. Dengan kata lain guna melindungi persaingan itu sendiri dengan penghapusan atau pembatasan usaha swasta maupun publik yang dapat mengakibatkan atau merugikan proses

(15)

persaingan itu sendiri. Secara khusus yang perlu diketahui adalah bahwa Negara ingin melindungi sistem kompetisi dengan menerapkan “preserve competitive system”, atau memelihara sistem kompetisi, seperti di Negara-negara maju lainnya.2

Sesuai dengan amanat Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk mengawasi pelaksanan undang-undang ini. Oleh karena itu, KPPU bertugas melakukan pemeriksaan atau penanganan perkara terhadap para pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli Indonesia. Mengenai prosedur penanganan perkara atas dugaan pelanggaran undang-undang anti monopoli, sebagaimana diatur Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 tentang tata cara penanganan perkara di KPPU, terdiri dari 7 (tujuh) tahapan yaitu, Penelitian, Pemberkasan, Gelar Laporan, Pemeriksaan Pendahuluan, Pemeriksaan Lanjutan, Sidang Majelis Komisi, Pelaksanaan Putusan3. Para pelaku usaha tersebut dapat dijatuhkan sanksi jika pelaku terbukti bersalah (law enforcement).4

Salah satu kasus yang ditangani KPPU adalah Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I/2005 yang hasil putusan dalam perkara ini, menurut penulis tidak sesuai antara fakta yang ada dan peraturan yang berlaku. Dimana kasus ini berkaitan dengan pelanggaran Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 serta Pasal 19 huruf a

2 Suharsil & Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.7

3 Suharsil & Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik …..h.171

4 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 35

(16)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli yang dilakukan oleh PT. Surveyor Indonesia (Persero) dan PT. Superintending Company of Indonesia (Persero). KPPU mengkaji peraturan terkait yaitu Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 594/MPP/Kep/9/2004 tanggal 23 September 2004 tentang Penunjukan Surveyor Sebagai Pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Gula. Menurut hasil penelitian KPPU, terdapat permasalahan dalam implementasi kebijakan tersebut yang dilakukan oleh PT. Surveyor Indonesia (Persero) dan PT. Superintending Company of Indonesia (Persero). Perkara ini diawali oleh Laporan yang diterima Majelis Komisi yang menyatakan pada pokoknya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Surveyor Indonesia (Persero) dan PT. Superintending Company of Indonesia (Persero) adalah pembentukan Kerja Sama Operasi (KSO) yang selanjutnya disebut KSO yang dilakukan oleh PT. Surveyor Indonesia (Persero) dan PT. Superintending Company of Indonesia (Persero) diduga menimbulkan praktik monopoli sebagaimana dilarang pada Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Terciptanya pasar dalam verifikasi teknis impor gula diharapkan dapat membentuk persaingan pasar yang sempurna antara produsen dan konsumen jasa verifikasi teknis impor gula. Namun, pembentukan KSO yang dilakukan oleh PT.

Surveyor Indonesia (Persero) dan PT. Superintending Company of Indonesia (Persero) dapat menghalangi surveyor lain untuk masuk dalam pasar jasa verifikasi atau penelusuran teknis impor gula tersebut sebagaimana dilarang dalam Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

(17)

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul

“PRAKTIK MONOPOLI DALAM VERIFIKASI TEKNIS IMPOR GULA (Analisis Putusan Perkara Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 08/KPPU-I/2005 Oleh PT. Surveyor Indonesia dan PT. Superintending Company of Indonesia)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah dapat diidentifikasikan dalam beberapa poin, yakni :

1. Terdapat beberapa pelanggaran Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan Jasa Verifikasi dalam Verifikasi Teknis Impor Gula.

3. Terdapat indikasi kesalahan penerapan putusan oleh Majelis Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Permasalahan adalah kesenjangan antara apa yang diperlukan dengan apa yang tersedia, mengenai apa yang seharusnya dengan apa yang sebenarnya, antara harapan dengan capaian.5 Pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini hanya menyangkut mengenai monopoli yang dilakukan oleh PT. Surveyor

5 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h.103

(18)

Indonesia (Persero) dan PT. Superintending Company of Indonesia (Persero) dalam Analisis Putusan Perkara Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 08/KPPU-I/2005.

2. Rumusan Masalah

Sebagaimana latar belakang dan pembatasan masalah yang telah penulis uraikan, adapun rumusan masalah untuk judul penelitian di atas adalah sebagai berikut:

a. Apa akibat hukum yang diterima dari tindakan PT. Surveyor Indonesia (Persero) dan PT. Superintending Company of Indonesia (Persero) ditinjau dari aspek hukum positif?

b. Apa dasar pertimbangan Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam memutuskan perkara Nomor 08/KPPU-I/2005?

c. Bagaimana kekuatan hukum dari putusan perkara KPPU Nomor 08/KPPU- I/2005?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang permasalahan di atas, maka tujuan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Untuk mengetahui akibat hukum dari praktik monopoli pengadaan jasa dalam analisis perkara putusan nomor 08/KPPU-I/2005 ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

(19)

b. Untuk mengetahui pertimbangan KPPU dalam memutuskan perkara nomor 08/KPPU-I/2005.

c. Untuk melihat kekuatan hukum yang mengikat dalam putusan perkara KPPU Nomor 08/KPPU-I/2005.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat secara teoritis maupun secara praktis.

a. Secara Teoritis

Manfaat penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran Ilmu Hukum dan dapat menambah wawasan khususnya konsenterasi Hukum Bisnis dalam kaitannya dengan Hukum Persaingan Usaha.

b. Manfaat Praktis

Manfaat penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi mahasiswa mengenai kasus praktik monopoli yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan bagi para pelaku bisnis untuk dapat bertindak lebih hati-hati dalam melakukan kegiatan usahanya.

E. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu

Untuk menghindari duplikasi penelitian, penulis melakukan penelusuran terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, penelitian tersebut diantaranya:

(20)

1. Skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Praktek Monopoli Ditinjau Dari Hukum Persaingan Usaha (Studi Kasus: Praktek Monopoli Pelayanan Jasa Taksi Di Bandara Hang Nadim Sesuai Dengan Putusan KPPU 28/KPPU- I/2007” oleh Fernando JPP Dairi, NIM 0806342094, Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia tahun 2012. Perbedaan pada skripsi tersebut terdapat dalam analisisnya yang membahas mengenai praktek diskriminasi di Bandara Hang Nadim yang diatur dalam Pasal 19 Huruf D Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sedangkan skripsi ini menjelaskan pelanggaran kasus monopoli dan penguasaan pasar dalam verifikasi teknis impor gula yang diatur dalam Pasal 19 Huruf A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditinjau dari hukum persaingan usaha.

2. Skripsi dengan judul “Perlindungan Konsumen Dan Pencegahan Monopoli Bisnis SMS (Kasus Kartelisasi Bisnis SMS)”oleh Ridwan Ardy Prastya, NIM 1111048000059, Jurusan Ilmu Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015. Secara substansi perbedaannya yakni bahwa dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang pelanggaran monopoli bisnis kartel sms dalam penerapan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di mana terdapat pelanggaran hak-hak konsumen dan pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sedangkan skripsi ini lebih menenkankan tentang pelanggaran

(21)

kasus monopoli dan penguasaan pasar dalam verifikasi teknis impor gula yang melanggar Pasal 5, 17 & 19 huruf a ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

3. Buku yang berjudul “Hukum Anti Monopoli” yang ditulis oleh Suyud Margono tahun 2013. Dalam buku ini dijelaskan secara komperhensif tentang berbagai pembahasan monopoli yang termasuk didalamnya dijelaskan tentang kegiatan yang dilarang dalam anti monopoli sedangkan perbedannnya dengan skripsi ini hanya menjelaskan tentang pelanggaran kasus monopoli dan penguasaan pasar dalam verifikasi teknis impor gula yang dilakukan oleh PT.

Surveyor Indonesia (Persero) dan PT. Superintending Company of Indonesia (Persero) ditinjau oleh hukum persaingan usaha.

F. Kerangka Teoritis dan Konseptual

Kerangka teoritis merupakan dukungan dasar pemikiran dalam rangka pemecahan masalah yang dihadapi peneliti, sedangkan kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti atau akan diteliti.6 Dalam kerangka teoritis dan konseptual ini bertujuan untuk membatasi luasnya pengertian mengenai berbagai hal yang mempunyai hubungan dengan penelitian ini. Berikut adalah kerangka yang akan digunakan:

1. Kerangka Teoritis a) Monopoli

6Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h.133

(22)

Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha.7

b) Praktik Monopoli

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjelaskan bahwa, praktik monopoli adalah pemusatan kekuasaan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

c) Persaingan Usaha Tidak Sehat

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mencantumkan mengenai persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

2. Kerangka Konseptual a) Pelaku Usaha

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dijelaskan yang dimaksud pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

7 Suharsil dan Muhammad Taufik Makaro, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.25

(23)

berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

b) Jasa

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.8 Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai bangunan sistem norma.9 Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis

8Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), h.42

9Fahmi M Ahmadi, Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h.31

(24)

dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang sebagai kaidah atau norma yang merupakan acuan berperilaku manusia yang dianggap pantas.10 2. Pendekatan Masalah

Penulis menggunakan pendekatan masalah yaitu pendekatan perundang- undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan penuslisan skripsi ini yang sedang ditangani. Meliputi penelitian terhadap hukum, sumber-sumber hukum dan dapat digunakan untuk menganalisa permasalahan yang akan dibahas secara benar yang berhubungan dengan Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pendekatan perundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan hukum yang mengikat dalam bahan hukum primer. Selain peraturan perundang- undangan, yang termasuk dalam hukum primer yaitu catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan- putusan hakim.11 Bahan hukum primer yang digunakan yakni:

10Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.118

11Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2010), h.141

(25)

1) Putusan Perkara KPPU Nomor 08/KPPU-I/2005

2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

3) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:

527/MPP/Kep/9/2004

4) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 117/M- DAG/PER/12/2015

5) Bahan-bahan hukum lain yang masih berlaku dan berkaitan dengan yang dibahas dalam penelitian ini

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.12 Bahan sekunder ini diperoleh dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research), yang diperoleh dari berbagai literatur yang terdiri dari dokumen-dokumen resmi, buku- buku, jurnal dan hasil penelitan yang mempunyai hubungan erat terhadap permasalahan yang diteliti dapat yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha dan anti monopoli.

c. Bahan Hukum Tersier

Berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder, seperti kamus bahasa, ensiklopedia, majalah, surat kabar, serta laporan-laporan ilmiah yang akan dianalisis dengan tujuan untuk lebih memahami dalam penelitian ini.

12Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum...h.119

(26)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum yang tersedia, yakni bahan hukum primer meliputi Putusan Perkara KPPU Nomor 08/KPPU-I/2005 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:

527/MPP/Kep/9/2004, bahan hukum sekunder meliputi buku-buku, dokumen resmi dan penelitian ilmiah lainnya, serta bahan hukum tersier yang didapatkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesi dan Data Internet kemudian bahan-bahan tersebut dikumpulkan, disusun serta dianalisa sesuai dengan pembahasan dan hierarkinya.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan menghubungkan berbagai bahan hukum serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pembahasan dari penulis. Kemudian hasilnya tersebut, selanjutnya dikaji (content) isinya, terkait kata-kata (word), makna (meaning), ide, tema-tema dan berbagai pesan lainya yang dimaksudkan dalam isi undang-undang tersebut.

Kemudian langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis ini yakni, semua bahan hukum yang diperoleh melalui bahan normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek bahasanya. Kemudian dilakukan eksplikasi, yakni diuraikan dan dijelaskan objek yang akan diteliti berdasarkan teori dan terakhir bahan-bahan yang sudah didapatkan dilakukan

(27)

evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini berdasarkan pada kaidah-kaidah penulian karya ilmiah dan buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.

H. Sistematika Penulisan

Berdasarkan buku pedoman skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan Tahun 2012. Adapun susunan dalam penelitian ini sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN.

Isi dari Bab ini menjelaskan alasan penulis memilih tema atau masalah yang kemudian diangkat menjadi judul penulisan hukum. Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (riview) kajian terdahulu, kerangka teoritis dan konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI

Bab ini berisi uraian singkat tentang Persaingan Usaha yang dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan analysis. Pada

(28)

bab ini juga akan dibahas mengenai hukum persaingan usaha secara umum termasuk di dalamnya bentuk, jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG IMPOR GULA DAN PENGATURAN VERIFIKASI TEKNIS IMPOR GULA DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan membahas gambaran umum mengenai perkembangan impor gula di Indonesia serta pengaturan verifikasi teknis impor gula di Indonesia serta memberikan pemaparan analisis perbedaan dari pengaturan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 527/MPP/Kep/9/2004 dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 117/M- DAG/PER/12/2015 dalam Verifikasi Teknis Impor Gula di Indonesia.

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN MAJELIS KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM PRAKTIK MONOPOLI OLEH PT. SURVEYOR INDONESIA (PERSERO) DAN PT. SUPERINTENDING COMPANY OF INDONESIA (PERSERO)

Pada bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang sudah dikumpulkan selama penelitian dilakukan untuk memberi pandangan hukum lain terhadap putusan hakim. Bab ini juga

(29)

berisi kasus posisi, penyelesaian sengketa perkara Nomor 08/KPPU-L/2005 oleh KPPU, dasar hukum putusan, hasil putusan yang diberikan majelis hakim dan analisis penulis terhadap putusan tersebut serta implikasi implikasi putusan majelis komisioner kppu terhadap putusan perkara nomor 08/kppu-l/2005.

BAB IV PENUTUP

Berisi kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah ditetapkan dan saran- saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian berdasarkan pemaparan bab-bab sebelumnya.

(30)

18

TINJAUAN TEORITIS HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI

A. Hukum Persaingan Usaha Secara Umum

Hukum persaingan usaha adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-hal yang boleh dan hal-hal yang dilarang oleh pelaku usaha.1 Keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya.2 Dengan memperhatikan beberapa pendapat di atas, bahwa kesemuanya bertumpu pada aturan hukum sebagai petunjuk atau perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang harus ditaati secara bersama.3

Hukum persaingan usaha bertujuan untuk menjaga iklim persaingan antar pelaku usaha serta menjadikan persaingan antar pelaku usaha menjadi sehat.

Selain itu, hukum persaingan usaha bertujuan menghindari eksploitasi terhadap

1Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.1-2

2Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 4

3Suharsil dan Muhammad Taufik Makaro, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.37

(31)

konsumen oleh pelaku usaha tertentu serta mendukung sistem ekonomi pasar yang dianut oleh suatu negara.

Negara Indonesia mempunyai tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tercantum dalam Pasal 3, yakni:

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.

c. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.

d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Selanjutnya, Suharsil dan Muhammad Taufik Makaro menyebutkan tujuan hukum persaingan usaha yaitu4:

a. Memelihara kondisi kompetisi yang bebas, perlindungan terhadap persaingan (competition) tidaklah identik dengan perlindungan terhadap pesaing (competitors). Tujuan ini dilandasi baik oleh alasan ekonomi (efisiensi dalam persaingan) maupun ideologi (kebebasan yang sama untuk berusaha dan bersaing). Persaingan yang sehat akan membawa dampak terhadap alokasi dan realokasi sumber daya ekonomi secara efisien.

4 Suharsil dan Muhammad Taufik Makaro, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha...h.38

(32)

b. Mencegah persaingan kekuatan ekonomi (prevention of abuse of economic power). Tujuan ini dilandasi oleh pemikiran pembentukan kekuatan ekonomi, baik melalui monopoli maupun persaingan yang rentan terhadap penyalahgunaan yang merugikan pelaku ekonomi lain yang lebih lemah.

c. Melindungi konsumen (protection of consumers). Di negara maju, perlindungan konsumen merupakan isu yang cukup menonjol dalam hukum persaingan usaha dan mendapat perhatian khusus.

Secara umum materi dari hukum persaingan usaha tidak sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri atas: Perjanjian yang Dilarang, Kegiatan yang Dilarang, Posisi Dominan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Penegakan Hukum dan Ketentuan Lain

B. Perjanjian yang Dilarang

Pengertian perjanjian yang dilarang adalah suatu perbuatan dari satu atau pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Salah satu yang diatur oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah dilarangnya perjanjian- perjanjian tertentu yang dianggap dapat menimbulkan monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Mengenai apa yang dimaksud dengan kata “perjanjian”

ini, tidak berbeda dengan pengertian perjanjian pada umumnya, yakni sebagaimana dimaksud dalam pasal 1313 KUH Perdata5.

Pasal 1313 KUH Perdata tersebut menyebutkan bahwa :

5 Munir Fuadi, Hukum Anti Monopoli: Menyonsong Era Persaingan Sehat, (Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h.51

(33)

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap suatu orang lain atau lebih6.

Dengan demikian, sungguhpun mungkin sulit dibuktikan, perjanjian lisan secara hukum sudah dapat dianggap sebagai suatu perjanjian yang sah dan sempurna. Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 1 ayat (7) dari Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menyebutkan bahwa :

Yang dimaksud dengan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis ataupun tidak tertulis.7

Perjanjian-perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah perjanjian-perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :

1. Oligopoli

Dari perumusan Pasal 4 dari Undang-Undang tersebut terlihat bahwa suatu perjanjian yang menimbulkan oligopoli dilarang jika terpenuhinya unsur-unsur sebagai berikut :

a. Adanya suatu perjanjian

b. Perjanjian tersebut dibuat antar pelaku usaha

c. Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa.

6 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

7 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

(34)

d. Perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan curang

e. Praktek monopoli atau persaingan curang patut diduga telah terjadi jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar dari suatu jenis barang atau jasa.8

2. Penetapan Harga

Jenis-jenis perjanjian penetapan harga yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Anti Monopoli yang diuraikan dalam beberapa pasal adalah sebagai berikut:

a. Penetapan harga antar pelaku usaha (Pasal 5)

b. Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan/atau jasa yang sama (Pasal 6)

c. Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha lain (Pasal 7)

d. Pentapan harga jual kembali (Pasal 8)

Penetapan harga (price fixing) antar pelaku usaha dilarang oleh Pasal 5 dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sebab penetapan harga secara bersama-sama di kalangan pelaku usaha selanjutnya menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar mengenai harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan. Akan tetapi memberikan pengecualian tentang

8 Munir Fuadi, Hukum Anti Monopoli: Menyonsong Era Persaingan Sehat,…..h.54

(35)

pentapan antara pelaku usaha ini, yaitu apabila dalam perjanjian penetapan harga tersebut dalam hal bentuk joint venture atau didasarkan pada undang-undang yang berlaku.9

Tindakan melakukan perjanjian yang bertujuan melakukan penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan/atau jasa yang sama, dilarang oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pengertian sebagai perjanjian yang dilarang, yaitu membuat perjanjian yang diduga menjalankan diskriminasi terhadap kedudukan konsumen yang satu dengan konsumen lainnya, dengan cara melakukan pembentukan harga yang berbeda-beda terhadap barang/jasa yang sama.10

Ketentuan di dalam Pasal 7 Undang-Undang Anti Monopoli melarang perjanjian dengan bentuk penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha lain. Larangan tersebut berlaku apabila penetapan harga di bawah harga pasar tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Larangan melakukan perjanjian yang berisikan penetapan harga barang atau jasa di bawah harga pasar atau yang dikenal dengan praktik anti dumping ini dimaksudkan agar pihak pesaingnya tidak dirugikan karena barang/jasanya sesuai dengan harga pasar.11

9 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 85

10 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli…… h. 86

11 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli…… h. 87

(36)

Ketentuan di Pasal 8 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, melarang dilakukannya penetapan harga jual kembali. Yang dimaksudkan pelarangan penetapan harga jual kembali adalah seorang pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya bahwa pihak pembeli barang/jasa tersebut tidak akan menjual atau memasok barang/jasa di bawah harga yang telah ditetapkan bersama. Sebab seharusnya, pihak pembeli bebas untuk menetapkan harga dari barang/jasa yang sudah dibelinya sesuai dengan permintaan dan penawaran yang ada di pasar.12

3. Pembagian Wilayah

Perjanjian pembagian wilayah dapat bersifat vertikal atau horizontal, yang dilarang oleh Pasal 9 adalah perjanjian antara sesama atau antara para pesaing (horizontal), horizontal ini dapat ditafsirkan bahwa perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bukan pesaingnya, misalnya antara produsen (persuahaan yang memproduksi barang) dengan distributornya atau retailernya bukan pesaing dari produsen (vertikal). Jadi horizontal itu adalah antara sesama distributor, (menurut pengaturan Pasal 9).13

4. Pemboikotan

Selengkapnya Pasal 10 ayat (1) dan (2) dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur sebagai berikut :

12 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli…… h. 88

13 Suharsil & Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia…… h.123

(37)

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut:

a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau

b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.14

5. Kartel

Kartel juga dapat dilakukan melalui pengaturan produksi, harga, dan membagi daerah pemasaran. Kartel dapat terjadi dalam beberapa bentuk misalnya, para pemasok mengatur agen penjual tunggal yang membeli semua produk mereka dengan harga yang disetujui dan mengadakan pengaturan dalam memasarkan produk tersebut secara terkordinasi.

Bentuk lain adalah para pemasok melakukan perjanjian dengan menentukan harga jual yang sama terhadap produk mereka, sehingga menghilangkan persaingan harga, tetapi bersaing dalam merebut pangsa pasar dengan strategi pembedaan produk (product differentiation). Bentuk kartel yang lebih menyeluruh adalah penerapan bukan saja harga jual yang seragam dan pemasaran bersama, tetapi juga pembatasan jumlah produksi termasuk pemakaian sistem kuota terhadap setiap pemasok, penyesuaian kapasitas yang terkordinasi, baik menghilangkan kapasitas yang berlebihan atau perluasan kapasitas dengan berdasarkan koordinasi. 15

14 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

15 Suharsil & Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia…… h.127

(38)

6. Trust

Trust adalah perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa. Trust juga merupakan bentuk kerja sama yang lebih bersifat integrative dibanding kartel. Anggota-anggota kartel hanya diikat oleh perjanjian/kesepakatan (salah satu mungkin berbentuk asosiasi pengusaha yang tidak berbadan hukum), sementara anggota-anggota trust diikat oleh perusahaan gabungan yang lebih besar.16

7. Oligopsoni

Oligopsoni diartikan sebagai suatu bentuk dari pemusatan pembeli (buyer concentration), yaitu situasi pasar di mana beberpa pembeli besar berhadapan dengan dengan banyak pembeli yang kecil. Pembeli yang kuat biasanya mampu mendapatkan keuntungan dari para pemasok atau penjual dalam bentuk potongan harga dari pembelian dalam jumlah besar (hulk buying), dan dalam bentuk kredit yang diperpanjang. Dengan adanya praktik oligopsoni, produsen atau penjual tidak memiliki alternative lain untuk menjual produk mereka selain kepada pihak pelaku usaha yang telah melakukan perjanjian oligopsoni.17

16 Suharsil & Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia…… h.128

17 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya……h. 203

(39)

8. Integrasi Vertikal

Integrasi vertikal adalah perjanjian antara para pelaku usaha yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu, yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung. Adapun yang dimaksud dengan menguasai produksi sejumlah produk adalah penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut suatu layanan jasa tertentu.18

9. Perjanjian Tertutup

Pada prinsipnya, seorang pelaku usaha bebas untuk menentukan sendiri pihak penjual atau pembeli atau pemasok suatu produk di pasar sesuai dengan berlakunya hukum pasar. Karena itu, dilarang setiap perjanjian yang bertentangan dengan kebebasan tersebut dan dapat mengakibatkan timbulnya persaingan tidak sehat. Perjanjian yang dapat membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu unutk memilih sendiri pembeli, penjual, atau pemasok, disebut dengan istilah perjanjian tertutup.19

10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

Sebenarnya tidak ada larangan untuk membuat perjanjian luar negeri, dan memang sudah menjadi praktik bisnis sehari-hari. Perjanjian dengan

18 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya……h. 205

19 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya……h. 213

(40)

luar negeri dilarang jika perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.

Bagaimana bentuk perjanjian dengan pihak luar negeri yang menyebabkan terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Pada hakikatnya termasuk segala bentuk perjanjian yang telah disebutkan dalam pasal-pasal sebelumnya, sepanjang dapat menimbulkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dapat dikatakan pasal ini mengatur suatu keadaan khusus apabila pelaku usaha di dalam negeri melakukan perjanjian dengan pihak pelaku usaha di luar negeri. Karena Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Anti Monopoli tidak menjangkau pelaku usaha yang berdomisili di luar negeri dan tidak melakukan aktifitas usahanya di Indonesia, walaupun aktifitas usahanya menimbulkan dampak di pasar di Indonesia tidak dapat diproses menggunakan pasal ini.20

C. Kegiatan yang Dilarang

Kegiatan yang dilarang, yaitu suatu kegiatan yang mengahambat persaingan sehat seperti menolak memberi pasokan, ,menjual produk dengan harga lebih rendah dari biaya produksi sehingga menimbulkan barrier to entry terhadap pelaku usaha lain. Dengan adanya persaingan usaha yang sehat dan adil (fair competition), memang dapat membantu meningkatkan kualitas suatu produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, dengan harga yang terjangkau oleh konsumen. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik praktik usaha bisnis yang yang jujur dan adil tersebut, ada

20 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya……h. 221

(41)

berbagai macam persaingan yang tidak sehat (un-fair competition), yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap pihak ekonomi atau sosialnya lebih lemah, dengan dalih pemeliharaan persaingan yang sehat, bahkan ada persaingan yang destruktif (destructive competition) seperti predatory pricing.

Perilaku anti persaingan seperti persaingan usaha yang tidak sehat dan destruktif ini tidak kita kehendaki, karena megakibatkan inefisiensi perekonomian berupa hilangnya kesejahteraan (economic walfare) bahkan mengakibatkan terganggunya keadilan ekonomi dalam masyarakat dan timbulnya akibat-akibat ekonomi dan sosial yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban, maupun kepentingan umum.21

Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat seperti dikemukakan di atas, dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah ditentukan secara jelas dan terstruktur mengenai kegiatan- kegiatan yang dilarang yang berdampak merugikan persaingan pasar, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

a. Kegiatan Monopoli (Pasal 17) b. Kegiatan Monoposoni (Pasal 18)

c. Penguasaan Pangsa Pasar (Pasal 19 – Pasal 21) d. Persengkongkolan Tender (Pasal 22 – Pasal 24)

21 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Dalam Teori dan Praktik Serta Penerapan Hukumnya……h. 223

(42)

1. Kegiatan Monopoli

Salah satu bentuk kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah bentuk kegiatan monopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yaitu :

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau

b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama;

atau

c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.22

Meskipun peristilahan menyebutkan “monopoli”, tetapi penerapan dan ketentuan yang termuat dalam Pasal 17 tidak hanya mengatur monopoli dalam arti kata sebenarnya, yaitu struktur pasar di mana hanya terdapat satu pemasok di suatu pasar yang bersangkutan. Ketetntuan ini berlaku apabila tidak terdapat oligopoli sebagaimana dimaksud Pasal 4, melainkan pada sturktur pasar lain, hal ini jelas sekali di Pasal 17 ayat (2) butir c, hal mana satu peserta menguasai pasar, khususnya apabila memgang pasar lebih dari 50%.23

22 Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

23 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli…… h. 107

(43)

Asumsi menurut Undang-Undang yang termuat dalam Pasal 17 ayat (2) baru mulai berlaku apabila akibat posisi dominan di pasar kemungkinan besar akan terjadi atau telah terjadi penyalahgunaan sebgaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 dan 6, yaitu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat. Maka yang dapat disimpulkan dari ketetntuan tersebut bahwa tidak adanya persaingan subtitusi, penciptaan hambatan masuk pasar serta adanya monopolis yang memegang pangsa pasar lebih dari 50% harus dilihat secara kritis, bahwa aspek tersebut perlu dianggap sebagai kriteria relevansi oleh lembaga pengawas anti monopoli.24

2. Kegiatan Monopsoni

Dalam Pasal 18 ayat (2) yang dimaksud pelaku usaha oleh hukum yang dapat dianggap atau patut diduga telah melakukan kegiatan monoposoni, yakni telah menguasai penerimaan pasokan utama atau telah menjadi pembeli tunggal, yakni;

1. Suatu pelaku usaha, atau 2. Suatu kelompok pelaku usaha

3. Yang telah menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis produk tertentu.25

3. Penguasaan Pasar

24 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli…… h. 108

25 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli…… h. 108-109

(44)

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat adanya kegiatan penguasaan pasar. Penguasaan pasar yang dilarang, meliputi satu atau sebagian kecil pelaku pasar, selanjutnya oleh Undang-Undang anti Monopoli juga dilarang penguasaan pasar secara tidak fair, yang daapt mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Pihak yang dapat melakukan penguasaan pasar adalah pelaku usaha yang mempunyai market power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai pasar sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa di pasar yang bersangkutan. Suatu perusahaan yang menguasai suatu pasar pasti mempunyai posisi dominan di pasar.26 Ketentuan larangan terhadap kegiatan penguasaan pasar diatur dalam Pasal 19 sampai Pasal 21. Dalam ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 19 dibatasi penguasaan pasar.

Pelaku usaha dilarang melakukan suatu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada dasar bersangkutan atau:

b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelau usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;

atau

c. Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau

26 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia...h.255

(45)

d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu27 4. Persekongkolan

Praktik usaha tidak yang tidak boleh disebut konspirasi atau persekongkolan. Praktik usaha ini dapat menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal persekongkolan tender, praktik usaha tidak sehat ini dapat menyebabkan terjadinya penggelembungan harga (mark-up) yang memberikan keuntungan berlebihan kepada pemenang tender dan mengakibatkan inefesiensi yang merugikan Negara dan masyarakat luas. Jika ada pelaku usaha dan/atau kelompok usaha yang melakukan praktik persekongkolan tersebut, berarti mereka telah melakukan praktik usaha yang dilarang menurut ketentuan Undang-Undang Persaingan Usaha.28

Penjelasan di atas adalah gambaran umum tentang persaingan usaha tidak sehat. Gambaran umum tersebut selanjutnya digunakan sebgai bahan dalam menganalisis sengketa penulisan ini.

27Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli…… h. 109

28Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli…… h. 112

(46)

34

TINJAUAN UMUM TENTANG IMPOR GULA DAN VERIFIKASI TEKNIS IMPOR GULA DI INDONESIA

Gambaran umum akan persaingan usaha yang telah dijelaskan sebelumnya akan berhubungan dengan sengketa yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Sengketa yang diangkat adalah tentang Impor gula dan verifikasi teknis impor gula di Indonesia. Untuk itu, pada Bab III ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai gambaran umum impor gula di Indonesia serta tinjauan dari peraturan yang ada di Indonesia.

A. Gambaran Umum Impor Gula di Indonesia

Secara historis, industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting yang ada di Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%.1 Impor sendiri merupakan adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. Sedangkan daerah pabean yang dimaksud merupakan adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di

1 Wayan R. Susila, AGRIMEDIA Volume 10, (Jakarta: Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2005), h.2

(47)

atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.2

Sebagai suatu komoditi yang strategis, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang memiliki efek langsung ataupun tidak langsung terhadap pasang-surut terhadap industri gula nasional. Kebijakan tersebut pada gilirannya mempengaruhi kinerja impor gula nasional. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi, dan kebijakan harga yang kemudian menghasilkan 3 periode, yang dimaksud yakni periode stabilisasi (1971-1996), perdagangan bebas/liberalisasi (1997-2001), dan pengendalian impor (2002-sekarang).3

Adapun dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa rezim stabilisasi ditandai oleh berbagai kebijakan pemerintah untuk mendorong produksi dalam negeri, stabilitas persediaan dan harga di pasar domestik. Pada periode ini, kebijakan yang diterapkan pemerintah sangat intensif baik pada sisi produksi, distribusi, dan harga. Sebagai langkah awal, pemerintah mengeleluarkan Keppres No. 43/1971 yang pada dasarnya memberi wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Dalam SK ini menandai dimulainya peran Bulog sebagai stabilitator. Sejak tahun 1980, Bulog membeli semua produksi gula dalam negeri dan menyalurkannya ke pasar.4

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan

3 Wayan R. Susila, AGRIMEDIA Volume 10….. ………….h.12

4 Wayan R. Susila, AGRIMEDIA Volume 10….. ………….h.13

(48)

Pada periode selanjutnya yakni liberalisasi/ perdagangan bebas (1997- 2002)5, pemerintah membuka pasar impor Indonesia secara dramatis. Dalam hal ini, pelaku impor dibebaskan, atau tidak dimonopoli oleh Bulog. Dengan argumen untuk peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli pada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula. Era ini merupakan akhir dari peran Bulog sebagai lembaga yang memonopoli impor, sekaligus dimulainya era perdagangan bebas untuk gula di pasar Indonesia.

Karena tidak ada tarif impor pada periode ini, maka impor gula dilakukan dengan tarif impor 0% dan pelaku dilakuakn oleh perusahaan importir.

Akibatnya, impor gula melonjak pesat pada periode ini. Banjirnya gula impor dengan harga murah membuat industri gula dalam negeri mengalami kontraksi/kemunduran. Kebijakan tersebut yang diduga berkaitan dengan tekanan IMF merupakan suatu perubahan kebijakan yang sangat drastis sehingga mempunyai dampak yang cukup luas terhadap industri gula Indonesia. Hal ini diperkuat lagi oleh krisis ekonomi Indonesia yang semakin parah yang menyebabkannya terjadinya kenaikan biaya produksi. Sebagai akibatnya, harga paritas impor gula pada saat itu mencapai titik terendah yaitu antara Rp 1800-1900 per kg. Hal ini membuat harga gula dalam negeri mengalami tekanan. Untuk melindungi produsen, maka pemerintah

5 Wayan R. Susila, AGRIMEDIA Volume 10….. ………….h.14

(49)

mengeluarkan SK Menhutbun No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2500 per kg.6

Kebijakan harga provenue tersebut ternyata merupakan kebijakan yang tidak efektif karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai.

Sebagai akibatnya, kebijakan tersebut menjadi tidak dapat diwujudkan sehingga harga gula petani masih tetap mengalami ketidak-pastian. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan SK Menperindag No.

364/MPP/Kep/8/1999. Instrumen utama dari kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah importir dengan hanya mengijinkan importir produsen, dengan kebijakan ini pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor. Dengan demikian, harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat ditingkatkan. Kebijakan importir produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap melemah. Desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri semakin kuat (Dewan Gula Indonesia, 1999). Menanggapi tekanan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor dengan SK Menperindag No.230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20% untuk raw sugar dan 25% untuk white sugar. 7

6 Wayan R. Susila, AGRIMEDIA Volume 10….. ………….h.20

7 Wayan R. Susila, AGRIMEDIA Volume 10….. ………….h.25

(50)

Rezim selanjutnya yakni pengendalian impor, ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah diambang kebangkrutan dan tekanan produsen semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir terdaftar. Era ini merupakan era dimulainya rezim pengendalian impor. Gula yang di impor oleh importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari produsen gula milik IT minimal 75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan tata niaga gula tersebut dinilai masih memiliki beberapa kelemahan seperti belum jelas spesifikasi mutu gula, waktu impor, dan jaminan harga untuk petani. Untuk itu, pemerintah menyempurnakan kebijakan tersebut dengan Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/M-DAG/Per/4/2005. Esensi kebijakan adalah ketentuan ICUMSA yang secara nyata membedakan gula kristal putih, gula rafinasi, dan raw sugar, kejelasan waktu dan pelabuhan impor, serta kenaikan harga referensi di tingkat petani. Jika kebijakan ini diikuti oleh perbaikan efisiensi di tingkat usaha tani dan produsen gula, kebijakan ini diperkirakan akan efektif untuk mendorong perkembangan industri gula nasional. 8

8 Wayan R. Susila, AGRIMEDIA Volume 10….. ………….h.33

(51)

Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan kembali industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga gula di pasar internasional juga turut menolong industri gula nasional.

Dari sisi areal, dampaknya mulai tampak dan pada tahun 2005 areal diperkirakan mulai meningkat secara signifikan. Jika kebijakan-kebijakan ini dipertahankan dan didukung oleh program revitalisasi pembangunan industri gula nasional, paling tidak, kebijakan-kebijakan tersebut akan memberi landasan yang memadai untuk kebangkitan industri gula nasional.

B. Dasar Hukum Pengaturan Verifikasi Teknis Impor Gula di Indonesia Dasar pengaturan verifikasi teknis impor gula di Indonesia dari Tahun 2004 mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan secara nasional sebagai berikut:

1. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula

2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/5/2008 Tentang Ketentuan Impor Gula

3. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 117/M- DAG/PER/12/2015 Tentang Ketentuan Impor Gula

C. Pengaturan Verifikasi Teknis Impor Gula Sesuai Peraturan Nomor : 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula

Salah satu komoditas pangan yang di impor oleh Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya adalah gula. Gula menjadi salah satu

(52)

bahan pokok yang penting saat ini dikarenakan jumlah konsumsi masyarakat umum dan industri terhadap gula sangat tinggi dan terus meningkat setiap tahunnya. Gula sebagai salah satu bahan pokok yang penting ditegaskan di dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan (Keppres 57/2004) Pasal 2 yang berbunyi:

Dengan Keputusan Presiden ini, Gula ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Perpu Tahun 1962 tentang Perdagangan Barang-Barang dalam Pengawasan.9

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia sehingga perdagangan gula di dalam negeri menjadi kegiatan yang penting dan oleh karenanya perlu diawasi.

Untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri Indonesia, maka baik Pemerintah maupun swasta dapat melakukan kegiatan impor gula.

Dikarenakan gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia sebagaimana disebutkan di dalam Konsideran Keputusan Presiden No.57/2004, maka Departemen Perindustrian dan Perdagangan memandang perlu untuk mengawasi tata niaga gula.

Dalam melakukan kegiatan impor gula, Pemerintah lewat Keputusan Presiden No.57/2004 berupaya agar teknis kegiatan impor gula dilakukan

9 Pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004

(53)

dengan prosedur yang baik dan benar sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Salah satu upaya mengawasi kegiatan impor gula ini dengan melakukan terlebih dahulu verifikasi atau penelusuran teknis. Ketentuan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:

527/MPP/Kep/9/2004 Pasal 14 yang berbunyi:

(1) Setiap pelaksanaan importasi Gula Kristal Mentah/Gula Kasar, Gula Kristal Rafinasi dan Gula Kristal Putih oleh IP Gula dan IT Gula wajib terlebih dahulu dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis yang mencakup pemeriksaan :

a. dokumen perizinan dan persyaratan administratif;

b. teknis di negara muat barang

(2) Pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh surveyor yang ditunjuk oleh Menteri.

(3) Hasil verifikasi atau penelusuran teknis yang telah dilakukan surveyor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diterbitkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) yang dijadikan sebagai dokumen impor.

(4) Atas pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis yang dilakukannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), surveyor dapat memungut imbalan jasa yang diberikannya dari IP Gula dan IT Gula atau dari pemberi hibah dalam hal importasi dilaksanakan dalam rangka pemberian hibah.

(5) Untuk dapat ditunjuk sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis pelaksanaan importasi gula, surveyor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : .

a. berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 (lima) tahun; dan b. memiliki cabang atau perwakilan atau afiliasi di luar negeri.

(6) Ketentuan dan tatacara pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis ditetapkan oleh Direktur Jenderal.10

Bahwa dalam melakukan kegiatan impor gula, importir produsen gula yang selanjutya disebut IP gula dan importir terdaftar gula yang selanjutnya disebut IT Gula, wajib dilakukan verifikasi teknis yang mencakup pemeriksaan dokumen dan teknis. Pelaksanaan verifikasi atau penulusuran

10 Pasal 14 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:

527/MPP/Kep/9/2004

Referensi

Dokumen terkait

CHAPTER II REVIEW OF RELATED LITERTATURE

Penulis juga tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini yang tidak dapat

After video acquisition, background subtraction based on MOG (Mixture of Gaussians) algorithm (Stauffer, 1999) is used to extract the moving honey bees from the video

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pemasaran yang dilakukan pedagang sembako menggunakan beberapa strategi antara lain, (a) strategi pelayanan, tidak mudah putus asa

Hampir semua distribusi Sistem Operasi, secara defaultnya menyertakan BIND sebagai program DNS Server mereka, sehingga banyak orang mengidentifikasikan atau berpikir DNS Server

Disamping itu, banyak penelitian tentang modal intelektual yang tidak mencantumkan item pengungkapan maupun kurangnya penjelasan mengenai definisi item pengungkapan

Hasil evaluasi pada tolok ukur panjang hipokotil produksi tahun 2009 dan 2010, menunjukkan bahwa antara vigor daya simpan benih cabai hibrida dan non hibrida tidak berbeda nyata,

(2002) tutkimuksen mukaan masennus ja yksinäisyys pahenivat, kun internetissä käytetty aika kasvoi. Jatkotutkimuksessa tätä ei kuitenkaan enää huomattu, eikä